Sehari setelah bertemu Azura, aku mendapat kiriman surat kabar yang sudah kuduga sebelumnya. Serangan di perbatasan waktu itu menjadi topik utama, membuat semua pihak mengira kalau Vainea telah mengkhianati perjanjian damai.Aku hanya menghela napas, berharap Azura tidak bertindak gegabah karena terpancing berita. Kami berjanji untuk bekerjasama dan saling percaya mengenai apa yang akan terjadi kedepannya. Kuharap semua berjalan lancar."Yang Mulia, ada beberapa tamu yang mewakili masyarakat ingin bertemu anda." Tuan Shaquille datang membawa kabar."Di mana mereka?""Ada di ruang tamu istana."Aku bergegas menghampiri mereka didampingi Tuan Shaquille. Ada rasa gugup yang melanda, ini pertama kalinya aku berhadapan dengan masyarakat langsung secara resmi."Hormat kami, Yang Mulia," ujar mereka sambil berdiri dan mengangguk."Silahkan duduk," sahutku kemudian duduk di kursiku. "Ada perlu apa sampai anda sekalian datang kemari?""Yang Mulia, kami ingin menyampaikan kekhawatiran sebagai m
Aku menatap kotak berukuran sedang, berisi stempel-stempel Axylon yang telah dikumpulkan Tuan Shaquille. Tak kusangka kalau benda-benda ini harus segera kusingkirkan, padahal dulu Ayah selalu menggunakannya untuk hal-hal penting. Kini tinggal menentukan desain terbarunya sekaligus tinta khusus untuk menjaga keasliannya. "Yang Mulia, Tuan Emery datang ingin bertemu dengan anda." Loretta datang melapor sembari membawa secangkir teh. "Minta dia masuk ke ruanganku," sahutku sambil menutup kotak di atas mejaku. Loretta membuka pintu dan mempersilahkan sosok paruh baya dengan pakaian khas petinggi kerajaan serta rambut yang ditata dengan rapi. Tubuhnya tegap ketika ia melangkah sambil membawa sebuah perkamen dan kotak kecil. "Hormat saya, Yang Mulia." Ia mengangguk memberi hormat. "Ada keperluan apa yang membuat anda kemari, Tuan?" tanyaku sembari menutup perkamen yang terbuka di mejaku. "Yang Mulia, saya sudah mendapat desain stempelnya." Tuan Emery menyodorkan perkamen di tangannya.
Acara dimulai dengan gelas para penguasa yang saling berdentingan untuk bersulang, lalu kami meneguk minuman masing-masing. Suara musik mulai mengalun dan kami mulai membubarkan diri untuk menikmati pesta. Aku duduk di sudut ruangan untuk menghindari kerumunan, sementara sebagian para Raja mulai berdansa dengan Ratu mereka masing-masing. Pakaian mereka begitu kompak sebagai pasangan, membuatku sedikit iri mengingat aku dan Azura memakai jubah kerajaan masing-masing. Dari kejauhan, mataku tak sengaja menangkap sosok Putri Lucia. Dalam hati aku bertanya, "Kenapa dia muncul? Bukankah acara ini tidak boleh ada yang hadir selain para Raja dan Ratu?" Aku masih terdiam dan mengawasinya sambil meneguk minuman. Raja Tryenthee memperkenalkan Putri Lucia pada Raja-Raja yang menjadi rekan kerajaannya, terutama Raja dari kerajaan besar. Ah, mungkin beliau bermaksud untuk mengenalkannya pada Pangeran di kerajaan mereka. "Ayah, bolehkah aku menemui seseorang?" Kalimatnya tak sengaja terdengar
Malam kini berubah menjadi dini hari. Hujan mulai reda, menyisakan aroma segar di udara. Para Raja dan Ratu juga sebagian mulai mabuk berat bahkan ada yang sampai ketiduran di kursinya. Mungkin aku adalah satu-satunya yang masih memegang kesadaranku seratus persen ketika melihat di antaranya ada yang meracau. Sangat tidak berwibawa, tapi di acara ini mereka memang sedang bebas tugas. Kulihat Azura juga menghampiriku dalam keadaan setengah mabuk. Meskipun cara jalannya masih normal, tapi wajahnya begitu sayu akibat minum Anggur terlalu banyak. "Selena, aku...menang taruhan," katanya setelah berdiri tepat di hadapanku. "Wah, benarkah? Apa hadiah taruhannya?" "Melepas pakaianmu di depan semua orang." "Huh?" Aku menyipitkan mata dan menatapnya tak mengerti. "Kalian menjadikanku bahan taruhan?" Azura mengangguk dengan tampang polos yang sendu. "Kau menang taruhan tapi seperti kalah taruhan, sialan!" desisku tak suka. "Selena, jika kau menolaknya maka aku akan dianggap kalah." Azur
Aku berada dalam dekapan hangat ketika membuka mata. Rasanya begitu sempurna ketika kulihat sosoknya yang terlelap tenang. Langit malam terpampang begitu jelas ketika aku menatap atap kamar yang terbuat dari kaca.Masih terlalu dini hari untuk terbangun dari tidur, tapi pemandangan ini begitu langka, membuatku tak ingin melewatkannya."Terima kasih untuk malam yang indah ini," gumamku lirih sembari mengusap pipinya lembut.Rasanya menyenangkan sekali saat perasaanku terbalaskan. Jika dari awal aku tahu bahwa akan menjadi seindah ini, mungkin lebih baik aku mengungkapkannya sejak getaran pertama muncul. Tapi—apakah ini akan selamanya?Aku menginginkan cinta yang abadi, keegoisanku berkata seperti itu. Namun, rasa takut kembali melandaku. Takut jika sosok di hadapanku akan hilang dan pergi dariku selamanya. Taring keegoisanku semakin menancap kuat, meninggalkan rasa yang begitu kejam dan menginginkan pria ini sebagai milikku seutuhnya."Selena?"Aku tersentak saat ia membuka mata, karen
Matahari mulai terbit, bau anyir memenuhi penciumanku ketika ratusan orang dari kelompok itu mati terbantai oleh pasukanku. Benar-benar merusak udara pagiku yang seharusnya segar. Beberapa tabib mulai berdatangan untuk mengobati prajurit yang terluka, sementara aku mulai menghitung jumlah mereka untuk memastikan tak ada yang lolos dari sergapanku. Aku menghela lega, tapi tubuhku semakin lelah. Hari ini mungkin sebagian kelompok itu sedang menjalankan aksinya untuk menyerang Vainea. "Buang mereka semua ke tanah kosong, burung pemakan bangkai di sana mungkin akan berterima kasih karena sudah memberi mereka makan banyak," ujarku sembari menunggang kuda menuju istana. "Lalu bersihkan seluruh tempat ini." "Baik, Yang Mulia," sahut Tuan Shaquille senang. "Oh iya, Tuan. Hari ini saya akan pergi ke Vainea lagi untuk bertemu Raja Azura. Mungkin selama tiga hari saya tidak akan kembali. Tolong jaga tempat ini selama saya pergi." "Tapi sebaiknya anda istirahat sebentar, Yang Mulia. Kondisi
Sudah dua minggu lebih semenjak aku menerima surat terakhirnya, ia tak lagi mengirim surat untukku. Aku mendesah risau karena rindu ini perlu dipuaskan. Hampir setiap hari aku menanyakan tentang kedatangan surat pada Loretta, bahkan terkadang menanyakannya langsung pada petugas pengirim surat. "Kenapa dia tidak membalas suratku lagi? Apa dia sesibuk itu dalam waktu dua minggu ini?" gerutuku sambil menutup perkamen di tanganku. "Apa sebaiknya aku datang ke Vainea dan memberinya kejutan?" Ya, akhir-akhir ini aku juga banyak disibukkan oleh urusan dalam negeri dan beberapa proyek terutama—tentang pengolahan sumber daya ketika musim panen tiba. Namun, setidaknya aku selalu meluangkan waktu untuk mengirim surat padanya. "Mungkin dia sangat sibuk dan langsung tidur begitu pekerjaannya selesai," gumamku dengan pikiran positif. "Dia sudah berusaha untuk mengerti situasiku, mungkin aku juga harus memahami alasan ia tak mengirim surat dalam waktu yang menurutku...lama." Aku manggut-manggut
Aku berlarian menuju belakang istana dengan mengendap-endap. Tak lama, aku berhasil menerobos masuk di dapur istana yang sudah mengeluarkan aroma makanan yang sedap. "Astaga, anda—anda, Yang Mulia Selena?" ucap salah satu pelayan yang menyadari keberadaanku dengan syok. "Bagaimana anda bisa masuk ke sini?" "Boleh aku minta bantuanmu?" "Ya silahkan, Yang Mulia. Apa yang perlu saya bantu?" "Carikan aku pakaian, tidak perlu mewa. Hmm...seperti pakaianmu ini." "Tapi itu akan membuat anda terlihat seperti pelayan." "Tidak apa-apa. Aku hanya kemari sebentar, setelah itu aku akan kembali ke Axylon." "Baik, Yang Mulia." Aku hanya menunggu di ruang kecil tempat penyimpanan rempah-rempah, sesekali aku mengusap air mata yang masih mengalir perlahan dalam kesendirianku. "Yang Mulia, saya sudah membawa pakaian untuk anda." "Terima kasih." Aku segera berganti pakaian, dibantu oleh pelayan lain. "Mata anda terlihat sembab, ini pasti sangat berat untuk anda," ujar salah satu pelayan yang
Halo salam kenal, saya Indah Riera. Shirea series merupakan karya pertama saya di Goodnovel. Makasih banyak udah mengikuti kisah ini sampai book 2 dan makasih banyak juga buat supportnya selama ini. Semoga kisah ini bisa selalu dinikmati oleh pecinta genre fantasi bertema kerajaan. Jangan lupa bintangnya supaya karya ini tidak tenggelam hehe.. ^^ Karya yang akan publish berikutnya adalah kisah Pangeran dari kerajaan Vainea yang bernama Rein (anak dari Selena dan Azura). Di epilog kisah ini sendiri timeline-nya sudah 15 tahun kemudian, yang berarti dua tokoh kesayangan kita di sini sudah tiada (janji ga nangis ya) dan untuk (couple bocil) Pangeran Hans dan Putri Helena pun akhirnya mereka sama-sama sudah dewasa, begitu pun dengan Putri Erina yang udah jadi penasehatnya Rein di istana. Rein sendiri juga memiliki masalah hidup yang berat seperti orang tuanya. Penasaran? Yukk nantikan Shirea book 3 yang berujudul REIN. Sampai jumpa lagi.. ^^
___15 Tahun kemudian___ ---KERAJAAN AXYLON--- Seorang gadis duduk di kursi rias dengan pipi bersemu. Ditatapnya cincin berlian yang melingkar di jemari manisnya dengan senyum berseri. Gaun indah menjuntai begitu menawan, senada dengan nuansa suci yang tengah diadakan. Bayangan saat pernikahan benar-benar membuat hatinya berbunga dengan rona malu yang menggelikan. Tak disangka jika dirinya kini telah menjadi milik pria yang selama ini menemaninya. "Yang Mulia, sudah waktunya untuk berganti pakaian. Sebentar lagi acara penobatan akan dimulai," ujar pelayan setia si wanita yang sudah menemaninya selama ini. "Ya," sahutnya dan segera berdiri untuk berganti pakaian. "Nyonya Loretta, menurutmu ... apa dulu Kak Selena merasa gugup sepertiku?" Loretta terkekeh sejenak, membayangkan tingkah mantan tuannya yang gugup dengan perilaku lucu. "Jika Anda tahu, Anda pasti tertawa. Beliau sama sekali tidak bisa diam selama dirias dan banyak protes dengan penampilannya. Mungkin beliau ingin tampil
Untukmu, Rajaku.Tak ada masa terindah dalam hidupku selain waktu yang kulalui bersamamu. Tak ada hal yang lebih manis selain saat kita berbagi rasa di bawah naungan asa.Jika saja kau tahu bagaimana aku begitu takut kehilanganmu. Jika saja kau tahu bahwa takdir itu terus menghantuiku, apa kau akan tetap pergi dari pandanganku?Saat aku tahu bahwa semua keindahan itu hanya sebuah ilusi, hatiku menjerit dan membangkitkan sebutir ambisi.Untukmu, Rajaku.Aku tahu bahwa aku tak lagi bernapas untukmu, tapi semua rasa itu masih tertinggal layaknya jelaga dingin yang tak rela beranjak dari tempatnya.Namun, aku tak tahu apa perasaan itu akan pergi dari hatimu seiring kepergianku? Begitu menyakitkan saat membayangkan bagaimana aku harus hidup tanpa cintamu, tanpa mendengar kalimat posesif darimu dan juga pelukan hangatmu.Untukmu, Rajaku.Pada akhirnya ... semua telah berakhir seperti yang diinginkan oleh takdir. Kini aku berdiri di baris kematian bersama keputus-asaan. Ini lah saat yang pal
Keesokan harinya, aku duduk di meja rapat bersama para petinggi Axylon. Aku juga sudah menyampaikan kabar perang yang akan dilaksanakan lusa. Sesuai dugaan, mereka memberiku kritik tanpa ampun. Pasalnya, Axylon baru saja pulih dan sekarang akan perang lagi.Aku bisa membaca wajah-wajah cemas mereka, bahkan ada yang menggelengkan kepala dengan apa yang terjadi. Namun, yang bisa kulakukan hanya lah memberi penegasan terhadap perang ini.Selain itu, aku juga sudah mengirim utusan untuk meminta bantuan militer dari Keylion dan Axiandra, sesuai perjanjian kerja sama yang sudah disepakati."Apa kali ini perlu menghancurkan sebagian wilayah seperti waktu itu?" tanya Tuan Malory. "Jika menggunakan metode yang sama, kali ini akan lebih sulit mengingat ini sudah masuk musim dingin. Lingkungan bersalju takan menguntungkan untuk menyalakan api.""Tidak. Kali ini, kita akan benar-benar bertempur di perbatasan. Pasukan tambahan dari Keylion dan Axiandra seharusnya sudah cukup membantu untuk membend
Aku membuka perkamen yang baru saja dikirim dari Axylon, berisi—laporan perkembangan di sana. Kini Axylon sudah benar-benar pulih dan semua bala bantuan dari luar sudah dihentikan secara resmi setelah semua kembali seperti semula. Aku menghela lega, juga—rindu kampung halaman. Rasanya ingin kembali ke sana untuk melihatnya langsung, tapi posisiku saat ini sangat sulit untuk keluar dari Vainea. Azura takan setuju jika aku pergi ke Axylon. Kuteguk tehku untuk kesekian kali dengan pikiran tenang. Semenjak malam itu, hidup kami baik-baik saja dan—semakin mesra. Satu minggu telah terlewati dengan begitu indah sampai-sampai aku merasa takut jika semua kebahagiaan ini akan membuatku lengah dan menjadi awal yang buruk. "Yang Mulia." Nyonya Dhea datang dengan santun, tapi wajahnya terlihat tegang. "Yang Mulia Raja memanggil Anda untuk datang ke ruang kerjanya." "Oh, baiklah. Aku akan ke sana," sahutku, sembari membereskan perkamen di tangan. Dalam hati aku bertanya, mengapa dia memanggil
Aku membuka mata perlahan. Pelupuk mataku terasa berat hingga aku harus mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan keadaan. Sepasang tangan sudah menggenggam tanganku erat, disusul belaian lembut yang menenangkan. "Azura," lirihku, melihat sosok yang duduk di samping ranjang. Azura tak menjawab, tetapi ia mengecup tanganku begitu lama. Tatapannya sangat antusias melihatku siuman, juga—kesedihan yang tak luput dari tatapannya. "Akhirnya kau siuman," ujarnya antusias dengan wajah sendu. "Maafkan aku, Selena. Aku tak bisa menepati ucapanku untuk menjagamu, tolong hukum aku." "Kau ... sudah mendapat hukumannya," sahutku lemah, mengingat percakapan dua anak itu. "Kau memang sedang dihukum, Azura. Bukan, lebih tepatnya ... kita." "Apa maksudmu?" Azura menyondongkan tubuhnya ke depan dan menatapku lekat. "Tidak. Bukan apa-apa," jawabku gelisah. Tak lama, seorang tabib wanita datang dan mengecek kondisiku. Raut wajahnya menujukkan ekspresi lega, kemudian bebrapa pelayan juga datang untu
"Aku sudah di ambang batas, Selena," gumamnya menggema. Itu—suara pangeran Erick. "Mungkin ini untuk terakhir kalinya aku bisa menolongmu. Setelah itu, jiwa tua ini akan segera lenyap."Sepasang tangan merengkuhku dari belakang dan mataku masih terpejam. Namun, aku tahu sedang berada di dunia lain.Entah mengapa, tubuh yang mendekapku begitu besar layaknya orang dewasa yang sedang memeluk anak kecil. Tangan itu begitu hangat dan membuatku nyaman. Aku bisa merasakan napasnya yang menghela saat pelukannya semakin erat."Yang Mulia," lirihku. "Maaf sudah melanggar ucapanku. Padahal aku sudah mengatakan kalau aku takan merepotkanmu lagi.""Alasanku masih berada di dunia ini karena aku memang ingin melindungi Ibumu awalnya, tapi takdir berubah dan kini melindungimu adalah tugasku. Kau tak perlu minta maaf, tapi sekarang mungkin ... ini terakhir kalinya kita bersama," sahutnya, kali ini berbisik tepat di telingaku seolah-olah tak ada jarak di antara kami."Kau akan pergi?" tanyaku. Rasa sed
Aku berdiri di depan istana, menatap rombongan Azura yang pergi membawa 50 pengawal untuk perjalanannya. Kali ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana canggung yang dingin.Aku segera menuju ruang kerja, tapi dicegat oleh salah satu suruhanku yang bertuga memata-matai Tryenthee. Segera kuajak ia ke ruang kerja untuk memberi informasi dan pastinya—agar Lucia tidak tahu mengenai hal ini."Katakan padaku, apa yang terjadi di sana?" tanyaku, setelah kami duduk berhadapan di ruang rapat dengan wajah serius."Saat ini Tryenthee sedang dalam keadaan sedikit kacau, Yang Mulia. Terjadi perang saudara dan beberapa perselisihan antar Pangeran yang menjadi penguasa di beberapa wilayah," jawabnya. "Seperti yang Anda tahu, setiap Pangeran di beri wewenang untuk menjadi kepala wilayah di kota-kota besar. Juga, memang terjadi beberapa keributan yang katanya ... ada beberapa kesenjangan di antara mereka.""Selain itu?""Saya tak sengaja mendengar bahwa Raja Tryenthee kini tengah disi
"Azura, bisakah aku tetap tinggal di sini?" pintaku merajuk. Ia menggeleng tegas. "Tidak. Kau harus dalam pengawasanku setiap waktu." Aku hanya berdiri dengan pasrah saat melihat beberapa pelayan pria membawa barang-barangku dan memindahkannya ke mansion Raja. Ya, meski tujuannya agar aku aman dalam pengawasannya, tapi—keberadaan Lucia di sana pastinya akan membuat situasiku canggung. Aku terpaksa harus memakai topeng lagi setiap hari saat bertemu dengannya. "Mulai hari ini, pekerjaanmu biar aku yang menyelesaikannya. Kau tidak boleh terlalu lelah." Azura memasukkan semua berkas-berkasku ke dalam peti besar, lalu meminta pelayan pria untuk membawanya. "Aku akan mengadakan rapat dengan para petinggi, kau bisa masuk ke mansion duluan." Ia mengecup keningku lalu melengos pergi. Bisa kurasakan suasana hatinya sedang membaik. Kuhela napas panjang saat kami berpisah ke bangunan yang berbeda. Kulihat Lucia berdiri di balkon dan menatapku dengan wajah datar. Mata kami bertemu, tapi aku