"Beneran enggak mau? Ferrari loh, Ga."
Aku menggeleng sambil membolak-balik majalah yang isinya enggak jauh-jauh dari permainan warna di permukaan wajah. Sebenarnya menunggu pelanggan nyalon sangat membosankan, tapi dia betah minta kutemenin, gimana?
Dibayar cuma buat jadi teman bicara.
Enggak tahu udah berapa kali dia mesen jalan denganku melalui Nyonya. Pakai nawarin kasih mobil asalkan mau jadi piaraannya dia, tapi rasanya ... enggak ah.
Ogah!
Mikir kudu satu ranjang sama wanita yang rajin banget ganti warna rambut itu membuatku bergidik ngeri. Tampilan luar bisa mengelabui, tapi buat melakukan hal yang melibatkan rasa ... aku harus berkali-kali mikir.
Kuperhatikan lagi wanita yang masih berkutat di depan cermin setelah penata rambut yang bertugas keluar dari ruangan. Modelnya sama aja kayak yang sebelumnya.
Kadang mikir gini, "Buat apa sih cewek mesti mahal ke salon kalau hasilnya enggak jauh beda?" Aku ke tukang cukur depan kos bayar ceban udah ganti model.
"Beneran enggak mau? Padahal ikhlas, loh."
Aku menahan gelak karena tawarannya masih belum juga berhenti. Sumpah? Ikhlas?
Kebanyakan wanita berduit ini punya tubuh seksi, wajah cantik, dan kartu kredit unlimited. Kadang aku kebagian satu. Cuma kalau tujuannya ranjang, yah balikin lagi.
Aku enggak terlalu minat urusan mandi kucing. Biar banyak yang bilang enak atau aman, belum kepengin nyobain hal begituan. Bisa dibilang aku masih ... kayaknya enggak perlu bicarain itu.
"Lingga abis ini mau ke mana?" Si tante sudah selesai ketika menyingkirkan majalah dari tanganku. Padahal isi dari jauh lebih enak dilihat daripada penampilan nyentriknya.
"Ngikut aja, Sayang." Aku segera berdiri ketika dia memilih melingkarkan lengan pada pinggangku dan bersandar di bahu sepanjang perjalanan melintasi deret pertokoan.
Malu? Enggak. Buat apa? Yang penting dibayar.
Katanya, sih, "Lingga selalu wangi. Pakai parfum apa?"
Aku sendiri masih geli dengan kalimat manjanya. Sama seperti pelanggan yang lain, merasa asing. Cuma sudah enggak ragu lagi ketika harus memberanikan tangan merangkul bahunya. Sudah jadi bagian dari pekerjaan yang wajib dilakukan.
"Memang mau beliin kalau dikasih tau?"
Si tante mengangguk. Sesekali jemariku menyisir helai rambutnya yang kali ini berwarna, "Dark magenta?"
"Orchid, Lingga!"
"Oh? Mirip, sih."
Manja. Kayak sepasang kekasih, tapi bukan. Terkadang penasaran, apa sebab mereka yang katanya kaya sebagai patokan bahagia buat sebagian besar kalanganku justru perlu membayar untuk tawa palsu?
Entahlah.
Peduli amat sama tatapan aneh tiap orang yang sesekali terlihat melirikku. Sudah kebal. Anggap aja orang lain cuma makhluk halus numpang lewat.
"Sudah makan?"
"Sudah tadi, Tan."
Pengen bilang setan sambil ketawa. Suaranya yang manja di dekat daun telinga bikin aku merinding geli. Bukan karena terangsang napasnya menyentuh kulit, tapi jijik.
Langkah kami sempat berhenti saat si tante menerima panggilan dari ponselnya. Basa-basi yang terdengar cenderung basi buatku. Ucapan manja yang sama berputar pada lokasi keberadaan dan makanan.
Enggak ada bahasan lain?
"Bawa pulang aja, mau?" tawarnya setelah memasukkan ponsel dalam tas tangan mahal dari kulit yang harganya mungkin dua atau tiga kali lipat dari tarifku sekali jalan.
"Boleh?"
"Lingga sukanya makanan apa?"
Pernah diajakin makan sushi, tapi amis. Pernah juga makan kimchi, asem kayak basi. Makan steak malah dapetnya enggak mateng.
Udahlah, lidah lokal aja macem lalapan. Seger. Kalau enggak nemu yah ayam goreng tepung lagi.
Ini namanya cari bahan pembicaraan aja sepanjang melintasi pertokoan dalam mal yang kami sambangi. Ujung-ujungnya milih fast food. Apalagi kalau enggak ayam goreng. Lagi enggak pengin makanan aneh-aneh yang kadang bikin nahan muntah.
Setelah puas berkeliling dan memamerkanku pada teman-teman arisan si tante, kami berpisah di area parkir dengan banyak tas belanja di tangan, termasuk bayaran lunas. Kebayang aja gimana arisan di ruang indoor dan tertutup.
Ternyata bayaranku ditambah pada sesi menggoda para wanita dewasa yang histeris saat kaus dibuka. Disuruh berlagak kayak peragaan busana tanpa atasan, menunjukkan setiap padatan yang mereka sebut otot. Lalu di-grepe-grepe sepanjang dada, bahkan pada bagian yang masih tertutup celana.
Gimana kalau buka semuanya?
Aku sering ditawarin Nyonya buat melayani gairah dengan bayaran tujuh digit nol, tapi ogah. Ketemu peluk cium aja ngerasa aneh, apalagi kalau sampai main kuda-kudaan.
Pelanggan ini emang royal banget. Tas belanja juga udah banyak, dari baju sampai makanan ada. Enggak bawa kendaraan aja lagi. Akhirnya pesan ojek online.
"Aksa!"
Langkahku berhenti seketika. Suara yang memanggil terdengar familier, tapi ada yang kenal, ya?
Syukur manggilnya pas sudah jauh dari si tante genit. Kalau pelanggan yang itu tahu nama asliku, mungkin bakal nambah lagi daftar cewek rese dalam catatan.
Nama asli pekerja sepertiku harus dirahasiakan. Siapa tahu dapet pelanggan gila yang ngejar sampai perkarain ke ranah hukum atau mungkin main santet.
Pas berbalik mencari asal suara, si cowok sipit yang menghampiri. Dia enggak canggung menepuk pundakku.
"Bas?"
Seingatku namanya Nabastala. Lebih tinggi dariku. Kalau enggak salah, ya. Kelasnya di sekolah itu dari ujung ke ujung kalau menuju kelasku.
Nabastala bertanya lebih dulu, "Lagi ngapain?"
"Abis beli makan. Lo?" Kunaikkan salah satu tas belanja sampai ke depan wajahnya. Wangi ayam goreng dari franchise emang beda sama pinggir jalan, tapi harganya enggak ngenyangin.
"Nyariin Kea. Ngajak ketemuan, doi."
Aku mengangguk, mengerti. Ah, ternyata sudah punya pacar. Dia menepuk pundak lagi sebelum berpamitan dan lebih dulu pergi menuju pintu pembatas parkiran dan mal.
Cowok itu pernah ngelaporin senior kelas yang mukulin aku di area sekolah. Intinya, jadi saksi. Yah gimana? Aku dikeroyok, jelas aja babak belur.
Masalahnya sederhana. Cowok cool banyak yang naksir. Itu sih kata Sara. Padahal aku udah diem-diem aja di sekolah. Enggak cari masalah. Enggak cari keributan. Enggak cari teman, apalagi musuh.
Nyonya bilang, "Gue sekolahin lo di situ biar dapet ijazah. Bukan ngerusakin aset."
Aset?
Rasanya mengingat tubuhku adalah aset menguntungkan, bukanlah hal menyenangkan. Yah, biarpun enggak diajak tidur. Aku cukup mahal, kok. Malah takut kalau dipakai naik ranjang malah bikin turun pasaran. Enggak punya pengalaman.
***
"Aksa! Gue bawain cucian lo!"
Lagi sit up, malah direcokin. Desah kasar lolos dari bibir karena terpaksa harus bangun. Padahal tinggal empat hitungan lagi nyampe lima puluh. Nanggung.
"Masuk!" Pintu kubuka, ngebiarin cewek rese itu menyelisik ruangan.
Bisa kulihat Sara berusaha ngangkat keranjang berisi pakaian dalam lipatan yang rapi sampai ngebungkuk.
Berat kali, ya.
"Nih! Bersih, rapi, dan wangi. Lain kali kalau bisa yah bayar. Kontan."
Aku mendekat hingga wajahnya tepat berada di bawah daguku. Kali dia ngabur abis cium bau keringat. "Bayar pakai apaan?"
"Itu ... lo kan ...."
Aku enggak ngebalas perkataannya ketika memindahkan keranjang ke dekat lemari. Cuma ngecek sambil mindahin isinya satu per satu.
Sampai selesai pun, Sara masih terdiam berdiri di samping pintu keluar.
"Nunggu apa lagi?"
Netra lebarnya seolah membulat sempurna ketika aku mendekat. Dia mundur. Punggungnya menabrak dinding di samping pintu keluar yang terbuka.
"Lain kali pa-pakai baju se-sebelum bukain pintu."
"Enggak boleh? Ini kan kamar gue." Aku menumpu kedua tangan pada dinding di sisi Sara.
Bisa kulihat dia mengerjap beberapa kali, bahkan menutup mata saat aku mendekatkan wajah ke sisinya.
"Keluar dari kamar gue. Sekarang. Atau ...."
"A-atau a-pa?" Sara merendahkan suara. Kedua tangannya terlihat mengepal di sisi tubuh saat ujung hidungku menyentuh ujung hidungnya.
"Menurut lo? Gue bisa apa dalam satu ruangan sama lo? Per-gi." Kutekankan kata terakhir hingga Sara membuka mata.
"Aksa! Lo mau nitip?" tanya cewek yang sempat lewat sisi meja. Aku lupa namanya kalau enggak nemu penanda di seragam, soalnya belum ganti kaus olahraga. Aku juga, sih. Belum ganti.Bersyukurnya masuk kelas Bahasa, mereka enggak lihat penampilanku sebagai patokan femes. Namun, suasana saat keluar kelas yang justru membuatku jarang melintasi koridor saat jam istirahat. Terlalu ramai. Belum lagi kehebohan karena aku siswa baru di semester awal kelas dua. Cowok yang dianggap cakep karena punya muka blasteran Arab biarpun enggak ada keturunan sana. Pede? Enggak. Bukan aku yang bilang, tapi para seleb dadakan yang sandaran di daun pintu setiap jamkos atau istirahat. Mereka selalu punya gosip kekinian yang pastinya terdengar sampai tempatku duduk. Abaikan. Kuangsur lembaran merah muda dari hasil semalam berpesta sampai menjelang terang ke cewek yang menunggu dengan telapak tangan terbuka. "Beliin yang bikin kenyang. Lo pilih satu juga. Jangan lupa air botolan." Hangover membuatku enggak
"Kamu apaan, sih? Kasihan tuh Lingga-nya." Si tante membela, pasang badan dengan memelukku setelah suaminya datang memberi pukulan di tengah pusat perbelanjaan. Sebenarnya nggak perlu. Bisa aja kubalas balik. Kubersihkan darah yang merembes di sudut bibir saat bangkit menghadapi pria tua yang masih geram. Terutama karena wanitanya menangis untukku. "Sakit, Sayang?" Ih, geli dengernya. Aku ngegeleng, nepis tangannya yang berusaha ngebantu berdiri. Kuhampiri pria tua itu dan memberinya pukulan telak di ulu hati hingga tak mampu berdiri. Aku berjongkok dan berteriak di telinganya, "Om mau saya nggak deketin istri Om lagi? Makanya punya duit tuh gunain! Oplas, kek! Besarin, kek! Bego amat nyalahin orang lain cuma gara-gara
"Gue yatim. Ambu meninggal waktu gue mau lulus sekolah dasar. Gue tau kalau gue masih punya abah, tapi enggak ngerti nyarinya gimana." "Mereka bilang bakal bantu. Bantu gimana? Mereka cuma bikin gue jadi penghasil duit doang." Enggak ngerti kenapa aku bisa cerita. Enggak ngerti kenapa aku bisa bicarakan. Yang kuingat, kepalaku sangat sakit saat terbangun di kamar kos. Lenganku terasa berat. Enggak bisa diangkat. Enggak dimutilasi dadakan, kan? Kali aja enggak sadar bikin orang lain manfaatin. Terus organ dalem pada dijualin. Eh, tapi langit-langit di atas beneran kamar kosku. "Bener?" Aku memastikan sekeliling begitu mata udah bisa diajak melek. Lengan kiriku berat bukan karena dimutilasi, tapi si cewek kepo yang ternyata ikutan tidur. Eh, tunggu. Enggak dipersoka, kan?
"Lo ngapain, Bege!" Kutarik Nabas dari kerumunan. Jariku yang bebas seolah menghitung. Mungkin ini yang ke tujuh atau delapan kali ngebawa Nabas ikut denganku. Sepertinya mudah sekali untuknya naik sebagai Casanova dalam pekerjaan ini. Iri? Enggak. Aku malah kasihan kalau dia tenggelam. "Berapa kali sih lo nggak berakhir ngesek?" Aku mencercanya begitu keluar dari ruangan yang enggak lebih seperti pesta seks liar. Kaget juga karena ternyata Nyonya justru mengarahkan kami ke acara laknat. "Kenapa? Lo enggak bisa? Lo impoten? Atau lo homo?" Aku mengulum bibir, memainkan lidah dalam rongga, sekadar menahan ucapan selama Nabas menyelesaikan celaan sambil tertawa. Kepalan di sisi tubuh sudah mengeras sempurna, menunggu dilontarkan. "Selesai?" Nabas enggak ngejawab. Mata merahnya terlalu fokus untuk membenciku. Aku meregangkan kep
"Terima, kan?" Pertanyaan terakhir yang kudengar dari salah satu siswa menjadi pusat perhatian saat melintasi keramaian di pinggir lapangan ketika aku ingin ke toilet. Bisa kulihat cewek yang menjadi target memegang buket mawar besar. Dia menerima rangkaian bunga berikut beberapa kotak hadiah yang tidak bisa dipegang sendiri.Ngapain aku ikut nontonin mereka juga? Goblok banget, sih!"Aih, remaja sekarang. Apa enggak bisa cari tempat nembak yang lebih enak?" Aku menghela napas sambil memainkan lidah dalam rongga mulut. Asam. Melihat mereka di sana, terasa ada yang mengganjal, seolah menonjok di pangkal perut.Sialan! Ngapain juga kesel melihat acara sepasang manusia itu? Cewek itu sempat menoleh ke arahku. Tanpa peduli, kupercepat langkah yang sempat terhenti. Kedua tangan kumasukkan dalam saku untuk menghalau dingin yang mendadak datang merambati kulit. "Enggak penting banget!" gelengku sembari menuju toilet siswa.Begitu pintu toilet ditutup, aku duduk di kloset. Bukan buat buan
"Aksa, kan?" Kea langsung menyapa ketika duduk di sampingku. Pacarnya Nabas itu ikut menonton dan mengambil kacang dari toples yang kupegang. "Rajin mampir sekarang?" tanya Kea lagi sambil melepas ikatan rambutnya untuk dirapikan. Aku mengangguk, merebut remote dari atas meja lebih dulu sebelum Kea ngambil. "Jangan diganti." Enggak ada sofa di rumah Nabas. Cuma duduk lesehan sambil bersandar di dinding. Lantainya keramik, dingin. "Apaan? Sudah besar masih nonton film berantem," gerutu Kea. Dia mungkin bosan sampai memilih memainkan ponselnya sambil menunggu Nabas keluar. "Kamen rider. Yang ini punya Indo." Pacar Nabas menggumam, tidak tertarik. Kalau aku lama enggak nonton tayangan gini. Punya ponsel bisa aja streaming. Males doang ngehabisin kuota. "Nah, lo ngapain ke sini?" "Males di kos." "Lo ngekos?" Kea takjub mendengar jawabanku. Dia bilang, "Bapak enggak suka kalau gue enggak bisa diawasin." Tawa lolos dari mulutku, "Zaman gini? Lo pernah ngelanggar aturan kali sampa
"Kak Aksa enggak beneran sama Sara, kan?" Kedua tanganku terasa kebas, bersembunyi di belakang tubuh. Sengaja. Biar enggak gampang mukul. Cewek di depanku ini sepertinya belum menyerah. Enggak ngerti dari mana dia bisa tahu kalau aku lagi enggak berada di dalam area sekolah. Dia malah sengaja duduk di seberang meja. "Elo ngapain ngikutin gue?" Kinar namanya. Dia sempat kulihat akrab dengan Sara dulu. Terus, aku enggak tahu masalah mereka sampai enggak bertegur sapa seolah enggak kenal. "Kakak tuh jadi sosok idaman tau buat cewek-cewek di sekolah." "Oh, ya?" Aku menahan raut datar seraya menyedotvanilla milkshakedari atas meja tanpa mengangkat gelas. Lumayan. Enggak terlalu manis. Biasanya aku pesan kopi atau semacamnya. "Kakak tuh pakai apa aja selalu keren."
"Gue harus bilang berapa kali kalau gue enggak pacaran, Njing! Beraninya keroyokan." Sekali lagi tendangan mencapai perutku. Isinya terasa hampir keluar. Ketika tubuh terkulai, dua orang lagi kembali memegangiku untuk tetap berdiri. "Elo rangkul-rangkulan sama Sara di depan kelas sebelas? Bukan pacaran?" Aku menertawakan alibinya. "Gue enggak pernah bilang pacaran. Emang harus ngegebet dulu baru boleh megang? Siapa sih dia?" Si pemukul meludah. Hampir mengenaiku jika tidak berusaha menghindar. "Sara milik publik. Enggak boleh jadian sama siapa pun." Sumpah. Aku jadi tergelak, enggak peduli dengan nyeri yang mereka beri. "Temen lo yang pake nembak itu gimana kabarnya? Diterima? Milik publik apaan? Jangan-jangan lo ditolak juga." Kukira, naik kelas dua belas itu enggak bakal ada yang ngerundunglagi. Ternyata adik kelas zaman sekarang
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la