Kanayya sendiri yang membukakan pintu kala Rain tiba di rumah tepat pukul dua belas malam. Tadi Rain menemani Sydney dulu hingga perempuan itu tertidur. Jika tidak begitu, Sydney tidak akan mengizinkan Rain pulang.“Kenapa Bunda belum tidur?” tanya Rain sambil merangkul punggung Kanayya memasuki rumah.“Bunda menunggu kamu, Rain. Udah selesai urusannya?”“Udah, Nda.””Tadi kamu jadi nganterin Lady ke tempat kerjanya?”“Jadi.””Nggak dijemput sekalian?” Kanayya memandang ke arah Rain yang berjalan di sebelahnya.Rain melihat arloji. “Masih jam dua belas, paling jam kerjanya belum selesai.”“Kalau begitu, nanti kalau sudah selesai kamu jemput ya. Kasihan dia, motornya kan tinggal di sini.”“Ya ampun, Nda, kok aku lagi yang jemput?”“Ya mesti kamu dong, Rain. Kasihan kan dia, masa gajinya habis untuk bayar taksi.”‘Ah, Bunda selalu saja punya alasan,’ bisik Rain di dalam hati yang membuat Rain lagi-lagi tidak bisa untuk menolak.“Nda, bisa nggak Bunda minta ke dia biar nggak kerja di san
Lady meremas-remas jarinya yang saling bertautan di balik tas yang ia letakkan di atas paha. Kalau ia mau, ia bisa saja membalas perkataan kasar yang dilontarkan tanpa dasar padanya. Namun ia lantas teringat pada ucapan bijak dari salah seorang tokoh ternama. Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu. Dan Rain adalah orang yang membencinya, yang jelas-jelas tidak akan pernah memercayainya sampai mulutnya berbuih sekalipun untuk menjelaskan.Diamnya Lady membuat Rain jadi berpikir bahwa perempuan itu mengakui dan membenarkan semua tuduhan Rain padanya. Yang membuat laki-laki itu menjadi semakin geram.“Bener kan yang gue bilang? Lo emang nggak bener. Kalau lo cewek baik-baik nggak mungkin pergi sembarangan sama cowok, apalagi malam-malam begini.”Lady masih tidak mengerti cowok mana yang dimaksudkan lelaki di sebelahnya ini. Ia tidak tahu jika tadi Rain mengikutinya saat Farrel mengantar k
Membuka pintu kamar dengan gerakan kasar, Rain memandang nyalang pada Lady yang kini berdiri tegak di hadapannya. “Selain ngeganggu gue keahlian lo apa lagi sih?”Tuh kan, ternyata benar dugaan Lady. Rain pasti akan menceramahinya. “Aku nggak mau mengganggu kamu. Bunda kamu yang memintaku untuk memanggil kamu,” kata Lady membela diri.”Udah salah masih ngeyel, dasar parasit.”Lady tidak mendengar ucapan terakhir Rain karena keburu pergi dari hadapan laki-laki itu.“Rain udah bangun, Dy?” tanya Kanayya saat melihat Lady muncul sendiri tanpa anak lelaki kesayangannya.“Udah, Dok.”Tak lama berselang Rain muncul ke ruang makan, bergabung bersama mereka. Lelaki itu belum mandi dan membawa muka bantalnya.“Pagi, Nda,” sapa Rain pada Kanayya lantas menarik salah satu kursi dan memosisikan diri di sana.“Pagi, kamu baru bangun?”“Iya nih, Nda, aku baru pulang jam tiga lewat jadi masih ngantuk banget.” Rain menutup mulutnya yang menguap dengan telapak tangan.“Nanti setelah makan kamu bisa ti
Lady sedang membersihkan toilet setelah membuang sampah begitu memisahkan menurut jenisnya. Dengan lincah tangan perempuan itu menggerakkan pel ke sana kemari. Toilet ini adalah bagiannya. Karena letaknya yang strategis maka toilet tersebut menjadi toilet yang paling sering digunakan di antara toilet lainnya di rumah sakit tersebut.Aroma parfum mahal perempuan yang terhirup oleh hidungnya membuat Lady harus mengangkat kepala dan beralih sesaat dari pel di tangannya untuk kemudian memandang ke arah pintu masuk.Seorang perempuan cantik dan tinggi semampai melenggang masuk ke dalam toilet. Lady mengenalnya sebagai Sydney. Perempuan yang dekat dengan Rain. Dia kekasihnya kalau menurut yang Lady dengar. Perempuan itu juga yang marah-marah gara-gara cocktail-nya tumpah malam itu.Sydney yang baru masuk melintas di depan Lady dan menginjak bagian lantai yang baru dipel sebelum kemudian masuk ke dalam bilik toilet.Lady menahan napas, mencoba untuk bersabar meski ia harus mengulang lagi pek
“Tante Kanayya! Tunggu dulu, Tante!” Sydney bangkit dari tempat duduknya dan berlari mengejar Kanayya yang menjauh.Kanayya terkejut ketika tiba-tiba Sydney mencekal lengannya yang membuatnya harus menoleh pada perempuan itu. “Ada apa lagi, Sydney?”“Tante nggak bisa pergi gitu aja dong. Saya kan belum selesai bicara sama Tante.””Tangan kamu tolong,” ujar Kanayya sembari melirik lengannya yang dicekal Sydney.Sydney melepaskan tangan Kanayya dari cengkramannya. Ia tidak sadar bahwa tindakannya ini semakin memperburuk penilaian Kanayya padanya.“Tante, saya belum selesai bicara sama Tante, Tante nggak bisa pergi gitu aja.””Apa lagi yang mau dibicarakan? Semua kan sudah jelas.”“Jelas buat Tante, tapi tidak untuk saya. Saya nggak terima dengan keputusan Tante yang semena-mena.”Kanayya melongo melihat Sydney yang mengomelinya. Tingkah perempuan itu sungguh di luar prediksi. Kalau Sydney pikir tindakannya ini membuat Kanayya jatuh simpati, maka ia salah besar. Kanayya justru tidak resp
Lady berdiri mematung di depan jejeran etalase kaca yang memajang berbagai jenis penganan. Mulai dari roti aneka rasa, cake, cookies, pastry, puding, kue-kue basah hingga praline.Tak percaya rasanya jika pada akhirnya ia bisa memiliki toko kue sendiri yang ia beri nama “Cake Palace”. Dan itu semua adalah berkat bantuan Kanayya. Ralat, Rain. Ya, yang berperan besar dalam semua ini adalah lelaki itu. Kanayya bilang semuanya menggunakan uang Rain. Entah bagaimana caranya Lady berterima kasih. Ia tidak tahu. Yang Lady tahu, Rain akan semakin semena-mena padanya.Cake Palace baru berumur dua hari setelah buka kemarin. Dan saat ini tempat tersebut dipadati pembeli karena masih dalam masa promosi.Lady sendiri bertindak sebagai orang belakang layar atas terciptanya kue-kue lezat itu dibantu dengan beberapa orang lainnya.Lady memerhatikan dari jauh kesibukan dan interaksi silih berganti di dalam toko itu. Ada senyum puas di bibirnya melihat ramainya para pengunjung dan pertukaran keluar mas
Kanayya tersenyum senang mendengar jawaban Lady. Justru yang ia ragukan adalah Rain. Khawatir anaknya itu akan menolak mentah-mentah.“Kalau kamu sendiri gimana, Rain?”Rain terdiam. Cara Kanayya menatapnya begitu penuh pengharapan. Membuatnya akan merasa sangat bersalah jika menolak permintaan itu. “Nda, apa aku nggak terlalu cepat menikah di umur segini? Aku masih muda.” Rain terus berupaya mencari cara agar pernikahan itu bisa ditunda.”Tidak ada standar baku untuk menikah, Rain. Dulu Bunda dan Ayah menikah di umur dua puluh. Nah, kamu sudah dua puluh empat. Percaya deh sama Bunda, yang halal itu akan jauh lebih nikmat.”Helaan napas Rain perdengarkan sebagai tanda bahwa dirinya keberatan. Namun tentu saja Kanayya tidak akan peduli.“Nda, kalau misalnya nikah siri gimana?”“Nope!” Kanayya menolak tegas, tentu saja. Baginya pernikahan semacam itu hanyalah bentuk lain untuk mengikat sekaligus menyiksa kaum wanita.Rain mendesah setelah alternatif yang diberikannya tetap tidak disetu
Selama puluhan detik tidak ada yang berbicara di antara mereka. Yang terjadi hanyalah aksi saling pandang satu sama lain. Hingga kemudian Rain memberi Sydney perintah. “Han, pake baju kamu.”Sydney tidak mau dan tetap bertahan di tempatnya berdiri. “Cewek nggak jelas ini katanya nyari kamu, kamu kenal sama dia?” Perempuan itu menatap setiap inci muka Rain penuh selidik.“Nanti aku akan jelasin sama kamu, sekarang pake baju dulu!” perintah Rain dengan lebih tegas.Dengan berat hati Sydney melangkahkan kakinya kembali ke kamar diiringi dengan tatapan mata Rain yang terus mengawasi punggungnya. Setelah yakin perempuan itu benar-benar telah lenyap dari pandangan, tatapan mata Rain pindah ke arah Lady yang sejak tadi berdiri kaku dengan muka pias di hadapannya. Rain tidak tahu lagi bagaimana caranya mengungkapkan betapa geramnya ia pada perempuan itu. “Lo mau apa ke sini?” Suara Rain terdengar bergetar menahan kemarahan yang dengan susah payah ia tahan.“Aku cuma mau bilang kalau nanti so
Hal pertama yang dilakukan Rain dan Lady setibanya mereka di rumah adalah mandi, membersihkan diri setelah aktivitas manusia dewasa yang mereka lakukan di mobil tadi. Sesudahnya mereka sama-sama beristirahat.“Duh, Rain, aku capek banget, pengen tidur aja sampai minggu depan,” ujar Lady tanpa bermaksud mengeluh. Sekarang saja tubuhnya mulai terasa remuk. Ia rasa butuh waktu satu hari lagi untuk beristirahat, tapi hal lain sudah menantinya.“Ya udah, tidur gih sampai minggu depan.” Rain menimpali sambil tertawa.Lady merapat ke sisi Rain. Sedangkan laki-laki itu membiarkan pergelangannya dijadikan istrinya sebagai bantal. Seraya tangannya melingkari tubuh lady, bibirnya ikut mengecup puncak kepala sang istri dengan penuh cinta.”Aku tahu kamu kelelahan. Kita baru nyampe tapi aku udah ngajak kamu clubbing. Udah gitu aku malah minta yang iya-iya.”Senyum kecil terbit di bibir Lady. “Tumben kamu sadar?”“Aku sadar kok, tapi kalau kepengen mau diapain? Percuma juga ada istri, ya nggak sih?
Malam semakin menua, tapi justru geliat kehidupan di Broken Wings semakin menguar. Musik yang menghentak menenggelamkan setiap pemilik jiwa yang berada di dalamnya. Membuat mereka melupakan bahwa kehidupan yang sebenarnya ada di luar sana.“Ale, kita pulang yuk,” ajak Zee setelah melirik jam di pergelangannya. Perempuan itu mulai khawatir. Sepuluh menit berlalu dari pukul satu malam, dan ia masih berkeliaran di luar.“Udah nggak betah sama aku?” Ale menggoda Zee sembari menyunggingkan senyum hangat untuk perempuan itu.Zee balas melengkungkan bibir. “Bukan begitu, tapi ini udah larut malam. Udah jam satu sepuluh menit.” Meskipun hatinya masih merasa berat, tapi Ale terpaksa harus mengakhiri kebersamaan mereka malam itu. Kemudian bola matanya bergulir liar mencari Rain, namun tak menemukannya. Jangan-jangan Rain dan Lady masih berada di mobil hingga saat ini.”Zee, duduk dulu yuk, pulangnya bentar lagi.” Ale mengalihkan Zee untuk sesaat.“Kenapa? Tapi ini udah terlalu malam.” Zee agak
Rain merangkul erat pinggang Lady, membawanya berjalan menjauh dari dance floor. Rain tersenyum sekilas pada beberapa orang yang mengenalinya dan menyapanya.“Rain, kamu beneran mau kita ngelakuinnya di mobil?” Lady masih ragu sambil celingukan ke kanan dan ke kiri, memindai situasi di sekelilingnya. Lady khawatir jika nanti sedang asyik masyuk tiba-tiba saja ada yang menangkap basah mereka.“Udah, Lad, nggak usah banyak tanya, masuk aja dulu.” Rain menuntun Lady agar naik ke mobil di saat perempuan itu masih berdiri termangu.Setelah lady masuk duluan barulah Rain ikut naik dan menutup pintu. Embusan napas lepas keluar dari mulut Rain menunjukkan ia merasa lega berada di tempat ini.“Geser, Lad.” Rain meminta Lady untuk menggeser posisinya bukan agar ia bisa duduk di sebelah perempuan itu tapi untuk berbaring di pangkuannya.Lady menundukkan kepala, memandang Rain dengan tatapan sayang seraya membelai kepala laki-laki itu. Rain saat ini lebih terlihat bagaikan seorang anak yang seda
“Nyet, sekalian lo pesenin untuk Lalad ya,” ujar Rain pada Ale.Ale lantas bertanya pada Lady. “Kalau kamu mau minum apa, Dy?” Lady melirik gelas Zee dan Alana yang berisi cola sebelum memberi jawaban. “Samain kayak Zee dan Alana aja deh,” putusnya.”Oke.”Sejak kehadirannya bergabung bersama mereka, Lady melihat Alana dan Zee tidak banyak bicara. Alana yang biasanya ceria saat ini tampak murung. Hmm, dia kenapa ya?Tidak ingin mencampuri urusan keduanya, Lady tidak bertanya apa-apa. Ia memindahkan perhatiannya pada Rain di sebelahnya.”Rain, nanti minumnya jangan terlalu banyak. Inget, kita lagi tinggal di rumah Bunda, bukan apartemen,” ucap Lady. Khawatir kalau sampai Rain mabuk berat.“Iya, iya, bawel…,” jawab Rain yang untuk kesekian kali mengecup puncak kepala sang istri. “Lagian Bunda nggak bakal tahu, Bunda kan udah tidur,” sambungnya lagi.Rain kemudin beralih pada Alana yang tidak menimpalinya seperti biasa. “Tante kenapa? Aku perhatiin dari tadi cemberut kayak orang lagi sa
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa