Aku berakhir di halaman belakang Gerha.
Memanah dan memanah. Satu hal yang bisa kumengerti dari gaya bertarung Dalton: dia cenderung menyerang jarak dekat. Jadi, kami tidak bisa menjadi sesama penyerang jarak dekat. Salah satu harus bisa menyerang jarak jauh. Dan itu tugasku. Sebagai pemilik kemampuan yang mengizinkan informasi masuk ke kepalaku, aku punya keuntungan. Buktinya, ketika sekarang aku menarik anak panah, kulitku bisa merasakan arah angin, aliran napasku bisa merasakan dinginnya udara, dan saat itu terjadi, mataku benar-benar menatap lurus ke target yang terpasang di pohon apel.
Aku melepas busur. Anak panah meluncur.
Melesak sukses ke tengah sasaran. Lima anak panah di titik sama.
Aku menghela napas. Sejujurnya aku merasa keberhasilanku menembak ke mata beruang—tiga anak panah sekaligus—hanya keberuntungan, tetapi ketika aku mencoba lagi, lima anak panah bisa meluncur tanpa hilang keseimbangan. Bedanya, kalau melakukannya sambil l
“Dengar, Forlan. Misi pengantar biasanya hanya sebentar. Seharusnya tidak lebih dari dua belas jam. Tapi menurutku ini misi tersulit. Titik Padang Anushka dan Lembah Palapa selalu berubah. Jadi, tim peneliti selalu cari waktu saat kedua titik berdekatan. Makanya, sekarang kau butuh dua hari sebelum berangkat. Dan—ingat, seperti yang kubilang, dua nama di pundakmu. Aku tidak berniat kehilangan rekanku di misi pertamanya. Jangan sampai lengah.”“Hanya melewati alam liar, kan?” tanyaku.“Itu bukan hanya,” desisnya. “Berkeliaran di alam liar itu seperti melompat ke air asam. Kau takkan tahu seberapa berbahaya tempat itu sebelum benar-benar masuk ke dalamnya. Alam liar jauh lebih berbahaya dari apa pun.”“Iya, iya.” Aku tidak tahu mengapa dia memperingatiku sekeras itu padahal aku pernah tinggal di alam liar. “Aku pasti kembali, kok.”“Biasanya mereka mengirimku.” Lavi me
Lavi mengusulkan latihan di padang rumput. Sasaran tembak di sana lebih banyak dari halaman belakang Gerha. Kubilang itu ide menarik, tetapi sayangnya aku ingin sendiri. Kupikir Lavi bakal mengejekku anti-sosial dan bilang tidak mau partnernya menjadi penyendiri, tetapi dia mengerti, bahkan tanpa iseng.Dia mengambil peralatan memanahnya, jadi aku mengambil anak panah di papan sasaran. Sayangnya, ketika dia kembali, yang jujur saja aku yakin harusnya membukakan pintu untuknya—kecuali dia memang membuka pintu sendiri seolah ini Gerhanya—dia membawa camilan kentang goreng.“Saat pertama kita bicara, kau juga bawa kentang,” ingatku. “Dan kau lupa kita mau latihan? Kenapa kau bawa makanan berat?”“Itu sebenarnya sinyal untukmu,” semburnya, mengambil dua stik kentang. “Kalau mau memberiku hadiah makanan, olahan kentang pilihan terbaik. Dan ini bukan makanan berat. Ini camilan.”Namun, pada akhirnya, a
Sehari sebelum berangkat misi, Kara memintaku menemani latihan pedang darah campuran. Aku tidak tahu mengapa dia mengajakku, tetapi kusadari ini tugas Lavi—Kapten tim penyerang memang sering diminta menemani latihan, tetapi saat Lavi menolak, Kara diam-diam memintaku ikut. “Lavi pasti melarang,” kata Kara. “Melarangku menemani latihan?” tanyaku, memastikan. “Dia cukup posesif.” Kara tertawa. “Terutama pada partner pertama.” Aku tidak yakin semua akan berjalan lancar. Maksudku, kalau Kara diam-diam memintaku ikut, kami tidak semestinya berlatih di padang rumput. Jadi, aku bertaruh paling lama lima belas menit sebelum Lavi tahu aku ikut latihan. Kara bilang latihan pedang ini untuk darah campuran yang berorientasi. Aku tidak terlalu tahu jumlahnya, jadi kupikir mereka tidak akan lebih dari sepuluh. Itu tidak menjadi masalah karena semestinya aku ikut mereka—toh, aku orang terakhir yang masuk Padang Anushka. Mengetahui kandidat baru menemani mere
Tampaknya tidak jadi lima detik.Masalahnya, Lukas agaknya lebih lincah dari perkiraanku. Pedang kayuku punya pelindung di gagangnya, jadi dia pasti sulit memuntir. Sayangnya, caranya bertarung berbeda dengan Lavi yang menyerang pusat pegangan pedangku. Lukas lebih memanfaatkan kekuatan, sehingga kecepatan gerakan kakinya menjadi pusat pergerakannya ke segala arah, dan kekuatan lengannya menjadi pusat serangan.Namun, setiap ayunan masih mudah ditangkis pedangku.Dia berniat menusuk dadaku, tertangkis. Lalu berpindah mengayunkan itu ke lenganku, tertangkis. Dia melompat, mengayunkan pedang dari atas layaknya memukul, tertangkis. Wajahnya mulai frustrasi, akhirnya dia menendangku, gagal. Bahkan aku menangkap kakinya. Namun, sepertinya itu rencananya. Dia memakai cengkeraman tanganku sebagai tumpuan, lalu berputar di depan mataku, langsung mengayunkan pedang ke kepala—sayang sekali, tertangkis.Aku tidak bisa menggunakan kemampuan, jadi obrolan tidak
Tidak ada yang curang. Jesse menunjukkan stiker masih putih.Beberapa orang mengerumuniku, termasuk Dalton dan Elton. Dalton sekuat tenaga meninju-ninju punggungku. “Cara menangmu keren!” Dia tertawa. “Belum pernah ada yang menggunakan perisai dan pelindung dengan cara begitu!”Semakin lama, tinjunya semakin menyakitkan.Dari kejauhan Nadir dan Kara menepuk tangannya. Senyumnya bangga.Kelima tim bertahan langsung dibawa ke klinik. Sekilas kulihat Layla, dan dia mendapati mataku. Dia menghela napas, tetapi tidak kelihatan protes. Ini harus dirayakan. Maksudku, perang saudara tidak terjadi. Dalam kesempatan kecil, aku mencari Lavi, tetapi sosoknya tidak ada. Tiba-tiba dia hilang.Berdasarkan kebijakan Kara, latihan senjata kandidat baru dilanjutkan. Jadi, Nadir mengusir kerumunan, membuatku steril dari orang-orang, meminta semua kembali ke aktivitasnya, lalu membawaku ke kerumunan kandidat baru.“Tunggu. Aku tida
Aku ada firasat Aaron akan melukaiku, tetapi kami memasuki Balai Dewan.Di meja resepsionis ada Nuel. Kurang lebih dia terkejut melihatku bersama Aaron. Untuk sesaat, dia tampak mengamati Aaron penuh peringatan, tetapi Aaron tidak melihatnya. Kami hanya terus berjalan ke suatu ruangan.Sebelum kami masuk ruangan, Nuel sempat menatapku seperti bertanya apa yang terjadi, aku hanya mengangkat bahu.Ruangan itu tidak terlalu besar, tetapi tidak punya apa-apa. Hanya ada meja putih, dua kursi putih, dinding layaknya besi, dan kamera pengawas di setiap sudut. Sensasi ini persis seperti yang kubayangkan tentang ruang interogasi. Penuh aura dingin, membeku, bahkan mencekam layaknya aku akan mati di sini.Aaron duduk, lalu mengedikkan bahu padaku. Jadi, aku duduk di depannya. Kupikir meja ini cukup besar, tetapi ketika kami duduk berhadapan, semua terasa kecil. Ruangan tidak punya fokus apa pun, jadi yang bisa kulihat hanya Aaron.“Wakil kapten baru?&r
Pesta api unggun pertamaku berlangsung begitu suram.Masalahnya, besok kami berangkat, dan seberapa pun aku membayangkan kesiapanku kembali ke alam liar, aku semakin tidak mau memikirkannya. Terlepas seberapa menjengkelkannya Padang Anushka, tanpa kusadari tempat ini juga telah menjadi tempat nyaman yang setara dengan pondok Nenek. Tidak ada alasan untuk pergi dari tempat ini secepat mungkin.Jadi, ketika semua orang mengelilingi tungku api unggun di hadapan Gerha darah biru, aku hanya terdiam, menatap kobaran api yang semakin menjulang tinggi seperti berusaha melahap habis langit malam yang kian pilu. Aku tidak yakin harus ikut bersenang-senang, menari bersama irama kobaran api—layaknya Dalton yang menari bersama darah campuran lain seolah tidak pernah memiliki beban. Semakin aku merasakannya, segalanya semakin membuatku ingin membenamkan diri.Baru kusadari betapa kesepiannya aku di Padang Anushka.Semua yang kukenal punya kesenangannya masing-mas
Dua hari terakhir, aku lumayan kenal dengan Atlas.Dia ternyata dua tahun di atasku. Tahun ini semestinya usianya dua puluh tahun—yang perlahan juga terlihat wajar karena, sungguh, meski badannya kecil, keberanian dan kedewasaannya patut kuacungi jempol—eh, tidak, ralat, keberanian dan kedewasaannya dalam beberapa waktu bisa membuatku terkagum-kagum. Dia punya perawakan berbanding terbalik dengan badannya—tingginya hanya seratus enam puluh satu, tetapi kenekatannya seratus kali lipat lebih tinggi dari tinggi Kara.Jadi, saat itu kami sedang bicara di padang rumput, Atlas heran bagaimana caraku bertarung bisa memakai teknik berpedang yang lumayan tinggi karena selalu berada di gunung, lalu tiba-tiba Layla melewati kami dengan aroma semerbak. Aku berusaha tidak memedulikan itu, tetapi Atlas, dengan gaya paling keren yang bisa dia tunjukkan langsung berkata, “Layla, kau cantik sekali hari ini!”Layla hanya tertawa hormat sebelum tidak
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan