Beranda / Fantasi / Selubung Memori / 50. MISI PERTAMA #4

Share

50. MISI PERTAMA #4

last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-13 14:00:09

Rangkaian itu terjadi ketika kami berada dalam satu garis lurus.

Dalton paling depan, Atlas di tengah, aku yang paling belakang. Titik biru masih belum mendekat, sementara kontur tanah semakin naik—bagiku itu harapan karena mereka bilang Lembah Palapa berada di kedalaman bukit. Jadi, ketika tanah yang licin semakin naik, aku merasa kami mendapat kemajuan.

Sayangnya, aku yang pertama kali sadar.

“Tidakkah kabutnya semakin tebal?”

“Kau ini bicara apa, sih,” sahut Atlas, tampaknya tidak mau diganggu.

Aku tahu ada yang mulai tidak beres. Suasananya semakin dingin, dan mau seberapa kuat kemampuanku dalam mendeteksi sesuatu, rasanya kabur. Kabut putih seperti mengacaukan persepsiku. Sebelum ini, aku masih bisa lihat seberapa tinggi semak di depan atau seberapa menjulang pohon itu mengintimidasi, tetapi kali ini, kabut semakin tebal hingga area depan mulai sulit terdeteksi mata telanjang. Satu-satunya harapanku hanya kemampua

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Selubung Memori   51. MISI PERTAMA #5

    Selama beberapa saat, aku hanya merasakan sentakan angin.Aku melihat ke bawah, tanah masih jauh, dan hawa dingin di punggungku seperti menandakan akhir garis waktuku. Jadi, aku memejamkan mata, memusatkan kemampuanku di punggung dan kaki, berharap kecepatan angin ini mampu berhenti karena angin yang menerbangkan tubuhku. Aku membayangkan tubuhku melayang di udara, seperti terbang, tetapi kecepatan jatuhku tidak mengizinkan itu.Tidak ada yang bisa kuharapkan lagi. Mataku terpejam.Kalau aku memang akan gugur, kuharap aku bisa pergi tanpa harus merasa sakit karena membentur keras permukaan air—atau tanah di bawah sana.Jadi, aku membayangkan semua yang terlintas di kepalaku.Dan tampaknya itu membawaku menuju ke sesuatu yang tidak lagi mampu kumengerti. Tiba-tiba saja aku tidak lagi merasa jatuh. Sentakan angin di sekitarku tidak lagi terasa. Aku seperti berhenti dalam ombang-ambing udara bebas, seolah sesuatu menahanku agar tidak terjatuh. A

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-16
  • Selubung Memori   52. MISI PERTAMA #6

    Aku tidak percaya kejadian sekejap mata sudah menghilangkanku hampir lima jam. Aku berani sumpah Dalton sudah kembali, menyebarkan kehilanganku, yang membuat semua orang panik. Jadi, aku berlari, mengejar waktu. Namun, baru saja aku keluar dari gua—barangkali karena cahaya kelewat menyilaukan membutakan mataku yang berdiam dalam gua gelap, aku menabrak seseorang sampai dia—lebih tepatnya—kami terjatuh. Aku terlempar, berusaha segera menggenggam pedang. “Forlan?” Andai aku tidak bertemu di hari keberangkatannya, mungkin aku tidak akan tahu. Namun, aku ingat siapa yang disebut Dalton, “Profesor Merla?” Profesor Merla terkesiap, tetapi dengan cepat, berusaha menyadari situasi. Dia melihat arah datangku, yang jelas-jelas merupakan gua. Kemudian kilat mata tajam itu mengamatiku, seolah memastikan aku sungguhan Forlan yang punya aura paling dikenal di seluruh muka bumi. “Kita simpan ceritanya nanti,” ujarnya, bangkit, mengajakku sege

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-19
  • Selubung Memori   53. MISI PERTAMA #7

    Ruangan klinik penuh.Terutama karena Kara, Profesor Neil, dan Reila masuk ruangan, sementara mereka yang di dalam sama sekali tidak keluar. Jadi, ruangan yang hanya sanggup memuat beberapa orang terasa kekurangan oksigen.“Sepertinya ruangan ini terlalu sempit,” cetus Profesor Merla.“Sayangnya, tempat ini paling aman,” kata Profesor Neil. “Sepertinya tidak ada pasien selama beberapa waktu. Benar, para dokter?”“Harapannya begitu,” kata Dokter Gelda.Kami tidak pindah, jadi aku mulai bercerita apa yang kualami.Namun, aku tidak menceritakan semuanya. Aku semata tidak bisa memaksa diri membicarakan soal hantu alam liar. Jadi, kurang lebih hanya kabut tipis yang berujung pada hilangnya Dalton dan Atlas, pertemuan dengan musuh, vila tengah hutan, dan sesuatu tentang mereka yang mencoba mendobrak masuk vila. Maka aku menjelaskan pertarungan singkat, sampai aku terlempar ke jurang. Semua itu benar,

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-22
  • Selubung Memori   54. MISI PERTAMA #8

    Satu hal yang membuatku tercengang, Lavi menghampiriku bukan dengan niat duduk, tetapi mengulurkan tangan. Tanganku otomatis menyambutnya, jadi dia memelukku. Aku tidak tahu dia sadar atau tidak, tetapi aku tidak sadar. Aku refleks menerimanya, jadi itu pertama kali Lavi membuatku sungguhan kosong. “Kau membuatku jantungan,” gumamnya. Suaranya sangat dekat. Perutku teraduk-aduk. Mataku sepenuhnya terbuka. Indraku berfungsi sempurna. Aromanya seperti lemon, tercium sampai membuatku berdebar-debar. Rasanya aku bisa menghitung berapa banyak helai rambut pirang Lavi. Itu membuatku teringat akan gagasan Isha tentang Lavi—bagaimana dia bisa tetap percaya ketika Dalton hilang tiga minggu. Kupikirkan itu yang baru terjadi—bahwa Lavi masih percaya pada setiap detik ketika aku hilang. “Mm ... maaf. Aku tersesat.” “Jangan bodoh. Hilang di antara kabut bukan tersesat.” Aku bisa merasakan kecemasan dalam cengkeraman di punggungku—betapa dia memikirkan semua hal bu

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-25
  • Selubung Memori   55. RAHASIA KECIL #1

    Kali berikutnya aku terbangun sudah malam hari, tetapi aku tidak yakin itu malam yang sama saat aku tertidur atau sudah pagi. Klinik kosong. Selimut masih membungkus tubuhku. Dokter Gelda tidak ada di ruangan, tetapi surat tergeletak di samping mangkuk hangat. Supnya sungguhan terjaga sejak aku tidur.“JANGAN LUPA ISI PERUTMU.”Benakku masih hangat, tetapi ketika sup itu masuk ke tenggorokanku, yang hangat bukan benakku lagi, tetapi semuanya—seolah makanan ini memiliki sesuatu yang dibutuhkan tubuhku sejak mulai tertidur. Gelenyar itu menggerakkan tangan, bahkan tanpa perlu berpikir. Hanya terus makan, makan, dan makan.Semangkuk itu membuatku dipenuhi semangat baru.Jadi, aku membawa diri keluar klinik. Padang rumput langsung terlihat. Itu pertama kali aku melihat Padang Anushka dalam kegelapan malam yang sunyi saat semua penghuni terlelap dalam keheningan memabukkan. Tenang, dingin, tetapi juga indah. Bintang gemerlapan—jutaan bi

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-28
  • Selubung Memori   56. RAHASIA KECIL #2

    Kembali ke Gerha, aku bawa seember ikan siap dibakar.Aku tidak ada minat tidur. Sepertinya Dalton juga, tetapi ketika fajar tiba, kami memutuskan kembali ke Gerha. Ember kami penuh—milikku bahkan sampai tidak cukup. Aku punya ide membakar ikan bersama, tetapi Dalton tidak berminat, jadi, pada akhirnya, aku membersihkan semua ikan di halaman belakang, berusaha menumpuk batu dan kayu bakar yang kukumpulkan, lalu bersenang-senang. Kali ini aku punya bumbu. Rasanya tidak akan hambar.Pagi baru tiba, jadi kabut masih di sekitar.Pemandangan di depan halaman juga lumayan. Di balik semak-semak agak terdengar suara air terjun, jadi suasananya menyegarkan.Menurutku, ini kasta terindah merokok. Menghirup asap pembakaran ikan yang sedap, lalu mengembuskannya dengan perut berbunyi. Luar biasa. Sayangnya, kali ini sup Layla sudah cukup membuatku perutku penuh.Aku sempat khawatir akan dimarahi tim stok karena memancing seenaknya, tetapi Dalton bilang, s

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Selubung Memori   57. RAHASIA KECIL #3

    Aku sedang menikmati jus apel saat Jesse memanggilku ke ruangannya.Kuakui cara memanggilnya inovatif. Dia menelepon Gerhaku yang suara deringnya memekikkan telinga. Aku baru mau mengomel, tetapi dia hanya bilang, “Ke ruanganku. Lima menit,” lalu menutup telepon.Kalau dia pikir aku bakal menurut—kali ini dia benar.Namun, Dalton menghadangku di depan Gerha. “Mau ke mana?”“Tim peneliti.”“Pesananmu.” Dia memberiku sesuatu. “Sudah jadi.”Aku tidak akan kaget dia bisa membuat sesuatu sangat cepat, tetapi untuk ini keterlaluan cepat. “Kau seperti bukan manusia, tapi makasih.”“Habis dari tim peneliti, temani aku main bola.”Kami sepakat, lalu aku meluncur ke Balai Dewan. Ruangan Jesse, tidak lain dan tidak bukan ruangan tim peneliti. Dia punya otoritas tertinggi di antara anggota tim peneliti—terutama karena Nuel tidak mau cari masalah

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-04
  • Selubung Memori   58. RAHASIA KECIL #4

    Untuk pertama kali sejak tiba di Padang Anushka, mimpi menemukanku.Cuacanya mengamuk.Langit meluapkan amarahnya. Hujan turun bagaikan badai, angin berembus layaknya puting beliung yang terus berputar. Di kejauhan, petir berderak menggila di segala arah, guntur bersahutan mengguncangkan tanah.Kondisi sekitar kacau balau. Tanah hancur layaknya telur pecah. Beberapa orang bergelimpangan penuh darah. Dunia bagaikan jatuh dalam kegelapan pekat. Darah tersebar. Tidak ada bintang, bulan—hanya awan segelap kematian.Kemudian di tanah terbuka berdiri dua orang misterius.Hujan menyiram darah di tubuh mereka. Salah satunya hitam pekat, penuh pendar hitam yang melayang-layang. Hanya lengan dan telapak kaki yang terlihat punya warna. Sabit besar di tangannya layaknya dewa kematian yang terbentuk dari kegelapan. Bilah tajam memancarkan sensasi meminta darah.Satunya lagi, pria bertopeng. Memakai jubah hitam dengan topeng penuh bercak darah. Di t

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-07

Bab terbaru

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

  • Selubung Memori   604. GUA TEBING #1

    Aku, Lavi, dan Leo baru menyantap sisa daging rusa ketika Reila terlelap di bahu Profesor Merla. Aku sudah menduga Reila kelelahan, tetapi tidak ada yang menduga dia sampai tidur. Leo akhirnya bersuara. “Tadi aku terus memastikan dia kelelahan atau tidak, dia bilang oke.”“Dua saudara ini memang suka memaksakan diri,” cetus Lavi.“Aku tidak pernah sampai seperti itu,” belaku.“Aku sudah memberinya empon-empon, seperitnya itu efek sampingnya.”“Aku baru tahu empon-empon punya efek samping,” balasku, lagi.“Untuk beberapa orang, sejujurnya memang punya efek samping,” Profesor Merla ikut membenarkan. “Reila cenderung gampang tidur setelah minum. Meski minuman itu khasiatnya mujarab, belum tentu semua orang cocok. Kalau kau bisa meminumnya tanpa efek samping, itu hal lebih darimu.”“Bagaimana rasanya saat pertama kali kau minum?” tanya Lavi.&l

  • Selubung Memori   603. UJUNG TALI #9

    Lavi memutuskan agar kami turun sebelum benar-benar tiba di air terjun.Sekitar jam enam kami menapak lagi di permukaan. Napas Reila mulai agak berat. Dia berusaha menyembunyikannya, tetapi sulit baginya untuk bersembunyi dariku dan Lavi. Aku ingat satu gagasan dan aku mengatakannya di depan semua orang. “Aku ingat sewaktu latihan di Pulau Pendiri, kau sebenarnya tidak terbiasa dengan terbang di udara dalam waktu lama. Ada batasnya.”“Oya?” sahut Lavi. “Reila, benar?” Kemudian Lavi kesal menatapku. “Dan kau baru ingat sekarang? Kenapa tidak sejak tadi?”“Biasanya dia oke,” kataku. “Aku baru ingat kami tidak pernah selama ini.”“Aku oke,” sela Reila, mengambil napas. “Aku oke. Sejauh ini aku oke.”“Orang yang menyebut oke tiga kali biasanya tidak oke,” kataku.“Aku sudah melatih ini,” protes Reila. “Aku bisa bertahan l

  • Selubung Memori   602. UJUNG TALI #8

    Lavi bisa sedikit memanipulasi kabut, jadi dia bisa membuat kabut di sekitar menghilang sekejap. Dia mengaburkan kabut di sekitar tangannya agar dia bisa lihat arlojinya. Saat itulah Lavi berkata padaku, “Sudah setengah jam.”Aku belum merasa lelah, tetapi aku turun. Reila juga ikut turun.Kami menapak di dahan besar yang cukup tinggi. Aku menghilangkan kabut di sekitar kami. Lavi turun dari punggungku, menawarkan minum ke semua orang. Reila juga turun dari punggung Leo, menerima air dari Lavi.Leo tidak banyak komentar, hanya berkata, “Aku tidak lelah sama sekali.”“Kau tidak banyak bergerak,” balasku. “Reila?”“Biasa saja. Lebih baik seperti ini. Bisa lebih cepat. Kakak bagaimana?”“Lavi terus membagi energi. Aku tidak terlalu lelah. Kita juga tidak bertemu apa-apa. Tidak ada yang kurasakan juga. Kita menghindari kemungkinan bertemu sesuatu yang bisa ditemukan saat jalan. La

  • Selubung Memori   601. UJUNG TALI #7

    Lavi memeriksa arah, titik koordinat, perkiraan waktu—hingga kapan kami harus istirahat. Formasi kami cukup oke. Aku jelas membawa Lavi di punggung—dan kupikir Reila hanya akan melayang di udara bersama Leo. Namun, Leo punya ide yang lebih oke lagi: dia menggendong Reila.Tentunya Reila menolak. Dia bisa bergerak sendiri dengan membuat dia dan Leo melayang. Dia bisa menggerakkan dua orang dengan cepat mengikutiku. Leo protes. Jauh lebih efisien bila dia meringankan bobot dua orang dalam satu orang. Semestinya Reila yang paling tahu itu bisa lebih mudah dilakukan atau tidak, tetapi Leo yakin itu lebih efektif dan efisien. Lavi dan aku mempertimbangkan itu. Pada akhirnya, tidak ada yang tahu itu bisa lebih oke atau tidak—karena ini pertama kali, jadi keputusan dikembalikan ke mereka berdua. Jadi, Leo mendebat Reila tentang waktu istirahat yang mungkin bisa lebih lama dan formasi yang bisa melebar jika tiga orang bergerak bersama. Dengan dirinya menggendong Rei

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status