“Kenapa kau tiba-tiba menangis?” tanya Aland yang bingung dengan Giselle. “Sebentar lagi pesawatmu akan berangkat. Jangan menangis.” Mengeluarkan sapu tangannya dan mengusap pipi Giselle yang basah akibat air mata. Giselle masih menangis. gambar yang dilihatnya benar-benar membuatnya begitu sakit. Kevin menghianatinya. Kevin memilih wanita itu daripada dirinya. “Sudah-sudah…” Aland menepuk pelan bahu Giselle. Giselle merebut sapu tangan itu dari tangan Aland. Mengusap ingus hidungnya dengan sapu tangan itu. “Kenapa begitu sakit…” lirihnya. “Kenapa?” “Dia berselingkuh.” Giselle mendongak. Namun sialnya air matanya tidak berhenti keluar. Giselle tidak berhenti mengumpat dengan posisi yang terus menangis. akhirnya ia merasakan usapan lembut di bahunya. “Sabar..” lirih Aland. Ya, hanya itu yang bisa dikatakan oleh pria itu. Aland bukan pria yang pintar menghibur. Mungkin posisinya sebagai teman Giselle hanya itu yang bisa dilakukan untuk menghibur wanita itu. Sampai akhirnya pesawa
2 jam sebelum keberangkatan Giselle, Aland menyiapkan semuanya. Menyuruh manajernya untuk mengatur kepergian Giselle tanpa ada yang bisa melacaknya. Aland membuat Giselle seolah-olah hilang ditelan bumi tanpa jejak sama sekali. “Aku inginn tahu kenapa kau membantuku?” tanya Giselle saat perjalanan ke Bandara. “Menyiapkan kepergianku pasti membutuhkan biaya yang besar. Tapi kau tidak mau aku bayar. Jadi apa yang membuatmu membantuku?” “Hanya ingin.” Aland mengedikkan bahu. “Jawabanmu seperti anak yang baru pubertas. Jika kau laki-laki dewasa, kau akan menjelaskan alasanmu,” sarkas Giselle. Aland menghela nafas. “Aku tidak tahu. Tapi aku memang suka hal-hal ekstrem seperti ini. kau bilang kekasihmu polisi, rasanya senang bisa menang dari polisi.” Giselle menyipitkan mata menatap Aland. Dari wajah pria itu tidak ada raut keseriusan. Itulah kenapa Giselle selalu ragu dengan apa yang diucapkan Aland. “Aku akan mengganti uangmu yang kau keluarkan untuk kepergianku.” “Tidak perlu. Uan
“Saya akan menunjuk beberapa dari kalian untuk melakukan misi penyelamatan warga ini.” Pemimpin itu menatap bawahannya. Kevin dipercaya sebagai ketua dalam misi penyelamatan warga. Ia sudah mengenakan seragamnya berwarna sergap hitam lengkap dengan rompi anti peluru. Mengambil sebuah senjata api laras panjang. Setelah semuanya siap, mereka menaiki sebuah pesawat yang hanya digunakan oleh pasukan khusus. Kevin bersandar—untuk sejenak ia akan melupakan masalah pribadinya dan fokus dengan tugasnya. ~~Sudah 10 hari semenjak Giselle datang ke sini, rasa mualnya tidak kunjung sembuh. Ia sudah meminum beberapa obat masuk angin sampai flu. Giselle sering terbangun di tengah malam hanya karena haus. Karena persediaan air di kamarnya sudah habis, mau tidak mau ia harus ke dapur untuk mengisi air. Di saat ia baru saja membasahi tenggorokannya dengan air, ia mendengar sebuah derap langkah aneh. Giselle pergi keluar. Alangkah terkejutnya saat ia membuka pintu—ada beberapa warga yang tengah d
Akhirnya bocah itu diam. Giselle memejamkan mata pelan. ia hanya berharap kondisi tubuhnya tidak menyusahkannya. Ia berharap tubuhnya bisa diajak kerja sama dalam kondisi seperti ini. “Diam saja. Kita pasti bisa keluar,” ucap Giselle pada bocah itu. “Tapi aku ingin pulang..” bocah itu merengek. “Sabar. Tunggu pasti kita semua selamat dan bisa pulang.” Giselle menganggukkan kepalanya. Mencoba meyakinkan bocah itu. ~~Kevin beserta pasukan khusus sudah berada di kawasan penjarah beraksi. Di sana, warga berbondong-bondong melapor kehilangan anak dan suami. Ada salah satu ibu-ibu yang datang menemuinya. Ia melaporkan kehilangan anak perempuannya. “Pak polisi tolong selamatkan anak saya.” Ibu itu memohon pada Kevin. “Anak saya baru saja datang dari jauh. Dia baru tinggal sebentar. Tolong pak polisi.” “Kami akan menyelamatkan warga,” balas Kevin. Setelah menyuruh anak buahnya untuk berbaris dengan rapi. Kevin memberikan mereka instruksi. “Pertama, tidak ada yang boleh meninggalkan ru
“Sekarang,” lirih Kevin. Itu adalah instruksinya pada anak buahnya yang lain untuk mengepung mereka. diam-diam anak buahnya membentuk formasi untuk mengelilingi tempat itu untuk menyerbu mereka. Satu persatu warga dilepaskan dan berjalan ke arah pasukan khusus berada. Namun saat detik terakhir di mana seharusnya Giselle menjadi yang terakhir yang berjalan, justru tubuhnya ditarik begitu kuat. “Kau pikir aku bodoh hah?” pria itu menyandera Giselle. Menodongkan pistolnya di kepala Giselle. “SURUH ANAK BUAHMU MUNDUR ATAU AKU BUNUH WANITA INI!” “Berhenti,” instruksi Kevin pada anak buahnya. Saat ini suasana menjadi begitu tegang. Semua orang mengangkat senjata api. Saling menodong dan siap menghabisi nyawa musuh. Pria itu membawa Giselle mundur. Ada sebuah mobil yang akan digunakan mereka untuk kabur. Mereka bergerak mundur perlahan. Satu persatu dari mereka masuk ke dalam mobil dengan senjata yang masih diarahkan pada pasukan khusus. “TURUNKAN SENJATA KALIAN!!!” teriak ketua mereka.
“Aku di mana?” Giselle menatap punggung tangannya yang terpasang infus. Tangannya hendak menyentuh lehernya sendiri namun dicegah oleh Kevin. “Jangan menyentuhnya.” Kevin menurunkan kembali tangan Giselle. Giselle menatap Kevin sebentar sebelum mengalihkan pandangannya. Padahal saat kejadian tadi, Giselle begitu merindukan pria itu. Namun sekarang malah berubah membenci pria itu. “Ini di Puskesmas,” balas Kevin. Giselle menghela nafas dan masih tidak mau menatap Kevin. Hal tersebut tentu saja disadari oleh Kevin. Ia mengambil tangan kanan Giselle, digenggamnya perlahan. “Aku akan menjelaskannya.” Tangan Kevin terulur mengusap pipi Giselle. “Baiklah jika kamu tidak mau melihatku.” “Aku dan Ariel datang ke pesta pernikahan sepupuku. Aku disuruh datang untuk mewakili Dad yang tidak bisa datang. Aku akui di sana, aku mabuk dan aku mengira Ariel itu kamu.” Giselle mengernyit. “Lalu karena kamu mabuk, kamu bisa tidur dengannya? kamu bisa tidur dengannya karena mengira itu aku?” “Aku
Giselle keluar dari kamar mandi dengan linglung. Kevin menunggu di ruangan. Membiarkan Giselle bersama perawat.“Saya tahu anda terkejut. Jika anda menggunakan pengaman, bisa dikatakan pengaman itu tidak bisa 100 % mencegah. Jadi selamat ya.” Perawat itu tersenyum. Kemudian membantu Giselle kembali duduk di ranjang. Jika tidak ingin terjadi, seharusnya Giselle bisa mencegah lebih ketat. Giselle mengusap perutnya perlahan. Tidak, jika ini sudah takdir, bagaimanapun ia tida bisa menolaknya. Giselle tersenyum tipis. “Terima kasih, Sus.” Kevin masuk ke dalam ruangan. “Bagaimana Sus?” tanyanya. “Selamat anda akan menjadi ayah,” balas perawat itu. “Tapi setelah ini, anda harus memeriksakan kandungan anda di dokter kandungan. Untuk mengetahui lebih jelas keadaan kandungan dan berapa lama kandungannya.” “Baik, Sus. Terima kasih.” “Kalau begitu saya pergi.” perawat itu meninggalkan ruangan. Kevin langsung memeluk Giselle dengan bahagia. “Kita akan segera menjadi orang tua.” Mengusap pun
“Jadi di sini kamu tinggal..” lirih Kevin. “Oh ya kemarin ada ibu-ibu yang mengadu padaku, dia bilang anak perempuannya hilang itu kamu?” tanyanya. “Di sana hanya ada satu perempuan yaitu kamu.”“Bagaimana fisik ibu itu?” “Giselle!” teriak seorang wanita. “Kamu baik-baik saja?” tanya ibu Asih yang berlari memeluk Giselle. “Seharusnya kamu tinggal bersama ibu saja agar lebih aman.” Ibu Asih terlihat kawatir dengan Giselle. “Oh—” menatap Kevin. “Terima kasih ya pak Polisi sudah menyelematkan anak saya.” Giselle tersenyum. “Giselle baik-baik saja bu.” Giselle menggandeng tangan Kevin. “Ini kekasih saya.” “Loh tapi bukannya ini pak polisi yang kemarin ya?” Kevin mengangguk. “Iya, bu. Saya polisi dari pasukan khusus kemarin. Saya kekasih Giselle. Saya tidak tahu kekasih saya kabur di sini dan berakhir diculik oleh para penjarah itu.” “Yaampun.” Bu Asih menepuk pelan bahu Giselle. “Kalau begitu ibu lega.” mengusap dadanya sendiri. “Ibu sangat takut kemarin kamu diculik. Untungnya ada
Sial sekali, pagi ini Ana harus terlambat karena ayahnya, Royce kesiangan bangun setelah menonton bola dini hari. Royce dan Helena sama saja, suka menonton sampai larut. Sampai-sampai paginya terlambat bangun. “Maaf ya. Dad kesiangan bangun.” Royce memberhentikan mobilnya di depan sekolah. “Pasti kamu dihukum. Tapi gak papa.” Royce mengecup puncak kepala anaknya. “Semangat ya dihukumnya.” “DAD!” teriak Ana yang sungguh kesal. Ia turun tanpa menyalami tangan orang tuanya itu. kemudian berjalan dengan gontai masuk ke sekolah. Maka benar saja. Ia harus dihukum karena terlambat. Untuk siang hari setelah istirahat, ia harus membersihkan lapangan basket yang luasnya melebihi stadion. Ana berjalan ke arah gudang, di sanalah ia mengambil peralatan kebersihan. Namun sayup-sayup saat ia masuk ke dalam gudang. Telinganya harus ternodai oleh suara menjijikkan. Ana membeku di tempatnya berdiri. ~~ “Untuk yang terakhir kali kelas 12 diijinkan untuk mengikuti perlombaan. Karena setelah in
Extra capter Alvaro dewasa International Alexandra school adalah sekolah internasional yang terisi dengan anak-anak orang kaya. Orang tua murid yang berasal dari kaum berjois. Hingga terjadilah sistem kasta yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. “Ana, kak Alvaro itu sangat tampan ya.” Raya menyenggol lengan Ana. Melihat seorang laki-laki yang menggunakan seragam basket itu memasuki koridor sekolah. Laki-laki yang menjadi incaran para perempuan. Alvaro Pradana, putra satu-satunya dan digadang-gadang menjadi penerus dari Devian group. Alvaro Pradana, pemuda yang saat ini menginjak kelas 12. Dengan pesonanya yang mampu meluluhkan seluruh hati perempuan yang ada di sekolah. Mendapat julukan si pemain. Pemain hati perempuan. Namun, ada satu perempuan yang ia hindari. Perempuan yang sedari dulu ia anggap sebagai adiknya. Alvaro bersikap baik dengan Ana. Ana tersenyum. Ia pun menyetujui jika Alvaro memang begitu tampan. “Iya aku setuju—" “Hai adik, minta permennya.” Alvaro
“Ana sangat lucu, Mom.” Alvaro memandang seorang balita yang sedang merangkak. Balita perempuan yang menggemaskan. “Nanti kamu pacaran sama Ana saja ya.” Helena mengusap puncak kepala Alvaro. “Heh!” Irene menyenggol bahu Helena. “Mana ada, masih anak kecil tidak usah berpikir pacar-pacaran.” Alvaro memandang kedua orang yang sedang bertengkar itu sebentar. kemudian mendekati Ana yang sedang bermain dengan sebuah boneka. Alvaro menunduk—mengusap pipi Ana pelan. “Kamu suka bermain boneka?” Alvaro tersenyum. “Lihat-lihat saja.” Helena memandang dua anak yang sedang bermain. Tepatnya, Alvaro yang menjaga Ana. “Alvaro memang menantu idaman.” “Aduh..” Irene menggeleng. “Masih kecil disebut menantu. Helena memang gila.” Irene berdecak pelan. Setelah bermain seharian di rumah Helena, akhirnya Irene pulang juga. Alvaro berada di samping Irene. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk tapi ternyata masih berusaha membuka mata. “Tidur saja, Al. Mom akan membangunkan kamu nanti.” Al
Ia membawa barang-barang itu namun dari belakang ada beruang yang terus menempel di tubuhh kecilnya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, Devain tidak melepaskan pelukannya pada istrinya. “Bagaimana dengan hot wife?” tanya Devian membalikkan tubuh Irene. “Aku tidak suka tubuh kamu dilihat orang lain.” “Tidak ada yang melihat.” Irene mendongak. “Lagipula malam-malam tidak akan ada yang melihat.” Devian berdecak. “Dress seperti ini hanya boleh digunakan di hadapanku. Tidak boleh digunakan di luar.” Mengangkat dagu Irene. Menatap kedua bola mata istrinya itu dengan bola matanya yang tajam. “Baiklah.” Irene mengangguk. “Besok aku akan ke rumah Helena, kamu..” Devian mengusap pinggang Irene. “Saat libur aku ikut. Lusa kan libur. Aku janji tidak akan mengurusi pekerjaan lagi.” “Tapi jika kamu masih mengurusi pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?” “Goda aku. Goda aku dengan tubuhmu yang seksi ini sayangku..” tangan Devian yang nakal sudah bergilya di belakang Dress Irene. “Be
“Bisa.” Devian mengambil satu balon dan melepasnya ke udara. “Waah..” kagum Alvaro melihat balon yang berwarna kuning menyala itu di udara. “Tapi—” Devian menunjuk beberapa anak-anak yang bermain di sekitar mereka. “Apa kamu tidak ingin memberikan balon-balon ini pada mereka? Mungkin saja mereka juga ingin.” Alvaro menatap gerombolan anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvari memandang anak-anak itu lebih lama, karena menurutnya sedikit berbeda dengannya. “Kenapa?” tanya Devian. “Kamu tidak ingin memberikan balon ini pada mereka?” Alvaro menggeleng pelan. “Tapi, kenapa beberapa dari mereka membawa makanan? Mereka berjualan? Ada yang membawa karung besar juga.” Devian mengangguk. “Mereka sedang bekerja. Sebagian dari mereka membantu orang tua mereka mencari uang dengan berjualan. Kamu ingin membantu mereka?” “Bagaimana caranya Dad?” Devian mengeluarkan dompetnya. “Sebentar.” Mengambil uangnya yang berwarna merah sebanyak 20 puluhan. “Setiap
Beberapa bulan kemudian. “Akhh!!” Teriakan Irene yang terakhir kali. Disusul dengan tangisan seorang bayi. “Selamat bayinya berjenis kelamin laki-laki.” Dokter itu menggendong seorang bayi kecil yang baru saja keluar dari perut Irene. Devian menitikkan air mata. “Hai boy.” Menggendong bayinya dengan hati-hati. “Nama kamu Alvaro Pradana.” Devian tersenyum saling memandang dengan Irene. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk mengusap puncak kepala istrinya. “Terima kasih sudah berjuang.” Alvaro Pradana, putra sulung dari pasangan Devian dan Irene. Seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Devian mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri. 5 tahun berlalu, Alvaro tumbuh menjadi anak yang begitu cerdas. Setiap harinya selalu haus bertanya. Diusianya yang menginjak 4 tahun, bocah itu sudah memasuki sekolah. Berbaur dengan anak-anak lain tanpa kesulitan. Hal tersebut membuat Irene tidak berhentinya bangga. “MOM!” teriak Alvaro
“Seorang wanita mencoba melakukan pembunuhan di rumah sakit. Hal itu didasari oleh cinta. Cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Cintanya ditolak dan berusaha membunuh istri si pria.” Di layar televisi itu. ditayangkan sebuah kos-kosan kecil. “Wanita itu mengalami stress berat bertahun-tahun. Bisa dilihat dari rumahnya yang begitu kotor dan berserakan sampah. Saat ini polisi masih menyelidiki lebih lanjut kasus ini. namun, sudah dipastikan wanita itu mendapat hukuman penjara.” Klik! Layar dimatikan. Devian masih setia berada di samping istrinya. “Aku gagal lagi. Aku terlambat. Jika aku datang lebih cepat, dia tidak akan menyakiti kamu.” Devian menatap leher Irene yang sudah di olesi salep. Beberapa kali Devian mencium punggung tangan Irene. “Bagaimana Irene?” tanya Helena yang baru saja datang. “Maaf, maaf aku tidak bisa datang lebih cepat.” Devian menghela nafas. “Jalang itu memiliki cara untuk menyakiti Irene.” Helena mengusap punggung tangan Irene. Kedua matanya
“Bye Mom Dad!” Irene menyalami Giselle. Membiarkan mertuanya itu pergi. Setelah kepergian mertuanya, Irene menjadi sendirian dan merasa kesepian. Ia mengambil bungkusan yang berada di atas nakas. katanya sebuah kue buatan Giselle. tapi Irene tidak langsung memakannya. Ia masih takut dan trauma dengan apa yang terjadi. Ia menghela nafas dan berjalan ke arah jendela. menatap pemandangan sebuah taman kecil yang terisi oleh anak kecil. Irene tersenyum. tangannya mengusap perutnya sendiri. “Nanti bermain di taman juga, bersama Mom dan Dad. Sehat-sehat di perut Mom ya.” Irene senang berbicara dengan anaknya. “Permisi, ibu Irene..” panggil seorang suster. Irene menoleh ke belakang. Ia langsung memutar badannya dan mendekat ke arah ranjang. namun ia sudah disuntik beberapa menit yang lalu. Ia mendongak. “Siapa kau?!” Suster itu tersenyum dan membuka maskernya. “Aku akan membunuhmu.” Tangannya mencengkram tangan Irene. Suntik yang hendak disuntikkan itu entah berisi apa. Irene me
“Sayang aku bekerja dulu. Oh ya Mom dan Dad akan ke sini. Aku juga sudah meminta Helena untuk ke sini menemani kamu saat Mom dan Dad pulang.” Devian mengecup dahi Irene pelan. “Oh ya untuk malam hari nanti, aku akan menyuruh beberapa bodyguard berjaga di luar ruangan.” “Tapi—” ucapan Irene terpotong karena Devian yang mengecup bibirnya. “Sudah tidak ada tapi-tapi. Ini demi keselamatan kamu, keselamatan bayi kita.” Devian menunduk. mengecup perut Irene. “Daddy berangkat dulu. Jaga Mommy ya.” Irene memandang kepergian Devian. Ia mengambil ponsel. Menghubungi temannya yang katanya akan menjenguknya [Sebentar ya Irene, aku akan ke sana siang saja. Aku masih bersama Royce. Nanti aku akan ke sana.] Irene melotot. [Pagi-pagi masih bersama Royce. Kalian sedang membuat bayi kan?] [Hehehe Iya!] Helena di kamarnya membalas pesan dari Irene. Ia tertawa pelan dengan pertanyaan Irene. Tapi tebakan temannya itu memang benar. Ia smpai tertawa sendiri. “Siap babe.” Royce memeluk Helena dar