Dua hari terakhir, aku lumayan kenal dengan Atlas.
Dia ternyata dua tahun di atasku. Tahun ini semestinya usianya dua puluh tahun—yang perlahan juga terlihat wajar karena, sungguh, meski badannya kecil, keberanian dan kedewasaannya patut kuacungi jempol—eh, tidak, ralat, keberanian dan kedewasaannya dalam beberapa waktu bisa membuatku terkagum-kagum. Dia punya perawakan berbanding terbalik dengan badannya—tingginya hanya seratus enam puluh satu, tetapi kenekatannya seratus kali lipat lebih tinggi dari tinggi Kara.
Jadi, saat itu kami sedang bicara di padang rumput, Atlas heran bagaimana caraku bertarung bisa memakai teknik berpedang yang lumayan tinggi karena selalu berada di gunung, lalu tiba-tiba Layla melewati kami dengan aroma semerbak. Aku berusaha tidak memedulikan itu, tetapi Atlas, dengan gaya paling keren yang bisa dia tunjukkan langsung berkata, “Layla, kau cantik sekali hari ini!”
Layla hanya tertawa hormat sebelum tidak
Itu pertama kali aku melihat perbatasan dengan mata terbuka.Perbatasan dijaga Mister. Dewan yang kebagian di area depan pertahanan.Jadi, pintu perbatasan Padang Anushka berupa gerbang yang sangat besar, dengan pintu besi yang menjulang begitu tinggi, dan mempunyai tembok bata yang mengelilingi sejauh mata memandang. Pintu perbatasan dicapai dengan mendaki bukit setinggi seratus meter ke atas, lalu akan ada semacam pos perbatasan tempat Mister biasa menghabiskan waktu. Mister semacam pria dewasa yang kekar, tetapi ototnya tidak terkesan memiliki daging dan kulit—maksudku, biasanya otot punya bagian yang terkesan manusia. Nah, untuk Mister, kekerasan di ototnya itu seperti besi. Tidak ada sensasi seperti menyentuh manusia. Belum lagi, dia botak. Sering pakai kacamata hitam. Jadi, dia sungguhan gagah misterius.Setelah gerbang, Padang Anushka dipisahkan jurang tinggi. Sungai aliran deras di bawah seperti bisa menghanyutkan Atlas sangat mudah. Bebatuan sunga
Rangkaian itu terjadi ketika kami berada dalam satu garis lurus.Dalton paling depan, Atlas di tengah, aku yang paling belakang. Titik biru masih belum mendekat, sementara kontur tanah semakin naik—bagiku itu harapan karena mereka bilang Lembah Palapa berada di kedalaman bukit. Jadi, ketika tanah yang licin semakin naik, aku merasa kami mendapat kemajuan.Sayangnya, aku yang pertama kali sadar.“Tidakkah kabutnya semakin tebal?”“Kau ini bicara apa, sih,” sahut Atlas, tampaknya tidak mau diganggu.Aku tahu ada yang mulai tidak beres. Suasananya semakin dingin, dan mau seberapa kuat kemampuanku dalam mendeteksi sesuatu, rasanya kabur. Kabut putih seperti mengacaukan persepsiku. Sebelum ini, aku masih bisa lihat seberapa tinggi semak di depan atau seberapa menjulang pohon itu mengintimidasi, tetapi kali ini, kabut semakin tebal hingga area depan mulai sulit terdeteksi mata telanjang. Satu-satunya harapanku hanya kemampua
Selama beberapa saat, aku hanya merasakan sentakan angin.Aku melihat ke bawah, tanah masih jauh, dan hawa dingin di punggungku seperti menandakan akhir garis waktuku. Jadi, aku memejamkan mata, memusatkan kemampuanku di punggung dan kaki, berharap kecepatan angin ini mampu berhenti karena angin yang menerbangkan tubuhku. Aku membayangkan tubuhku melayang di udara, seperti terbang, tetapi kecepatan jatuhku tidak mengizinkan itu.Tidak ada yang bisa kuharapkan lagi. Mataku terpejam.Kalau aku memang akan gugur, kuharap aku bisa pergi tanpa harus merasa sakit karena membentur keras permukaan air—atau tanah di bawah sana.Jadi, aku membayangkan semua yang terlintas di kepalaku.Dan tampaknya itu membawaku menuju ke sesuatu yang tidak lagi mampu kumengerti. Tiba-tiba saja aku tidak lagi merasa jatuh. Sentakan angin di sekitarku tidak lagi terasa. Aku seperti berhenti dalam ombang-ambing udara bebas, seolah sesuatu menahanku agar tidak terjatuh. A
Aku tidak percaya kejadian sekejap mata sudah menghilangkanku hampir lima jam. Aku berani sumpah Dalton sudah kembali, menyebarkan kehilanganku, yang membuat semua orang panik. Jadi, aku berlari, mengejar waktu. Namun, baru saja aku keluar dari gua—barangkali karena cahaya kelewat menyilaukan membutakan mataku yang berdiam dalam gua gelap, aku menabrak seseorang sampai dia—lebih tepatnya—kami terjatuh. Aku terlempar, berusaha segera menggenggam pedang. “Forlan?” Andai aku tidak bertemu di hari keberangkatannya, mungkin aku tidak akan tahu. Namun, aku ingat siapa yang disebut Dalton, “Profesor Merla?” Profesor Merla terkesiap, tetapi dengan cepat, berusaha menyadari situasi. Dia melihat arah datangku, yang jelas-jelas merupakan gua. Kemudian kilat mata tajam itu mengamatiku, seolah memastikan aku sungguhan Forlan yang punya aura paling dikenal di seluruh muka bumi. “Kita simpan ceritanya nanti,” ujarnya, bangkit, mengajakku sege
Ruangan klinik penuh.Terutama karena Kara, Profesor Neil, dan Reila masuk ruangan, sementara mereka yang di dalam sama sekali tidak keluar. Jadi, ruangan yang hanya sanggup memuat beberapa orang terasa kekurangan oksigen.“Sepertinya ruangan ini terlalu sempit,” cetus Profesor Merla.“Sayangnya, tempat ini paling aman,” kata Profesor Neil. “Sepertinya tidak ada pasien selama beberapa waktu. Benar, para dokter?”“Harapannya begitu,” kata Dokter Gelda.Kami tidak pindah, jadi aku mulai bercerita apa yang kualami.Namun, aku tidak menceritakan semuanya. Aku semata tidak bisa memaksa diri membicarakan soal hantu alam liar. Jadi, kurang lebih hanya kabut tipis yang berujung pada hilangnya Dalton dan Atlas, pertemuan dengan musuh, vila tengah hutan, dan sesuatu tentang mereka yang mencoba mendobrak masuk vila. Maka aku menjelaskan pertarungan singkat, sampai aku terlempar ke jurang. Semua itu benar,
Satu hal yang membuatku tercengang, Lavi menghampiriku bukan dengan niat duduk, tetapi mengulurkan tangan. Tanganku otomatis menyambutnya, jadi dia memelukku. Aku tidak tahu dia sadar atau tidak, tetapi aku tidak sadar. Aku refleks menerimanya, jadi itu pertama kali Lavi membuatku sungguhan kosong. “Kau membuatku jantungan,” gumamnya. Suaranya sangat dekat. Perutku teraduk-aduk. Mataku sepenuhnya terbuka. Indraku berfungsi sempurna. Aromanya seperti lemon, tercium sampai membuatku berdebar-debar. Rasanya aku bisa menghitung berapa banyak helai rambut pirang Lavi. Itu membuatku teringat akan gagasan Isha tentang Lavi—bagaimana dia bisa tetap percaya ketika Dalton hilang tiga minggu. Kupikirkan itu yang baru terjadi—bahwa Lavi masih percaya pada setiap detik ketika aku hilang. “Mm ... maaf. Aku tersesat.” “Jangan bodoh. Hilang di antara kabut bukan tersesat.” Aku bisa merasakan kecemasan dalam cengkeraman di punggungku—betapa dia memikirkan semua hal bu
Kali berikutnya aku terbangun sudah malam hari, tetapi aku tidak yakin itu malam yang sama saat aku tertidur atau sudah pagi. Klinik kosong. Selimut masih membungkus tubuhku. Dokter Gelda tidak ada di ruangan, tetapi surat tergeletak di samping mangkuk hangat. Supnya sungguhan terjaga sejak aku tidur.“JANGAN LUPA ISI PERUTMU.”Benakku masih hangat, tetapi ketika sup itu masuk ke tenggorokanku, yang hangat bukan benakku lagi, tetapi semuanya—seolah makanan ini memiliki sesuatu yang dibutuhkan tubuhku sejak mulai tertidur. Gelenyar itu menggerakkan tangan, bahkan tanpa perlu berpikir. Hanya terus makan, makan, dan makan.Semangkuk itu membuatku dipenuhi semangat baru.Jadi, aku membawa diri keluar klinik. Padang rumput langsung terlihat. Itu pertama kali aku melihat Padang Anushka dalam kegelapan malam yang sunyi saat semua penghuni terlelap dalam keheningan memabukkan. Tenang, dingin, tetapi juga indah. Bintang gemerlapan—jutaan bi
Kembali ke Gerha, aku bawa seember ikan siap dibakar.Aku tidak ada minat tidur. Sepertinya Dalton juga, tetapi ketika fajar tiba, kami memutuskan kembali ke Gerha. Ember kami penuh—milikku bahkan sampai tidak cukup. Aku punya ide membakar ikan bersama, tetapi Dalton tidak berminat, jadi, pada akhirnya, aku membersihkan semua ikan di halaman belakang, berusaha menumpuk batu dan kayu bakar yang kukumpulkan, lalu bersenang-senang. Kali ini aku punya bumbu. Rasanya tidak akan hambar.Pagi baru tiba, jadi kabut masih di sekitar.Pemandangan di depan halaman juga lumayan. Di balik semak-semak agak terdengar suara air terjun, jadi suasananya menyegarkan.Menurutku, ini kasta terindah merokok. Menghirup asap pembakaran ikan yang sedap, lalu mengembuskannya dengan perut berbunyi. Luar biasa. Sayangnya, kali ini sup Layla sudah cukup membuatku perutku penuh.Aku sempat khawatir akan dimarahi tim stok karena memancing seenaknya, tetapi Dalton bilang, s
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t
Aku pergi ke makam Ibu karena di sanalah satu-satunya bagian Ibu tersisa. Reila tidak ingin ikut. Dia ingin menjemput Fal. “Makam membuatku merasa aneh. Rasanya Ibu benar-benar sudah meninggal,” katanya.“Jangan melakukan hal tidak perlu saat aku tidak ada,” kataku.“Selama ini kita juga sering terpisah,” erangnya, “jangan cemas berlebih.”Jadi, aku tetap bergerak. Lavi tidak membiarkanku sendiri. Dia tidak bilang apa alasannya tetap menempel, tetapi kubilang padanya, “Aku tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Percayalah padaku. Kau boleh meninggalkanku.”“Jangan salah,” balasnya. “Berhenti berpikiran buruk. Sebelum tahu kabar ini pun, aku sudah bersamamu sepanjang waktu. Ini hal normal. Kalau kau berpikir ini bukan hal normal dan kau pikir aku bersamamu karena mencemaskanmu, berarti memang ada hal yang kau tidak ingin aku tahu.”Logika berpikirnya kadan