Haswin bilang, Kara sebenarnya berniat bicara denganku, tetapi karena aku dan Dalton terlalu lama saling terdiam, Kara tidak bisa terus menunggu.
“Dewan yang tersisa hanya sedikit,” ucap Yasha.
“Dan Kara juga harus melatih kandidat baru, keliling, dan berjaga,” lanjut Haswin. “Mungkin menunggumu di pondok utama. Kara pasti punya alasan sampai mengambil gelang Lavi, tapi kau harus selesaikan satu urusan ini.”
Secara teknis, aku memang perlu bicara empat mata dengan Fal.
Tampaknya Dalton masih belum menyerah meskipun aku bilang Elton baik-baik saja. Dia bilang, “Di sana garis depan. Tidak ada yang tahu.”
Sayangnya, Fal yang membantah, “Dalton tidak boleh pesimis!”
Jelas, itu membuat kami berempat terperanjat—meski yang paling kelihatan terkejut itu Dalton. “Dari mana Fal belajar bahasa sesulit itu?!”
Fal tidak menanggapi itu, lebih memilih menepuk-nepuk pipiku
Aku bilang pada Fal tidak mau pergi ke mana-mana, tidak mau lihat siapa-siapa, hanya ingin menyendiri di tempat ini, jadi bila Fal bosan, dia boleh beranjak kapan pun karena mungkin aku juga tidak punya niat bermain. Kuputuskan duduk di halaman belakang Gerha Lavi, duduk di tempat yang selalu kutempati saat kami berbincang, dan meninggalkan seberkas sorot pandang ke kursi kosong.Fal sempat berlari keluar, entah apa yang dia lakukan.Dan dia kembali membawa dua mangkuk es krim. Lumayan cepat, langsung mengambil kursi yang kutatap kosong. “Dari Layla,” katanya.Aku masih terlalu bodoh untuk menanggapi Fal.Jadi, Fal menepuk tangan, lumayan keras, membuat lamunanku pecah, dan segera menemukan Fal. “Oh, Fal, apa?”“Es krim dari Layla,” katanya, menyodorkan satu mangkuk.“Layla? Oh. Layla.” Aku mengangguk-angguk. “Kupikir dia marah.”“Katanya Forlan belum makan sejak pagi.&
Setidaknya, Kara juga menangis karena berulang kali mengusap matanya.Dan di antara kami, yang paling sulit berhenti menangis, itu Fal. Entah sejak kapan dia mulai menangis yang paling keras, yang juga membuatku mulai tertawa. Fal dengan isak tangisnya, berkata penuh bahagia, “Forlan akhirnya ketawa.”“Maaf membuatmu cemas, Fal,” kataku, mengusap air matanya.“Forlan ketawa,” isaknya, masih bersikukuh.Jadi, posisi kami kembali seperti semula. Bedanya, Fal tidak mau lagi duduk normal, hanya membenamkan kepala di bahuku, berniat terlelap di pangkuanku.Kara menggeleng penuh senyum. “Sungguh. Falesha—Nak, terima kasih. Selamat atas keberhasilan misi pertamamu.”“Apa?” sahutku, langsung menatap Fal yang mengangguk. “Misi pertama?”“Menahanmu,” sebut Kara. “Misi pertama Falesha.”“Itu misinya?”“Itu misinya
Kabar buruk pertama: Lavi tidak bisa dilacak.Kabar baiknya: Lavi hidup.Jadi, aku bertanya, “Apa kabar buruk berikutnya, Kara?”Kara mengangkat alis, tampaknya sepenuhnya lupa pada itu. “Oh iya. Kita membicarakan itu tadi. Masih ada dua kabar buruk.”“Itu memang bukan sesuatu yang layak dinanti,” komentarku.“Kabar buruk kedua ini,” Kara menghela napas, mulai bersedekap, “ketika kabar baik itu datang, keadaan Lavi masih belum sadarkan diri. Aku yakin kau bisa mengerti maksudku, Nak. Dengan asumsi terjadi sesuatu pada Lavi, kemungkinan yang terjadi hanya akan sama sepertimu di hari kedatanganmu.”“Maksudnya, Lavi akan tidur lima hari penuh?”“Lima hari saja sudah harapan bagus. Kau tentu tahu ada keadaan mati suri bagi para darah murni, kan? Tidak ada ilmu medis yang bisa menjelaskan kondisi ini cukup bagus, jadi mari berasumsi Lavi harus menetap di Lembah P
Hanya tinggal menunggu waktu hingga matahari terbenam.Kubilang pada Fal aku perlu segera mencari Haswin, jadi dia harus kembali ke Gerha Reila sendiri—yang sebenarnya terlihat dari Gerha Lavi. Fal tidak berniat menolak, bahkan mengangguk. “Besok temani Fal main bola.”Saat itu aku berjanji, meski aku tahu barangkali kami tak akan bisa bermain. Aku berani sumpah Fal juga sebenarnya paham kami tidak punya waktu untuk itu. Dia terlalu sensitif mengerti perasaan orang, jadi gagasan itu pasti muncul karena dia cemas padaku. Sudah berulang kali itu terjadi—seperti ingin ditemani di kano atau secara khusus ingin menemaniku melakukan apa pun.Kara mencetuskan, “Haswin pasti sedang mencari Kenzie.”Itu sudah cukup membuatku mengerti bahwa mereka sudah membuat suatu rencana khusus. Satu-satunya yang kupikirkan hanya Mars. Barangkali selama aku terdiam membeku di Gerha Lavi, mereka sudah menyusuri setiap area yang pernah dicuriga
Semata-mata aku dan Dalton tidak betah terlalu lama di Mars—padahal itu, secara teknis, tempat tinggal Dalton sebelum dua tahun lalu. Namun, entah, Dalton bilang, suasana Mars berubah jauh dibanding ketika dirinya masih penghuni.Kami mencetuskan pergi ke tim peneliti bersama Haswin dan Yasha, tetapi karena perbincangan mereka masih panjang—Dalton sempat buka pintu, tentunya lapor bahwa aku di sana, yang tentu membuat Haswin dan Yasha tercengang seolah aku tak akan pernah muncul lagi—lalu Dalton bilang akan menunggu di luar Mars. Terakhir obrolan mereka terdengar, satu-satunya yang kudengar justru nama orang. Dan aku tidak mau pikir panjang ketika nama yang terdengar itu Layla.“Mereka menggosip, ya,” kataku, saat kami keluar Mars.“Perbincangan laki-laki kadang mengupas habis cewek cantik,” ujar Dalton.Jadi, kami berniat duduk di selasar Mars yang sepi—karena hampir semua penghuni di ladang, yang sebenarny
“Jadi, kalian yang buat—” aku menunjuk kaus, “ini?”“Hampir semua baju yang dipakai di sini, kecuali dewan, kami yang buat,” kata Mika. “Padang Anushka punya alatnya. Hanya tidak punya otaknya.”“Itu lumayan menyinggung.”“Tidak ada tim busana di sini. Sebenarnya kami tim tungku.”“Aku tahu itu. Mantan kapten dan wakil kapten, kan?”“Hanya satu tahun.” Mika tidak membantah, meskipun senyumnya terkesan pahit. “Tidak terlalu dibanggakan. Bakat kami—bakatku—bukan di masak. Dhiena mungkin pintar masak, tapi untukku—kurasa tidak.”“Jangan merendah begitu,” sela Dalton. “Satu tahun pun banyak perubahan yang dibuat di masa kalian. Dan masakanmu enak. Dan kau bisa mengatur jadwal makanan, pengaturan kupon, persediaan—yang saat itu belum ada tim stok. Nah, benar, Forlan. Tim stok baru dibuat waktu
Hal pertama yang membuatku merasa begitu aneh, adalah kenyataan bahwa di langkah pertamaku masuk ruangan tim peneliti, Jesse langsung berdiri, dengan enteng memelukku. Dan cengkeramannya termasuk kuat seolah dia mengeluarkan segala yang terpendam dalam dirinya.“Lavi selamat,” gumamnya, di bahuku.Aku mengangguk-angguk, kuputuskan membalasnya. “Kau hebat, Jesse. Maaf membuatmu sibuk beberapa jam terakhir.”Hal langka itu berakhir begitu mudah seolah Jesse bukan Jesse yang sering mengumpat. Dia langsung menghela napas, duduk di kursi seperti sebelumnya bak tidak pernah terjadi apa-apa, lalu mengusap semua ingus dan tangisnya dengan tisu. Dia menggeleng, kembali membelakangi kami, menghadap komputer.Aku bertemu mata dengan Dalton.Baru kemudian Haswin dan Yasha.Nuel dan Asva juga memandangi kami. Sepertinya itu hal paling aneh dari semua yang pernah dilakukan Jesse. Mereka berdua bahkan sampai menatap Jesse beberapa w
Ada sekitar dua jam sebelum jam malam, Yasha meminta kami bersiap pada kemungkinan terburuk, dan Haswin mengatakan kebenaran tentang rencana ini.“Yang meminta ini sebenarnya Mika, aku menyepakatinya.”“Mika?” tanyaku. “Yang mana?”“Dobrak. Sebenarnya aku sudah memikirkan itu, tapi kupikir tak ada alasan mendesak. Tapi setelah Mika menyebutnya, sekarang waktunya.”“Aku jadi ingat,” ujar Dalton. “Mika punya insting hewan gunung.”“Lebih tepatnya, antena bahaya. Seperti Kapten kalian.”“Itu bukan antena bahaya,” timpaku. “Itu kasih sayang.”“Kuharap seseorang juga punya antena bahaya untukku,” gumam Dalton.Jadi, lagi-lagi kami berpencar. Haswin dan Yasha akan mendaftarkan kami patroli, Dalton berniat membuat alat pendeteksi logam—yang sebenarnya terdengar mustahil karena tersisa kurang dari dua jam, tetap