"Hai, apa kabar Moy?" sapanya sambil mengulurkan tangan padaku setelah dia duduk di sampingku."Aku baik, jangan panggil aku dengan sebutan itu, gak enak dengar orang," protesku yang malah membuat Rama tertawa."Hahaha..., itu kan sebutan sayang dariku waktu kita masih pacaran dulu," ujarnya sambil terkekeh. "Kamu sudah menikah?" sambungnya.Aku mengangguk mengiyakan tanpa membalasnya dengan ucapan. "Suami kamu mana? Kok kamu sendirian?" tanyanya kepo sekali."Ada di rumah, maaf ya Rama, aku gak bisa lama-lama di sini, gak enak di lihat orang. Ada keperluan mendadak juga," aku bangkit yang segera di cegah olehnya."Tunggu dulu Amira!" panggilnya saat aku hendak melangkah."Iya? Ada apa?" tanyaku menoleh."Tunggu sebentar, kebetulan kam ada di sini, aku mau ngasih undangan buat kamu, tunggu sebentar ya, gak akan lama kok," katanya sambil pergi entah kemana.Beberapa menit kemudian dia kembali sambil membawa sepucuk surat undangan di tangannya. "Ini undangan buat kamu, jangan lupa dat
Aku membalikkan badan karena tak ingin Mas Razan melihatku. "Amira, kenapa?" tanya Rinjani mengguncang lenganku."Amira!" panggilan dari suara yang tak asing itu membuatku kembali membalikkan badan."Iya?" jawabku pada Rama yang repot-repot berjalan menghampiriku padahal tadi ku lihat dia ada di dekat pintu masuk."Terimakasih sudah datang ke acara pesta ini. O, ya, suami kamu mana?" tanya Rama sambil mengedarkan pandangannya ke arah belakangku.Sontak saja aku dan Rinjani saling berlirikkan. Tidak mungkin aku mengatakan jika orang yang baru saja berjabat tangan dengannya itu adalah suamiku. Sedangkan di sana dia membawa Kak Nita untuk hadir di acara pesta."Eu...,""Dia lagi sakit ambeyen, jadinya suami Amira gak bisa datang!" Rinjani memotong ucapanku. Entah harus marah atau tertawa saat mendengar alasan yang dia katakan.Buk!Aku menepuk lengannya, membuatnya meringis. "Aw! Sakit Mir!" katanya."Kalau begitu silahkan masuk, sekalian aku juga mau ajak kamu buat silaturahmi bertemu
"Dan ingat Mas! Aku mengenakan gaun ini bukan untuk menjajakan diri ke pada laki-laki lain, bukan ingin di fuji oleh mereka juga. Aku mengenakannya karena sudah lama baju ini berdiam diri di lemari. Bukankah kamu tidak pernah mengajakku ke acara pesta seperti ini? Selalu saja kamu membawa wanita lain untuk menghadiri pesta apapun!" sambungku lagi dengan penuh emosional."Kamu sudah berani melawan Mas, Amira! Baru saja kita akur, kamu selalu saja membuat Mas emosional!" dalihnya mengkambing hitamkan aku."Ayok kita pulang Rinjani!" aku menarik tangan Rinjani."Mas belum selesai bicara!" kata Mas Razan.Tak aku gubris ucapannya itu. Memasuki mobil yang di kemudikan oleh sahabatku. Berusaha menulikan telinga dari panggilan Mas Razan yang tak berhenti memanggil namaku."Apa yang sebenarnya terjadi Mir?" tanya Rinjani sambil mengemudi sesekali melirikku yang sudah berderai air mata."Ceritanya panjang, nanti aku ceritakan di rumah," jawabku."Maaf ya, tadi aku gak ikut kamu ke atas, Si Raz
Merasa tak enak jika harus terus menolak permintaannya. Aku terpaksa mengiyakan saja. Lagi pula cuma sebentar saja, beberapa menit kemudian aku akan segera pamit pergi.Rama keluar dari kamar yang aku tempati setelah mendapat panggilan telpon dari seseorang. Sedangkan, Nenek Aletta masih tetap setia menemaniku.Seorang pelayan datang membawa beberapa buah-buahan segar lengkap dengan segelas susu hamil di atas nampan."Ini, Nyonya," ucap pelayan sambil menaruh buah-buahan segar itu di atas nakas."Iya, silahkan kamu kembali ke belakang," kata Nenek Aletta.Dia mengangguk sambil pergi. Nenek Aletta mengambil buah apel dengan sebuah pisau kecil. Dia mengupasnya sendiri. "Kamu minumlah dulu susumu selagi hangat, tadi Nenek menyuruh pelayan untuk membeli susu hamil di toko terdekat, sambil menunggu buahnya Nenek kupas, kamu minum susu dulu," kata Nenek Aletta seolah berbicara dengan cucu sendiri. "Tidak usah Nek, biar Amira saja yang mengupasnya." Aku mengambil apel beserta pisau di tang
~~ POV Razan ~~"Nih, asuh anak kamu, aku mau shoping dulu!" kata Nita sambil menyerahkan Farel yang menangis histeris padaku yang tengah duduk santai menonton tv."Nit, kamu kok malah shoping terus sih?" tanyaku tak suka dengan sikapnya yang tidak sopan."Aku mau cari udara segar, suntuk, bosan juga di rumah terus. Ngurusin anak tuh capek, aku butuh merefresh otak biar gak gila!" jawabnya yang makin hari makin ngelunjak saja."Kenapa gak sambil kamu bawa aja Farel jalan-jalan? Dia juga pasti bakal seneng kalau di bawa jalan-jalan," balasku berdiri mengayun-ayun putraku yang masih menangis."Itu namanya bukan merefresh otak Mas! Sama aja enggak, kalau bawa dia keluar, aku kan pengen me time!" jawab Nita sambil merapikan rambutnya yang bergelombang sehabis perawatan dari salon kemarin."Dari tadi kan Farel di asuh sama Bi Darmi, kok jadi kamu yang capek, banyak alasan terus kalau mau keluar rumah, selalu aja Farel yang jadi alasannya. Selalu aja beralasan capek ngurusin Farel." Ujarku
~~ POV Razan ~~Berbekal dengan sebuah aplikasi pelacak aku bisa menemukan keberadaan Nita sekarang. Aku masih berdiam diri di mobil untuk memastikan kebenaran orang yang kini berada di sebuah butik itu memanglah dia.Lama aku mengintainya, tak ada yang aneh dari sikap Nita. Dia terlihat senang sekali saat memilih beberapa baju. Aura kebahagiaan terpancar di wajahnya. Aku juga tersenyum saat melihatnya begitu bahagia. Tapi, seketika senyumku sirna saat melihat ada seorang pria yang kini tengah berdiri di belakang istriku. Ku amati dengan jelas perawakkannya yang tinggi, wajahnya tak jelas karena dia mengenakan masker dan topi berwarna hitam.Sesekali Nita tersenyum melirik ke arahnya seakan tengah meminta saran untuk baju yang dia pilih."Siapa sebenarnya laki-laki itu?!" tanyaku pada diri sendiri dengan tangan mengepal.Ku perhatikan terus Nita dari balik kaca mobil. Dia keluar dari butik itu sendirian tanpa laki-laki tadi."Kemana laki-laki itu?" gumamku sambil mengedarkan pandanga
"Bahkan kamu tidak tahu kalau aku sekarang sedang mengandung anakmu Mas! Tapi, kamu malah menceraikan aku tanpa alasan yang jelas, semoga kamu tidak menyesal suatu saat nanti sudah memilih orang yang salah!" ujar Amira membuat langkahku terhenti."Itu cuma akal-akallan dia saja Mas, biar kamu kembali minta rujuk!" hasut Sabrina padaku. Aku menoleh ke arah ke arah Sabrina lalu pergi begitu saja meninggalkan rumah yang selama ini selalu aku rindukan tapi enggan untuk aku mendatanginya.**********Sekian lama aku dan Sabrina mengasuh Farel bersama di rumah. Meski sudah ku suruh pulang, Sabrina tetap menolak. Dia lebih suka bermain bersama Farel karena dia bilang tak ada guna di rumah sendirian."Ini uang buat kamu karena sudah menjaga Farel seharian ini, anggap saja ini imbalan dariku, maaf cuma sedikit," ucapku setelah hari sudah sore saat Sabrina akan pulang."Tidak usah Mas, lagi pula aku seneng kok bisa bantu jagain Farel, kapan-kapan hubungin aku aja ya, kalau kamu butuh jasa baby s
~~ POV Amira ~~Setelah istirahat sejenak di rumah, aku menjadi tak sabar ingin segera memberitahu Mamah Rani tentang kehamilanku. Selama delapan tahun ini dia sudah sangat menantikan kehadiran cucu pertama dariku. Mamah Rani pasti akan sangat senang ketika mendengar kabar ini. Dengan jasa taxi online, aku sudah sampai di kediaman Mamah Rani yang terlihat sepi.Saat membuka pintu, ku lihat Farel tengah merangkak sendiri tanpa ada yang mengawasi. Karena khawatir aku segera menggendongnya sambil memanggil satu persatu orang di rumah itu namun tak ada yang menyahut."Mas! Mamah! Bibi!" semuanya ku panggil satu persatu sambil mencari keberadaan mereka yang tak ku temukan di rumah itu."Pada pergi kemana ya? Kok Farel di tinggal sendirian?" gumamku.Setelah lama menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk memnawa Farel ke rumah. Sebelum sampai ke rumah, aku menyempatkan diri membeli makanan untuk Farel karena mungkin saja dia akan lapar nantinya.Namun sayang sekali, baru saja aku menyuapinya
"Aku yakin banget dia ada disana tadi, di dekat pohon kelapa, dan dia memakai jaket warna hitam," aku kekeh karena sangat yakin jika itu benar Kakakku."Ya udah, kamu jangan panik begitu, tenangin diri dulu ya, jangan khawatir, dia tidak akan berbuat jahat lagi sama kamu, mungkin dia cuma kebetulan lewat saja," balas Daniel sambil mengelus pundakku. "Aku beli minum dulu ya, biar kamu lebih tenang setelah minum." Ujarnya lagi lalu pergi.Rinjani menggiring tubuhku untuk duduk di salah satu kursi panjang yang terdapat di pinggir pantai. Dia berkali-kali mengelus punggungku untuk menenangkan karena dia tahu sendiri bagaimana rasa traumaku beberapa waktu lalu saat aku harus kehilangan calon bayiku karena kecelakaan yang di lakukan oleh Kak Nita."Tenang Amira, kamu akan baik-baik saja, jangan khawatir, kan ada aku." Ucap Rinjani.Tak lama Daniel datang dengan sebotol air mineral di tangannya. "Minum dulu Mir, biar kamu lebih tenang," ucapnya mengulurkan sebotol air itu padaku."Iya, terim
Aku hanya diam saja berpura tak mendrngar pertanyaan dari Rama. Dia tetap saja mendesak memberiku pertanyaan lagi."Apa mau bulan ini juga kalian merid?" tanyanya lagi yang membuat aku dan Daniel juga Rinjani berlirikan."Bukan bulan ini, tapi besok!" jawab Rinjani tegas.Rama terkikik geli setengah mengejek mendengar hal itu. Aku rasa ada yang berbeda dengan sikapnya. Tapi ku abaikan saja. Setelah acara itu selesai, kami semua pergi ke pantai untuk merayakan kembali hari ulang tahunku.Tentu saja aku meminta izin pada Ibu dan Bapak untuk pergi ke pantai bersama teman-temanku. Mereka langsung mengizinkan karena bukan hanya aku yang meminta izin, tapi Daniel juga. Sepertinya Ibu dan Bapak sudah terpikat oleh sikap baik Daniel padaku yang selama ini cukup dekat dengan keluarga kami.******Kembali kami menghabiskan waktu bersama di pantai setelah sampai dan memakan waktu cukup lama. Kami sampai tepat pukul tiga sore. Aku duduk di tepi pantai sambil menikmati hembusan angin sore. Tiba-
Bi Ningrum berhenti di sebuah taman yang sudah di dekorasi dengan dekorasi yang sangat indah. Terdapat ucapan selamat ulang tahun di dalam dekorasi yang terpasang membuat dahiku mengernyit. Disana juga sudah tertata rapih beberapa meja bundar lengkap dengan kursi yang mungkin akan menjadi tempat duduk beberapa tamu.Sebuah kue besar dengan angka 27 di atasnya yang terpampang di atas meja sudah jelas sekali memberitahuku bahwa acara surprise itu di tunjukkan untukku."Happy Birthday Amira" Tampak Daniel yang tiba-tiba muncul dari balik dekorasi itu sambil menebar senyuman termanis padaku."Happy Birthday Amira!" ucapnya berteriak. Beberapa orang juga muncul sambil berteriak terutama Rinjani, Rama dan juga Erlika yang tanpa berekspresi."Tunggu!" ujarku membuat senyum mereka memudar berganti degan ekspresi kebingungan."Ada apa Amira?" tanya Rinjani menghampiriku yang jaraknya beberapa meter."Emangnya kalian yakin hari ini hari ulang tahunku?" tanyaku."Lah, bukannya tanggal ulang tah
Nisa menjelaskan mereka berdua sempat berbincang di depan toko dan tak sengaja dia mendengarnya. Maksud mereka datang ke toko mungkin untuk mengundangku ke acara pernikahan mereka, begitu kata Nisa."Aku dengar mereka lagi ngobrol tentang undangan pernikahan Bu, mungkin saja Ibu mau di undang ke acara pernikahan mereka." Jelas Nisa.Mobil yang kini sedang aku kendarai melaju lambat, kala mengingat penjelasan Nisa waktu di toko. Aku menghentikannya di depan sebuah Mall.Setelah memarkirkan mobil aku turun. Beranjak berjalan menuju sebuah toko minuman lalu memesannya. Aku duduk di sebuah kursi menunggu minuman datang."Hai, Amira!" sapa Rama bersama seorang perempuan cantik menghampiriku yang sedang duduk termenung.Aku tersenyum membalas sapaannya. Dia duduk bersama wanita itu. "Malam-malam nongkrong disini, sendirian lagi, Daniel kemana?" tanya Rama.Mendengar pertanyaan itu aku sudah mengerti. Setiap orang pasti akan mengira kami sudah memiliki hubungan selain berteman. Aku jadi mera
"Assalamu'alaikum...," ucapku saat membuka pintu rumah setelah sampai di kota kelahiranku."Hallo! Amira, apa kabar!" Rinjani menerobos memelukku dengan di penuhi aura kebahagiaan di wajahnya."Alhamdulillah, baik, aduh! Pelan-pelan dong meluknya!" kataku pada Rinjani yang terlalu bersemangat."Kangen tahu! Kamu nih ya, malah kabur ke luar negri, giliran temen nikah gak ada, kesel deh!" gerutunya sambil mengiringi langkahku berjalan menghampiri Bapak dan Ibu yang tengah duduk di sofa."Gimana jalan-jalannya Mir, pasti senangkan?" tanya Ibu padaku yang mencium punggung tangannya."Alhamdulillah Bu, Amira udah lebih baik sekarang, suasana di sana enak banget, tapi dingin karena lagi musim salju." Jawabku lalu mencium punggung tangan Bapak."Coba kalau kita ikut kesana, Ibu sih gak mau ikut, jadinya Bapak juga gak bisa ikut!" kata Bapak meluapkan kekesalannya."Malas Pak, perjalanannya jauh, naik pesawat lagi. Bapak kan tahu kalau ibu takut naik pesawat." Jawab Ibu membela diri."Iya-iya
Aku dan Daniel berjalan kaki ketika sudah sampai di tempat tujuan. Kami harus menaiki tangga panjang menuju menara.Sesekali aku berhenti berjalan karena kelelahan. Dengan tingkah konyolnya dia memintaku untuk menaiki punggungnya menawarkan diri untuk siap menggendongku."Naiklah!" katanya sambil berjongkok."Eh, gak usah, aku masih bisa jalan kok," tolakku."Yakin, bakal kuat naik ke tangga berikutnya?" ejeknya padaku."Yakinlah, ayok lanjut!" ajakku sambil menaiki anak tangga berikutnya.Beberapa menit berikutnya kami sudah sampai di puncak menara. Disana terdapat banyak sekali gembok yang terpasang di sepanjang tempat. "Mau coba pasang gembok? Tulis sebuah tanda, atau permintaan, buat seru-seruan aja." Usul Daniel saat aku berdiri melihat satu persatu gembok yang sudah terpasang.Aku menyetujuinya. Kami membeli gembok serta menulis sesuatu lalu memasangnya di tempat yang cukup ruang. "Selesai!" teriak Daniel kegirangan."Kamu tulis apaan?" aku mengintip gembok yang baru saja di p
Ternyata Daniel juga menginap di hotel yang sama dengan kami. Aku sudah bisa menebaknya sendiri, ulah siapa yang membuatnya sampai datang ke Korea untuk mengikutiku. Siapa lagi kalau bukan Mbak Karina.Selain teman semasa SMA Kak Nita, Mbak Karina masih mempunyai ikatan keluarga dengan Daniel. Dia pernah bercerita mengenai perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua Daniel yang sengaja di tolak mentah-mentah oleh Daniel karena Daniel lebih memilih menunggu jandaku.Malu rasanya mendengar cerita itu. Bukan apa-apa, aku merasa menjadi duri yang tidak seharusnya membuat Daniel membantah kedua orang tuanya. Tapi, mau bagaimana lagi, aku tidak tahu apa-apa, berita itu juga ku dengar beberapa bulan yang lalu dari Mbak Karina."Besok kita jalan-jalan ke Namsan Tower yuk!" ajak Daniel saat kita makan malam bersama."Hmm..boleh," jawabku sambil kembali melahap makanan yang belum habis.Mbak Karina hanya tersenyum melihat kita. Dia selertinya mendukung Daniel untuk kembali mendekatiku."Kaya
~~ POV Amira ~~Karena kejadian beberapa waktu lalu yang mengharuskanku mengalami depresi telah kehilangan bayi yang berada dalam kandunganku, membuatku harus pergi ke luar negri untuk menenngkan diri.Ya, aku pergi ke negri gingseng untuk sekedar melepas beban pikiran yang selama ini selalu berkecamuk menguras hati dan pikiranku.Terbersit dalam ingatan sosok Daniel yang selama ini selalu ada untukku saat aku tengah duduk di sebuah kursi taman merenung sendiri.Aku ingat sekali saat Daniel datang kembali dengan menawarkan ide cemerlang tentang bisnis yang sekarang sedang aku jalani. Dia yang memberiku ide untuk menjalankan bisnis kue di kotaku. Dia juga yang selalu ada untukku di saat aku kesusahan menjalani kehamilan di usia-usia rentan. Bahkan dia selalu berusaha sebisa mungkin menuruti keinginan ngidamku. Kami memang hanya teman, akupun tidak lebih menilainya memberi perhatian hanya sekedar mengasihaniku meski dia pernah mengungkap rasa."Amira!" teriak seseorang yang suaranya ta
"Apa yang sebenarnya terjadi Bu?" tanyaku pada Mamah yang masih berderai air mata.Mamah hanya melirikku sekilas lalu melihat Nita yang sama halnya tengah menangis. Bapak tidak terlihat di sana, entah kemana dia."Kenapa kalian diam? Saya sedang khawatir, tolong jawab, apa yang sebenarnya terjadi sama Amira?" desakku yang membuat Ibu bangkit."Kalau saja dari awal dia dan Nita tidak pernah mengenal kamu, semuanya tidak akan seperti ini!" ujar Ibu menatapku nyalang sambil menunjuk wajahku."Maksud Ibu?" tanyaku."Memang susah ngomong sama orang yang gak punya hati!" ujarnya lalu pergi menyisakan aku dan Nita. "Ada apa ini? Jadi selama ini kamu pulang kempung? Apa mereka sudah tahu hubungan kita?" "Iya!" jawab Nita singkat membuatku emosi."Jawab yang benar, jangan singkat-singkat!" bentakku."Bayi Amira meninggal, karena aku memarahinya saat aku datang ke rumah, aku bertengkar hebat sama dia sampai aku gak bisa mengendalikan diri mendorong dia ke bawah tangga, puas kamu dengan jawaban