âSekarang,â lirih Kevin. Itu adalah instruksinya pada anak buahnya yang lain untuk mengepung mereka. diam-diam anak buahnya membentuk formasi untuk mengelilingi tempat itu untuk menyerbu mereka. Satu persatu warga dilepaskan dan berjalan ke arah pasukan khusus berada. Namun saat detik terakhir di mana seharusnya Giselle menjadi yang terakhir yang berjalan, justru tubuhnya ditarik begitu kuat. âKau pikir aku bodoh hah?â pria itu menyandera Giselle. Menodongkan pistolnya di kepala Giselle. âSURUH ANAK BUAHMU MUNDUR ATAU AKU BUNUH WANITA INI!â âBerhenti,â instruksi Kevin pada anak buahnya. Saat ini suasana menjadi begitu tegang. Semua orang mengangkat senjata api. Saling menodong dan siap menghabisi nyawa musuh. Pria itu membawa Giselle mundur. Ada sebuah mobil yang akan digunakan mereka untuk kabur. Mereka bergerak mundur perlahan. Satu persatu dari mereka masuk ke dalam mobil dengan senjata yang masih diarahkan pada pasukan khusus. âTURUNKAN SENJATA KALIAN!!!â teriak ketua mereka.
âAku di mana?â Giselle menatap punggung tangannya yang terpasang infus. Tangannya hendak menyentuh lehernya sendiri namun dicegah oleh Kevin. âJangan menyentuhnya.â Kevin menurunkan kembali tangan Giselle. Giselle menatap Kevin sebentar sebelum mengalihkan pandangannya. Padahal saat kejadian tadi, Giselle begitu merindukan pria itu. Namun sekarang malah berubah membenci pria itu. âIni di Puskesmas,â balas Kevin. Giselle menghela nafas dan masih tidak mau menatap Kevin. Hal tersebut tentu saja disadari oleh Kevin. Ia mengambil tangan kanan Giselle, digenggamnya perlahan. âAku akan menjelaskannya.â Tangan Kevin terulur mengusap pipi Giselle. âBaiklah jika kamu tidak mau melihatku.â âAku dan Ariel datang ke pesta pernikahan sepupuku. Aku disuruh datang untuk mewakili Dad yang tidak bisa datang. Aku akui di sana, aku mabuk dan aku mengira Ariel itu kamu.â Giselle mengernyit. âLalu karena kamu mabuk, kamu bisa tidur dengannya? kamu bisa tidur dengannya karena mengira itu aku?â âAku
Giselle keluar dari kamar mandi dengan linglung. Kevin menunggu di ruangan. Membiarkan Giselle bersama perawat.âSaya tahu anda terkejut. Jika anda menggunakan pengaman, bisa dikatakan pengaman itu tidak bisa 100 % mencegah. Jadi selamat ya.â Perawat itu tersenyum. Kemudian membantu Giselle kembali duduk di ranjang. Jika tidak ingin terjadi, seharusnya Giselle bisa mencegah lebih ketat. Giselle mengusap perutnya perlahan. Tidak, jika ini sudah takdir, bagaimanapun ia tida bisa menolaknya. Giselle tersenyum tipis. âTerima kasih, Sus.â Kevin masuk ke dalam ruangan. âBagaimana Sus?â tanyanya. âSelamat anda akan menjadi ayah,â balas perawat itu. âTapi setelah ini, anda harus memeriksakan kandungan anda di dokter kandungan. Untuk mengetahui lebih jelas keadaan kandungan dan berapa lama kandungannya.â âBaik, Sus. Terima kasih.â âKalau begitu saya pergi.â perawat itu meninggalkan ruangan. Kevin langsung memeluk Giselle dengan bahagia. âKita akan segera menjadi orang tua.â Mengusap pun
âJadi di sini kamu tinggal..â lirih Kevin. âOh ya kemarin ada ibu-ibu yang mengadu padaku, dia bilang anak perempuannya hilang itu kamu?â tanyanya. âDi sana hanya ada satu perempuan yaitu kamu.ââBagaimana fisik ibu itu?â âGiselle!â teriak seorang wanita. âKamu baik-baik saja?â tanya ibu Asih yang berlari memeluk Giselle. âSeharusnya kamu tinggal bersama ibu saja agar lebih aman.â Ibu Asih terlihat kawatir dengan Giselle. âOhââ menatap Kevin. âTerima kasih ya pak Polisi sudah menyelematkan anak saya.â Giselle tersenyum. âGiselle baik-baik saja bu.â Giselle menggandeng tangan Kevin. âIni kekasih saya.â âLoh tapi bukannya ini pak polisi yang kemarin ya?â Kevin mengangguk. âIya, bu. Saya polisi dari pasukan khusus kemarin. Saya kekasih Giselle. Saya tidak tahu kekasih saya kabur di sini dan berakhir diculik oleh para penjarah itu.â âYaampun.â Bu Asih menepuk pelan bahu Giselle. âKalau begitu ibu lega.â mengusap dadanya sendiri. âIbu sangat takut kemarin kamu diculik. Untungnya ada
Di dalam pesawat Giselle menyandarkan kepalanya di bahu Kevin. Saat ini mereka dalam perjalanan kembali ke kota. Giselle berkali-kali menghela nafas. Mereka akan segera menikah namun entah bagaimana tanggapan orang tua Kevin. âApa yang sedang kamu pikirkan?â tanya Kevin. Mengusap bahu Giselle pelan. âHanya tidak.â Giselle menggeleng. âApa yang kamu takutkan?â Kevin menarik dagu Giselle agar menatapnya. âHanya takut orang tua kamu tidak merestui kita.â Giselle mengerucutkan bibirnya. Kevin tertawa pelan. âKamu tidak perlu kawatir tentang hal itu. Aku tidak pernah melibatkan mereka dalam setiap keputusanku. Tidak ada dengan restu mereka, kita akan tetap menikah.â Giselle mendongak ia tersenyum. kemudian kembali memeluk Kevin dari samping. ~~Makan malam yang direncanakan Kevin. Bagaimanapun sebagai walinya, orang tuanya wajib mengetahui rencana pernikahannya dengan Giselle. Sebuah restoran yang memang disukai oleh orang tuanya. Kevin dan Giselle datang lebih dulu. Mereka duduk d
Giselle tidak peduli jika pandagan orang tua Kevin tentangnya akan buruk. âSaya memang janda. Saya memang menjalin hubungan dengan Kevin saat saya masih menjadi istri orang. Tapiââ Giselle menghela nafas. âHubunganku dengan Jordan sudah lama memburuk. Sampai Kevin membantu saya untuk keluar dari hubungan itu. Saya bukan wanita jalang yang menjalin hubungan dengan dua pria sekaligus. Jadi saya minta untuk anda menjaga perkataan anda. Saya menghormati anda sebagai ibu tiri dari calon suami saya.â âDan untuk uncle. Saya sangat mencintai Kevin. Saya sangat mencitai anak anda ini dengan segenap hati saya. Saya tidak akan melepaskan Kevin begitu saja.â Tidak ketakutan apalagi keraguan saat mengatakannya. âSaya tidak peduli pandangan anda terhadap saya.â Giselle menoleh pada Kevin. âAyo kita pergi.â Kevin tersenyum tipis. Ia memeluk pinggang Giselle dari samping. âThatâs my girl!â âBilang apa?â Giselle mendongak. âCantikku kamu sangat hebat dan pemberani.â Kevin menarik Giselle ke rese
Giselle memejamkan mataâmembiarkan sang pujaan hati menjamah tubuhnya. Mengoyak kain yang menutupi tubuhnya. Giselle membiarkan bibir Kevin menyentuh setiap inci kulitnya. Kevin menunduk. Mengecup beberapa kali perut Giselle yang masih rata. Ia begitu senang, ya Kevin tidak sabar menunggu kehadiran buah hati mereka. âAku mencintaimu, sayang.â Giselle bergerak gelisah saat jemari Kevin masuk ke dalam miliknya. bergerak dengan gerakan yang cepat membuatnya tidak bisa menahan desahannya. âKevin aku..ahh!â gelombang kenikmatan itu datang dan selesai. Kevin menindih Giselle. melakukan penyatuan miliknya dengan milik Giselle. Kevin mendorong miliknya perlahan sampai miliknya benar-benar memenuhi Giselle. âKamu cantik sayang..â erang Kevin menggerakkan pinggulnya. âGiselle..â erang Kevin lagi. Tidak bisa membiarkan buah dada Giselle menganggur. Giselle mengusap kepala Kevin yang beramain di dadanya. menghisap puncak dadanya dengan bawah yang bergerak semakin cepat. âAhâĶ kevin!â Giselle
âJadi ini kekasihmu.â Aland menganggukkan kepalanya. Di hadapannya duduk pasangan yang sedang romantis-romantisnya. âBoleh juga,â sambil menatap Kevin. âHei!â Giselle mengibaskan tangannya di hadapan Aland. Kevin mengernyitâlebih dari dugaannya, ternyata mereka lebih akrab. Kevin mengulurkan tangan. âKevin.â âAland.â Menjabat uluran tangan Kevin. âKami akan menikah.â Giselle tersenyum sembari menggandeng lengan Kevin. Ia menyerahkan undangan pertamanya pada Aland. âKau harus datang.â Aland mengambilnya. âDua minggu lagi. Waah kalian memangââ Aland menggeleng pelan. âSangat luar biasa.â Giselle tertawa kecil. Ia memegang perutnyaâia sedikit mual. âAku akan ke kamar mandi sebentar.â Giselle hendak pergiânamun Kevin juga ikut berdiri. âJangan kamu di sini saja. Kamu juga gak akan bisa masuk ke toilet wanita.â Giselle mencegah Kevin dan berjalan sendirian menuju toilet. Kevin duduk kembali berhadapan dengan Aland. Kevin berdehem pelan sebelum mengajukan pertanyaan lebih dulu. âAku
Sial sekali, pagi ini Ana harus terlambat karena ayahnya, Royce kesiangan bangun setelah menonton bola dini hari. Royce dan Helena sama saja, suka menonton sampai larut. Sampai-sampai paginya terlambat bangun. âMaaf ya. Dad kesiangan bangun.â Royce memberhentikan mobilnya di depan sekolah. âPasti kamu dihukum. Tapi gak papa.â Royce mengecup puncak kepala anaknya. âSemangat ya dihukumnya.â âDAD!â teriak Ana yang sungguh kesal. Ia turun tanpa menyalami tangan orang tuanya itu. kemudian berjalan dengan gontai masuk ke sekolah. Maka benar saja. Ia harus dihukum karena terlambat. Untuk siang hari setelah istirahat, ia harus membersihkan lapangan basket yang luasnya melebihi stadion. Ana berjalan ke arah gudang, di sanalah ia mengambil peralatan kebersihan. Namun sayup-sayup saat ia masuk ke dalam gudang. Telinganya harus ternodai oleh suara menjijikkan. Ana membeku di tempatnya berdiri. ~~ âUntuk yang terakhir kali kelas 12 diijinkan untuk mengikuti perlombaan. Karena setelah in
Extra capter Alvaro dewasa International Alexandra school adalah sekolah internasional yang terisi dengan anak-anak orang kaya. Orang tua murid yang berasal dari kaum berjois. Hingga terjadilah sistem kasta yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. âAna, kak Alvaro itu sangat tampan ya.â Raya menyenggol lengan Ana. Melihat seorang laki-laki yang menggunakan seragam basket itu memasuki koridor sekolah. Laki-laki yang menjadi incaran para perempuan. Alvaro Pradana, putra satu-satunya dan digadang-gadang menjadi penerus dari Devian group. Alvaro Pradana, pemuda yang saat ini menginjak kelas 12. Dengan pesonanya yang mampu meluluhkan seluruh hati perempuan yang ada di sekolah. Mendapat julukan si pemain. Pemain hati perempuan. Namun, ada satu perempuan yang ia hindari. Perempuan yang sedari dulu ia anggap sebagai adiknya. Alvaro bersikap baik dengan Ana. Ana tersenyum. Ia pun menyetujui jika Alvaro memang begitu tampan. âIya aku setujuâ" âHai adik, minta permennya.â Alvaro
âAna sangat lucu, Mom.â Alvaro memandang seorang balita yang sedang merangkak. Balita perempuan yang menggemaskan. âNanti kamu pacaran sama Ana saja ya.â Helena mengusap puncak kepala Alvaro. âHeh!â Irene menyenggol bahu Helena. âMana ada, masih anak kecil tidak usah berpikir pacar-pacaran.â Alvaro memandang kedua orang yang sedang bertengkar itu sebentar. kemudian mendekati Ana yang sedang bermain dengan sebuah boneka. Alvaro menundukâmengusap pipi Ana pelan. âKamu suka bermain boneka?â Alvaro tersenyum. âLihat-lihat saja.â Helena memandang dua anak yang sedang bermain. Tepatnya, Alvaro yang menjaga Ana. âAlvaro memang menantu idaman.â âAduh..â Irene menggeleng. âMasih kecil disebut menantu. Helena memang gila.â Irene berdecak pelan. Setelah bermain seharian di rumah Helena, akhirnya Irene pulang juga. Alvaro berada di samping Irene. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk tapi ternyata masih berusaha membuka mata. âTidur saja, Al. Mom akan membangunkan kamu nanti.â Al
Ia membawa barang-barang itu namun dari belakang ada beruang yang terus menempel di tubuhh kecilnya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, Devain tidak melepaskan pelukannya pada istrinya. âBagaimana dengan hot wife?â tanya Devian membalikkan tubuh Irene. âAku tidak suka tubuh kamu dilihat orang lain.â âTidak ada yang melihat.â Irene mendongak. âLagipula malam-malam tidak akan ada yang melihat.â Devian berdecak. âDress seperti ini hanya boleh digunakan di hadapanku. Tidak boleh digunakan di luar.â Mengangkat dagu Irene. Menatap kedua bola mata istrinya itu dengan bola matanya yang tajam. âBaiklah.â Irene mengangguk. âBesok aku akan ke rumah Helena, kamu..â Devian mengusap pinggang Irene. âSaat libur aku ikut. Lusa kan libur. Aku janji tidak akan mengurusi pekerjaan lagi.â âTapi jika kamu masih mengurusi pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?â âGoda aku. Goda aku dengan tubuhmu yang seksi ini sayangku..â tangan Devian yang nakal sudah bergilya di belakang Dress Irene. âBe
âBisa.â Devian mengambil satu balon dan melepasnya ke udara. âWaah..â kagum Alvaro melihat balon yang berwarna kuning menyala itu di udara. âTapiââ Devian menunjuk beberapa anak-anak yang bermain di sekitar mereka. âApa kamu tidak ingin memberikan balon-balon ini pada mereka? Mungkin saja mereka juga ingin.â Alvaro menatap gerombolan anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvari memandang anak-anak itu lebih lama, karena menurutnya sedikit berbeda dengannya. âKenapa?â tanya Devian. âKamu tidak ingin memberikan balon ini pada mereka?â Alvaro menggeleng pelan. âTapi, kenapa beberapa dari mereka membawa makanan? Mereka berjualan? Ada yang membawa karung besar juga.â Devian mengangguk. âMereka sedang bekerja. Sebagian dari mereka membantu orang tua mereka mencari uang dengan berjualan. Kamu ingin membantu mereka?â âBagaimana caranya Dad?â Devian mengeluarkan dompetnya. âSebentar.â Mengambil uangnya yang berwarna merah sebanyak 20 puluhan. âSetiap
Beberapa bulan kemudian. âAkhh!!â Teriakan Irene yang terakhir kali. Disusul dengan tangisan seorang bayi. âSelamat bayinya berjenis kelamin laki-laki.â Dokter itu menggendong seorang bayi kecil yang baru saja keluar dari perut Irene. Devian menitikkan air mata. âHai boy.â Menggendong bayinya dengan hati-hati. âNama kamu Alvaro Pradana.â Devian tersenyum saling memandang dengan Irene. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk mengusap puncak kepala istrinya. âTerima kasih sudah berjuang.â Alvaro Pradana, putra sulung dari pasangan Devian dan Irene. Seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Devian mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri. 5 tahun berlalu, Alvaro tumbuh menjadi anak yang begitu cerdas. Setiap harinya selalu haus bertanya. Diusianya yang menginjak 4 tahun, bocah itu sudah memasuki sekolah. Berbaur dengan anak-anak lain tanpa kesulitan. Hal tersebut membuat Irene tidak berhentinya bangga. âMOM!â teriak Alvaro
âSeorang wanita mencoba melakukan pembunuhan di rumah sakit. Hal itu didasari oleh cinta. Cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Cintanya ditolak dan berusaha membunuh istri si pria.â Di layar televisi itu. ditayangkan sebuah kos-kosan kecil. âWanita itu mengalami stress berat bertahun-tahun. Bisa dilihat dari rumahnya yang begitu kotor dan berserakan sampah. Saat ini polisi masih menyelidiki lebih lanjut kasus ini. namun, sudah dipastikan wanita itu mendapat hukuman penjara.â Klik! Layar dimatikan. Devian masih setia berada di samping istrinya. âAku gagal lagi. Aku terlambat. Jika aku datang lebih cepat, dia tidak akan menyakiti kamu.â Devian menatap leher Irene yang sudah di olesi salep. Beberapa kali Devian mencium punggung tangan Irene. âBagaimana Irene?â tanya Helena yang baru saja datang. âMaaf, maaf aku tidak bisa datang lebih cepat.â Devian menghela nafas. âJalang itu memiliki cara untuk menyakiti Irene.â Helena mengusap punggung tangan Irene. Kedua matanya
âBye Mom Dad!â Irene menyalami Giselle. Membiarkan mertuanya itu pergi. Setelah kepergian mertuanya, Irene menjadi sendirian dan merasa kesepian. Ia mengambil bungkusan yang berada di atas nakas. katanya sebuah kue buatan Giselle. tapi Irene tidak langsung memakannya. Ia masih takut dan trauma dengan apa yang terjadi. Ia menghela nafas dan berjalan ke arah jendela. menatap pemandangan sebuah taman kecil yang terisi oleh anak kecil. Irene tersenyum. tangannya mengusap perutnya sendiri. âNanti bermain di taman juga, bersama Mom dan Dad. Sehat-sehat di perut Mom ya.â Irene senang berbicara dengan anaknya. âPermisi, ibu Irene..â panggil seorang suster. Irene menoleh ke belakang. Ia langsung memutar badannya dan mendekat ke arah ranjang. namun ia sudah disuntik beberapa menit yang lalu. Ia mendongak. âSiapa kau?!â Suster itu tersenyum dan membuka maskernya. âAku akan membunuhmu.â Tangannya mencengkram tangan Irene. Suntik yang hendak disuntikkan itu entah berisi apa. Irene me
âSayang aku bekerja dulu. Oh ya Mom dan Dad akan ke sini. Aku juga sudah meminta Helena untuk ke sini menemani kamu saat Mom dan Dad pulang.â Devian mengecup dahi Irene pelan. âOh ya untuk malam hari nanti, aku akan menyuruh beberapa bodyguard berjaga di luar ruangan.â âTapiââ ucapan Irene terpotong karena Devian yang mengecup bibirnya. âSudah tidak ada tapi-tapi. Ini demi keselamatan kamu, keselamatan bayi kita.â Devian menunduk. mengecup perut Irene. âDaddy berangkat dulu. Jaga Mommy ya.â Irene memandang kepergian Devian. Ia mengambil ponsel. Menghubungi temannya yang katanya akan menjenguknya [Sebentar ya Irene, aku akan ke sana siang saja. Aku masih bersama Royce. Nanti aku akan ke sana.] Irene melotot. [Pagi-pagi masih bersama Royce. Kalian sedang membuat bayi kan?] [Hehehe Iya!] Helena di kamarnya membalas pesan dari Irene. Ia tertawa pelan dengan pertanyaan Irene. Tapi tebakan temannya itu memang benar. Ia smpai tertawa sendiri. âSiap babe.â Royce memeluk Helena dar