Setelah kembali ke rumah, Emily merenung lama apakah sebaiknya dia pergi atau tidak menghadiri pertemuan dengan seorang pria yang direkomendasikan oleh Grace. Setelah bergumul dengan pikirannya, Emily akhirnya memutuskan. Dia bangkit, menuju lemari, dan memilih pakaian bagus yang akan dipakainya untuk janji temu. Saat sampai di taman, tempat janji temu yang dikatakan putrinya, jantung Emily berdetak kencang. Emily memilih duduk di sebuah bangku kayu di dekat kolam kecil."Akhirnya aku berakhir di sini. Apakah aku sudah gila?" gumam Emily. "Masih belum terlambat untuk pergi dari sini, bukan?"Dengan keraguan yang menggerogoti pikirannya, Emily merenung, "Apa aku terlalu kesepian karena tidak memiliki pasangan dalam waktu yang begitu lama sehingga aku dengan mudahnya menyetujui ide Grace?" Tawa getir meluncur dari bibirnya, menyadari kebodohannya yang mungkin terlalu mudah terbujuk oleh harapan akan sesuatu yang baru. Emily hendak bangkit dari duduknya tetapi akhirnya dia mengurungkan
Teriakan Emily membuat semua orang yang berada di ruangan itu menoleh padanya. Wajahnya memerah, matanya penuh dengan kebingungan. "Maaf," gumam Emily, suaranya hampir tidak terdengar. Daniel memperhatikannya sebentar sebelum melanjutkan pembicaraannya yang sempat terputus tadi. "Saya akan bertanggung jawab atas semua biaya perawatan putra Anda," ujarnya dengan tegas. Mendengar perkataan Daniel membuat Emily terkesiap, hatinya berdebar keras dalam kebingungan yang tak terkira. Ibu dari anak laki-laki itu menatap Daniel dengan tatapan tajam. "Siapa Anda sebenarnya?" tanyanya dengan nada curiga, suaranya menusuk tajam. Grace melangkah pelan ke arah Daniel, lalu dengan lembut menggandeng tangan Daniel dan menatapnya penuh kehangatan. "Dia adalah ayahku," katanya dengan suara yang penuh keyakinan. Kemudian Grace kembali menggandeng tangan Emily. "Dan ini adalah ibuku. Jadi, aku masih memiliki ayah dan ibu tidak seperti yang dikatakan oleh orang-orang," ucap Grace sambil memberika
Raut wajah Emily terlihat muram membuat Fred semakin penasaran dengan kabar apa yang didengar oleh putrinya dari sambungan telepon tadi. "Ada apa, Em?" tanya Fred, suaranya lembut seperti berusaha menenangkan badai di hati Emily. Emily mendongak, matanya menatap pada Fred dengan wajah penuh kesedihan. "Dad," panggilnya lirih.Tiba-tiba, senyum lebar mengembang di wajah Emily, mengusir kesedihan yang baru saja terlihat. "Aku diterima di perusahaan!" teriaknya, matanya berbinar-binar. Fred ikut tersenyum bangga. Dia tahu betapa Emily ingin kembali bekerja setelah fokus mengurus Grace selama tujuh tahun. Emily memutuskan untuk berhenti dari W Company setelah perpisahannya dengan Daniel dan kehamilannya. Selama tujuh tahun itu, dia hanya fokus mengurus Grace. Fred yang membantu keuangan dalam rumah itu. Meski sebenarnya Emily tidak pernah kekurangan keuangan karena Daniel tetap mengirimkannya uang yang sangat banyak bahkan setelah mereka berpisah tetapi Emily tidak pernah memakai uang
Hati Emily berdebar kencang. Dia merasakan hawa canggung yang menyelimuti ruangan itu. Seolah-olah waktu telah menjebaknya dalam situasi yang salah. Dengan kilatan gugup, Emily berbalik, menghindari tatapan Daniel. "Maafkan aku," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku akan menunggu di luar."Emily meraih gagang pintu, jari-jarinya gemetar. Namun, sebelum tangannya menyentuh dinginnya logam, sebuah tangan kekar mencengkeram pergelangan tangannya. Emily tersentak, jantungnya berdebar semakin kencang.Ketika dia berbalik, tatapannya langsung bertemu dengan sepasang mata biru tajam yang dingin. Sesaat, Emily terpaku, terpesona oleh intensitas tatapan itu. Tubuh kekar Daniel mendekat, tangannya menariknya mendekat, hingga tubuhnya terhimpit di dinding, terkurung dalam pelukannya. Napasnya terengah-engah, terjebak dalam tatapan yang begitu intens, seolah-olah waktu berhenti berdetak."Bukankah sudah ku katakan dengan jelas bahwa aku tidak mau menemuimu?" ucap Daniel secara perlahan, suaranya be
"Mom," panggil Grace. Emily menghentikan dongengnya, matanya bertemu dengan mata Grace yang mulai mengantuk. "Hmm, ada apa, sayang?" tanyanya lembut, jari-jarinya mengelus pipi Grace. "Apakah Mom cinta dengan Paman Sean?" tanya Grace. Emily terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Grace. "Sudah kubilang, fokus saja dengan pelajaranmu di sekolah," katanya."Mom, jangan bersama Paman Sean. Aku lebih menyukai Paman Daniel," ujar Grace.Emily merasakan dadanya sesak. Apakah ini yang dinamakan ikatan batin antara seorang ayah dan anak? Meskipun Grace tidak tahu siapa ayahnya sebenarnya, namun ketertarikannya pada Daniel begitu kuat."Grace, sayang," kata Emily, suaranya bergetar, berusaha menahan air matanya sendiri. "Mom mencintaimu, dan akan selalu ada untukmu. Tapi, cinta itu rumit, dan terkadang kita tidak bisa memilih ingin bersama dengan siapa.""Aku tidak mengerti," bisik Grace, matanya tertuju pada boneka beruang kesayangannya. "Sayang, suatu hari nanti kamu akan mengerti,"
Setelah puas larut dalam segala kesedihan di hatinya, Emily melepaskan dirinya dari pelukan Sean. Air matanya meninggalkan jejak yang masih terlihat di pipinya. "Maafkan aku," bisiknya. "Tidak apa-apa," jawab Sean penuh pengertian. Selama ini Emily tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada Grace maupun ayahnya. Dia selalu berusaha tegar karena dia tidak ingin membuat kedua orang yang disayanginya itu khawatir padanya. Tetapi hari ini dia merasa emosinya cukup terluapkan. "Terima kasih, Sean," ucap Emily sebelum turun dari mobil.Sean ikut mengantar kepergian Emily untuk masuk ke dalam rumahnya sambil melambaikan tangannya dan tersenyum. Emily membalas senyuman Sean dan melambaikan tangannya kembali. Pemandangan itu tidak luput dari perhatian Daniel. Dia mengamati dari kaca jendela mobil, raut wajahnya dingin. Saat Sean akan kembali masuk ke dalam mobilnya, dia melihat sebuah mobil hitam yang berada tidak jauh dari mobilnya. Ketika Sean berjalan mendekati mobil tersebut, Daniel me
"Besok, saat kamu resmi bekerja, saya akan memberikan informasi lebih lanjut tentang investor tersebut. Bersiaplah dengan baik," ucap Pak Ryan, suaranya tenang namun penuh makna."Baik, Pak," jawab Emily, nada hormat tersirat dalam suaranya. "Tapi bagaimana jika saya tidak berhasil mendapatkan kepercayaan investor itu?" tanyanya. "Kalau begitu, kamu tidak akan bisa mendapatkan jabatan manajer investasi di perusahaan kami," jawab Pak Ryan. Emily terdiam, matanya terpaku pada meja. Jika dia ingin mendapatkan posisi itu, dia harus mendapatkan kepercayaan investor itu. Tidak ada pilihan lain. Tekanan yang dirasakannya semakin kuat, bagaikan tangan tak kasat mata mencekiknya. Dia harus berhasil.Seolah membaca pikiran Emily, Pak Ryan tersenyum hangat, matanya berbinar dengan keyakinan. "Saya yakin kamu akan mampu menghadapi tugas ini dengan baik. Saya yakin kepercayaan investor ini akan menjadi milikmu," ucapnya dengan penuh keyakinan, membuat hati Emily berdesir dengan campuran rasa gug
Daniel juga sama terkejutnya dengan Emily. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan Emily dalam keadaan seperti ini. Jantungnya berdetak kencang, dan dia berusaha bersikap normal, seperti tidak mengenalnya. Namun, di dalam hatinya, dia merasa sedikit bingung bagaimana Emily dan Alice bisa saling mengenal."Apakah kamu sudah lama menunggu?" tanya Daniel pada Alice, suaranya terdengar datar. Matanya menghindari kontak mata dengan Emily, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa terkejutnya."Aku sudah lama menunggu. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Alice berbohong padahal dia juga baru saja keluar dari butik. Matanya melirik ke arah Emily kemudian tersenyum kecil padanya, mengisyatkan kebohongan yang dilontarkannya pada Daniel. "Alice, aku pergi dulu ya," pamit Emily dengan suara pelan. "Aku masih harus menjemput putriku," suaranya terdengar sedikit gemetar. "Eh, tunggu sebentar," ujar Alice sambil menahan lengan Emily."Ada apa?" tanya Emily. Alice tersenyum ceria dan berkata, "O