Pak Jhon bersiap mau menikmati pemandangan di mana mentari benar-benar mau tenggelam. Ia baru selesai salat magrib dan mau bersantai. Tapi rencana gagal total gara-gara mendengar keributan di depan."Ada apaan, sih? Mereka ribut lagi? Kayak anak kecil aja!" Pak Jhon susah payah bangkit dari duduknya. Bertemu dengan Anita, ia bertanya. Tapi jawaban Anita sama saja membuat tak puas, sebab wanita itu pun tak tahu apa yang sedang diributkan."Dari suaranya, sih Kak Dina sama Maya." Kak Anita berjalan di belakang Pak Jhon. Berpikir sama, mungkin mereka meributkan sesuatu.Bukan hal aneh bila empat bersaudara itu ribut. Pak Jhon selalu menjadi penengah di antara mereka kalau sedang kumat. Makanya, mendengar ada suara keras itu, Pak Jhon dan Kak Anita berpikir bahwa mereka sedang bertengkar.Namun, setelah sampai ke depan. Pak Jhon menautkan kedua alisnya, terkejut melihat sosok lelaki yang tak lain adalah Daffa."Kamu!" Pak Jhon menunjuk wajah Daffa.Kedatangan pria tambun berwajah garang i
Malam mulai menyapa, tetapi keenam orang itu masih di sana, setia meski angin melambai-lambai membelai wajah secara kasar, menyelusupkan dinginnya ke badan hingga ke tulang.Daffa berdiri di tengah keheningan. Menatap cinta yang dianggap sejatinya dengan tatapan iba. Selain mengibai karena dipaksa memilih oleh bapaknya sendiri, ia juga iba karena sesuatu hal yang tak bisa ia jelaskan di hati atau pikiran."Katakan Dea! Kamu pilih siapa?! Bapak atau laki-laki yang baru kamu kenal seumur jagung itu?! Katakan!" paksa Pak Jhon. Pria setengah baya itu mulai terisak.Isak yang bukan sembarang isakan. Pak Jhon merasa sakit, teringat pesan mendiang istrinya. Pak Jhon merasa gagal menjadi bapak yang baik, yang bisa menjaga putri bungsunya. Bagi Pak Jhon, Dea sudah tak terselamatkan lagi. Maka ia menyerahkan keputusan kepada Dea saat ini.Alasan tangisnya menguap adalah, Pak Jhon takut Dea memilih Daffa.Tapi anehnya, walau ketakutan itu datang menghantuinya, Pak Jhon tetap tak ingin menarik ka
Daffa pikir mendatangi orang tua Dea sore menjelang malam itu adalah keputusan yang paling tepat. Tapi mana tahu kalau bapak Dea memiliki penyakit jantung yang pada akhirnya membuat orang tua Dea harus dibawa ke rumah sakit.CRAAASH!Air keran mengalir deras sederas kecemasan yang menggunung di hati Daffa. Dia sudah sampai ke hotel penginapan yang disediakan Pak Camat, sedang cuci muka.Beberapa kali menampar diri dengan dinginnya air, tetap saja rasa bersalah itu bersarang di matanya. Ketika ia menatap diri, bayang-bayang detik Pak Jhon jatuh pingsan menghantui tak henti-henti.Keran dimatikannya, lalu tubuh tinggi tegap itu merosot lunglai. Daffa terduduk di lantai toilet hotel dengan tangan meremas rambutnya frustrasi."Ya Allah, tolong selamatkan bapak Dea ...."Malam yang seharusnya menjadi malam kemenangan itu, ubah menjadi malam tragis yang mungkin akan menjadi kenangan paling buruk di sepanjang hidupnya.Bukan membuat Pak Jhon mengalah dan merestuinya, justru keberanian Daffa
Ternyata tidak semua hal yang kita yakini di dunia akan berakhir happy ending seperti di film-film romansa. Kisah yang diyakini itu benar-benar berakhir sad ending karena pada akhirnya Dea harus memutuskan hubungannya dengan Daffa.Semua demi Pak Jhon.Tangisnya tak terbendung lagi ketika Dea melihat nama ayang Daffa tertera di badan chat. Laki-laki itu mengiriminya satu pesan, pesan yang mengingatkan Dea untuk selalu sabar dan berdoa yang terbaik.Dea ingin menghubungi Daffa dan memutuskan hubungan mereka. Tapi sesak di dada membuat tangan itu tak kuat mengetik pesan.Dea hanya berbaring dan memeluk ponselnya, lalu memejam mata terlampau lelah.***"Dea, Dea ...." Itu suara Kak Maya. Lembut masuk ke gendang telinga.Dea membuka mata, cahaya mentari ternyata sudah muncul ke dunia. Kak Maya duduk di tepi ranjang. Tersenyum semringah."Bapak udah sadar dan baik-baik aja." Kak Maya memberikan informasi tentang Pak Jhon ternyata.Sontak hal itu membuat Dea bangkit spontan dari posisinya.
Siapa sangka hal yang selalu Dea pertahankan itu akan runtuh seruntuh-runtuhnya. Bak bangunan kaca, yang tersisa hanya puing-puing saja di antara debu-debu beterbangan.Hal itu adalah pendirian. Pendirian Dea tentang keinginannya untuk mempertahankan hubungan asmaranya dengan Daffa.Karena sudah memutuskan untuk putus dari Daffa, pendirian itu benar-benar telah runtuh seketika seperti baru saja dihantam badai angin.[Mas, kapan ada waktu luang? Bisa ke vila?]Dea mengirimkan pesan setelah mati-matian menghentikan tangisnya di bilik toilet. Dengan tangan gemetar, Dea mengetiknya.Mungkin orang di luar toilet akan berpikir Dea sedang mules akut sampai lama tak keluar-keluar dari dalam. Padahal tidak. Dea kini bersandar, menunggu pesan balasan masuk sambil menunggu sembab matanya berkurang.Sesekali berkaca, lalu menertawakan diri dengan suara pelan. Mengapa wajahnya seburuk itu gara-gara banyak menangis. Dea merasa kacau dan gila.Ting!Pesan balasan muncul. Dari Daffa.Seketika Dea dih
"Kami pamit, ya Pak ....""Jangan pulang larut. Dan tolong, antar Dea dengan keadaan sebaik dia pergi." Pak Jhon berpesan."Isyaallah, Pak. Saya akan melakukannya."Pada akhirnya Dea dan Daffa pergi setelah pamit secara baik-baik pada Pak Jhon. Bahkan mereka menyalami tangan pria tambun itu secara takzim.Tiga kakak Dea benar-benar tak menyangka melihat adegan langka yang terjadi. Mereka bertanya-tanya, apakah tidak salah lihat? Apa yang Pak Jhon lakukan? Jangan-jangan kepalanya konslet sampai mau-maunya memberi mereka izin jalan? Bagaimana kalau Dea diculik, diper***a, atau lebih parah pulang tinggal nama?Ya, namanya orang kalau panik dan berprasangka itu suka tak ada rem-nya. Setelah kekacauan kemarin dan penolakan keras Pak Jhon, kemungkinan Daffa dendam itu ada."Pak!" Kak Dina berlari setengah kencang menuju Pak Jhon, menghadap dirinya. "Apa yang bapak lakukan? Ngasih izin mereka kok mudah banget?!" Kak Dina benar-benar tak paham.Dua saudaranya menyusul, berdiri di sisi Kak Din
CRASSSSH!Hujan turun malam ini bersamaan dengan dahsyatnya angin, menerpa pohon-pohon dan bilik lesehan secara brutal. Mengacaukan insan-insan yang sedang mesum, termasuk Dea Daffa."Ah! Hujan, Mas!" Ia berteriak, menarik diri dari pelukannya."Ayo, cari tempat berteduh!" Daffa kelimpungan, membuka kemeja yang ia pakai sebagai luaran kaus, lalu memayungi Dea sambil menggiringnya untuk berteduh.Mereka berdiri di pinggir restoran. Mau masuk, kok sesak pikir mereka. Tapi diam terus di luar, bisa-bisa anak orang masuk angin. Nanti tak akan lagi dapat izin begini."De, neduh di hotel itu, mau nggak?""Hah?" Pipi Dea merah padam. Hotel? Pikiran sudah berakar kotor ke mana-mana. Dalam hati Dea menolak, jangan! Nanti kebobolan bahaya. Sebab menemui Daffa adalah untuk memutuskannya, bukan ngasih jatah buat calon mantan.Alamak, Dea bingung."Ja-jangan mikir yang aneh, cuma berteduh doang, kok. Dari pada kita di sini terus, aku kasihan sama kamu kebasahan."Daffa juga tahu diri, mana mungkin
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa