Malam datang dengan cepat. Begitu juga dengan kantuk.
Fal masih belum bisa tertidur, jadi dia berjanji ketika kami sudah berbaring. Dia memegang alat mirip gadget. “Fal takkan ke mana-mana. Fal tetap di sini kalau Forlan sudah tidur. Fal yang menjaga tidurnya Forlan.”
Sebenarnya aku ingin bertahan sedikit lebih lama—terutama karena ketika aku setengah tertidur, sudut mataku menemukan pendar putih beriak di kegelapan kamar. Hanya ada cahaya remang-remang karena Fal masih bermain, tetapi Fal tak bisa menyadari atau melihat wujud pendar putih itu. Di penglihatan setengah sadar, aku mendapati Bibi mewujud dan mendekat ke sisi ranjang.
Pendarnya terasa tersenyum. “Tidurlah, Sayang. Kita bisa bicara nanti. Kau pasti kelelahan. Biarkan Bibi menemani kalian.”
Barangkali ini efek semua yang kulakukan di misi—kesadaranku bisa jatuh lebih cepat dari biasanya. Aku bahkan tidak sempat mengatakan apa-apa pada Bibi. Mataku sudah menut
Aku sedang membakar beberapa ikan bersama Fal di halaman belakang saat Reila datang membuka pintu. “Aromanya enak sekali!”Fal langsung berlari ke Reila. Aku masih mengipasi ikan. Tungkunya tidak terlalu besar. Masih ada enam ikan lagi yang harus dibakar. Mungkin semestinya aku menyambut Reila dan memberinya sepatah lelucon jongkok kesukaannya yang bisa membuat ikan ini semakin gosong, tetapi aku juga setuju ucapan Reila. Aroma ikan bakar ini keterlaluan enak sampai aku tidak mau berlari seperti Fal. Aku sudah membalikkan empat tusuk di tungku dan merasakan dua garis keringat mengalir di pipiku saking dekatnya aku dengan pembakaran sebelum Reila menepuk bahuku—meninju sampai aku terkejut—dan menuntut, “Mana sambutanku?”Dalam sekejap dia sudah memakai baju santainya. Jadi, aku memeluknya—dia balas memelukku seolah kami tidak berpelukan selama sepuluh tahun.Dengan cepat kami sudah berinteraksi selayaknya tidak ada yang b
Kepulangan tim Dalton dan Elton agaknya menimbulkan keresahan.Saat itu sudah sore dan titik hampir berpindah lagi. Dalton dan Elton belum kelihatan batang hidungnya. Jesse sampai ambil bagian di bukit perbatasan. Jarang sekali dia ikut menunggu di pondok perbatasan—setidaknya, sejak rangkaian misi ini dimulai, Jesse jarang mengantar dan menyambut punggawa misi lagi. Dan aku baru sadar kalau di dalam pondok perbatasan ada alat mirip pendeteksi gelombang perpindahan Padang Anushka seperti di ruangan tim peneliti. Jesse sudah sejak tadi berdiam di sana, terus menggerutu dan menggebrak meja. “Ke mana mereka?!”“Tenang,” kata Lavi.Pondok perbatasan terlihat luas dari luar, tetapi dalamnya tetap saja sempit. Aku beberapa kali masuk, tetapi tidak sampai ke bagian paling dalam. Pondok itu punya tiga ruangan utama. Ruangan tengah yang paling luas—tempat Dokter Gelda biasanya melakukan pemeriksaan, lalu ruang paling kanan—tempat
Keesokan harinya, setelah jam sarapan, Haswin menyeretku ke danau kano. “Mumpung libur, kau harus bantu cari bahan buat pesta api unggun.”Aku bisa saja kabur ke tempat Lavi—yang rasanya ada di pondok utama—tetapi dengan bodoh kubilang, “Aku mau ke Kara,” dan tiba-tiba orangnya bicara di belakangku. “Kau mencariku, Nak?”Aku menyesal mengucap nama Kara, bukannya Lavi—meski aku memang punya topik yang harus kubicarakan dengan Kara. Jarang sekali Kara terlibat acara memancing geng idiot dari awal. Dan saat kupikirkan Dalton tidak ikut, dia ternyata membawa satu set peralatan memancing milik Haswin. Dia tiba-tiba muncul dari pekarangan belakang markas tim penyerang bersama Yasha, langsung mengarah ke tempat kano dan mendorong dua kano paling besar.“Kara dengan Dalton dan Forlan,” usul Haswin. “Aku dengan Yasha.”Kami akhirnya menyusun formasi di kano. Aku dan Dalton tidak mau ambi
Dua ember Dalton terisi paling terakhir, lalu Haswin mencetuskan kembali merapat. Awalnya tidak ada masalah. Kanoku, Dalton dan Kara lebih dulu, dengan Dalton posisi paling depan. Itu membuat dia yang paling pertama melihat.“Ada Kapten di dermaga.”Tampaknya di kano kami hanya Dalton yang bisa melihat jelas Lavi. Bagi darah murni—aku dan Kara—kabut tipis cukup mengaburkan pandangan. Aku tahu di sana ada siluet seseorang—dan aku bisa merasakan Lavi memang di sana, tetapi wujudnya tidak terlalu jelas. Lavi baru tampak cerah ketika kami lumayan dekat dan kabut mulai semakin tipis.Kano kami mengarah ke dermaga. Kano Haswin dan Yasha juga mengikuti. Dan itu memang Lavi. Dia berdiri di ujung dermaga, tersenyum seperti menyambut. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Kami berhenti di ujung dermaga.“Menjemput seseorang?” tanya Dalton, pertama naik ke dermaga.Lavi hanya tersenyum. “Untuk apa lagi aku di sini?
Pesta api unggun dimulai dan aku selalu kagum bagaimana pesta api unggun tidak pernah terasa salah meskipun diadakan di kondisi yang sangat janggal. Alih-alih terasa canggung, pesta api unggun selalu lebih asyik dari pesta apa pun.Musik di segala penjuru. Api membara di tungku raksasa. Sebagian Mars berkumpul, bernyanyi, berjoget bersama seperti tak punya lagi rasa malu. Sebagian lagi membakar bahan-bahan mentah di tungku pembakaran—tempat paling disukai Fal selama pesta api unggun. Dia selalu di sana dengan suara paling tinggi—paling melengking yang membuat orang lain tergoda ikut menjerit, kecuali Laher.Irene dan Niko juga ikut—tentu saja. Mereka bintang besar pesta kali ini. Haswin membuka pesta api unggun dengan pidato singkat yang tidak didengar oleh siapa pun—semua orang sudah ingin membakar bahan mentah ketika Yasha sudah tergoda mengganti musik latar ke musik dansa. Pada akhirnya, meskipun kondisi Niko belum cukup baik, dia sudah bisa kembali berbaur ke keramaian—Irene dan F
Jadi, ini yang dirasakan Lavi. Kau bangun di suatu pagi, melakukan semua kegiatan yang sudah semestinya kau lakukan—sarapan dengan daging giling seolah Dhiena lupa semalam semua penghuni baru pesta bakar kalori terbesar sepanjang masa, tetapi kami tetap senang menyantapnya. Hanya Dalton yang protes, “Perutku mual melihat daging lagi, tapi rasanya enak, jadi tak masalah.” Lalu setelah melalui ritual pagi demi menjaga kebugaran tubuh—lari keliling ladang belakang ditambah sedikit peregangan dengan pedang dan panah—tiba-tiba segalanya terasa kosong. Aku tahu apa yang harus kulakukan setelah ini, barangkali menghampiri Jesse atau Profesor Merla untuk membahas sedikit titik yang harus didatangi, tetapi benakku seperti tak ingin pergi. Rasanya benar-benar kosong.Kalau memang ini yang dimaksud Lavi, aku mengalaminya berkali-kali.Siang itu, aku tetap di dalam Joglo, melihat medali-medali misi yang sudah kudapatkan. Sebanyak apa pun medali ini te
Cukup banyak penghuni yang berkeliaran di padang rumput, terutama saat kami melintas di jam ramai. Kupikirkan kami tak akan terlalu menarik perhatian—sampai kusadari kalau banyak kandidat baru yang mengagumi Mika. Cukup jelas dari cara mereka memandang Mika. Aku cukup kenal dengan cara memandang itu, terutama karena banyak yang memandang Lavi dengan cara sama bahkan saat aku berada di sampingnya. Kuingat lagi, jarang sekali ada penghuni cowok yang dapat perlakuan seperti itu. Kebanyakan para cewek penghuni lama.“Sejak kapan kau dikenali kandidat baru?” tanyaku.“Sejak mereka berkenalan di tim tungku.” Kami sudah mulai naik tangga ke pondok utama. “Cara mereka menatapku lucu sekali.”“Aku jadi tidak nyaman.”“Harusnya itu kata-kataku.”Kami berhasil naik setengah jalan ke pondok utama dengan obrolan ringan yang tenang, sebelum akhirnya seseorang muncul dari arah Pendopo—seolah-
Aku sedang berjalan beberapa langkah di tanah alam liar yang penuh batang besar melintang ketika menyadari suara pertempuran terdengar di balik pepohonan.Suaranya begitu sengit, tiba-tiba saja kakiku bergerak otomatis ke sumber suara. Dahan-dahan pendek menghalangi jalan, tetapi aku semakin mempercepat langkah, menghalau semua yang menghalangi, dan kakiku semakin bergerak cepat melewati batang melintang super besar yang bertebaran di tiap pijakan. Benakku mendadak berdebar-debar, rasanya ada beban langit dipindahkan ke benakku—dan kepalaku kacau, apa yang kulihat semestinya alam liar, tetapi yang kurasakan hanya kegelapan. Ada kehampaan besar di depan sana.Aku menyambar semak besar, melewati barisan pepohonan sempit, dan di sanalah aku melihat sumber kekacauan.Pertempuran.Kabut—atau debu, tetapi aku tidak yakin di hutan bisa ada debu mengepul sebanyak itu, jadi tampaknya itu butiran tanah yang terangkat karena momentum—bertebaran di