Ale menyusul Rain yang melangkah cepat dan masuk ke mobil. Ia dapati muka masam laki-laki itu saat mata mereka bertemu.“Semua yang dikatakan Kendrick nggak salah. Dengerin gue baik-baik, kalau lo kayak gini terus lo bisa ditikung Bobby. Lo mau kayak gitu?”“Lo kalau ngomong udah kayak tokoh film horor,” balas Rain pada Ale yang menakutinya.”Gue nggak lagi nakut-nakutin. Gue cuma bilang kemungkinan yang bakal terjadi.”Rain langsung terdiam. Perkataan Ale persis sama dengan ucapan Lady saat ia membentak perempuan itu di rumah bundanya.“Kenapa lo gitu banget ngeliat gue?” Kali ini Ale yang bertanya lantaran Rain menatapnya sedemikian intens.”Jalan sekarang.” Rain mengabaikan pertanyaan itu dan meminta agar Ale membawanya pergi dari sana.“Kita mau ke mana?” tanya Ale ingin tahu apa tujuan mereka selanjutnya.Rain juga bingung akan ke mana. Tidak mungkin ke rumah bundanya. Kanayya bisa curiga jika ia pulang secepat itu.“Tuh kan, lo kebanyakan bengong,” tegur Ale pada Rain yang terma
Ruang produksi Cake Palace sedang sibuk-sibuknya. Uap panas menambah kental suasana siang itu. Para pekerja berpacu di bawah tekanan waktu yang terus memburu. Mereka semua tekun, solid dan pekerja keras.Tidak ada satu pun suara yang terdengar dari mulut mereka. Semua sibuk dan terlihat fokus dengan tugas masing-masing. Hingga kemudian salah satu pekerja bagian depan masuk ke area itu.“Mbak Lady, ada supplier tepung ingin bertemu,” beritahunya.“Supplier tepung?” Lady mengernyit heran. Seingatnya ia tidak punya janji dengan siapa pun.”Supplier tepung mana ya? Aku nggak ada janji sama supplier apalagi supplier tepung. Lagian bahan-bahan kita masih banyak.””Nggak tahu juga sih, Mbak, katanya dia supplier tepung.”“Namanya siapa?”“Duh, aku udah tanya tapi dia nggak sebutin namanya, cuma bilang dia supplier tepung yang mau ketemu sama Mbak Lady. Tapi orangnya cakep, gagah, tinggi banget, senyumnya manis.””Laki-laki?” Lady terkejut. Apa mungkin Farrel? Tapi ciri-cirinya seperti bukan
“Kamu duduk aja dulu ya, biar aku yang pesen.” Ale menyuruh Lady duduk sedangkan dirinya ikut antri di counter makanan bersama para pembeli lain yang berjubel.Lady mengambil tempat duduk di pojokan. Agak tersembunyi posisinya, tapi dari sana ia bisa dengan leluasa memandang ke sekitarnya termasuk melihat Ale berbaris di tempatnya kini.Tanpa sadar bibir Lady melengkungkan senyum mengingat sikap manis Ale sepanjang kebersamaan mereka tadi. Tiba-tiba dari tempatnya berdiri Ale menoleh ke belakang memandang tepat ke arah Lady. Pria itu tersenyum penuh arti yang Lady balas dengan senyum tipis. Lalu ia kembali memandang ke depan saat tiba gilirannya.Tak lama kemudian Ale datang dengan tangan membawa nampan berisi dua porsi ayam goreng, dua porsi nasi, dua porsi kentang goreng plus dua gelas minuman bersoda dan air mineral.Ale duduk di hadapan Lady dan memisahkan makanan mereka.“Kena berapa semua, Le?” tanya Lady dan bersiap-siap mengeluarkan uang dari dompet yang baru saja ia ambil dar
“Kok malah ngelamun? Turun yuk!” ajak Ale untuk kesekian kalinya saat Lady masih saja mematung memandanginya.“Kita pergi aja deh.””Pergi ke mana? Katanya tadi kamu mau buru-buru pulang. Katanya banyak yang harus dikerjain,” kata Ale mengingatkan.Lady juga tidak tahu harus pergi ke mana. Saat ini ia hanya ingin tidak bertemu dengan Rain. Ia menyayangi dirinya sendiri dan ingin menjaga suasana hatinya agar tidak memburuk. Itu saja.Lalu kemudian pikiran positifnya datang. ‘Ngapain juga aku harus menghindar. Biarin aja. Terserah dia mau ngapain di sini.’Mereka kemudian turun dari mobil.Di dalam toko Sydney baru saja membayar belanjaannya. Sedang Rain berdiri agak jauh darinya. Sekilas Sydney lihat muka kusut laki-laki itu. Entah apa lagi yang terjadi. Akhir-akhir ini Rain memang sukar diprediksi.“Rain, ada tambahan?” seru Sydney pada laki-laki itu.Rain menggeleng tanpa minat. Dengan tidak sabar menunggu Sydney. Lama-lama di sini ia bisa semakin emosi bila mengingat Lady.‘Ngapain
“Kita langsung ke sana atau mau makan malam dulu?” tanya Ale begitu mereka baru saja beberapa meter meninggalkan kampus Lady.“Langsung ke sana aja deh,” putus Lady. “Aku masih kenyang,” sambungnya lagi.“Awet ya makan siang sama aku? Kenyangnya lama.” Ale terkekeh menimpali. Kakinya menekan pedal gas lebih dalam.“Iya nih, biasanya jam segini aku udah laper, tapi tumben masih kenyang jam segini.””Itu karena tadi kamu makan siangnya sama aku. Coba kalau nanti makan bareng aku lagi dijamin kenyangnya bakal awet sampai besok.”Tawa Lady meledak. Pria di sebelahnya ini tak henti-henti mengocok perutnya. Entah sudah berapa kali sejak siang tadi.Lady kemudian memeriksa ponselnya. Tidak ada notifikasi apa pun di sana. Termasuk dari Rain. Suaminya itu tidak menghubunginya sama sekali, membuat Lady menjadi yakin bahwa pria itu memang tidak memedulikannya. Bahkan mungkin jika ia mati sekali pun Rain tidak akan mau tahu. Lelaki itu pasti mensyukuri kematiannya.“Tuh kan, tiap lagi sama aku pa
Rain mengedarkan mata, memindai keadaan di sekelilingnya. Saat ini Rain sedang berada di kampus Lady. Tidak ada lagi aktivitas di sana. Kampus sudah sepi karena kegiatan perkuliahan sudah berakhir sejak beberapa jam yang lalu.’Kelayapan ke mana lagi lo, Lad?’Rain mulai pusing karena tak juga menemukan istrinya. Saat mencoba menghubungi Lady, ternyata tidak bisa dihubungi. Membuat Rain tidak bisa untuk tidak berpikiran negatif. Pasti Lady sengaja mematikan ponselnya supaya bisa bebas dan berkeliaran ke mana-mana.Keluar dari kampus Lady, Rain mengemudi tanpa arah. Ia susuri jalan raya sementara matanya berlarian dengan gelisah. Setiap sudut ruas jalan tidak lepas dari penglihatannya. Berharap ia akan menemukan Lady.Rain kemudian mendatangi Cake Palace. Yang ditemukannya hanyalah bangunan kosong. Tidak ada siapa pun di sana.‘Brengsek, lo bener-bener mau cari masalah sama gue.’ Rain menendang tong sampah yang berada di depan gedung saking kesalnya.Ia segera masuk ke dalam mobil saat
Lady melangkah masuk ke dalam rumah mendahului Rain. Ia bermaksud menuju kamar pembantu dan tidur di sana, tapi suara laki-laki itu mencegahnya.“Lo mau ke mana?”Lady diam saja. Ia tidak peduli dan meneruskan langkah.“Lad, lo budek ya? Lo denger gue nggak sih?” Rain mencekal tangan Lady sehingga kakinya tertahan. Rain langsung menghadang di depan dan ia mendapati muka cemberut istrinya itu. “Harusnya gue yang marah, bukan lo, Lad.”Tanpa mengeluarkan suara, Lady terus menyingkir, menerobos Rain yang berdiri menghadang di depannya.“Lad, gue lagi ngomong sama lo, denger nggak sih? Lo hargai gue dong!””Aku mau tidur.”“Tapi ini bukan kamar kita.”‘Kita’. Kalimat itu membuat Lady merasakan sesuatu yang berbeda. Seingatnya baru dua kali Rain menggunakan kata itu y
“Kamu ke mana aja semalam, Dy? Bunda sama Rain sampai cemas,” kata Kanayya pagi itu. Mereka sedang berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama.”Semalam aku ke rumah temen, Nda, ngerjain tugas kuliah. Maaf ya, Nda, aku nggak kasih kabar. Hpku habis baterai.” Lady beralasan sembari menekan perasaan bersalah dalam-dalam.“Oh, Bunda kira ada apa, soalnya hujan dan kamu masih belum pulang. Biasanya sebelum kuliah kamu kan pulang dari toko dulu.”“Iya, Nda, maaf sekali lagi,” ulang Lady. Ah, bersalah sekali rasanya membohongi mertuanya ini.“Nggak apa-apa, Dy, cuma kalau bisa kalau lain kali kamu ada pergi-pergi lagi kamu catet nomer hp Rain atau Bunda di kertas, jadi kalau hp kamu mati kamu bisa kasih kabar pake hp temen kamu.””Iya, Nda.” Aku hafal kok nomer hp Bunda, tapi semalam bener-bener nggak kepikiran buat kasih kabar. Maaf ya, Nda, lain kali aku nggak akan ulangi lagi.”Kanayya tersenyum maklum. “Nggak apa-apa, yuk lanjutin makannya.”Lady menyuap oatmeal. Sesekali melirik ke a
“Nyet, sekalian lo pesenin untuk Lalad ya,” ujar Rain pada Ale.Ale lantas bertanya pada Lady. “Kalau kamu mau minum apa, Dy?” Lady melirik gelas Zee dan Alana yang berisi cola sebelum memberi jawaban. “Samain kayak Zee dan Alana aja deh,” putusnya.”Oke.”Sejak kehadirannya bergabung bersama mereka, Lady melihat Alana dan Zee tidak banyak bicara. Alana yang biasanya ceria saat ini tampak murung. Hmm, dia kenapa ya?Tidak ingin mencampuri urusan keduanya, Lady tidak bertanya apa-apa. Ia memindahkan perhatiannya pada Rain di sebelahnya.”Rain, nanti minumnya jangan terlalu banyak. Inget, kita lagi tinggal di rumah Bunda, bukan apartemen,” ucap Lady. Khawatir kalau sampai Rain mabuk berat.“Iya, iya, bawel…,” jawab Rain yang untuk kesekian kali mengecup puncak kepala sang istri. “Lagian Bunda nggak bakal tahu, Bunda kan udah tidur,” sambungnya lagi.Rain kemudin beralih pada Alana yang tidak menimpalinya seperti biasa. “Tante kenapa? Aku perhatiin dari tadi cemberut kayak orang lagi sa
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa
Lady diam saja saat Rain terus menceramahinya. Justru sekarang pikirannya hanya tertuju pada seseorang yang jauh berada di benua sana. Lady sudah tidak sabar ingin menceritakan pada Ale mengenai pertemuannya dengan perempuan gipsi tadi. Lady yakin, hanya Ale yang akan memahaminya mengenai pergipsian ini. Sedangkan Rain sudah antipati duluan. Rain bukan pendengar yang baik untuk hal ini.“Kenapa diam aja?” tanya Rain yang baru menyadari jika Lady bungkam sejak tadi dan tidak merespon apa pun yang ia katakan.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” balas Lady.“Emang orang tadi bilang apa aja sih sama kamu?” Meskipun tidak pernah memercayai hal semacam itu namun Rain merasa penasaran juga dan tidak tahan untuk tidak bertanya.Lady ingin berterus terang, tapi merasa ragu. Ia khawatir akan penilaian negatif Rain nanti. Alhasil ia pun mendustai suaminya.”Dia cuma nanya nama aku.”“Terus?””Dia nanya aku berasal dari mana.”“Next?”Lady terdiam untuk sesaat. Apa ya tanggapan Rain jika tahu r
lLady terkikik geli ketika Rain menceritakan padanya mengenai obrolan dengan orang tua Reza. Siapa pun yang tidak mengenal pria itu pasti tidak akan menyangka kalau Reza mengalami gangguan jiwa. Secara kasat mata Reza tampak gagah, sehat, segar bugar dan baik-baik saja.”Bangke emang, bisa-bisanya gue dikerjain orang sakit,” rutuk Rain antara geli serta jengkel.Tawa Lady bertambah keras. Geli melihat Rain saat ini. “Pantes aja dia lebay banget ke aku. Gombalan-gombalannya bikin aku eneg, untung aja aku nggak muntah di depan dia.”Rain menimpali tawa Lady. “Emang dia bilang apa ke kamu?” tanyanya ingin tahu.”Dia bilang aku cantik, mandiri, aku perempuan istimewa, pokoknya ya gitu deh. Kamu ngeliat nggak kemarin waktu di restoran banyak banget makanan di atas meja aku? Itu semua dia yang suruh. Padahal jatah sarapan aku udah habis. Tapi emang enak-enak sih makanannya.”“Aku nggak lihat.”“Gimana mau lihat, kamu-nya udah keburu emosi. Nggak tahu aja dia yang dicemburui orang sakit. Hah
Matahari sudah tenggelam sempurna ketika Rain dan Lady tiba di hotel. Syukurlah mereka tidak bertemu dengan Reza. Cowok gesrek dengan mulut tanpa filter yang super duper menyebalkan.Setibanya di kamar keduanya sama-sama merebahkan tubuh ke pembaringan. Hari ini terasa sangat melelahkan ketimbang hari-hari sebelumnya.“Gimana? Ada berasa sakit?” tanya Rain ingin tahu keadaan Lady setelah merajah tato tadi.Lady menggelengkan kepala. “Udah enggak.” Tadi saat dirajah ia hanya merasakan sedikit rasa perih. Jika setelahnya mereka mengalami efek samping seperti alergi, gatal-gatal atau pun ruam pada kulit, mereka diharuskan untuk datang kembali.Tangan Rain lantas terulur mengusap-usap kepala Lady yang berbaring miring menghadap padanya. Keduanya tidak habis pikir pada apa yang mereka lakukan berdua.“Lad, udah yuk rebahannya. Kita check out sekarang,” cetus Rain tiba-tiba ketika ingat rencananya tadi untuk check out sorenya. Bahkan sekarang hari sudah malam.“Duh, Rain, aku capek banget,