Sudah larut malam, dan Lady masih betah menunggu di sofa depan televisi. Seharusnya ia bisa masuk ke kamarnya dan langsung tidur. Tapi telepon dari Kanayya beberapa menit yang lalu membuatnya tetap bertahan di sana sampai Rain pulang.Malam ini gara-gara insiden dengan Sydney tadi Lady terpaksa bolos kuliah karena sudah terlambat juga. Lalu Kanayya meneleponnya.“Kamu di mana, Dy?”“Di apartemen, Nda.””Nggak kuliah?””Nggak, Nda, dosennya lagi ada urusan jadi cuma dikasih tugas disuruh kumpulin minggu depan.” Pada bagian ini Lady berbohong karena tidak mungkin mengatakan tentang keributan kecil dengan Sydney tadi.”Rain mana?”“Rain lagi ke luar, Nda.”“Kamu nggak ikut?””Nggak, lagian katanya Rain nggak lama, cuma sebentar.”“Tapi hubungan kalian baik-baik aja kan?””Baik, Nda. Semua lancar, nggak ada masalah.”“Bunda nggak lagi nanya kamu ada masalah lho, Dy.”Lady akhirnya terjebak oleh pernyataannya sendiri.“Eh, maksudku hubunganku dengan Rain baik-baik aja. Tadi Rain ke luar ka
Pagi-pagi sekali saat sedang menyiapkan makanan di ruang belakang Lady mendengar suara bel di depan sana yang membuatnya mengabaikan sejenak aktivitasnya menyediakan menu sarapan pagi untuk Rain.Lady menggegas langkah ke ruang depan dan mendapati Ale sedang berdiri tegak di hadapannya. Tingginya persis sama dengan Rain. Membuat Lady berada tepat di bawah dagu mereka. Pria ini juga tak kurang gagahnya. Jika wajah Rain lebih baby face maka Ale memiliki garis rahang yang tegas.”Pagi, Lady, Rain sudah siap?””Dia mau ke mana? Dia mau pergi ya?” tanya Lady kebingungan karena seingatnya Rain tidak mengatakan apa-apa padanya.“Pagi ini aku dan Rain akan ke Megantara, Rain ada jadwal latihan.””Oh, Rain belum bangun. Emang latihannya jam berapa?”’Ya ampuh tuh bocah!’ Ale memekik geram di dalam hati.”Jam delapan pagi ini.”“Wah, satu jam lagi berarti!” Lady ikut panik mengetahuinya. “Masuk dulu, Le, silakan duduk.” Lady mempersilakan manajer Rain itu setelah sedari tadi mereka berbicara sam
Rain mengusap keringat yang meleleh di pelipisnya sambil meneguk air minum dari botol mineral di tangannya. Latihan hari ini sangat melelahkan dan ia lumayan kesulitan membangun konsentrasi. Entah kenapa.“Kamu lagi ada masalah? Nggak biasanya kamu kayak gini,” tegur Kendrick—pelatihnya—bule asal Swedia yang teramat fasih berbahasa Indonesia. “Kalau ada masalah tinggalin dulu di rumah, jangan dibawa ke sini,” sambungnya lagi.“Nggak ada, aku nggak ada masalah apa-apa.” Rain membantah karena menurutnya ia baik-baik saja.”Kalau nggak ada kenapa kamu bisa ngerem mendadak kayak tadi?”“Mungkin karena aku kelamaan libur, jadinya lupa cara pegang setir.”“Ah, ada-ada saja. Besok aku nggak mau terima apa pun alasan kamu. Ingat, Rain, F3 sebentar lagi, kita mesti prepare semua dari sekarang.”Rain menghela napas panjang. “Ya, aku tahu.””Sekarang mau lanjut atau break dulu?””Break aja deh, kayaknya aku lagi kurang vitamin.”Pelatihnya mengangguk sambil menepuk ringan pundaknya. “Pulanglah,
Mereka tiba di rumah Kanayya setelah dua puluh menit perjalananan. Rentang waktu yang cukup lama untuk berbicara panjang lebar dan bercerita banyak hal.“Kamu pekerjaannya bener-bener cuma mengurus Rain?” tanya Lady tadi.“Iya, kenapa?” Ale menjawab dan mengulas senyum. Pria itu begitu murah senyum. Sebenarnya ia menyimpan sesuatu dari orang-orang dan hanya Rain yang tahu. Tapi biar saja cukup dirinya dan orang-orang terdekatnya yang tahu.”Nggak, cuma nanya aja. Kamu udah lama jadi asisten Rain?””Lumayan, sejak Rain pulang ke Indonesia.”Lady mengangguk-angguk tanda mengerti. Kehabisan bahan untuk bicara apa lagi guna mengisi waktu selama perjalanan mereka.”Gantian nanya, boleh?”“Ya, tanya aja, aku akan jawab selagi aku bisa,” sahut Lady.Ale membuka kacamata hitam yang sejak tadi membingkai wajahnya sekadar menghargai perempuan di sebelahnya. ”Kamu kenapa mau menikah sama Rain?”Lady tersenyum singkat. Ia belum terlalu sering mendengarnya. Justru yang kerap sampai di telinganya a
“Rain!!!” Sydney berteriak kaget saat tiba-tiba lelaki itu menyingkirkan dari atasnya. Ia hampir saja terjengkang ke belakang. “Kebiasaan kamu, Rain!” makinya kesal lantaran hampir mencapai klimaks namun terhenti tiba-tiba.Rain tidak peduli dan bergerak cepat menyambar ponsel. Menekan answer, menghentikan nada panggilan. Dengan napasnya yang masih terengah lelaki itu pun menyapa.“Halo, Nda.””Kamu habis lari-lari?” Dijawab dari seberang sana.“Nggak, Nda.””Tapi Bunda denger nafas kamu sesak.”“Ah, masa sih? Perasaan Bunda aja kali.” Rain tertawa disusul dengan berdeham untuk menyamarkan irama napasnya.“Bukan perasaan, tapi emang beneran Bunda denger kayak gitu,” sangkal Kanayya membantah. “Emang sekarang kamu lagi di mana? Kenapa tadi nggak angkat telfon dari Lady? Telfon dari Bunda kamu juga lama ngejawabnya.”“Ng, aku—aku lagi di luar, Nda.” Rain gelagapan sambil menggaruk leher belakang kebingungan. Ia sama sekali tidak mengantisipasi kemungkinan itu. Mendingan tadi dimatikanny
Rain berdeham, mengagetkan Lady dan Ale yang sedang bercengkrama dan asyik mengobrol sejak tadi.“Pulang juga lo, udah selesai urusan?” sindir Ale menyambut kedatangan Rain.Perkataan itu membuat Rain panas. Rasa kesalnya berlipat-lipat. Setelah tadi ditinggal Sydney di tengah jalan, kini ia harus melihat istri dan asistennya sendiri duduk berdua dan terlihat akrab dan sangat dekat. Rain benci mengakui bahwa ia tidak suka melihat kedekatan keduanya.“Bunda yang minta gue pulang, katanya mau ajak makan siang bareng,” jawab Rain lalu ikut duduk bergabung bersama keduanya. Ia kemudian melirik pada Lady yang diam saja. ‘Suami pulang bukannya disapa malah dicuekin’.“Jadi kalo nggak disuruh lo nggak bakal datang?” lanjut Ale lagi.“Jangan dipanjang-panjangin. Jangan semua dijadiin masalah, gue nggak suka.””Gue nggak manjangin, kan cuma nanya,” sahut Ale ringan.“Ck!” Rain berdecak kemudian memandang pada Lady yang masih betah duduk di sana. “Lo kenapa masih di sini? Sana, bantuin Bunda si
Lady terpaksa mengikuti langkah Rain yang mengajaknya ke dalam kamar. Ia duduk di pinggiran ranjang sedangkan suaminya berdiri bersedekap tangan dengan tatapan menghakimi.“Sekarang ceritain ke gue gimana lo bisa ngobrol seakrab itu sama asisten gue.”“Akrab gimana? Perasaan biasa aja,” sahut Lady yang merasa interaksinya dengan Ale normal dan wajar. Tapi tidak menurut Rain yang menangkapnya dari sudut pandang yang berbeda.”Lain kali kalau lagi ada temen gue lo nggak usah ikutan nimbrung. Nggak sopan.””Nggak sopannya di mana? Kan tadi aku emang lagi sama dia. Kamu-nya aja yang baru datang ikutan nimbrung. Tadi tuh aku lagi nunggu taksi di depan toko, terus kebetulan Ale lewat, aku nebeng dia aja sekalian,” tutur Lady apa adanya.Penjelasan lugas perempuan itu sontak membuat Rain menegang. Garis-garis mukanya mengetat. “Lo kok jadi ganjen kayak gitu?” sergahnya marah.“Aku ganjen gimana? Aku salah lagi?” tanya Lady dengan polos.“Ya jelas dong lo salah. Apa lo nggak sadar juga kalau
Lady terkesiap. Hampir saja ia tersedak. Sebagian cairan Rain tertelan olehnya. Sedangkan separuh yang lain ia keluarkan dari mulutnya. Lady terkejut. Benar-benar terperanjat atas yang baru saja terjadi. Mata bundarnya melebar. Napasnya turun naik tak beraturan.Sementara itu Rain yang masih duduk di pinggir ranjang menatap Lady yang terduduk di lantai. Tak percaya jika perempuan itu baru saja memuaskannya. Menerbangkannya ke surga. Memberinya sensasi baru untuk pertama kali setelah rasa yang biasa-biasa saja ia dapat dari Sydney.Bangkit dari lantai, Lady setengah berlari ke kamar mandi dan menutup pintu rapat-rapat. Segera dibersihkannya mulut. Ia berkumur-kumur menghilangkan sisa-sisa cairan jika ada yang masih mengendap di mulutnya. Lantas disikatnya gigi dan lidahnya sampai bersih.Lady mendapati mukanya yang pucat di kaca wastafel saat bercermin di sana. Sungguh luar biasa. Apa yang baru saja ia lakukan merupakan pengalaman pertama yang menegangkan sekaligus membuatnya takjub. T
“Nyet, sekalian lo pesenin untuk Lalad ya,” ujar Rain pada Ale.Ale lantas bertanya pada Lady. “Kalau kamu mau minum apa, Dy?” Lady melirik gelas Zee dan Alana yang berisi cola sebelum memberi jawaban. “Samain kayak Zee dan Alana aja deh,” putusnya.”Oke.”Sejak kehadirannya bergabung bersama mereka, Lady melihat Alana dan Zee tidak banyak bicara. Alana yang biasanya ceria saat ini tampak murung. Hmm, dia kenapa ya?Tidak ingin mencampuri urusan keduanya, Lady tidak bertanya apa-apa. Ia memindahkan perhatiannya pada Rain di sebelahnya.”Rain, nanti minumnya jangan terlalu banyak. Inget, kita lagi tinggal di rumah Bunda, bukan apartemen,” ucap Lady. Khawatir kalau sampai Rain mabuk berat.“Iya, iya, bawel…,” jawab Rain yang untuk kesekian kali mengecup puncak kepala sang istri. “Lagian Bunda nggak bakal tahu, Bunda kan udah tidur,” sambungnya lagi.Rain kemudin beralih pada Alana yang tidak menimpalinya seperti biasa. “Tante kenapa? Aku perhatiin dari tadi cemberut kayak orang lagi sa
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa
Lady diam saja saat Rain terus menceramahinya. Justru sekarang pikirannya hanya tertuju pada seseorang yang jauh berada di benua sana. Lady sudah tidak sabar ingin menceritakan pada Ale mengenai pertemuannya dengan perempuan gipsi tadi. Lady yakin, hanya Ale yang akan memahaminya mengenai pergipsian ini. Sedangkan Rain sudah antipati duluan. Rain bukan pendengar yang baik untuk hal ini.“Kenapa diam aja?” tanya Rain yang baru menyadari jika Lady bungkam sejak tadi dan tidak merespon apa pun yang ia katakan.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” balas Lady.“Emang orang tadi bilang apa aja sih sama kamu?” Meskipun tidak pernah memercayai hal semacam itu namun Rain merasa penasaran juga dan tidak tahan untuk tidak bertanya.Lady ingin berterus terang, tapi merasa ragu. Ia khawatir akan penilaian negatif Rain nanti. Alhasil ia pun mendustai suaminya.”Dia cuma nanya nama aku.”“Terus?””Dia nanya aku berasal dari mana.”“Next?”Lady terdiam untuk sesaat. Apa ya tanggapan Rain jika tahu r
lLady terkikik geli ketika Rain menceritakan padanya mengenai obrolan dengan orang tua Reza. Siapa pun yang tidak mengenal pria itu pasti tidak akan menyangka kalau Reza mengalami gangguan jiwa. Secara kasat mata Reza tampak gagah, sehat, segar bugar dan baik-baik saja.”Bangke emang, bisa-bisanya gue dikerjain orang sakit,” rutuk Rain antara geli serta jengkel.Tawa Lady bertambah keras. Geli melihat Rain saat ini. “Pantes aja dia lebay banget ke aku. Gombalan-gombalannya bikin aku eneg, untung aja aku nggak muntah di depan dia.”Rain menimpali tawa Lady. “Emang dia bilang apa ke kamu?” tanyanya ingin tahu.”Dia bilang aku cantik, mandiri, aku perempuan istimewa, pokoknya ya gitu deh. Kamu ngeliat nggak kemarin waktu di restoran banyak banget makanan di atas meja aku? Itu semua dia yang suruh. Padahal jatah sarapan aku udah habis. Tapi emang enak-enak sih makanannya.”“Aku nggak lihat.”“Gimana mau lihat, kamu-nya udah keburu emosi. Nggak tahu aja dia yang dicemburui orang sakit. Hah
Matahari sudah tenggelam sempurna ketika Rain dan Lady tiba di hotel. Syukurlah mereka tidak bertemu dengan Reza. Cowok gesrek dengan mulut tanpa filter yang super duper menyebalkan.Setibanya di kamar keduanya sama-sama merebahkan tubuh ke pembaringan. Hari ini terasa sangat melelahkan ketimbang hari-hari sebelumnya.“Gimana? Ada berasa sakit?” tanya Rain ingin tahu keadaan Lady setelah merajah tato tadi.Lady menggelengkan kepala. “Udah enggak.” Tadi saat dirajah ia hanya merasakan sedikit rasa perih. Jika setelahnya mereka mengalami efek samping seperti alergi, gatal-gatal atau pun ruam pada kulit, mereka diharuskan untuk datang kembali.Tangan Rain lantas terulur mengusap-usap kepala Lady yang berbaring miring menghadap padanya. Keduanya tidak habis pikir pada apa yang mereka lakukan berdua.“Lad, udah yuk rebahannya. Kita check out sekarang,” cetus Rain tiba-tiba ketika ingat rencananya tadi untuk check out sorenya. Bahkan sekarang hari sudah malam.“Duh, Rain, aku capek banget,