KECEPLOSAN!
"Sudah semua, Pak. Saya sudah melampirkan semuanya pada proposal yang ada di menja, Bapak. Jumlah investasi proporsi kemajuan dan pembagian hasil semua sesuai dengan praktik perusahaan sebelumnya, PT. Hadinata Wijaya sebagi investor utama tander ini juga sudah sepakat. Bahkan mereka juga memberikan tambahan enam bulan pada waktu pengembangan resep dan hak patennya," jelas Aruna. Pak Hendra nampak membolak balik proposal yang ada di hadapannya."Apakah Pak Hendra masih belum puas dengan kinerja saya?" tanya Aruna melihat Pak Hendra masih sibuk seperti tak yakin melihat proposal nya."Bukannya aku tidak puas, Aruna, Arumi. Tapi aku ingin bertanya padamu, Aruna. Sebenarnya Pak Dion sebagai pemilik dan presiden direktur PT Hadinata Wijaya ini sebnarnya berinvestasi kepada CV kita atau kepadamu secara pribadi?" tanya Pak Hendra."Hah? Apakah berbeda?" tanya Aruna yang heran mendapati Pak Hendro mencari alasan dan kesalahannya."Tentu saja berbeda. KalLAPANGAN GOLF!"Kau benar- benar harus berterima kasih pada Rendi," sambungnya."Rendi?" sahut Aruna."Ya jelas! Aku juga ingin lihat apa yang bisa kau lakukan jika tidak ada Rendi selama ini. Kau harus banyak bersyukur memiliki lelaki paling mengerti seperti dia," ucap Arumi."Hahah, kau salah paham! Sebenrnya bukan dia yang menjaga Bima selama ini," sahut Aruna refleks."Hah? Bukan Rendi? Lalu siapa?" tanya Arumi. 'Glek' Aruna menyadarii kecerobohannya. Arumi langsung mendekati Aruna, seolah mengintimidasi. Aruna nampak salah tingkah. Apakah ini saatnya jujur pada sahabatnya itu tentang Dion yang selama beberapa minggu belakangan ini tinggal bersamanya? Dia pun langsung menggelengkan kepalanya. Tidak boleh seorang pun tahu keberadaan Dion. "Hehe ya, Rendi! Benar," ucap Aruna."Nah, maka dari itu kau izin saja untuk kali ini. Ajaklah Bima pergi bermain seharian! Kasihan anak itu, kalau tidak maka aku akan mendaftar sebagai ibu angkatnya saja!
SHEILA DAN ELABARA! PASANGAN BUSUK!"Apa sebenarnya kekurangan dari teknologi scraining cancer? Rumah sakit itu sudah 80% dan menjanjikan keuntungan kurang dari beberapa bulan saja. Apa yang membuatmu menolak tawaran ini? Mengapa proyek semenguntungkan ini bisa tak kau lirik? Apa yang melatar belakangimu mempertahankan proyek Lisensi rumah sakit jantung yang pembangunannya masih di bawah 60%?" cerca Sheila."Apa karena, Aruna? Benar kan? Hanya itu lah penyebab kau tak melirik PT Gold untuk bekerja sama pada rumah sakit Scraining cancer yang sudah kita gagas. Bukankah begitu? Ck! Aku tak menyangka peluang dengan keuntungan semenarik dan semenggiurkan ini bisa sampai gagal menarik perhatianmu!" ejeknya.Kanker merupakan salah satu penyakit berbahaya. Karena pada stadium awal, kanker umumnya tidak bergejala sehingga sulit terdeteksi. Oleh karena itu, deteksi kanker sejak dini sangatlah penting agar penanganan dapat segera dilakukan dan peluang sembuh pun semakin tingg
CEKREK"Apakah itu tandanya karena Aruna? Ah saya sudah menduganya," ujar Sheila lirih."Hahaha! Pikiranmu terlalu picik dan berorientasi pada keuntungan serta uang. Asal kau tahu saja, prinsip pengembangan teknologi medis adalah untuk melayani masyarakat. Jika orang yang mengembangkan teknologi tersebut memiliki niat yang buruk, tidak tulus, profit oriented, meski dia menguasai teknologi tercanggih sekalipun, itu juga tidak dapat di pastikan akan menguntungkan orang lain. Jadi sudah jelas kan sampai sini? Ini bukan masalah Aruna, bukan tentang wanita, ini sudah berhubung prinsip dasar kita dalam berbisnis. Kita tidak cocok," jelas Dion."Aku tidak akan memaksa lagi," ujar Elbara."Dion! Kau memang menang kali ini," ucap Elbara langsung pergi meninggalkan semua orang yang ada di sana.Sheila hanya terdiam sambil mengikuti langkah kaki Elbara. Dia harus segera menyusul atasan sekaligus sugar daddy nya itu. Karena tak mau pekerjaannya sebagai sekertaris sekal
RENDI MR. PERFEKSIONIS!'Tring' Tring' satu panggilan masuk video call di HP Dion. Itu adalah panggilan dari Bima. Memang semenjak Dion membelikan HP untuk Bima, anak itu bisa melakukan panggilan Video call langsung padanya setiap waktu. Dan Dion pun memprioitaskan panggilan Bima di atas segalanya. Dion pun segera menggeser layar Hp itu ke atas, untuk menerima panggilan masuk di hp-nya itu."Halo, Sayang!" sapa Dion.Bima tak menjawab, dia masih asik bermain mesin capit dengan hadiah boneka. Dion mendengarkan Bima yang nampaknya belum menyadari jika panggilannya sudah di angkat olehnya. Nampak HP itu menyorot wajah Aruna dari samping. Hendi langsung menoleh dan memperhatikannya.'Cekrek' dengan gesit dan tanpa Dion sadari, Hendi mengambil foto itu dan mengirimkannya pada seseorang."Ibu! Lihat! Aku hampir mendapatkannya," teriak Bima."Ah gagal lagi," sahut Aruna."Halo Ayah Baik! Lihatlah Ayah Baik aku sedang bermain capit boneka! Namun aku dan Ibu sama- sama belum bisa mendapatkan
TIGA BALON!"Apakah kau tahu apa tiga profesi paling memahami tentang ukuran? Perama dokter, kedua pelukis, lalu satunya lagi dokter forensik!" jawab Rendi. Selly cemberut sambil menghela napasnya panjang, dia mengira kalau Rendi memang memperhatikannya. Namun ternyata memang sudah profesinya. Rendi pun mencoba mengelilingi toko baju itu, dia pun segera mengambilkan sebuah baju cantik berwarna pink nude."Selly, lihatlah ini! Bagaimana dengan yang ini? Aku rasa baju yang ini cukup bagus kan?" tanya Rendi mengambilkan baju setelan rok pendek yang simpel dan elegan."Kenapa tidak yang ini saja?" tanya Selly mengambil satu baju berwarna merah."Lihat dan perhatikan, dari potongannya terlalu panjang itu akan membuatmu menjadi terlihat lebih pendek," ujar Rendi."Oh ini tidak boleh terjadi. Aku tak mau terlihat lebih pendek, benar -benar tidak boleh," kata Selly lagi mengembalikan baju itu."Ini saja, warna dan model pakaian yang ini bagus kan?" tanya Rendi sambil menunjukkan satu buah b
GULALI TANDA CINTA?"Hhaha, sekarang kau bisa lihat kan Bima? Masih ada yang lebih hebat dari Ibumu," ucap Dion meledek Arunan. Bima pun menganggukkan kepalanya. "Aruna, kemarilah!" perintah Dion."Tampaknya pahlawan wanita ada saatnya berada di luar kemampuannya! Bukankah kau sekarang mengakui masih butuh aku untuk mengsuh Bima bersama?" tanya Dion."Apa maksud Pak Dion? Mengasuh Bima bersama?" tanya Aruna dengan kening mengernyit heran."Memang benar mengasuh bersama menyenangkan karena Pak Dion hanya lebih tinggi dariku saja. Tapi tak berarti itu hebat," gerutu Aruna. Dion hanyatersenyum."Ayah Baik! Mari kita main tembak- tembakan, aku selalu ingin melakukannya namun Ibu tak mengizinkannya," ucap Bima."Benarkah? Mari kita ke sana, di mana tempatnya?" tanya Dion."Di sana! Di tempat itu ada permainan menembak yang berhadiah boneka dan mainan," jawab Bima."Baiklah mari kita lihat di mana kita bisa menembak balon itu!" ujar Dion menggendong Bima.Mau tak mau Aruna pun mengikuti l
DI BALIK CERITA PERMEN KAPAS BERWARNA PELANGI!"Apakah kau mau makan permen gulali, Pak Dion?" tanya Aruna."Bukankah gulali itu tanda cinta?" sahut Dion."Katanya seperti itu. Apa kau mau? Aku akan membelikannya untuk Bapak," tawar Aruna."Apakah artinya kau cinta padaku, Aruna?" tanya Dion. Aruna terkejut dengan ucapan Dion. Namun wajahnya langsung memerah."Mengapa Pak Dion ini narsis sekali? Saya menawari permen kapas, karena taman bermain dengan permen kapas adalah dua kesatuan yang tak dapat di pisahkan," ledek Aruna. Dion hanya terkekeh geli.Saat ini permen kapas tidak hanya ditemukan di stadion baseball, festival, pameran, tetapi juga dapat dibuat di rumah dengan mesin pembuat permen kapas portabel. Bahan utama permen kapas adalah gula dan, pada dasarnya, gula memerlukan pemanasan menjadi sirup dan kemudian diputar dengan cepat untuk mengubah sirup menjadi tekstur ringan dan halus yang dikenal sebagai permen kapas, suguhan manis tetap menjadi m
PAPER BAG DARI RENDI!"Bima, apakah Ibumu sehari -hari akan berdebat masalah pengetahuan tanpa mengetahui situasi dan konsisi hati?" tanya Dion."Benar, Ibu selalu seperti ini," keluh Bima."Kenapa? Kenapa kalian sekarang memprotesku! Beri lagi padaku Pak Dion, sini! Kembalikan padaku gulalinya," kata Aruna cemberut. Dion dan Bima tertawa terbahak- bahak melihat tingkah Aruna."Ibu ayok kita main bola dan beli coklat sebelum pulang!" ajak Bima."Ayok!" teriak Dion bersemangat. Sekarang mereka bergantian memainkan lempar bola. Bima tampak senang sekali, hal yang tak pernah di mainkannya dengan sang Ibu karena takut membahayakannya sekarang bisa di jelajahinya. Apalagi Ayah baiknya selalu memanjakannya. Semua mainan yang di inginkan selalu di izinkannya. Dan lagi, Ibunya hanya dapat cemberut namun tetap menurutinya. Mereka pun berlarian setelah puas bermain di taman bunga. Setelah puas, Bima pun mengajak pulang. Mereka pun pulang bersama, setelah tu