"Rain, keluar dulu, temenin Lady gih," suruh Kanayya pada Rain setelah memanggilnya di kamar Alana."Ck! Kenapa harus ditemenin segala, Nda? Siapa suruh dia ke sini?" "Bunda yang suruh," jawab Kanayya tegas. Bukan apa-apa, Kanayya hanya ingin mendekatkan Lady dengan Rain."Aku capek, Nda,mau istirahat." Rain masih menolak, tidak ingin bertemu dengan perempuan itu."Rain, kamu lupa janji kamu sama Bunda?""Aku nggak lupa, aku inget kok, tapi--""Rain, jangan membantah." Kanayya seperti tahu betapa putranya itu teramat menyayanginya dan tidak akan berani menolaknya."Iya, Nda, iya..." Dengan berat hati Rain bangkit dari ranjang lalu menyeret langkah terpaksa keluar dari kamar. Lady sedang melamun sendiri saat Rain muncul di depannya. Hanya dengan mengenakan kaos rumahan serta rambut yang awut-awutan, laki-laki itu sudah sedemikian menarik."Ngapain lo hujan-hujan ke sini? Kangen sama gue?" tanya Rain ketus begitu baru saja mendudukkan diri di sofa tunggal yang berada di hadapan Lady.
Selama beberapa saat Rain hanya bisa termangu memandang ponsel dalam genggamannya. Ia bingung harus menjawab apa. ‘Duh, gimana nih? Nggak enak sama Bunda udah masak masakan kesukaan aku, tapi ntar kalau nggak jadi pasti Sydney bakal ngambek,’ pikir Rain.Kalau Bunda yang merajuk masih bisa diatasi. Tapi kalau Sydney? Jari-jari Rain kemudian bergerak membalas pesan dari perempuan itu.“Jadi dong, Han. Dandan yang cantik ya, nanti aku jemput kamu.”Balasan dari Sydney datang beberapa detik setelahnya. “As you wish, Bae. Love you.”“Love you more, Han…”***Di ruang belakang, Lady, Kanayya serta Bi Titi sedang masak bersama. Lady terlihat tidak canggung saat memegang benda-benda dapur karena sudah biasa melakukannya.“Dy, kamu udah tahu belum makanan kesukaan Rain?” tanya Kanayya pada Lady.”Belum, Dok,” jawab Lady yang baru saja memasukkan daging ke dalam panci presto.“Rain tuh suka sama sop daging yang mau kita masak sekarang. Nggak cuma sop, apa pun olahan daging Rain pasti suka. Ta
Kalau ada orang paling rese', selalu membuat repot dan menyusahkan orang lain, maka Lady adalah orangnya. Setidaknya itu menurut Rain. “Kasihan dia pakai motor hujan-hujan begini, Rain, kamu antar sebentar ya…” Kalimat penuh permintaan yang disampaikan Kanayya membuat Rain tidak memiliki alasan apa-apa lagi untuk menolak.Dan saat ini perempuan itu duduk seperti anak kucing yang kedinginan di sebelahnya. Lady menyilangkan tangan, memeluk dirinya sendiri. Lebih dari lima menit yang lalu ia tidak bersuara sepatah kata pun. Hingga kemudian celetukan perempuan itu membuat Rain harus menoleh padanya.“Rain, sorry, bisa anterin aku ke rumah dulu? Baju kerjaku ketinggalan, aku nggak mungkin pake baju ini.” Lady juga baru menyadari hal tersebut. Bahkan hingga sekarang ia masih memakai baju Alana tadi.“Apa lo bilang? Mau ke rumah lo dulu? Lo pikir gue sopir yang bisa ngenterin lo ke mana-mana? Lagian udah gue bilang dari dulu jangan kerja di sana lagi, tapi lo masih nggak mau dengerin gue. A
“Move faster, Bae ..."Desahan seduktif Sydney yang berada di bawahnya berhasil menerbitkan senyum tipis di bibir Rain.”Boleh, Han, tapi teriaknya jangan kenceng-kenceng.” Rain mengecup bibir Sydney, sementara pinggulnya terus bergerak di atas perempuan itu.Sydney membalas dengan kerjapan mata. Bibirnya menerbitkan senyum malu. Setiap kali menemui pelepasan ia tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak.Baru akan meningkatkan ritme gerakan, fokus perhatian Rain langsung teralihkan oleh nada dering vintage yang bersumber dari ponselnya.Kring… kring… kring…Tanpa perlu melihat ke layar gawai Rain sudah tahu siapa yang menelepon. Rain memang sengaja memberi nada dering khusus untuk perempuan istimewa dalam hidupnya.Cepat, Rain mengangkat tubuh dari atas Sydney. Tidak peduli perempuan itu memandangnya penuh protes.Melangkah ke arah meja yang terletak di sudut kamar, Rain mengambil ponsel, tidak membiarkan sang penelepon menunggu lama.“Halo, Nda.” Rain menyapa dengan sopan.”Rain,
Tiba di rumahnya, Lady membuka sosial media dari smartphone yang layarnya sudah retak.Namaku Rain.Lady mengetikkan nama Rain di tab pencarian. Muncullah sebuah akun centang biru dengan lebih dari lima juta pengikut.Akun tersebut bagaikan galeri yang memamerkan foto-foto Rain. Mulai dari prestasi hingga sensasi. Jujur saja, Lady tidak mengingkari jika Rain tampak gagah dalam kostum balapnya. Rain mengundang decak kagum banyak orang karena memenangkan berbagai kompetisi balap, tidak terkecuali Lady.Namun kekagumannya lekas berganti dengan rasa tidak suka saat Lady melihat foto-foto mesra Rain dengan perempuan yang berbeda. Selain arogan, ternyata Rain juga suka gonta-ganti wanita, membuat pikiran Lady pada laki-laki itu hanya dipenuhi oleh pikiran negatif.***Setiap pagi Lady meninggalkan rumah untuk kemudian menuju rumah sakit. Ia melaksanakan tugasnya seperti biasa. Mulai dari mengepel lantai, membersihkan langit-langit, membersihkan kaca jendela, membuang sampah domestik, sampa
Lady memasukkan dua potong pakaian ke dalam tas. Blouse berbelahan dada rendah serta rok mini sepaha. Nanti setelah pulang kuliah ia akan langsung ke Romantic—kelab malam tempatnya bekerja sebagai pelayan.Setelah kuliah berakhir biasanya Lady akan mengganti bajunya di toilet dulu, tak lupa melapisinya dengan jaket. Teman-temannya sesama mahasiswa sudah tahu pekerjaan sampingan Lady. Berbagai respon ia terima. Ada yang memandangnya dengan rendah, dan ada pula yang biasa-biasa saja. Tapi Lady tidak ambil pusing. Ia hanya mencoba menjalani pekerjaan yang menurutnya halal untuk tetap bertahan hidup.Lady memasuki Romantic melalui pintu khusus para karyawan. Membuka jaket dan meletakkannya di loker, Lady berkaca sesaat, memulas ulang sapuan bedak di pipinya, kemudian membubuhkan blush on dengan sedikit tebal. Sebenarnya ia tidak suka dengan riasannya ini. Menurut Lady, dandanannya terlalu menor. Namun atasannya mewajibkan berpenampilan begitu dengan alasan agar indah dipandang dan menarik
Terbangun pagi itu, Rain menemukan dirinya di sebuah ruang asing. Ia merasa belum pernah berada di sana sebelumnya. Rain juga tahu persis bahwa ini bukanlah kamar di apartemennya, apalagi kamar di rumah bundanya.Sembari memegang kepalanya yang terasa berat, Rain mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sehingga ia berada di tempat itu. Begitu nyawanya terkumpul, Rain segera terduduk.”Oh, shit! Gue ngapain semalam?”Pelan tapi pasti Rain berhasil mengumpulkan serpihan ingatannya. Sial. Ternyata tadi malam ia hampir saja meniduri seorang perempuan. Rain tidak ingat siapa perempuan itu karena blackout. Yang jelas bukan Sydney. Karena perempuan yang akan ditidurinya masih virgin. Rain batal menidurinya. Bagi Rain, ia tidak akan pernah meniduri perempuan yang masih perawan. Perempuan perawan adalah wanita yang akan dijadikannya istri suatu saat nanti. Bukan untuk teman tidur.Bobby. Nama itu adalah orang kedua yang melintas di benaknya. Di sela-sela ingatannya yang samar, Rain ber
Lady baru saja menyadari sesuatu. Dompet serta segenap isinya termasuk kartu identitas diri miliknya raib tanpa ia sadari. ‘Astaga! Di mana dia? Di mana dompetku?’Dalam keadaan badannya yang tidak nyaman Lady yang panik berusaha keras mencari dompet tersebut. Ia membongkar apa pun yang berada di kamarnya, namun tetap tidak menemukan apa-apa.Lady semakin cemas. Uang yang berada di dalam dompet tersebut mungkin tidak seberapa. Namun ia tidak akan bisa apa-apa tanpa kartu tanda pengenal yang turut hilang.Lama mencari dan mulai putus asa, Lady merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Seakan deritanya belum cukup, kini ia harus diberi ujian lain. Kenapa cobaan bertubi-tubi datang menimpanya? Seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk menderita.Air matanya hampir menetes lagi ketika ia mendengar suara ketukan di pintu rumah. Ada seseorang di depan sana. Tapi siapa? Nia sudah berangkat kerja sejak tadi setelah membelikan obat sakit kepala untuknya. Apa mungkin teman serumahnya itu balik lagi?
Kalau ada orang paling rese', selalu membuat repot dan menyusahkan orang lain, maka Lady adalah orangnya. Setidaknya itu menurut Rain. “Kasihan dia pakai motor hujan-hujan begini, Rain, kamu antar sebentar ya…” Kalimat penuh permintaan yang disampaikan Kanayya membuat Rain tidak memiliki alasan apa-apa lagi untuk menolak.Dan saat ini perempuan itu duduk seperti anak kucing yang kedinginan di sebelahnya. Lady menyilangkan tangan, memeluk dirinya sendiri. Lebih dari lima menit yang lalu ia tidak bersuara sepatah kata pun. Hingga kemudian celetukan perempuan itu membuat Rain harus menoleh padanya.“Rain, sorry, bisa anterin aku ke rumah dulu? Baju kerjaku ketinggalan, aku nggak mungkin pake baju ini.” Lady juga baru menyadari hal tersebut. Bahkan hingga sekarang ia masih memakai baju Alana tadi.“Apa lo bilang? Mau ke rumah lo dulu? Lo pikir gue sopir yang bisa ngenterin lo ke mana-mana? Lagian udah gue bilang dari dulu jangan kerja di sana lagi, tapi lo masih nggak mau dengerin gue. A
Selama beberapa saat Rain hanya bisa termangu memandang ponsel dalam genggamannya. Ia bingung harus menjawab apa. ‘Duh, gimana nih? Nggak enak sama Bunda udah masak masakan kesukaan aku, tapi ntar kalau nggak jadi pasti Sydney bakal ngambek,’ pikir Rain.Kalau Bunda yang merajuk masih bisa diatasi. Tapi kalau Sydney? Jari-jari Rain kemudian bergerak membalas pesan dari perempuan itu.“Jadi dong, Han. Dandan yang cantik ya, nanti aku jemput kamu.”Balasan dari Sydney datang beberapa detik setelahnya. “As you wish, Bae. Love you.”“Love you more, Han…”***Di ruang belakang, Lady, Kanayya serta Bi Titi sedang masak bersama. Lady terlihat tidak canggung saat memegang benda-benda dapur karena sudah biasa melakukannya.“Dy, kamu udah tahu belum makanan kesukaan Rain?” tanya Kanayya pada Lady.”Belum, Dok,” jawab Lady yang baru saja memasukkan daging ke dalam panci presto.“Rain tuh suka sama sop daging yang mau kita masak sekarang. Nggak cuma sop, apa pun olahan daging Rain pasti suka. Ta
"Rain, keluar dulu, temenin Lady gih," suruh Kanayya pada Rain setelah memanggilnya di kamar Alana."Ck! Kenapa harus ditemenin segala, Nda? Siapa suruh dia ke sini?" "Bunda yang suruh," jawab Kanayya tegas. Bukan apa-apa, Kanayya hanya ingin mendekatkan Lady dengan Rain."Aku capek, Nda,mau istirahat." Rain masih menolak, tidak ingin bertemu dengan perempuan itu."Rain, kamu lupa janji kamu sama Bunda?""Aku nggak lupa, aku inget kok, tapi--""Rain, jangan membantah." Kanayya seperti tahu betapa putranya itu teramat menyayanginya dan tidak akan berani menolaknya."Iya, Nda, iya..." Dengan berat hati Rain bangkit dari ranjang lalu menyeret langkah terpaksa keluar dari kamar. Lady sedang melamun sendiri saat Rain muncul di depannya. Hanya dengan mengenakan kaos rumahan serta rambut yang awut-awutan, laki-laki itu sudah sedemikian menarik."Ngapain lo hujan-hujan ke sini? Kangen sama gue?" tanya Rain ketus begitu baru saja mendudukkan diri di sofa tunggal yang berada di hadapan Lady.
"Tumben banget Bunda sama Tante duduk bareng?" sapa Rain setelah turun dari mobil. Ia ikut bergabung duduk bersama kedua perempuan beda generasi itu."Kamu juga tumben ke sini?" balas Alana senada."Tiba-tiba aja aku kangen sama Tante makanya aku ke sini.""Tuh kan, panggil Tante lagi." Alana merengut.Rain tertawa renyah. Mengganggu dan menggoda Alana adalah hobinya dari dulu. Rain belum akan puas jika belum melihat perempuan itu merengut kesal. Andai saja Alana tahu betapa menggemaskan ekspresinya saat itu. Jika Alana bukan tantenya sudah Rain pacari dari dulu."Kamu ini, Rain, kapan sih nggak bikin tantemu kesal?" kata Kanayya menimpali. Rain tertawa lagi. "Lady mana?""Mana aku tahu, Nda, emangnya aku serumah sama dia?" sahut Rain ringan."Maksud Bunda, kenapa kamu nggak ajak dia ke sini sekalian?""Ngapain juga aku ajak dia, lagian bukannya dia kerja ya?”“Oh iya, Bunda lupa.” Kanayya kemudian membetulkan posisi duduknya. “Gimana hubungan kamu sama dia?”“Ya gitu deh.”“Gitu gi
Rain baru saja mengantarkan Sydney ke rumahnya ketika dering ponselnya terdengar. Ia mengerutkan kening demi meyakinkan jika penglihatannya tidak salah saat melihat nama penelepon yang tertera di layar.'Ngapain Opi nelfon gue?' Hatinya bertanya-tanya. Opi adalah orang tua laki-laki ayahnya.Menyadari jika pertanyaannya tidak akan terjawab jika hanya diam, Rain segera menerima panggilan tersebut."Halo, Pi.""Rain, kamu lagi di mana?""Di jalan, Pi.""Kalau lagi nggak sibuk kamu bisa ke sini? Ini Omimu baru bikin puding kesukaanmu."Rain mengulas senyum tipis. Dari zaman masih kecil, neneknya itu selalu rajin membuatkan puding untuknya. Setiap weekend biasanya mereka akan menjemput Rain dan membawa ke rumah mereka. Di sana Rain akan dimanjakan dengan segala penganan lezat dan membelikan apa pun yang lelaki itu inginkan. Intinya, sebagai cucu satu-satunya Rain begitu dimanjakan. Apa pun keinginannya langsung terwujud saat itu juga tanpa drama panjang."Ya udah, Pi, mumpung aku lagi ng
PS: Buat yang puasa bacanya setelah buka ya.***"Aku turun di sini aja," celetuk Lady tiba-tiba. Dari tadi ia diam dan hanya mendengarkan percakapan dua lelaki di depannya."Lo mau ke mana?" Rain menoleh ke belakang."Biar aku naik ojek aja," jawab Lady. Matanya berlarian gelisah ke arah jalan raya, mencoba menemukan sesuatu yang bisa membawanya pulang."Lo jangan aneh-aneh," timpal Rain, tidak ingin mengabulkan permintaan perempuan itu."Tapi aku--""Nggak ada tapi-tapian. Lo jangan nambah masalah gue lagi. Semua ini gara-gara lo, ngerti nggak?"Lady menggeleng tak percaya. Tidak mengerti kenapa orang egois ini selalu saja menyalahkannya atas kesalahan yang bahkan tidak ia lakukan.Ale yang mendengar interaksi Rain dengan Lady mengunci mulut dan memilih tidak ikut campur.Dering ponsel yang terdengar membuat Ale dan Lady sama-sama diam dan membiarkan suara Rain sebagai satu-satunya yang terdengar di antara mereka."Halo, Han?""Kamu di mana, Bae? Kenapa ninggalin aku sendirian? Kamu
Tengah malam Sydney terbangun. Tangannya menggapai-gapai saat tidak merasakan dekapan hangat di tubuhnya. Namun ia hanya menemukan permukaan kasur yang dingin dan kosong yang membuat perempuan itu segera membuka mata."Bae...," panggilnya parau.Matanya yang tadi redup kini terbuka sempurna saat tidak menemukan Rain. "Bae!" Kali ini Sydney berseru lebih keras agar suaranya bisa didengar. Namun sama saja. Tetap tidak ada sahutan. Mungkin Rain sedang di kamar mandi, pikirnya.Sydney menunggu beberapa saat. Namun ketika selang beberapa menit kemudian Rain masih belum menampakkan diri, Sydney mulai khawatir.Perempuan itu turun dari ranjang, lalu berjalan mengitari kamar yang berakhir dengan kamar mandi."Bae, kamu ada di dalam?" Sydney memutar knop pintu kamar mandi. Ia hanya mendapati ruang kosong."Bae? Kamu ke mana?" Sydney semakin khawatir ketika ia tidak menemukan Rain tidak hanya di kamar namun juga di ruangan lain di apartemen itu.Bergegas diambilnya ponsel dan menghubungi sang
Setelah memutuskan turun dari motor, Rain masih berpikir akan membawa Lady ke mana. Meskipun perempuan itu bilang tidak apa-apa dan baik-baik saja, tapi Rain tetap tidak tega meninggalkannya. "Kamu pulang aja, mungkin ini karena tekanan darahku agak rendah," kata Lady mengira-ngira.Rain melihat Lady sekilas kemudian merogoh saku, mengeluarkan ponsel dari sana. Ia terlihat menghubungi seseorang.Tak lama kemudian, sebuah taksi datang dan berhenti tepat di depan rumah itu."Ayo, Lad!" Rain menarik tangan Lady agar mengikutinya. "Kita mau ke mana?" "Pergi.""Tapi pergi ke mana?" Lady masih kebingungan."Lo jangan banyak tanya dulu, kalau gue bilang ikut ya ikut!"Lady akhirnya hanya bisa pasrah ketika Rain menyeretnya masuk ke dalam taksi."Hotel One Season, Pak." Rain menyebutkan tujuannya pada supir taksi."Hotel?" Lady memandang pada laki-laki di sebelahnya dengan sorot mata meminta penjelasan."Ya.""Tapi kita ngapain di sana?""Ya nginep dong, Lad, nggak mungkin juga buat shopp
'Rasanya kok aneh gini?' Lady berhenti menyesap ketika minuman tersebut terasa tidak bersahabat di lidahnya."Kenapa?" tanya Rain yang terlihat santai mengepulkan asap rokok."Aku nggak suka, nggak enak. Sudah ya, aku ke belakang dulu, nanti bos marah." Lady mengangkat tubuh dari kursi dan bersiap-siap untuk pergi, namun tangan Rain lebih sigap menahannya agar tetap berada di tempat itu."Di sini dulu temenin gue.""Sorry, aku nggak bisa.""Lima menit lagi nggak bisa juga?" tatap Rain tajam.Lady melihat jam di pergelangan tangannya dengan resah. "Nggak bisa.""Lo pulangnya jam berapa?""Tiga puluh menit lagi.""Ya sudah, sana! Gue tungguin." Rain mengibaskan tangannya seolah sedang mengusir seekor anak ayam."Menunggu? Kamu mau menungguku?""Iya, lo budek apa?"Ekspresi wajah Lady seketika berubah mendengar kalimat Rain yang kasar. "Justru karena aku mendengar kata-kata kamu dengan jelas makanya aku tanya lagi."Rain menghela napas sedikit keras, kesal pada Lady yang menurutnya lemot