"Aksa! Lo mau nitip?" tanya cewek yang sempat lewat sisi meja.
Aku lupa namanya kalau enggak nemu penanda di seragam, soalnya belum ganti kaus olahraga. Aku juga, sih. Belum ganti.Bersyukurnya masuk kelas Bahasa, mereka enggak lihat penampilanku sebagai patokan femes. Namun, suasana saat keluar kelas yang justru membuatku jarang melintasi koridor saat jam istirahat.Terlalu ramai. Belum lagi kehebohan karena aku siswa baru di semester awal kelas dua. Cowok yang dianggap cakep karena punya muka blasteran Arab biarpun enggak ada keturunan sana.Pede? Enggak.Bukan aku yang bilang, tapi para seleb dadakan yang sandaran di daun pintu setiap jamkos atau istirahat. Mereka selalu punya gosip kekinian yang pastinya terdengar sampai tempatku duduk. Abaikan.Kuangsur lembaran merah muda dari hasil semalam berpesta sampai menjelang terang ke cewek yang menunggu dengan telapak tangan terbuka. "Beliin yang bikin kenyang. Lo pilih satu juga. Jangan lupa air botolan."Hangover membuatku enggak peduli sama sekali mau dia ngejingkrak atau berlari saat membawa Pak Soekarno pergi. Belum ada tidur, udah harus keliling lapangan buat pelajaran olahraga. Aku capek.Buku pelajaran yang tergeletak kuambil tanpa peduli bertuliskan pelajaran apa, yang penting cukup besar untuk menutup wajah yang menempel di permukaan meja. Hanya membayangkan yang terjadi di malam sebelumnya, ketika dipaksa para wanita paruh baya buat ikutan minum. Panas.Kugelengkan kepala, meyakinkan diri jika tidak terjadi apa pun. Aku bisa melepaskan diri semalam setelah berhasil mendapat air dari pancuran kamar mandi di tempat pesta. "Gila aja mereka bayar anak di bawah umur buat pamer belalai gajah.""Gajahnya siapa, Sa?" Tanya yang terdengar sangat familier membuatku semakin menenggelamkan wajah dalam kantuk.Namun, ketukan ujung sepatu dari penghuni kursi di sebelah mampu mengalihkan perhatianku dan menoleh tanpa mengangkat kepala atau memindahkan buku. "Gambarnya Sinchan pakai spidol."Ya, kartun yang biasa ditujukan pada anak bergenre bimbingan orang tua itu kerap menyelipkan konten kelamin dalam percakapan.Bisa kulihat gadis yang biasanya tanpa absen mengetuk pintu kamarku duduk di kursi itu dan condong padaku. Kedua kakinya merapat ke depan. Rok selututnya tertutup jaket yang sangat kuhafal pemiliknya. "Aksa ngomong porno, ih.""Bodo." Jika bisa, ingin kubuka dimensi dunia lain yang tak kasat mata biar tidak ada pengganggu, tapi enggak mungkin, kan? Semua itu hanya ada dalam dunia ilusi fantasi. Akhirnya, aku hanya mampu menutup mata dan mendengarkan ocehan random tanpa menyimpan sedikit pun dalam otak.Permukaan kulit yang lembut menyapa, menyingkirkan buku yang memberatkan belakang kepala. Aroma segarnya seperti anggur yang manis saat membelai pelipis."Sakit lo, Sa?" Suara itu menghancurkan ekspektasi. Bukan mimpi. Saat aku menoleh lagi ke arahnya, wajah mengerut khawatir sudah menyapa di depan mata. "Serius, panas gini."Kursi yang diduduki Sara ternyata sudah merapat ke tempatku. Dia masih berusaha menyentuh meski berkali-kali kutepis.Melihatnya, aku harus menahan tawa, refleks mengingat kejadian terakhir saat dia menghindari tanganku yang hampir mengungkungnya sampai menabrak pintu dan mengaduh.Gila. Dia itu terlalu polos atau gimana?Wajah Sara merona sambil melebarkan bola mata yang terlihat ketika mendengar gertakan kalimat, "Menurut lo? Gue bisa apa dalam satu ruangan sama lo? Per-gi," benar-benar mampu membuatnya melepaskan diri dan mengambil langkah seribu.Yah, kukira cukup. Ternyata dia justru masih berkeras menemuiku."Lo balik aja sana ke kelas lo." Suaraku serak, sulit berkata ketus atau berusaha menariknya keluar kelas. Seluruh tubuh rasanya remuk gara-gara minuman laknat yang bisa saja menjerumuskan semalam."Gue kan lagi datengin Akang Aksa tersayang."Aku berdecak setelah mendengarkan kalimatnya yang dibuat-buat manja dan memalingkan wajah ke arah sebaliknya. "Jijik.""Akang Aksa ...."Kedua tanganku sudah menutupi telinga. Berasa ada yang merapat di kursiku. Kebiasaan. Ini cewek enggak tahu malu atau apa, sih?"Bantuin gue dong, Sa." Jemari lembut itu mengerat di lenganku, menarik-narik hingga kuhempaskan ke udara."Kagak.""Bubur ayam, deh. Mau, ya."Berani membujuk Aksa Bagaskara?Dengkus terdengar dari rongga hidungku. Kalau enggak kepepet kayak sebelumnya, enggak mungkin aku turutin. Permintaan Sara kadang aneh. Terakhir aja sampai berujung pada pengakuannya soal kami pacaran, yang jelas, "Kagak.""Pesenan lo." Si tukang beli ternyata balik dan meletakkan kotak makan di meja tepat saat aku mengangkat kepala.Kuangkat tempat dari stirofoam itu sambil mengangguk pada Sara dan segera berdiri, melompati tempat duduknya. "Sudah, kan?" Posisi mejaku yang terbatas jendela kaca tidak memungkinkan kabur selain melewatinya."Ih, Aksa. Gue cuciin baju lo lagi, deh!"Teriakannya justru mempercepat langkahku. Apalagi selentingan ucapan dari siswa sekelas yang bertanya, "Sara nyuciin baju Aksa?""Iya, dong. Kita kan tinggal bareng." Pede banget dia ngejawab kayak gitu? "Aksa! Tungguin gue!"***Setelah menandaskan bubur ayam, kutumpuk kotak sisanya di antara kotak lain yang lebih dulu mepet dinding di antara bangunan belum selesai. Hanya beberapa bangku panjang yang tersedia buat tempat duduk, itu pun terbatas sekat dinding batako yang belum diplester. Sepertinya siswa lain juga rajin mampir. Beberapa puntung rokok tampaknya dibuang asal, bahkan baranya masih ada yang menyala.Suara jejak berhenti di ujung jalan masuk, disusul tumpukan kayu berjatuhan.Aku segera berdiri, melangkah perlahan mendekati asal suara. Dari bayang yang terlihat, boleh jadi aku menebak si pemilik rambut panjang. Gadis itu selalu terlihat feminin di sekolah. Sayang, teriakan maupun manjanya langsung menghancurkan ekspektasi yang sempat terbangun di awal jumpa.Kusandarkan punggung pada dinding yang membatasi kami sambil menyalakan sebatang candu dari kotak dalam saku celana di sudut bibir. Asapnya mengepul saat tiupan pertama. "Rajin banget ngikutin gue!"Hitungan detik dari bibirku tak terjawab sampai kusadari dia berada di sisi dan berkata, "Abisnya, lo doang yang enggak ngeliat gue.""Cari perhatian?" Gelak lolos dari bibirku, memikirkan ulang jawabannya. Apa ini kisah fiksi yang selalu didengungkan pengagum sastra dalam majalah dinding sekolah? Kisah cewek cantik yang mengejar cowok cuek? "Lo terlalu banyak teracuni cerita cowok cool kayaknya.""Yakin lo cukup dingin buat dikejar kayak dalam cerita?""Siapa tau?"Sara sepertinya menertawakan anggapanku. Dia sampai menutup mulut dengan tangan kirinya sebelum menyodorkan botol minuman yang langsung kusambut.Detik berikutnya, keheningan kembali menyapa. Hanya ada embusan asap yang beberapa kali keluar dari bibirku, dan tatapan mirisnya."Banyak kok yang merhatiin gue. Banyak banget, tapi mereka cuma liat gue dari jauh." Dia lebih dulu memulai pembicaraan, meraih atensiku sampai perlu menoleh, mendengarkannya sejelas mungkin. "Apa gue terlalu terang ampe lo enggak liat gue?""Lo kata bola lampu?" Tawa kembali menguar. Aku bahkan tak mampu menelan air yang baru masuk rongga mulut. Sial! Kenapa pikiran malah meleng ke lampu?"Ternyata lo mikir gitu juga." Sara menunduk. Ucapannya terdengar lirih. Ujung sepatunya terlihat mengetuk lantai semen.Sontak aku diam, berpikir ulang tentang hal serupa dalam keadaan masih berusaha menelan air sampai menembus kerongkongan. Jauh lebih lega."Matahari juga cuma bisa kasih manfaat dari jauh. Coba aja lo deketin. Enggak bakal cuma gosong doang.""Yang ada kebakar, Aksa.""Sama kayak gue.""Maksud lo?""Kamu apaan, sih? Kasihan tuh Lingga-nya." Si tante membela, pasang badan dengan memelukku setelah suaminya datang memberi pukulan di tengah pusat perbelanjaan. Sebenarnya nggak perlu. Bisa aja kubalas balik. Kubersihkan darah yang merembes di sudut bibir saat bangkit menghadapi pria tua yang masih geram. Terutama karena wanitanya menangis untukku. "Sakit, Sayang?" Ih, geli dengernya. Aku ngegeleng, nepis tangannya yang berusaha ngebantu berdiri. Kuhampiri pria tua itu dan memberinya pukulan telak di ulu hati hingga tak mampu berdiri. Aku berjongkok dan berteriak di telinganya, "Om mau saya nggak deketin istri Om lagi? Makanya punya duit tuh gunain! Oplas, kek! Besarin, kek! Bego amat nyalahin orang lain cuma gara-gara
"Gue yatim. Ambu meninggal waktu gue mau lulus sekolah dasar. Gue tau kalau gue masih punya abah, tapi enggak ngerti nyarinya gimana." "Mereka bilang bakal bantu. Bantu gimana? Mereka cuma bikin gue jadi penghasil duit doang." Enggak ngerti kenapa aku bisa cerita. Enggak ngerti kenapa aku bisa bicarakan. Yang kuingat, kepalaku sangat sakit saat terbangun di kamar kos. Lenganku terasa berat. Enggak bisa diangkat. Enggak dimutilasi dadakan, kan? Kali aja enggak sadar bikin orang lain manfaatin. Terus organ dalem pada dijualin. Eh, tapi langit-langit di atas beneran kamar kosku. "Bener?" Aku memastikan sekeliling begitu mata udah bisa diajak melek. Lengan kiriku berat bukan karena dimutilasi, tapi si cewek kepo yang ternyata ikutan tidur. Eh, tunggu. Enggak dipersoka, kan?
"Lo ngapain, Bege!" Kutarik Nabas dari kerumunan. Jariku yang bebas seolah menghitung. Mungkin ini yang ke tujuh atau delapan kali ngebawa Nabas ikut denganku. Sepertinya mudah sekali untuknya naik sebagai Casanova dalam pekerjaan ini. Iri? Enggak. Aku malah kasihan kalau dia tenggelam. "Berapa kali sih lo nggak berakhir ngesek?" Aku mencercanya begitu keluar dari ruangan yang enggak lebih seperti pesta seks liar. Kaget juga karena ternyata Nyonya justru mengarahkan kami ke acara laknat. "Kenapa? Lo enggak bisa? Lo impoten? Atau lo homo?" Aku mengulum bibir, memainkan lidah dalam rongga, sekadar menahan ucapan selama Nabas menyelesaikan celaan sambil tertawa. Kepalan di sisi tubuh sudah mengeras sempurna, menunggu dilontarkan. "Selesai?" Nabas enggak ngejawab. Mata merahnya terlalu fokus untuk membenciku. Aku meregangkan kep
"Terima, kan?" Pertanyaan terakhir yang kudengar dari salah satu siswa menjadi pusat perhatian saat melintasi keramaian di pinggir lapangan ketika aku ingin ke toilet. Bisa kulihat cewek yang menjadi target memegang buket mawar besar. Dia menerima rangkaian bunga berikut beberapa kotak hadiah yang tidak bisa dipegang sendiri.Ngapain aku ikut nontonin mereka juga? Goblok banget, sih!"Aih, remaja sekarang. Apa enggak bisa cari tempat nembak yang lebih enak?" Aku menghela napas sambil memainkan lidah dalam rongga mulut. Asam. Melihat mereka di sana, terasa ada yang mengganjal, seolah menonjok di pangkal perut.Sialan! Ngapain juga kesel melihat acara sepasang manusia itu? Cewek itu sempat menoleh ke arahku. Tanpa peduli, kupercepat langkah yang sempat terhenti. Kedua tangan kumasukkan dalam saku untuk menghalau dingin yang mendadak datang merambati kulit. "Enggak penting banget!" gelengku sembari menuju toilet siswa.Begitu pintu toilet ditutup, aku duduk di kloset. Bukan buat buan
"Aksa, kan?" Kea langsung menyapa ketika duduk di sampingku. Pacarnya Nabas itu ikut menonton dan mengambil kacang dari toples yang kupegang. "Rajin mampir sekarang?" tanya Kea lagi sambil melepas ikatan rambutnya untuk dirapikan. Aku mengangguk, merebut remote dari atas meja lebih dulu sebelum Kea ngambil. "Jangan diganti." Enggak ada sofa di rumah Nabas. Cuma duduk lesehan sambil bersandar di dinding. Lantainya keramik, dingin. "Apaan? Sudah besar masih nonton film berantem," gerutu Kea. Dia mungkin bosan sampai memilih memainkan ponselnya sambil menunggu Nabas keluar. "Kamen rider. Yang ini punya Indo." Pacar Nabas menggumam, tidak tertarik. Kalau aku lama enggak nonton tayangan gini. Punya ponsel bisa aja streaming. Males doang ngehabisin kuota. "Nah, lo ngapain ke sini?" "Males di kos." "Lo ngekos?" Kea takjub mendengar jawabanku. Dia bilang, "Bapak enggak suka kalau gue enggak bisa diawasin." Tawa lolos dari mulutku, "Zaman gini? Lo pernah ngelanggar aturan kali sampa
"Kak Aksa enggak beneran sama Sara, kan?" Kedua tanganku terasa kebas, bersembunyi di belakang tubuh. Sengaja. Biar enggak gampang mukul. Cewek di depanku ini sepertinya belum menyerah. Enggak ngerti dari mana dia bisa tahu kalau aku lagi enggak berada di dalam area sekolah. Dia malah sengaja duduk di seberang meja. "Elo ngapain ngikutin gue?" Kinar namanya. Dia sempat kulihat akrab dengan Sara dulu. Terus, aku enggak tahu masalah mereka sampai enggak bertegur sapa seolah enggak kenal. "Kakak tuh jadi sosok idaman tau buat cewek-cewek di sekolah." "Oh, ya?" Aku menahan raut datar seraya menyedotvanilla milkshakedari atas meja tanpa mengangkat gelas. Lumayan. Enggak terlalu manis. Biasanya aku pesan kopi atau semacamnya. "Kakak tuh pakai apa aja selalu keren."
"Gue harus bilang berapa kali kalau gue enggak pacaran, Njing! Beraninya keroyokan." Sekali lagi tendangan mencapai perutku. Isinya terasa hampir keluar. Ketika tubuh terkulai, dua orang lagi kembali memegangiku untuk tetap berdiri. "Elo rangkul-rangkulan sama Sara di depan kelas sebelas? Bukan pacaran?" Aku menertawakan alibinya. "Gue enggak pernah bilang pacaran. Emang harus ngegebet dulu baru boleh megang? Siapa sih dia?" Si pemukul meludah. Hampir mengenaiku jika tidak berusaha menghindar. "Sara milik publik. Enggak boleh jadian sama siapa pun." Sumpah. Aku jadi tergelak, enggak peduli dengan nyeri yang mereka beri. "Temen lo yang pake nembak itu gimana kabarnya? Diterima? Milik publik apaan? Jangan-jangan lo ditolak juga." Kukira, naik kelas dua belas itu enggak bakal ada yang ngerundunglagi. Ternyata adik kelas zaman sekarang
Tanganku terdiam pada batas rok kelabu di paha mulusnya, mengetuk jari bergantian di sana. Wajahku mundur, menjaga jarak sambil memandangi raut Sara yang terpejam. Lucu juga. "Aksa?" Panggilan darinya kembali terdengar dalam nada manja tanpa membuka mata. Aku menggeleng, tepiskan tawa yang sempat terbit. "Gue masih di sini." "Ngapain?" Mata kelam Sara terbuka, kembali tunjukkan binarnya. "Liatin muka lo yang enggak sabaran," ucapku datar, embuskan napas di permukaan pipinya tanpa lekatan. "Apaan sih, Sa?" Suara Sara terdengar serak. Kelopak mata kelam itu berkedip lambat seiring desah yang tercipta karena belaian jemariku pada benda di balik rok kelabunya. "Kenapa?" "Lo beda kalau dari dekat gini." Lengan Sara yang menggantung di leherku mulai turun. Kulirik jari-jari lentik berhiaskan pewarna kuku itu bergerak di sepanjang garis kancing seragamku. "Biasa juga lo udah sering liat gue dari dekat." Getaran berbeda seolah menyengat permukaan kulit ketika sentuhannya membelai
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la