Pagi-pagi sekali saat sedang menyiapkan makanan di ruang belakang Lady mendengar suara bel di depan sana yang membuatnya mengabaikan sejenak aktivitasnya menyediakan menu sarapan pagi untuk Rain.Lady menggegas langkah ke ruang depan dan mendapati Ale sedang berdiri tegak di hadapannya. Tingginya persis sama dengan Rain. Membuat Lady berada tepat di bawah dagu mereka. Pria ini juga tak kurang gagahnya. Jika wajah Rain lebih baby face maka Ale memiliki garis rahang yang tegas.”Pagi, Lady, Rain sudah siap?””Dia mau ke mana? Dia mau pergi ya?” tanya Lady kebingungan karena seingatnya Rain tidak mengatakan apa-apa padanya.“Pagi ini aku dan Rain akan ke Megantara, Rain ada jadwal latihan.””Oh, Rain belum bangun. Emang latihannya jam berapa?”’Ya ampuh tuh bocah!’ Ale memekik geram di dalam hati.”Jam delapan pagi ini.”“Wah, satu jam lagi berarti!” Lady ikut panik mengetahuinya. “Masuk dulu, Le, silakan duduk.” Lady mempersilakan manajer Rain itu setelah sedari tadi mereka berbicara sam
Rain mengusap keringat yang meleleh di pelipisnya sambil meneguk air minum dari botol mineral di tangannya. Latihan hari ini sangat melelahkan dan ia lumayan kesulitan membangun konsentrasi. Entah kenapa.“Kamu lagi ada masalah? Nggak biasanya kamu kayak gini,” tegur Kendrick—pelatihnya—bule asal Swedia yang teramat fasih berbahasa Indonesia. “Kalau ada masalah tinggalin dulu di rumah, jangan dibawa ke sini,” sambungnya lagi.“Nggak ada, aku nggak ada masalah apa-apa.” Rain membantah karena menurutnya ia baik-baik saja.”Kalau nggak ada kenapa kamu bisa ngerem mendadak kayak tadi?”“Mungkin karena aku kelamaan libur, jadinya lupa cara pegang setir.”“Ah, ada-ada saja. Besok aku nggak mau terima apa pun alasan kamu. Ingat, Rain, F3 sebentar lagi, kita mesti prepare semua dari sekarang.”Rain menghela napas panjang. “Ya, aku tahu.””Sekarang mau lanjut atau break dulu?””Break aja deh, kayaknya aku lagi kurang vitamin.”Pelatihnya mengangguk sambil menepuk ringan pundaknya. “Pulanglah,
Mereka tiba di rumah Kanayya setelah dua puluh menit perjalananan. Rentang waktu yang cukup lama untuk berbicara panjang lebar dan bercerita banyak hal.“Kamu pekerjaannya bener-bener cuma mengurus Rain?” tanya Lady tadi.“Iya, kenapa?” Ale menjawab dan mengulas senyum. Pria itu begitu murah senyum. Sebenarnya ia menyimpan sesuatu dari orang-orang dan hanya Rain yang tahu. Tapi biar saja cukup dirinya dan orang-orang terdekatnya yang tahu.”Nggak, cuma nanya aja. Kamu udah lama jadi asisten Rain?””Lumayan, sejak Rain pulang ke Indonesia.”Lady mengangguk-angguk tanda mengerti. Kehabisan bahan untuk bicara apa lagi guna mengisi waktu selama perjalanan mereka.”Gantian nanya, boleh?”“Ya, tanya aja, aku akan jawab selagi aku bisa,” sahut Lady.Ale membuka kacamata hitam yang sejak tadi membingkai wajahnya sekadar menghargai perempuan di sebelahnya. ”Kamu kenapa mau menikah sama Rain?”Lady tersenyum singkat. Ia belum terlalu sering mendengarnya. Justru yang kerap sampai di telinganya a
“Rain!!!” Sydney berteriak kaget saat tiba-tiba lelaki itu menyingkirkan dari atasnya. Ia hampir saja terjengkang ke belakang. “Kebiasaan kamu, Rain!” makinya kesal lantaran hampir mencapai klimaks namun terhenti tiba-tiba.Rain tidak peduli dan bergerak cepat menyambar ponsel. Menekan answer, menghentikan nada panggilan. Dengan napasnya yang masih terengah lelaki itu pun menyapa.“Halo, Nda.””Kamu habis lari-lari?” Dijawab dari seberang sana.“Nggak, Nda.””Tapi Bunda denger nafas kamu sesak.”“Ah, masa sih? Perasaan Bunda aja kali.” Rain tertawa disusul dengan berdeham untuk menyamarkan irama napasnya.“Bukan perasaan, tapi emang beneran Bunda denger kayak gitu,” sangkal Kanayya membantah. “Emang sekarang kamu lagi di mana? Kenapa tadi nggak angkat telfon dari Lady? Telfon dari Bunda kamu juga lama ngejawabnya.”“Ng, aku—aku lagi di luar, Nda.” Rain gelagapan sambil menggaruk leher belakang kebingungan. Ia sama sekali tidak mengantisipasi kemungkinan itu. Mendingan tadi dimatikanny
Rain berdeham, mengagetkan Lady dan Ale yang sedang bercengkrama dan asyik mengobrol sejak tadi.“Pulang juga lo, udah selesai urusan?” sindir Ale menyambut kedatangan Rain.Perkataan itu membuat Rain panas. Rasa kesalnya berlipat-lipat. Setelah tadi ditinggal Sydney di tengah jalan, kini ia harus melihat istri dan asistennya sendiri duduk berdua dan terlihat akrab dan sangat dekat. Rain benci mengakui bahwa ia tidak suka melihat kedekatan keduanya.“Bunda yang minta gue pulang, katanya mau ajak makan siang bareng,” jawab Rain lalu ikut duduk bergabung bersama keduanya. Ia kemudian melirik pada Lady yang diam saja. ‘Suami pulang bukannya disapa malah dicuekin’.“Jadi kalo nggak disuruh lo nggak bakal datang?” lanjut Ale lagi.“Jangan dipanjang-panjangin. Jangan semua dijadiin masalah, gue nggak suka.””Gue nggak manjangin, kan cuma nanya,” sahut Ale ringan.“Ck!” Rain berdecak kemudian memandang pada Lady yang masih betah duduk di sana. “Lo kenapa masih di sini? Sana, bantuin Bunda si
Lady terpaksa mengikuti langkah Rain yang mengajaknya ke dalam kamar. Ia duduk di pinggiran ranjang sedangkan suaminya berdiri bersedekap tangan dengan tatapan menghakimi.“Sekarang ceritain ke gue gimana lo bisa ngobrol seakrab itu sama asisten gue.”“Akrab gimana? Perasaan biasa aja,” sahut Lady yang merasa interaksinya dengan Ale normal dan wajar. Tapi tidak menurut Rain yang menangkapnya dari sudut pandang yang berbeda.”Lain kali kalau lagi ada temen gue lo nggak usah ikutan nimbrung. Nggak sopan.””Nggak sopannya di mana? Kan tadi aku emang lagi sama dia. Kamu-nya aja yang baru datang ikutan nimbrung. Tadi tuh aku lagi nunggu taksi di depan toko, terus kebetulan Ale lewat, aku nebeng dia aja sekalian,” tutur Lady apa adanya.Penjelasan lugas perempuan itu sontak membuat Rain menegang. Garis-garis mukanya mengetat. “Lo kok jadi ganjen kayak gitu?” sergahnya marah.“Aku ganjen gimana? Aku salah lagi?” tanya Lady dengan polos.“Ya jelas dong lo salah. Apa lo nggak sadar juga kalau
Lady terkesiap. Hampir saja ia tersedak. Sebagian cairan Rain tertelan olehnya. Sedangkan separuh yang lain ia keluarkan dari mulutnya. Lady terkejut. Benar-benar terperanjat atas yang baru saja terjadi. Mata bundarnya melebar. Napasnya turun naik tak beraturan.Sementara itu Rain yang masih duduk di pinggir ranjang menatap Lady yang terduduk di lantai. Tak percaya jika perempuan itu baru saja memuaskannya. Menerbangkannya ke surga. Memberinya sensasi baru untuk pertama kali setelah rasa yang biasa-biasa saja ia dapat dari Sydney.Bangkit dari lantai, Lady setengah berlari ke kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat. Segera dibersihkannya mulut. Ia berkumur-kumur menghilangkan sisa-sisa cairan jika ada yang masih mengendap di mulutnya. Lantas disikatnya gigi dan lidahnya sampai bersih.Lady mendapati mukanya yang pucat di kaca wastafel saat bercermin di sana. Sungguh luar biasa. Apa yang baru saja ia lakukan merupakan pengalaman pertama yang menegangkan sekaligus membuatnya takjub. T
Ale menyusul Rain yang melangkah cepat dan masuk ke mobil. Ia dapati muka masam laki-laki itu saat mata mereka bertemu.“Semua yang dikatakan Kendrick nggak salah. Dengerin gue baik-baik, kalau lo kayak gini terus lo bisa ditikung Bobby. Lo mau kayak gitu?”“Lo kalau ngomong udah kayak tokoh film horor,” balas Rain pada Ale yang menakutinya.”Gue nggak lagi nakut-nakutin. Gue cuma bilang kemungkinan yang bakal terjadi.”Rain langsung terdiam. Perkataan Ale persis sama dengan ucapan Lady saat ia membentak perempuan itu di rumah bundanya.“Kenapa lo gitu banget ngeliat gue?” Kali ini Ale yang bertanya lantaran Rain menatapnya sedemikian intens.”Jalan sekarang.” Rain mengabaikan pertanyaan itu dan meminta agar Ale membawanya pergi dari sana.“Kita mau ke mana?” tanya Ale ingin tahu apa tujuan mereka selanjutnya.Rain juga bingung akan ke mana. Tidak mungkin ke rumah bundanya. Kanayya bisa curiga jika ia pulang secepat itu.“Tuh kan, lo kebanyakan bengong,” tegur Ale pada Rain yang terma
Hal pertama yang dilakukan Rain dan Lady setibanya mereka di rumah adalah mandi, membersihkan diri setelah aktivitas manusia dewasa yang mereka lakukan di mobil tadi. Sesudahnya mereka sama-sama beristirahat.“Duh, Rain, aku capek banget, pengen tidur aja sampai minggu depan,” ujar Lady tanpa bermaksud mengeluh. Sekarang saja tubuhnya mulai terasa remuk. Ia rasa butuh waktu satu hari lagi untuk beristirahat, tapi hal lain sudah menantinya.“Ya udah, tidur gih sampai minggu depan.” Rain menimpali sambil tertawa.Lady merapat ke sisi Rain. Sedangkan laki-laki itu membiarkan pergelangannya dijadikan istrinya sebagai bantal. Seraya tangannya melingkari tubuh lady, bibirnya ikut mengecup puncak kepala sang istri dengan penuh cinta.”Aku tahu kamu kelelahan. Kita baru nyampe tapi aku udah ngajak kamu clubbing. Udah gitu aku malah minta yang iya-iya.”Senyum kecil terbit di bibir Lady. “Tumben kamu sadar?”“Aku sadar kok, tapi kalau kepengen mau diapain? Percuma juga ada istri, ya nggak sih?
Malam semakin menua, tapi justru geliat kehidupan di Broken Wings semakin menguar. Musik yang menghentak menenggelamkan setiap pemilik jiwa yang berada di dalamnya. Membuat mereka melupakan bahwa kehidupan yang sebenarnya ada di luar sana.“Ale, kita pulang yuk,” ajak Zee setelah melirik jam di pergelangannya. Perempuan itu mulai khawatir. Sepuluh menit berlalu dari pukul satu malam, dan ia masih berkeliaran di luar.“Udah nggak betah sama aku?” Ale menggoda Zee sembari menyunggingkan senyum hangat untuk perempuan itu.Zee balas melengkungkan bibir. “Bukan begitu, tapi ini udah larut malam. Udah jam satu sepuluh menit.” Meskipun hatinya masih merasa berat, tapi Ale terpaksa harus mengakhiri kebersamaan mereka malam itu. Kemudian bola matanya bergulir liar mencari Rain, namun tak menemukannya. Jangan-jangan Rain dan Lady masih berada di mobil hingga saat ini.”Zee, duduk dulu yuk, pulangnya bentar lagi.” Ale mengalihkan Zee untuk sesaat.“Kenapa? Tapi ini udah terlalu malam.” Zee agak
Rain merangkul erat pinggang Lady, membawanya berjalan menjauh dari dance floor. Rain tersenyum sekilas pada beberapa orang yang mengenalinya dan menyapanya.“Rain, kamu beneran mau kita ngelakuinnya di mobil?” Lady masih ragu sambil celingukan ke kanan dan ke kiri, memindai situasi di sekelilingnya. Lady khawatir jika nanti sedang asyik masyuk tiba-tiba saja ada yang menangkap basah mereka.“Udah, Lad, nggak usah banyak tanya, masuk aja dulu.” Rain menuntun Lady agar naik ke mobil di saat perempuan itu masih berdiri termangu.Setelah lady masuk duluan barulah Rain ikut naik dan menutup pintu. Embusan napas lepas keluar dari mulut Rain menunjukkan ia merasa lega berada di tempat ini.“Geser, Lad.” Rain meminta Lady untuk menggeser posisinya bukan agar ia bisa duduk di sebelah perempuan itu tapi untuk berbaring di pangkuannya.Lady menundukkan kepala, memandang Rain dengan tatapan sayang seraya membelai kepala laki-laki itu. Rain saat ini lebih terlihat bagaikan seorang anak yang seda
“Nyet, sekalian lo pesenin untuk Lalad ya,” ujar Rain pada Ale.Ale lantas bertanya pada Lady. “Kalau kamu mau minum apa, Dy?” Lady melirik gelas Zee dan Alana yang berisi cola sebelum memberi jawaban. “Samain kayak Zee dan Alana aja deh,” putusnya.”Oke.”Sejak kehadirannya bergabung bersama mereka, Lady melihat Alana dan Zee tidak banyak bicara. Alana yang biasanya ceria saat ini tampak murung. Hmm, dia kenapa ya?Tidak ingin mencampuri urusan keduanya, Lady tidak bertanya apa-apa. Ia memindahkan perhatiannya pada Rain di sebelahnya.”Rain, nanti minumnya jangan terlalu banyak. Inget, kita lagi tinggal di rumah Bunda, bukan apartemen,” ucap Lady. Khawatir kalau sampai Rain mabuk berat.“Iya, iya, bawel…,” jawab Rain yang untuk kesekian kali mengecup puncak kepala sang istri. “Lagian Bunda nggak bakal tahu, Bunda kan udah tidur,” sambungnya lagi.Rain kemudin beralih pada Alana yang tidak menimpalinya seperti biasa. “Tante kenapa? Aku perhatiin dari tadi cemberut kayak orang lagi sa
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa