Selama beberapa saat Rain hanya bisa termangu memandang ponsel dalam genggamannya. Ia bingung harus menjawab apa. ‘Duh, gimana nih? Nggak enak sama Bunda udah masak masakan kesukaan aku, tapi ntar kalau nggak jadi pasti Sydney bakal ngambek,’ pikir Rain.Kalau Bunda yang merajuk masih bisa diatasi. Tapi kalau Sydney? Jari-jari Rain kemudian bergerak membalas pesan dari perempuan itu.“Jadi dong, Han. Dandan yang cantik ya, nanti aku jemput kamu.”Balasan dari Sydney datang beberapa detik setelahnya. “As you wish, Bae. Love you.”“Love you more, Han…”***Di ruang belakang, Lady, Kanayya serta Bi Titi sedang masak bersama. Lady terlihat tidak canggung saat memegang benda-benda dapur karena sudah biasa melakukannya.“Dy, kamu udah tahu belum makanan kesukaan Rain?” tanya Kanayya pada Lady.”Belum, Dok,” jawab Lady yang baru saja memasukkan daging ke dalam panci presto.“Rain tuh suka sama sop daging yang mau kita masak sekarang. Nggak cuma sop, apa pun olahan daging Rain pasti suka. Ta
Kalau ada orang paling rese', selalu membuat repot dan menyusahkan orang lain, maka Lady adalah orangnya. Setidaknya itu menurut Rain. “Kasihan dia pakai motor hujan-hujan begini, Rain, kamu antar sebentar ya…” Kalimat penuh permintaan yang disampaikan Kanayya membuat Rain tidak memiliki alasan apa-apa lagi untuk menolak.Dan saat ini perempuan itu duduk seperti anak kucing yang kedinginan di sebelahnya. Lady menyilangkan tangan, memeluk dirinya sendiri. Lebih dari lima menit yang lalu ia tidak bersuara sepatah kata pun. Hingga kemudian celetukan perempuan itu membuat Rain harus menoleh padanya.“Rain, sorry, bisa anterin aku ke rumah dulu? Baju kerjaku ketinggalan, aku nggak mungkin pake baju ini.” Lady juga baru menyadari hal tersebut. Bahkan hingga sekarang ia masih memakai baju Alana tadi.“Apa lo bilang? Mau ke rumah lo dulu? Lo pikir gue sopir yang bisa ngenterin lo ke mana-mana? Lagian udah gue bilang dari dulu jangan kerja di sana lagi, tapi lo masih nggak mau dengerin gue. A
Rain tiba di rumah Sydney setelah memutuskan untuk tetap ke sana meskipun perempuan itu melarangnya. “Sydney ada, Zee?” tanya Rain pada Zee yang membukakan pintu untuknya.“Ada, di kamar, udah ganti baju lagi. Dari tadi tuh anak nggak berhenti ngomel,” kata adik perempuan Sydney itu memberitahu.Rain tersenyum kecut. “Bisa panggilin nggak, Zee? Aku mau ngomong sama dia.”“Bentar, aku panggilin dulu.” Zee menyuruh Rain duduk dan meninggalkannya di ruang tamu sendiri.“Ney, ada Rain di depan, katanya jadi pergi dinner nggak?” seru Zee dari depan pintu kamar Sydney yang terkunci.“Nggak usah, suruh dia pulang aja!” sahut Sydney dari dalam.“Beneran nih suruh pulang aja?” “Iya!”Beranjak dari depan kamar Sydney, Zee kembali ke ruang tamu menemui Rain.“Gimana, Zee?” kejar lelaki itu tidak sabar.“Dia nggak mau, katanya pulang aja, Rain.”Rain tampak kecewa mendengar jawaban Zee. Sudah jauh-jauh ke sini membuang waktu dan tenaganya tapi berakhir sia-sia. Semua ini salahnya juga sih. Cob
Kanayya sendiri yang membukakan pintu kala Rain tiba di rumah tepat pukul dua belas malam. Tadi Rain menemani Sydney dulu hingga perempuan itu tertidur. Jika tidak begitu, Sydney tidak akan mengizinkan Rain pulang.“Kenapa Bunda belum tidur?” tanya Rain sambil merangkul punggung Kanayya memasuki rumah.“Bunda menunggu kamu, Rain. Udah selesai urusannya?”“Udah, Nda.””Tadi kamu jadi nganterin Lady ke tempat kerjanya?”“Jadi.””Nggak dijemput sekalian?” Kanayya memandang ke arah Rain yang berjalan di sebelahnya.Rain melihat arloji. “Masih jam dua belas, paling jam kerjanya belum selesai.”“Kalau begitu, nanti kalau sudah selesai kamu jemput ya. Kasihan dia, motornya kan tinggal di sini.”“Ya ampun, Nda, kok aku lagi yang jemput?”“Ya mesti kamu dong, Rain. Kasihan kan dia, masa gajinya habis untuk bayar taksi.”‘Ah, Bunda selalu saja punya alasan,’ bisik Rain di dalam hati yang membuat Rain lagi-lagi tidak bisa untuk menolak.“Nda, bisa nggak Bunda minta ke dia biar nggak kerja di san
Lady meremas-remas jarinya yang saling bertautan di balik tas yang ia letakkan di atas paha. Kalau ia mau, ia bisa saja membalas perkataan kasar yang dilontarkan tanpa dasar padanya. Namun ia lantas teringat pada ucapan bijak dari salah seorang tokoh ternama. Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu. Dan Rain adalah orang yang membencinya, yang jelas-jelas tidak akan pernah memercayainya sampai mulutnya berbuih sekalipun untuk menjelaskan.Diamnya Lady membuat Rain jadi berpikir bahwa perempuan itu mengakui dan membenarkan semua tuduhan Rain padanya. Yang membuat laki-laki itu menjadi semakin geram.“Bener kan yang gue bilang? Lo emang nggak bener. Kalau lo cewek baik-baik nggak mungkin pergi sembarangan sama cowok, apalagi malam-malam begini.”Lady masih tidak mengerti cowok mana yang dimaksudkan lelaki di sebelahnya ini. Ia tidak tahu jika tadi Rain mengikutinya saat Farrel mengantar k
Membuka pintu kamar dengan gerakan kasar, Rain memandang nyalang pada Lady yang kini berdiri tegak di hadapannya. “Selain ngeganggu gue keahlian lo apa lagi sih?”Tuh kan, ternyata benar dugaan Lady. Rain pasti akan menceramahinya. “Aku nggak mau mengganggu kamu. Bunda kamu yang memintaku untuk memanggil kamu,” kata Lady membela diri.”Udah salah masih ngeyel, dasar parasit.”Lady tidak mendengar ucapan terakhir Rain karena keburu pergi dari hadapan laki-laki itu.“Rain udah bangun, Dy?” tanya Kanayya saat melihat Lady muncul sendiri tanpa anak lelaki kesayangannya.“Udah, Dok.”Tak lama berselang Rain muncul ke ruang makan, bergabung bersama mereka. Lelaki itu belum mandi dan membawa muka bantalnya.“Pagi, Nda,” sapa Rain pada Kanayya lantas menarik salah satu kursi dan memosisikan diri di sana.“Pagi, kamu baru bangun?”“Iya nih, Nda, aku baru pulang jam tiga lewat jadi masih ngantuk banget.” Rain menutup mulutnya yang menguap dengan telapak tangan.“Nanti setelah makan kamu bisa ti
Lady sedang membersihkan toilet setelah membuang sampah begitu memisahkan menurut jenisnya. Dengan lincah tangan perempuan itu menggerakkan pel ke sana kemari. Toilet ini adalah bagiannya. Karena letaknya yang strategis maka toilet tersebut menjadi toilet yang paling sering digunakan di antara toilet lainnya di rumah sakit tersebut.Aroma parfum mahal perempuan yang terhirup oleh hidungnya membuat Lady harus mengangkat kepala dan beralih sesaat dari pel di tangannya untuk kemudian memandang ke arah pintu masuk.Seorang perempuan cantik dan tinggi semampai melenggang masuk ke dalam toilet. Lady mengenalnya sebagai Sydney. Perempuan yang dekat dengan Rain. Dia kekasihnya kalau menurut yang Lady dengar. Perempuan itu juga yang marah-marah gara-gara cocktail-nya tumpah malam itu.Sydney yang baru masuk melintas di depan Lady dan menginjak bagian lantai yang baru dipel sebelum kemudian masuk ke dalam bilik toilet.Lady menahan napas, mencoba untuk bersabar meski ia harus mengulang lagi pek
“Tante Kanayya! Tunggu dulu, Tante!” Sydney bangkit dari tempat duduknya dan berlari mengejar Kanayya yang menjauh.Kanayya terkejut ketika tiba-tiba Sydney mencekal lengannya yang membuatnya harus menoleh pada perempuan itu. “Ada apa lagi, Sydney?”“Tante nggak bisa pergi gitu aja dong. Saya kan belum selesai bicara sama Tante.””Tangan kamu tolong,” ujar Kanayya sembari melirik lengannya yang dicekal Sydney.Sydney melepaskan tangan Kanayya dari cengkramannya. Ia tidak sadar bahwa tindakannya ini semakin memperburuk penilaian Kanayya padanya.“Tante, saya belum selesai bicara sama Tante, Tante nggak bisa pergi gitu aja.””Apa lagi yang mau dibicarakan? Semua kan sudah jelas.”“Jelas buat Tante, tapi tidak untuk saya. Saya nggak terima dengan keputusan Tante yang semena-mena.”Kanayya melongo melihat Sydney yang mengomelinya. Tingkah perempuan itu sungguh di luar prediksi. Kalau Sydney pikir tindakannya ini membuat Kanayya jatuh simpati, maka ia salah besar. Kanayya justru tidak resp
“Nyet, sekalian lo pesenin untuk Lalad ya,” ujar Rain pada Ale.Ale lantas bertanya pada Lady. “Kalau kamu mau minum apa, Dy?” Lady melirik gelas Zee dan Alana yang berisi cola sebelum memberi jawaban. “Samain kayak Zee dan Alana aja deh,” putusnya.”Oke.”Sejak kehadirannya bergabung bersama mereka, Lady melihat Alana dan Zee tidak banyak bicara. Alana yang biasanya ceria saat ini tampak murung. Hmm, dia kenapa ya?Tidak ingin mencampuri urusan keduanya, Lady tidak bertanya apa-apa. Ia memindahkan perhatiannya pada Rain di sebelahnya.”Rain, nanti minumnya jangan terlalu banyak. Inget, kita lagi tinggal di rumah Bunda, bukan apartemen,” ucap Lady. Khawatir kalau sampai Rain mabuk berat.“Iya, iya, bawel…,” jawab Rain yang untuk kesekian kali mengecup puncak kepala sang istri. “Lagian Bunda nggak bakal tahu, Bunda kan udah tidur,” sambungnya lagi.Rain kemudin beralih pada Alana yang tidak menimpalinya seperti biasa. “Tante kenapa? Aku perhatiin dari tadi cemberut kayak orang lagi sa
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa
Lady diam saja saat Rain terus menceramahinya. Justru sekarang pikirannya hanya tertuju pada seseorang yang jauh berada di benua sana. Lady sudah tidak sabar ingin menceritakan pada Ale mengenai pertemuannya dengan perempuan gipsi tadi. Lady yakin, hanya Ale yang akan memahaminya mengenai pergipsian ini. Sedangkan Rain sudah antipati duluan. Rain bukan pendengar yang baik untuk hal ini.“Kenapa diam aja?” tanya Rain yang baru menyadari jika Lady bungkam sejak tadi dan tidak merespon apa pun yang ia katakan.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” balas Lady.“Emang orang tadi bilang apa aja sih sama kamu?” Meskipun tidak pernah memercayai hal semacam itu namun Rain merasa penasaran juga dan tidak tahan untuk tidak bertanya.Lady ingin berterus terang, tapi merasa ragu. Ia khawatir akan penilaian negatif Rain nanti. Alhasil ia pun mendustai suaminya.”Dia cuma nanya nama aku.”“Terus?””Dia nanya aku berasal dari mana.”“Next?”Lady terdiam untuk sesaat. Apa ya tanggapan Rain jika tahu r
lLady terkikik geli ketika Rain menceritakan padanya mengenai obrolan dengan orang tua Reza. Siapa pun yang tidak mengenal pria itu pasti tidak akan menyangka kalau Reza mengalami gangguan jiwa. Secara kasat mata Reza tampak gagah, sehat, segar bugar dan baik-baik saja.”Bangke emang, bisa-bisanya gue dikerjain orang sakit,” rutuk Rain antara geli serta jengkel.Tawa Lady bertambah keras. Geli melihat Rain saat ini. “Pantes aja dia lebay banget ke aku. Gombalan-gombalannya bikin aku eneg, untung aja aku nggak muntah di depan dia.”Rain menimpali tawa Lady. “Emang dia bilang apa ke kamu?” tanyanya ingin tahu.”Dia bilang aku cantik, mandiri, aku perempuan istimewa, pokoknya ya gitu deh. Kamu ngeliat nggak kemarin waktu di restoran banyak banget makanan di atas meja aku? Itu semua dia yang suruh. Padahal jatah sarapan aku udah habis. Tapi emang enak-enak sih makanannya.”“Aku nggak lihat.”“Gimana mau lihat, kamu-nya udah keburu emosi. Nggak tahu aja dia yang dicemburui orang sakit. Hah
Matahari sudah tenggelam sempurna ketika Rain dan Lady tiba di hotel. Syukurlah mereka tidak bertemu dengan Reza. Cowok gesrek dengan mulut tanpa filter yang super duper menyebalkan.Setibanya di kamar keduanya sama-sama merebahkan tubuh ke pembaringan. Hari ini terasa sangat melelahkan ketimbang hari-hari sebelumnya.“Gimana? Ada berasa sakit?” tanya Rain ingin tahu keadaan Lady setelah merajah tato tadi.Lady menggelengkan kepala. “Udah enggak.” Tadi saat dirajah ia hanya merasakan sedikit rasa perih. Jika setelahnya mereka mengalami efek samping seperti alergi, gatal-gatal atau pun ruam pada kulit, mereka diharuskan untuk datang kembali.Tangan Rain lantas terulur mengusap-usap kepala Lady yang berbaring miring menghadap padanya. Keduanya tidak habis pikir pada apa yang mereka lakukan berdua.“Lad, udah yuk rebahannya. Kita check out sekarang,” cetus Rain tiba-tiba ketika ingat rencananya tadi untuk check out sorenya. Bahkan sekarang hari sudah malam.“Duh, Rain, aku capek banget,