GENGGAMAN TANGAN ARUNA.
Dion pun cemberut karena tak bisa lagi mengelak. Apalgi saat itu, Aruna sudah menyetujui perkataan dan ide Rendi. Maka mau tak mau, Dion hanya bisa pasrah dan menyetujui rencana mereka berdua."Terserah kalian saja!" ucap Dion dengan kesal. Hendi tersenyum dan berterima kasih pada Aruna karena dia berhasil membujuk Dion untuk melakukan pemeriksaan."Ayo kita daftarkan bersama- sama," ajak Aruna."Kalian ini benar- benar ya!" keluh Dion."Ayo Hendi! Kita pergi mendaftar, aku akan menemani mu mengurus semuanya," kata Aruna."Baiklah! Ayo kita pergi, aku senang kau membantuku. Aku tak sendiri lagi, Aruna," sahutnya. Melihat ke dua orang itu pun hanya bisa duduk pasrah dan tersiam sekarang. Karena Hendi dan Aruna sudah bersatu maka di jamin akan bisa atau mampu mencegahnya. Dion pun segera membuka baju untuk berganti dengan piyama yang sudah di sediakan sekaligus melepas semua aksesoris termasuk jam tangan. Tak ada yang boleh diAKAL BULUS DION VS RENDI Dion pun memandang Aruna untuk berpamitan masuk ke dalam sana. Dion menghela nafasnya panjang. Aruna mencegah saat Dion membalikkan badannya. Aruna memegang tangan Dion dengan erat. Melihat perlakuan Aruna itu, Dion cukup kaget. Aruna menatapnya dalam- dalam."Pak Dion! Jangan banyak pikiran sebelum melakukan pemeriksaan. Bima selalu menarik tanganku agar aku memberinya energi an menenangkan jantungnya yang selalu berdetak keras dan grogi saat melakukan pemeriksaan ini. Anggap saja aku membagikannya padamu," ujar Aruna dan menggenggam tangan Dion dengan erat."Terima kasih," jawab Dion sambil menggenggam tangan Aruna kembali dan mengelusnya. Dion lalu tersenyum dan dia pun berbaring ke dalam alat CT Scan dengan perasaan yang damai. Sebelum alat itu masuk dalam tabung, Aruna mendekati Dion. Dia menatap nanar Dion, seperti melihat Bima versi dewasa. Dalam hati dia memanjatkan doa agar kedua lelaki yang di cintai dan di sayangi nya itu s
BERLINDUNG DI BALIK DINDING RUMAH SAKIT Melihat tingkah mesra Aruna tadi, Dion pun tak kehabisan akal. Dia ingin mengusir Rendi dari dalam ruangannya namun dengan cara elegan. Akhirnya Dion menemukan triknya. Dia pun langsung berpura- pura sakit kepala."Aruna," panggil Dion."Ada apa, Pak Dion?" tanya Aruna melihat Dion yang memegangi kepalanya."Pemeriksaan ini membuatku pusing," keluh Dion."Hah? Bagaimana bisa? Kenapa bisa pusing?" tanya Aruna."Apakah perlu aku panggil dokter untuk memeriksa kondisimu, Pak Dion?" tanya Aruna khawatir."Tidak, aku rasa kau tidak perlu sampai memanggil dokter. Aku hanya ingin istirahat dengan tenang," ucap Dion melirik Rendi. Aruna hanya mencebik, dia paham maksud Dion ingin mengusir Rendi secara halus. Rendi pun langsung sadar jika Dion merasa tak nyaman. Akhirnya Rendi pun berpamitan."Kalau begitu aku pamit dulu ya, Aruna. Kalau kau tetap di sini saja dan menjaga Pak Dion yang terhormat itu, aku akan
APAKAH KAU TAHU ARUNA TAK MENYUKAIMU?"Dia bilang mau menemaniku lembur, tapi mengapa justru dia menghabiskan waktunya dengan mengobrol begitu lama bersama dokter itu," gerutu Dion sambil berjalan ke taman."Tungu dokter Rendi! Tunggu," teriak Selly. Dari jauh Dion mendengar teriakan Selly. Dia mendekat, Dion kaget karena dia melihat Rendi tak bersama Aruna. Justru sekarang Dion melihat Rendi sedang berbicara dengan wanita lainnya. Karena penasaran akhirnya Dion berlindung di balik dinding dan menyimak pembicaraan Selly dan Dion."Kenaapa lagi?" tanya Rendi. Dia sebenarnya malas meladeni Selly namun sekali lagi, dia menghormati Ayahnya Selly."Aku benar -benar merasa tidak nyaman begini. Tak enak jika ada yang melihat kita sedang berdua," sambungnya."Baik, aku hanya ingin menanyakan hal yang aku pendam selama ini padamu," ucap Selly."Ada apa?" tanya Rendi."Aku ingin bertanya tentang sepatu itu," jawab Selly."Sepatu? Sepatu apa yang kau m
PENGAKUAN!"Lalu kenapa kau tidak pernah mengatakannya atau sekedar memberitahunya tentang perasaanmu pada dia?" tanya Dion. Mendengar ucapan Dion itu, Rendi langsung terdiam tak bisa menyahut. Rendi menghela nafasnya panjang. Bukannya dia tak pernah mengatakan atau sekedar mengungkapkan semua perasaannya pada Aruna. Dia sering kali memberikan kode itu, namun Aruna tak pernah menganggapnya serius. Aruna tak pernah menyadarinya, atau mungkin lebih tepatnya Aruna tak memiliki perasaan padanya."Haha. Dari diam mu itu sepertinya aku tahu satu hal. Itu karena kau tahu bukan, kalau dia tidak menyukaimu kan?" ucap Dion."Apa pedulimu? Menurutku selama aku bisa selalu berada di sisinya, Aruna pasti akan melihat kebaikan yang selalu aku lakukan untuknya. Suatu saat nanti dia tersenyum dan membuka hatinya untukku. Bukankah selama ini aku yang selalu ada untuknya? Mulai dari kehamilannya sampai dengan menangani kasus Bima. Aku tahu kau tak lupa, bahkan Bima selalu menga
ALASAN MENGHILANGNYA DION SELAMA INI Dion tersenyum dan mendekatkan wajahnya pada Aruna karena wanita itu mencoba untuk mengintip lagi. Sebenarnya Dion tahu Aruna hanya berpura- pura saja, namun dia tetap membiarkannya sambil makan coklat lagi. Dion tetap tersenyum sambil menyindir Aruna."Haha, sampai kapan kau akan berpura- pura tidur seperti itu? Actingmu sangat payah sekali! Benar juga ternyata ucapan Bima! Kau memang tidak ahli pura -pura tidur," ucap Dion. Aruna pun berpura- pura menguap dan menutup mulutnya. Dia masih terus berpura- pura untuk bangun tidur. Dion hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah Aruna. Aruna pun duduk di sofa, berhadapan dengan Dion. Dia tersenyum memandang lelaki di hadapannya sambil terus memakan coklat yang di beli oleh Aruna tadi."Memang ya ikatan darah anak dan Bapak tak bisa di pisahkan. Bima sangat suka dengan coklat itu, sama sepertimu, Pak Dion," kata Aruna."Memang salah satu genetik yang di t
SEPASANG SAHABAT YANG SAMA- SAMA JATUH CINTA! Pagi ini, Arumi datang menyusul Steven di kolam renang. Semalam lelaki itu sudah memintanya untuk datang ke kolam sejak jam delapan pagi. Arumi pun menurutinya, dia meluangkan waktu beberapa jam sebelum masuk ke kantor. Saat memasuki kolam, terlihat suasana sepi. Tak ada satupun orang di sana. Arumi celingak celinguk ke kanan kiri mencari lelaki itu."Kau di mana Steven? Steven!" teriak Arumi datang di kolam renang. Hening tak ada jawaban."Sialan! Apa dia mengerjaiku?" gerutu Arumi. Arumi pun mulai berjaan meninggalkan kolam renang dengan hati yang dongkol. Sebelum benar- benar pergi dia ingin mengambil Hp untuk menghubungi Steven. Baru saja Hp itu di pegangnya, tiba -tiba ada seorang lelaki memanggilnya."Arumi!" teriak lelaki itu. 'Byurrrr' seseorang masuk ke dalam kolam renang secara tiba- tiba. Arumi langsung menoleh, melihat ke arah kolam renang. Nampak seorang lelaki yaang amat sangat di kenalnya be
BAJU KEMEJA BERCAP BIBIR MERAH ITU DI MANA? Tanpa menjawab, Arumi menoleh menatap wajah Steven dengan tajam. Lalu tiba- tiba Arumi makin mendekat. Namun Aruni langsung mengecup bibir Steven. Mendapat perlakuan seperti itu tentu membuat Steven langsung terkejut dengan perlakuannya. Mengingat ini juga pengalaman pertama kali bagi Steven berpacaran."Sudah jelas kan sekarang? Bagaimana menurutmu hubungan kita?" tanya Arumi. Steven tersenyum."Kalau begitu coba cium lagi! Mungkin aku akan paham," goda Steven dengan usil. Baru saja, Arumi hendak mendekatkan wajahnya pada Arumi. Tiba- tiba saja HP Arumi berbunyi. Arumi pun langsung mengambil HP dalam tasnya membatalkan acara ciuman kedua kali itu."Tunggu sebentar ya, Hp aku berbunyi!," kata Arumi sambil mengangkat telponnya dengan menggeser layar HP."Halo Aruna! Ada apa?" sapa Arumi."Arumi dengar, program kita di setujui!" pekik suara di sebrang."Benarkah?" sahut Arumi lagi."Benar, aku baru
PELECEHAN SEKSUAL DALAM LIFT! Entah mengapa dia sengaja menaruhnya begitu saja untuk di tanya oada Dion namun lupa dan tak sempat sampai sekarang. Hendi ingat jika kemarin menaruhnya di tumpukan baju kotor. Hendi pun mencoba mencarinya."Ck! Di mana ya kemeja itu?" batin Hendi sambil berusaha mencari baju kemeja dengan cap lipstik merah di bahu depannya. Setelah cukup lama mengubrek ruang wadrobe itu, akhirnya Hendi menemukan kemeja itu menyempil di antara tumpukan kemeja yang memang sudah di sortir oleh dirinya. Dengan senyum sumringah, Hendi pun berbalik badan. Dia melihat presiden direkturnya itu masih asik bercermin."Sepertinya presiden direktur ini benar- benar sedang jatuh cinta di puber keduanya," ledek Hendi dalam hati."Untung saja tidak aku laundry kau kemarin," kata Hendi pada baju itu dan menyerahkannya pada Dion."Lagi kali ini aku memuji kinerjamu, Hendi!" puji Dion. Dia pun segera mengambil kemeja itu dan pergi ke pusat perbelanjaa
KEPUTUSAN ARUNA"Ibu, ayok kita temui Eyang," pinta Bima."Ayo Aruna kita harus segera menemui Juragan Waluyo, Ayahmu. Kita harus meyakinkannya bahwa kita bisa bersama dan semua akan baik-baik saja," bujuk Dion.Aruna memandangi wajah Dion dan putranya bergantian. Dia menghela nafas panjang, kedua lelaki ini memiliki sifat yang sama ketika sudah menginginkan sesuatu maka mau tak mau harus terpenuhi saat itu juga. Namun Aruna memiliki pemikiran lain, dia harus mempertimbangkan semua baik buruknya sebelum mengambil keputusan itu."Pak Dion, maaf. Bima maafkan Ibu ya, jika keputusan Ibu kali akan mengecewakanmu. Bima, tidak semua keinginanmu harus dipenuhi kan? Ada beberapa hal yang kau tidak bisa memaksakan kehendakm karena ada kehendak lain yang Ibu inginkan," kata Aruna."Kau tak boleh egois menginginkan semuanya harus sesuai dengan maumu," sambungnya.Dion pun langsung menoleh menatap ke arah Aruna. Dia menggeleng tak percaya jika Aruna akan menolak ajakannya. Dion menatap Aruna de
MEYAKINKAN ARUNA MEMBUKA LEMBARAN BARU "Aku tak ingin kau kenapa-kenapa, kemarin badanmu sangat demam sekali," kata Dion. "Tenanglah Pak Dion, aku Lebih tahu bagaimana dengan badanku. Apalagi semenjak aku menjadi seorang ibu maka aku harus bisa menghindari semuanya serta harus mengerjakan semua hal secara sendiri dalam kondisi apapun. Hebat bukan? Dan lagi, aku tak terbiasa tidur terlalu lama," kata Elena. "Apakah yakin sudah benar-benar baik?" tanya Dion mencoba memastikan karena khawatir bibir Aruna masih sangat pucat pasi. "Tentu," sahut Aruna. "Aruna aku ingin bicara serius dengaanmu," ucap Dion lagi. "Apakah benar kau dari rumah bapakku, PakDion?" tanya Aruna. Dion pun menganggukkan kepalanya. "Ya aku dari sana," jawab Dion memangku Bima dan duduk di lantai menghadap ke arah Aruna. Aruna tersenyum kecut, dia benar-benar tak mengira jika Dion akan berbuat senekat ini. Bukan tak senang dirinya diperjuangkan hanya saja dia takut Dion menghadapi kerasnya sifar Juragan Waluyo
NEGOSIASI DENGAN BIMA!Dia ingin segera memberikan kabar gembira itu pada Aruna dan tak mau menunda lagi. Takut jika kedua orang tua Aruna berubah pemikiran. Dia harus sesegera mungkin mengajak Aruna ke sana lagi.Dion pun segera melajukan mobilnya menuju ke apartemen milik Aruna. Dia segera menuju ke kamar milik Aruna yang memang sedang tertidur karena badannya belum sembuh benar. Untung saja Aruna sudah memberikan kode akses masuk ke dalam rumahnya. 'Ting' pintu pun terbuka, dia melihat sekelilingnya mencari anaknya."Bima! Bima!" teriak Dion memanggil Sang putra."Ya Ayah Baik," sahut Bima dari dalam kamarnya. Dion pun segera masuk ke dalam kamar. Da melihat putranya sedang asyik bermain Lego sendiri.Dia tak melihat Aruna di sana."Dimana ibumu, Sayang?" tanya Dion. Bima menole dan tersenyum ke arah Ayah Baiknya."Em, Ibu ya? Dia sedang tidur Ayah Baik. Katanya badannya masih tidak enak, tapi aku sudah menjaganya dengan baik. Aku sudah memastikan ibu untuk meminum obatnya sama
MERESTUI DENGAN SYARAT?"Semua saya lakukan demi Aruna dan demi Bima semuanya. Seperti yang Bapak tahu sendiri, sampai saat ini pun Aruna juga belum memiliki sosok lelaki lain. Apakah Bapak berpikir jika Aruna tidak lak? Tentu dengan tegas dan jawabannya bisa kita ketahui semua tidak itu alasannya. Aruna sangat cantik dengan segala potensi yang dia miliki. Bukankah masih menjadi tanda tanya mengapa dia tak pernah menikah atau menjalankan hubungan baru dengan lelaki lain kan, Pak? Mengapa Aruna melakukan ini semua dan sebagai seorang laki-laki tentu Bapak tahu apa jawabannya kan?" jelas Dion.Juragan Waluyo terdiam mendnegar semua penjelasan Dion panjang lebar itu. Pun dengan Nyi Waluyo, ya mereka semua tidak bisa memunafikkan semua yang dikatakan oleh Dion benar. Selama ini Aruna bukannya tak laku tetapi dia memang menutup diri dan dia tahu alasan anaknya itu apa, yaitu Aruna susah sekali jatuh cinta dan mungkin cintanya telah habis bersama Dion. Apalagi sekarang dia memili
PERJUANGAN DION DI MULAI! PART 1 "Sudahlah Pak apalagi yang mau ditutupi? Toh ini kenyataan semalam aku yakin juga Aruna juga sakit. Tapi pertanyaannya apakah ada yang merawat atau tidak. Apakah kau merawatnya, Nak?" tanya Nyi Waluyo. Dion menganggukkan kepalanya. "Ya, Bu. Saya merawatnya dengan baik dan memang benar semalam Aruna sakit. Tenang saja, saya sudah memberinya pereda panas dan membuat bubur," jelas Dion. "Syukurlah kalau kau memang memiliki sedikit perhatian kepada Aruna. Sebenarnya bapaknya dari semalam juga sangat khawatir padanya, namun kau paham kan kadang seorang lelaki tidak bisa mengungkapkan rasa sayangnya. Tapi dia tak mau menunjukkan kekhawatirannya itu pada Aruna," ucap Nyi Waluyo. "Kau tahu sendirilah kadang lelaki itu memang memiliki titik egois dan rasa cemburu kepada anak perempuannya yang sedikit berlebihan" ujarnya. Baru setelah mendengar pernyataan dari Nyi Waluyo itu sekarang dia mengerti ke mana arah
MEMBUKA TABIR MASA LALU DI HADAPAN ORANG TUA ARUNA"Berani juga kau ke sini!" kata juragan Waluyo dari arah samping. Dion pun menoleh, dia melihat juragan Waluyo datang dengan menggunakan tongkatnya dan memakai pakaian hitam-hitam nampak sangat elegan dan wibawanya sangat keluar. Beda dengan tadi malam yang mungkin karena diliputi amarah yang besar sehingga tak menampakkan wibawa juragan Waluyo. Seketika jantung Dion berdetak kers, dia segera menyalami Juragan Waluyo meskipun merasa sedikit ngeri juga dengan penampilan juragan Waluya yang terkesan seperti dukun bagi Dion. Juragan Waluyo hanya menanggapi sekilas lalu duduk."Duduklah!" perintah juragan Waluyo. Dion pun duduk di berhadapan dengan juragan Waluyo."Ti! Narti! Buatkan minuman untuk tamu, Ti!" perintah Juragan Waluyo lagi."Nggeh Juragan!" sahut suara seorang wanita dari belakang."Sialan sepertinya memang Aruna bukan berasal dari keluarga sembarangan. Ini mungkin yang disebut dengan orang kaya tetapi hidup di desa, sungg
MENDATANGI JURAGAN WALUYO!Pagi harinya Aruna terbangun saat sinar matahari datang, masuk ke kamarnya melalui kelambu. Aruna langsung mengerjapkan matanya. Dia melihat ke arah bawah, ternyata Dion sedang memegangi tangannya tidur di kursi sofa yang di dekatkan pada tubuhnya. Sedangkan Bima berada di pelukannya. Aruna pun mulai beranjak untuk membuat sarapan untuk mereka, untung saja semalam Dion dengan gesit merawatnya. Kepalanya sudah tak pusing lagi."Aruna kau sudah bangun? Masih pusing? Bagaimana keadaanmu?" tanya Aruna."Aku sudah lumayan Baik, Pak Dion. Kau tak papa tidur dibawah begitu? Apa kau tak masuk angin nanti? Kau tidur di ruangan AC tanpa selimut. Kau baik-baik saja? Aku buatkan susu jahe ya," kata Aruna mulai khawatir. "Tenanglah, Aruna. Ini semua tidak sebanding dengan apa yang kau dan Bima sudah rasakan dulu. Aku tak masalah, jadi kau jangan khawatir," jawab Dion."Terima kasih ya, Pak Dion. Terima kasih kau sudah merawatku, berkat dirimu aku merasa jauh lebih ba
Aruna Sakit!"Ibu, Ibu dan Ayah baik tak apa-apa kan? Kalian akan bersama kan?" tanya Bima."Tidur yuk!" ajak Aruna pada Bima.Dion menoleh, dia melihat Aruna memperjuangkannya seperti ini, tiba-tiba perasaan bersalah dan menyesal bergelanyut di benaknya. Dulu dia meninggalkan Aruna dan salah paham kepadanya sampai bertahun-tahun akhirnya Aruna harus menyimpan semua kesakitan ini sendiri. Kerasnya hidup mengasuh Bima, hambatan yang dilakukan dan dirasakan hanya bisa dirasakan dengan juragan Waluyo. Orang yang seharusnya tak ikut bertanggung jawab dalam masalah ini. Itulah yang membuat dia menutupi kebodohannya sendiri yang sangat egois. "Apakah Eyang tak suka dengan Ayah Baik? Apakah Eyang akan melarang Ayah Baik ke sini?" tanya Bima."Tidak kok. Eyang tak marah," kata Aruna."Lalu kenapa tadi Eyang langsung pulang dan marah?" tanya Bima."Mungkin Eyang lelah. Maaf ya jika kau harus terbangun. Sekarang tidur ya, Nak," perintah Aruna sambil menggendongnya."Ayah Baik, ayok! Temani Bi
NYI WALUYO TURUN TANGAN!"Eyang, Apakah Eyang Kakung tahu jika Bima dan Ayah baik memiliki persamaan? Kami memiliki penyakit yang istimewa dan hanya diderita oleh orang-orang tertentu saja. Bukankah selama ini Eyang dan Ibu selalu panik pada perasaan yang dirasakan Bima dan kesakitan ini? Tetapi sekarang rasanya Ibu dan Eyang tidak perlu khawatir lagi, karena ada Ayah Baik yang akan menemani Bima. Kami seringkali meminum obat bersama, karena memang kami harus minum vitamin untuk menjaga dunia. Benar kan Ayah Baik?" tanya Bima sambil mengusap air mata Dion yang juga turut jatuh.Juragan Waluyo langsung terdiam mendengar pernyataan cucunya itu. Ya dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika yang mengatakan hal seperti itu adalah Bima. Karena memang selama ini dia sangat mencintai Bima dan tidak ingin terjadi hal-hal mengerikan pada Bima."Eyang, kenapa Eyang harus marah-marah kepada Ayah Baik? Percayalah sungguh Ayah Baik ini adalah orang yang sangat baik sekali kepada Bima, juga pada Ibu