Daffa menatap diri di pantulan cerminnya. Sambil memegangi HP. Tertegun untuk waktu yang cukup lama. Mendadak darah seperti bergolak dalam tubuhnya, Daffa gemetar."Jadi ... selama ini aku berpacaran dengan anak orang kaya?" Daffa menelan ludah ketika mengetahui Dea anak siapa.Pak Jhon, pemilik perusahaan properti terbesar di Indonesia, bahkan bisnisnya tak hanya satu, tapi banyak dan tak hanya di Indonesia saja, di manca negara pun ada.Hampir saja ponsel pintar itu jatuh ke lantai. Namun, Daffa buru-buru menangkapnya dengan susah payah, sebelum akhirnya duduk pasrah di atas ranjang."Kalau begini, dengan apa aku harus memperjuangkan? Kami tak sepadan. Aku hanya anak petani yang sangat jauh bila dibandingkan dengannya. Ya Allah, beri hamba petunjuk."Hilir mudik wajah Dea menari dalam rongga pikirnya. Entahlah, Daffa sangat tidak bisa konsentrasi apalagi setelah kejadian malam ini.Pantas kalau bapaknya galak. Orang kaya sudah pasti akan mengutamakan soal bibit bebet dan bobot. Seda
Dea mual setiap kali melihat wajah Pak Jhon. Apalagi saat di mobil duduk bersebelahan. Ketiga kakaknya sengaja membuat Pak Jhon dan Dea duduk bersama. Niatnya, sih memang bagus agar keduanya bisa saling meredam kemarahan masing-masing, atau setidaknya bisa saling meluruskan permasalahan yang sedang terjadi."Bisa geser dikit tidak, sih?!""Ck! Sempit!"Tapi lihat saja, boro-boro bisa saling meluruskan, yang ada dari sejak pergi hingga setengah perjalanan terjadi, keduanya ribut terus seperti kucing dan tikus.Tiga kakak Dea yang duduk di paling belakang saling pandang satu sama lain. Sebenarnya Kak Dina dan Kak Maya ikut tak setuju atas hubungan rahasia Dea dengan laki-laki bernama Daffa itu, apalagi setelah tahu kalau sidianya Dea bukan orang kaya, bahkan kerjanya di kecamatan.Tak selevel!Begitu kata Kak Dina. Malah ia menambahkan, bila Dea sampai nekat menikah dengan Daffa, pasti setiap hari alergi karena dia begitu miskin.Astagfirullah ... Kak Anita yang paling eling di antara m
Langit masih terlihat cerah di sana. Tapi tanpa siapa pun sadari, ada segunduk awan hitam mengarak dari selatan. Pertanda apakah itu? Pastinya bukan pertanda dewi cinta akan turun."Namanya Daffa." Dea memulai. Sedang Pak Jhon memerhatikan dari jarak dekat, mendengarkan dengan saksama.'Daffa ... sudah kutandai nama dan orangnya.'"Pekerjaannya karyawan di kecamatan. Dea nggak tahu bagian apa-apanya, atau berapa gajinya, tapi setiap ketemu, kalau makan dia yang bayarin." Sedikit sombong, soalnya yang dulu-dulu kebanyakan Dea yang bayarin."Ga usah senyam senyum! Cuma dijajanin bakmi lima belas ribu sampai mau dibegoin!" dengus Pak Jhon. Ish ish ... Dea jadi bete."Dia baik, kok. Nggak pernah anggap Dea bego kayak bapak!"Almak skakmat! Pak Jhon seketika sesak nafas. Ia langsung mengambil air di meja, lalu meneguknya. Kamvret si Dea. Pikir Pak Jhon. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu terang-terangan di depannya. Berani sekali anak itu."Lanjut! Jangan belok ke mana-mana. Bikin bapakmu
Pak Jhon bersiap mau menikmati pemandangan di mana mentari benar-benar mau tenggelam. Ia baru selesai salat magrib dan mau bersantai. Tapi rencana gagal total gara-gara mendengar keributan di depan."Ada apaan, sih? Mereka ribut lagi? Kayak anak kecil aja!" Pak Jhon susah payah bangkit dari duduknya. Bertemu dengan Anita, ia bertanya. Tapi jawaban Anita sama saja membuat tak puas, sebab wanita itu pun tak tahu apa yang sedang diributkan."Dari suaranya, sih Kak Dina sama Maya." Kak Anita berjalan di belakang Pak Jhon. Berpikir sama, mungkin mereka meributkan sesuatu.Bukan hal aneh bila empat bersaudara itu ribut. Pak Jhon selalu menjadi penengah di antara mereka kalau sedang kumat. Makanya, mendengar ada suara keras itu, Pak Jhon dan Kak Anita berpikir bahwa mereka sedang bertengkar.Namun, setelah sampai ke depan. Pak Jhon menautkan kedua alisnya, terkejut melihat sosok lelaki yang tak lain adalah Daffa."Kamu!" Pak Jhon menunjuk wajah Daffa.Kedatangan pria tambun berwajah garang i
Malam mulai menyapa, tetapi keenam orang itu masih di sana, setia meski angin melambai-lambai membelai wajah secara kasar, menyelusupkan dinginnya ke badan hingga ke tulang.Daffa berdiri di tengah keheningan. Menatap cinta yang dianggap sejatinya dengan tatapan iba. Selain mengibai karena dipaksa memilih oleh bapaknya sendiri, ia juga iba karena sesuatu hal yang tak bisa ia jelaskan di hati atau pikiran."Katakan Dea! Kamu pilih siapa?! Bapak atau laki-laki yang baru kamu kenal seumur jagung itu?! Katakan!" paksa Pak Jhon. Pria setengah baya itu mulai terisak.Isak yang bukan sembarang isakan. Pak Jhon merasa sakit, teringat pesan mendiang istrinya. Pak Jhon merasa gagal menjadi bapak yang baik, yang bisa menjaga putri bungsunya. Bagi Pak Jhon, Dea sudah tak terselamatkan lagi. Maka ia menyerahkan keputusan kepada Dea saat ini.Alasan tangisnya menguap adalah, Pak Jhon takut Dea memilih Daffa.Tapi anehnya, walau ketakutan itu datang menghantuinya, Pak Jhon tetap tak ingin menarik ka
Daffa pikir mendatangi orang tua Dea sore menjelang malam itu adalah keputusan yang paling tepat. Tapi mana tahu kalau bapak Dea memiliki penyakit jantung yang pada akhirnya membuat orang tua Dea harus dibawa ke rumah sakit.CRAAASH!Air keran mengalir deras sederas kecemasan yang menggunung di hati Daffa. Dia sudah sampai ke hotel penginapan yang disediakan Pak Camat, sedang cuci muka.Beberapa kali menampar diri dengan dinginnya air, tetap saja rasa bersalah itu bersarang di matanya. Ketika ia menatap diri, bayang-bayang detik Pak Jhon jatuh pingsan menghantui tak henti-henti.Keran dimatikannya, lalu tubuh tinggi tegap itu merosot lunglai. Daffa terduduk di lantai toilet hotel dengan tangan meremas rambutnya frustrasi."Ya Allah, tolong selamatkan bapak Dea ...."Malam yang seharusnya menjadi malam kemenangan itu, ubah menjadi malam tragis yang mungkin akan menjadi kenangan paling buruk di sepanjang hidupnya.Bukan membuat Pak Jhon mengalah dan merestuinya, justru keberanian Daffa
Ternyata tidak semua hal yang kita yakini di dunia akan berakhir happy ending seperti di film-film romansa. Kisah yang diyakini itu benar-benar berakhir sad ending karena pada akhirnya Dea harus memutuskan hubungannya dengan Daffa.Semua demi Pak Jhon.Tangisnya tak terbendung lagi ketika Dea melihat nama ayang Daffa tertera di badan chat. Laki-laki itu mengiriminya satu pesan, pesan yang mengingatkan Dea untuk selalu sabar dan berdoa yang terbaik.Dea ingin menghubungi Daffa dan memutuskan hubungan mereka. Tapi sesak di dada membuat tangan itu tak kuat mengetik pesan.Dea hanya berbaring dan memeluk ponselnya, lalu memejam mata terlampau lelah.***"Dea, Dea ...." Itu suara Kak Maya. Lembut masuk ke gendang telinga.Dea membuka mata, cahaya mentari ternyata sudah muncul ke dunia. Kak Maya duduk di tepi ranjang. Tersenyum semringah."Bapak udah sadar dan baik-baik aja." Kak Maya memberikan informasi tentang Pak Jhon ternyata.Sontak hal itu membuat Dea bangkit spontan dari posisinya.
Siapa sangka hal yang selalu Dea pertahankan itu akan runtuh seruntuh-runtuhnya. Bak bangunan kaca, yang tersisa hanya puing-puing saja di antara debu-debu beterbangan.Hal itu adalah pendirian. Pendirian Dea tentang keinginannya untuk mempertahankan hubungan asmaranya dengan Daffa.Karena sudah memutuskan untuk putus dari Daffa, pendirian itu benar-benar telah runtuh seketika seperti baru saja dihantam badai angin.[Mas, kapan ada waktu luang? Bisa ke vila?]Dea mengirimkan pesan setelah mati-matian menghentikan tangisnya di bilik toilet. Dengan tangan gemetar, Dea mengetiknya.Mungkin orang di luar toilet akan berpikir Dea sedang mules akut sampai lama tak keluar-keluar dari dalam. Padahal tidak. Dea kini bersandar, menunggu pesan balasan masuk sambil menunggu sembab matanya berkurang.Sesekali berkaca, lalu menertawakan diri dengan suara pelan. Mengapa wajahnya seburuk itu gara-gara banyak menangis. Dea merasa kacau dan gila.Ting!Pesan balasan muncul. Dari Daffa.Seketika Dea dih
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa