"Lo yakin enggak pa-pa?"
Pertanyaanku dijawab dengan anggukan. Sara masih terpejam di bawah kuasa lenguhan napasku yang mengedar pada tulang selangkanya.
Jemariku bergetar saat meloloskan tiap kancing seragamnya yang telah basah karena hujan. Kesegaran alami berpadu wangi anggur yang manis di permukaan kulitnya membuatku sesekali memberi gigitan kecil.
Sara melengkungkan punggung ketika puncak penutup dadanya kugigit, dan memudahkan jemari bergerak di belakang tubuhnya, meloloskan benda hitam yang kontras dengan warna kulit Sara.
Lututku sudah bergerak di antara pangkal pahanya, menyingkap rok kelabunya hingga atas perut.
"Aksa ...." Dia menyebut namaku bersama desah menggoda. Jemarinya bergerak di antara helai rambut sebelum mencengkeram, menahan kepalaku melekat pada tubuhnya ketika meraup gunung kembar yang cukup besar dalam genggaman.
Dinginnya udara, panasnya gerakan, berpadu dalam getar ragu dan khawatir.
Aku mundur, melepaskan diri darinya yang terbaring di permukaan ranjang.
"Aksa ...." Sara protes dengan intonasi manja, berusaha meraih tanganku sampai tengkurap.
Dia berantakan, dan aku merasa bersalah. Apa yang kulakukan?
"Gue enggak bisa, Ra."
"Apa yang enggak bisa? Lo sering gini kan sama nenek-nenek sok kaya di luar?"
Aku tidak menampik pendapatnya tentang profesiku sebagai gigolo, tapi ..., "Lo yakin?"
"Gue enggak bakal bayar lo sebanyak itu kalau nggak yakin."
Kuacak rambut di kepala, berbalik sesaat, lalu menatapnya lagi. Senyumnya seolah menantang ketika melihatku menghela napas sembari membuka seragam yang melapisi kaus dalam. Basah. Setelah hujan yang kami lalui.
Pasrah.
Perlahan, kunaiki lagi ranjangnya. Membiarkan telapak tangan Sara bertumpu di dada saat menerima pagutan.
Bibirku masih nyeri karena pukulan para fans Sara saat pulang sekolah, apalagi jika harus memberi kuasa gairah.
"Sakit?" tanya Sara ketika memberi jarak di antara ciuman. Jari lentiknya bergerak di pinggiran bibir, menatap dengan sendu dan rasa kasihan.
Sementara Sara masih menelusuri tiap garis wajahku dengan kekaguman, kulepaskan seragam yang tanggung dari tubuhnya. Kulit putih khas gadis blasteran yang mulus saat disentuh.
Kuhidu tiap ruas jarinya, menjilat perlahan permukaan kulit punggung tangannya, lengan, bahu, dan meninggalkan lingkaran merah di pangkal leher.
"Lo suka?"
Sara mengangguk perlahan. Kubaringkan ia, melucuti pakaiannya yang tersisa. Binar mata dan senyumannya seperti anak kecil yang berhasil mendapat kemauan.
Kubiarkan kulitnya di terpa udara sesaat, menikmati setiap geliat ketika dia merengek lagi dengan menyebutkan namaku. Terasa menggelitik perut. Ini lucu.
"Lo mau gue gimana?"
"Biasanya?"
Kuusap belakang kepala dengan kasar. Seperti apa? Sebenarnya ... aku belum pernah.
***
Sebelumnya ....
Aku masih bergelung dalam selimut, sesekali membuka mata cuma buat mastiin langit-langit kamar adalah nyata. Bukan monster jelek yang keluar dari dunia mimpi.
Kalau waktu kecil dulu, pasti takut banget lihat makhluk lumpur yang jelek mau tenggelamin. Sekarang? Aneh aja. Tiap ketemu masih bikin capek kayak abis berenang keringat. Tidak ada perlawanan selain teriakan dalam dunia mimpi.
"Sa!"
Ketukan keras berulang di luar kamar membuatku harus bangkit, menurunkan selimut dari ujung kepala. Malas! "Bisa enggak biarin gue tidur? Ini minggu!"
Kuacak rambut ketika membuka pintu. Enggak peduli keberadaan Garini Sarasidya yang terpaku, mendadak diam di depan pintu setelah beberapa kali memanggil.
Bener kayaknya itu nama lengkap Sara. Pernah lihat di seragamnya tepat di bagian saku seragam dan sempat mengalihkan perhatian karena jadi ngebayangin isinya.
Ya Tuhan! Ngapain mikir sampai ke situ?
Begitu memperhatikan si gadis berkucir, Sara beneran bengong ternyata. Aku sampai harus menepuk tangan tepat di depan mata gelapnya karena enggak denger aku berteriak. "Apa? Hei!"
"Pakai baju dulu sana!" Dia langsung mendorongku masuk dan menutup pintu dari luar.
Enggak jelas! Apa yang salah? Cuma enggak pakai baju, kan?
Gadis aneh. Belum pernah lihat perut kotak-kotak kali. Aku meringis, menertawakan kemungkinan yang dipikirkan si putri pemilik kos. Padahal gadis-gadis yang pernah satu kelas denganku selalu memuja para bias yang selalu pamer perut.
Kuambil kaus baru dari lemari setelah memeriksa pakaian tergeletak yang ternyata enggak layak pakai. Bau. Kayaknya bakal cucian lagi. Wajib. Risih melihat tumpukan menggunung. Kalau pakai jasa penatu, mahal enggak, ya?
Yah mahal lah, Dol!
Aku mengeluarkan dompet dari saku. Isinya ... aih. Bikin nyesel ngebuka. Enggak ada penampakan Pak Soekarno-Hatta.
"Sudah, Sa?" Gadis di luar teriak lagi. Suara cemprengnya berasa ngerobek telinga.
Kubuka pintu dan mengenakan kaus di depan gadis yang sebenarnya memiliki wajah cantik khas pribumi. Mata lebar, hidung mancung, bibir tipis, dan wajah menyudut di dagu. Itu standar cowok-cowok di kelas kalau lagi ngomongin taksiran mereka dan Sara masuk dalam salah satu daftar famous yang sebenarnya enggak ada manis-manisnya.
Dia terpaksa menutup mata dengan kedua tangan. Apa karena ulahku yang masih pamer perut? Sedikit terhibur sih setelah melihat ekspresi kagetnya ternyata seperti anak kecil yang mengintip dari sela jari-jari. Lucu aja gitu ngerjain anak orang pagi-pagi.
"Apa?" Aku berusaha menormalkan raut di wajah dengan menggigit dinding mulut di balik pipi sambil menyugar helaian rambut.
"Mogok. Bisa baikin lagi?" Sara menurunkan telapak tangannya, seperti memindai tampilan yang menurutku kacau.
Aku mendengkus, melihat cengirannya. "Enggak gratis."
Senyum di wajah Sara luntur seketika. Dia merengut sambil menggulung ujung rambut panjangnya menggunakan telunjuk. Ujung sandalnya menghentak-hentak seolah mempertimbangkan.
"Bengkel enggak jauh kali. Dorong aja." Aku hampir menutup pintu ketika gadis itu langsung menyelipkan diri.
"Enggak mau. Gue bayarin, tapi jangan mahal-mahal."
Elah ... padahal tinggal cek onderdil, paling banter ganti busi motor seberapa, sih?
Sudut bibir kananku naik seketika. "Bukan duit."
"Jadi, apaan?"
Kubuka pintu dan memperlihatkan tumpukan di keranjang yang membludak sampai lantai.
"Aksa! Jorok banget, sih!" teriaknya histeris. Terbukti dengan beberapa penghuni kamar sebelah yang sempat keluar dan menggeleng.
Sara memunggungiku, lalu kembali menghadap setelah menyadari perhatian sekeliling. Dia melotot sambil berkacak pinggang pada penonton yang awalnya menyeringai dengan kata "Apa?" tanpa suara hingga kembali masuk ke kamar masing-masing.
Kusandarkan punggung pada pembatas pintu sambil menyilangkan kaki dan memasukkan kedua tangan dalam saku celana pendek. "Lo kan punya mesin cuci juga. Enggak perlu megang kali. Enggak mau? Ya udah."
Sara kudorong mundur dengan paksa, menutup pintu tepat di depan wajahnya. Enggak peduli bakal gimana kesalnya dia. Kalau kosnya enggak murah, males kali ngeladenin gadis yang tiap hari mampir kayak gitu. Bisa jadi aku malah pilih pindah.
Aku mundur selangkah dari daun pintu. Menunggu. Gadis kayak Sara biasanya enggak gampang nyerah buat bujuk. Dan, ya. Ketukan berulang terdengar lagi.
"Aksa! Ayo, udah!"
Spontan aku tersenyum penuh kemenangan. Laundry gratis.
"Mana?" Akhirnya aku keluar dari kamar, mengikuti Sara menuju parkiran.
***
"Kerja apa sih, Sa? Kok kayaknya pulang pagi mulu?"
"Ah?" Aku sempat mendongak ketika mengencangkan baut pada boks motor Sara. Gadis ngeselin itu sudah berganti pakaian dan bersandar pada penyangga atap di area parkir kos. Mungkin dia mandi dengan kembang tujuh rupa dan menghabiskan sebotol parfum. Wanginya semerbak, bikin pengin muntah.
"Mending lo beli baru aja daripada baikin mulu." Aku mengalihkan pembicaraan sambil menutup jok. Sempat perhatikan rengutan bibirnya yang maju seperti bebek. Lucu, tapi enggak bisa buat ketawa. Hanya seringai yang lolos ketika perhatianku teralihkan pada starter motor.
Suara mesin nyala terus menderu. Asap dari knalpot merebak, memenuhi atmosfer di sekitar kami.
Sara terbatuk-batuk, berlari menjauh dari kepulan yang memenuhi ruang kosong di antara kami. Gadis manja itu ....
Aku jelas menertawakannya yang kembali setelah mengenakan masker, menutup sebagian wajah. Akhirnya enggak bisa tahan dengan rasa yang menggelitik perut. Padahal tidak ada yang bergerak di sana.
"Hari ini di kos aja, Sa?" Pertanyaan Sara seolah enggak ada habisnya. Langsung memupuskan tawa yang sempat meninggalkan lega.
Aku sadar memutar bola mata. "Taraf kepo lo setinggi apa, sih?" Mesin motornya langsung kumatikan setelah asap mereda.
Kukembalikan kunci ke tangannya, lalu kembali memasuki koridor sepanjang lima pintu sebelum sampai kamar milikku.
"Ye kali liburan cuma tidur doang." Sara mengekor di belakangku dan berhenti di depan kamar, menghadapi pintu yang kubanting. "Cuciannya, Sa?"
Ngeselin amat, ya. Suaranya enggak enak banget di pendengaran. Aku aja sampai perlu menekan telunjuk di lubang telinga saat membuka pintu lagi.
Kuserahkan sekeranjang pakaian kotor yang dijejalkan paksa. Lalu nutup pintu lagi. Dikunci sekalian.
Argh! Aku cuma perlu tidur. Enggak peduli Sara dengan ketukan lagi ampe bego. Kusumpal telinga dengan gumpalan tisu, nutup kepala pakai bantal sekalian. Lebih nyaman ketika bersembunyi dalam selimut.
Sayangnya, cuma bentaran.
Nyanyian Grenade-nya Bang Bruno nyaring banget. Suara yang berasal dari ponsel di nakas sontak membuatku harus membuka mata. "Sial!"
Tertera "Nyonya" sedang memanggil ketika ponsel berpindah dalam genggaman. Pengen nolak, tapi lagi butuh juga. Isi dompet beneran tipis.
Wanita berusia lebih tua dari Ambu itu menyeretku dalam pekerjaan jasa yang cukup menantang semenjak masalah kebakaran yang menewaskan keluarganya. Tentu saat itu aku sudah yatim. Ambu meninggal, dan Abah memang enggak pernah pulang semenjak Pak Es Be Ye menjabat.
Katanya dulu, "Pokoknya elo ikut aja yang gue suruh. Ini cara satu-satunya nyelametin rumah Nimas."
Dia menyebutkan nama Ambu. Saat itu, aku enggak mikir panjang buat nolak. Kami sama-sama saling membutuhkan. Pertukaran yang kujalani sampai sekarang. Uang buat rumah Ambu yang tergadai hutang dengan wajahku yang dianggap menarik.
Nyonya memiliki koneksi yang luas dan aku bisa mempermudah berbagai persetujuan dengan bayaran jasa yang menyenangkan. Bodo amat sama aturan mempekerjakan remaja di bawah umur. Aku juga menikmati hasilnya.
Eh, tapi sekarang kan sudah delapan belas. Bukan di bawah umur lagi.
Balik lagi pada panggilan telepon yang terus berdering. Setelah mengambil dan mempertimbangkan, jadinya aku enggak ngejawab panggilan juga karena pesan masuk menyusul.
Ngantuk.
Punggungku bersandar pada dinding kamar sambil menendang selimut saat menyeret layar ponsel. Pesan terbuka menunjukkan jumlah yang lumayan sebagai uang muka.
"Ini nyuruh beli baju baru namanya." Aku jadi ingat nasib isi lemari yang sudah kosong melompong saat dibuka.
Salam kenal. Ditunggu review dan vote-nya. Komentar kamu sangat berharga untuk penulisan cerita ini.
"Beneran enggak mau? Ferrari loh, Ga." Aku menggeleng sambil membolak-balik majalah yang isinya enggak jauh-jauh dari permainan warna di permukaan wajah. Sebenarnya menunggu pelanggan nyalon sangat membosankan, tapi dia betah minta kutemenin, gimana? Dibayar cuma buat jadi teman bicara. Enggak tahu udah berapa kali dia mesen jalan denganku melalui Nyonya. Pakai nawarin kasih mobil asalkan mau jadi piaraannya dia, tapi rasanya ... enggak ah. Ogah! Mikir kudu satu ranjang sama wanita yang rajin banget ganti warna rambut itu membuatku bergidik ngeri. Tampilan luar bisa mengelabui, tapi buat melakukan hal yang melibatkan rasa ... aku harus berkali-kali mikir. Kuperhatikan lagi wanita yang masih berkutat di depan cermin sete
"Aksa! Lo mau nitip?" tanya cewek yang sempat lewat sisi meja. Aku lupa namanya kalau enggak nemu penanda di seragam, soalnya belum ganti kaus olahraga. Aku juga, sih. Belum ganti.Bersyukurnya masuk kelas Bahasa, mereka enggak lihat penampilanku sebagai patokan femes. Namun, suasana saat keluar kelas yang justru membuatku jarang melintasi koridor saat jam istirahat. Terlalu ramai. Belum lagi kehebohan karena aku siswa baru di semester awal kelas dua. Cowok yang dianggap cakep karena punya muka blasteran Arab biarpun enggak ada keturunan sana. Pede? Enggak. Bukan aku yang bilang, tapi para seleb dadakan yang sandaran di daun pintu setiap jamkos atau istirahat. Mereka selalu punya gosip kekinian yang pastinya terdengar sampai tempatku duduk. Abaikan. Kuangsur lembaran merah muda dari hasil semalam berpesta sampai menjelang terang ke cewek yang menunggu dengan telapak tangan terbuka. "Beliin yang bikin kenyang. Lo pilih satu juga. Jangan lupa air botolan." Hangover membuatku enggak
"Kamu apaan, sih? Kasihan tuh Lingga-nya." Si tante membela, pasang badan dengan memelukku setelah suaminya datang memberi pukulan di tengah pusat perbelanjaan. Sebenarnya nggak perlu. Bisa aja kubalas balik. Kubersihkan darah yang merembes di sudut bibir saat bangkit menghadapi pria tua yang masih geram. Terutama karena wanitanya menangis untukku. "Sakit, Sayang?" Ih, geli dengernya. Aku ngegeleng, nepis tangannya yang berusaha ngebantu berdiri. Kuhampiri pria tua itu dan memberinya pukulan telak di ulu hati hingga tak mampu berdiri. Aku berjongkok dan berteriak di telinganya, "Om mau saya nggak deketin istri Om lagi? Makanya punya duit tuh gunain! Oplas, kek! Besarin, kek! Bego amat nyalahin orang lain cuma gara-gara
"Gue yatim. Ambu meninggal waktu gue mau lulus sekolah dasar. Gue tau kalau gue masih punya abah, tapi enggak ngerti nyarinya gimana." "Mereka bilang bakal bantu. Bantu gimana? Mereka cuma bikin gue jadi penghasil duit doang." Enggak ngerti kenapa aku bisa cerita. Enggak ngerti kenapa aku bisa bicarakan. Yang kuingat, kepalaku sangat sakit saat terbangun di kamar kos. Lenganku terasa berat. Enggak bisa diangkat. Enggak dimutilasi dadakan, kan? Kali aja enggak sadar bikin orang lain manfaatin. Terus organ dalem pada dijualin. Eh, tapi langit-langit di atas beneran kamar kosku. "Bener?" Aku memastikan sekeliling begitu mata udah bisa diajak melek. Lengan kiriku berat bukan karena dimutilasi, tapi si cewek kepo yang ternyata ikutan tidur. Eh, tunggu. Enggak dipersoka, kan?
"Lo ngapain, Bege!" Kutarik Nabas dari kerumunan. Jariku yang bebas seolah menghitung. Mungkin ini yang ke tujuh atau delapan kali ngebawa Nabas ikut denganku. Sepertinya mudah sekali untuknya naik sebagai Casanova dalam pekerjaan ini. Iri? Enggak. Aku malah kasihan kalau dia tenggelam. "Berapa kali sih lo nggak berakhir ngesek?" Aku mencercanya begitu keluar dari ruangan yang enggak lebih seperti pesta seks liar. Kaget juga karena ternyata Nyonya justru mengarahkan kami ke acara laknat. "Kenapa? Lo enggak bisa? Lo impoten? Atau lo homo?" Aku mengulum bibir, memainkan lidah dalam rongga, sekadar menahan ucapan selama Nabas menyelesaikan celaan sambil tertawa. Kepalan di sisi tubuh sudah mengeras sempurna, menunggu dilontarkan. "Selesai?" Nabas enggak ngejawab. Mata merahnya terlalu fokus untuk membenciku. Aku meregangkan kep
"Terima, kan?" Pertanyaan terakhir yang kudengar dari salah satu siswa menjadi pusat perhatian saat melintasi keramaian di pinggir lapangan ketika aku ingin ke toilet. Bisa kulihat cewek yang menjadi target memegang buket mawar besar. Dia menerima rangkaian bunga berikut beberapa kotak hadiah yang tidak bisa dipegang sendiri.Ngapain aku ikut nontonin mereka juga? Goblok banget, sih!"Aih, remaja sekarang. Apa enggak bisa cari tempat nembak yang lebih enak?" Aku menghela napas sambil memainkan lidah dalam rongga mulut. Asam. Melihat mereka di sana, terasa ada yang mengganjal, seolah menonjok di pangkal perut.Sialan! Ngapain juga kesel melihat acara sepasang manusia itu? Cewek itu sempat menoleh ke arahku. Tanpa peduli, kupercepat langkah yang sempat terhenti. Kedua tangan kumasukkan dalam saku untuk menghalau dingin yang mendadak datang merambati kulit. "Enggak penting banget!" gelengku sembari menuju toilet siswa.Begitu pintu toilet ditutup, aku duduk di kloset. Bukan buat buan
"Aksa, kan?" Kea langsung menyapa ketika duduk di sampingku. Pacarnya Nabas itu ikut menonton dan mengambil kacang dari toples yang kupegang. "Rajin mampir sekarang?" tanya Kea lagi sambil melepas ikatan rambutnya untuk dirapikan. Aku mengangguk, merebut remote dari atas meja lebih dulu sebelum Kea ngambil. "Jangan diganti." Enggak ada sofa di rumah Nabas. Cuma duduk lesehan sambil bersandar di dinding. Lantainya keramik, dingin. "Apaan? Sudah besar masih nonton film berantem," gerutu Kea. Dia mungkin bosan sampai memilih memainkan ponselnya sambil menunggu Nabas keluar. "Kamen rider. Yang ini punya Indo." Pacar Nabas menggumam, tidak tertarik. Kalau aku lama enggak nonton tayangan gini. Punya ponsel bisa aja streaming. Males doang ngehabisin kuota. "Nah, lo ngapain ke sini?" "Males di kos." "Lo ngekos?" Kea takjub mendengar jawabanku. Dia bilang, "Bapak enggak suka kalau gue enggak bisa diawasin." Tawa lolos dari mulutku, "Zaman gini? Lo pernah ngelanggar aturan kali sampa
"Kak Aksa enggak beneran sama Sara, kan?" Kedua tanganku terasa kebas, bersembunyi di belakang tubuh. Sengaja. Biar enggak gampang mukul. Cewek di depanku ini sepertinya belum menyerah. Enggak ngerti dari mana dia bisa tahu kalau aku lagi enggak berada di dalam area sekolah. Dia malah sengaja duduk di seberang meja. "Elo ngapain ngikutin gue?" Kinar namanya. Dia sempat kulihat akrab dengan Sara dulu. Terus, aku enggak tahu masalah mereka sampai enggak bertegur sapa seolah enggak kenal. "Kakak tuh jadi sosok idaman tau buat cewek-cewek di sekolah." "Oh, ya?" Aku menahan raut datar seraya menyedotvanilla milkshakedari atas meja tanpa mengangkat gelas. Lumayan. Enggak terlalu manis. Biasanya aku pesan kopi atau semacamnya. "Kakak tuh pakai apa aja selalu keren."
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la