Sumpah Dea telah terjadi. Cinta bertepuk sebelah tangan itu akhirnya tak dapat lagi berdiri pongah dan tegak. Hati sebeku es Himalaya itu mencair juga. Daffa yang sangat tak menyukai, bahkan mungkin bisa dikatakan membenci Dea ini pun terluluhkan. Hingga dia yang merasa hari-harinya hambar tanpa Dea, tak malu atau ragu lagi mengungkapkan isi hatinya."Mas Daffa, malah bengong. Nih, dokumennya weyy!""Astagfirullah Herman!"Daffa yang tengah asyik melamun pun hampir saja terjungkal kaget gara-gara tak menyadari adanya Herman di depan meja kerjanya. Hm, salahnya juga, sih kenapa juga melamunkan ayang di jam kerja."Betul, nyebut Mas. Soalnya orang ngelamun itu mudah digandrungi kawanan setan," ujar Herman sambil membuka dokumen di tangannya. "Nah, sekarang Mas Daffa diminta buat periksa data ini sama pak camat. Jangan sampai yang dilamunkan muncul di dalamnya, ya."Daffa tersenyum kecut. Dasar Herman, pikirnya dia pasti tahu apa yang sedang Daffa lamunkan. Dia menerima dokumen itu tanpa
Cinta yang dikejar telah tertaklukkan, tapi masalah lain kini berkecamuk datang ke dalam pikiran.Pak Jhon dan misi seleksi calon mantunya yang penuh ambisi itu.Hingga kini Dea kepikiran tentang hal tersebut.Sore, ketika Dea duduk di kursi kafe bersama Nana sambil menunggu ayang pulang dari jam kerja, ia mengeluhkan tentang satu hal yang beberapa hari terakhir ini menghantui. Pertanyaan Daffa terkait orang tua Dea Posa."Menurut kamu aku harus gimana, Na? Jujur dari sekarang atau jangan, nih ke dia?" Dea masih galau untuk mengungkap jati dirinya yang hingga kini setelah sebulan lamanya menjalin hubungan dengan Daffa. Sebab ia masih juga merahasiakan siapa dirinya."Emm ... bentar. Menurut penerawangan Mak Erot, kamu sekarang lagi menghadapi yang namanya penyihir bawa buah simalakama. Dan sialnya buah itu udah kamu genggam. Maka kesimpulan dari masalah yang kamu rasa adalah, nggak ngomong bakal jadi masalah, ngomong juga bakal jadi masalah. Jadi, ya udah jujur aja saranku, Dea. Astag
Dea dan Daffa jalan sama-sama. Dan apa yang membuat Dea resah adalah Daffa benar-benar diam tak berkata. Meski tangannya erat menggenggam di sepanjang perjalanan mereka, tapi tetap saja gundah itu menerpa seluruh hati Dea, karena Daffa tak terbiasa diam beribu bahasa.'Apa ini? Apa yang terjadi? Kenapa Mas Daffa diam aja? Wajahnya juga cemberut bukan main. Dari tadi jalan udah lumayan jauh, tapi belum ada keputusan mau berhenti di mana.' Dea tambah resah.Langkah Dea berhenti ketika dia sudah lelah menunggu Daffa bicara. Daffa berhenti melangkah juga. Dirinya menatap Dea dengan tatapan yang entah apa artinya, Dea tak mampu membacanya."Kenapa berhenti?" tanya Daffa dingin. "Capek?"'Capek?'Dea mengernyit. Bisa-bisanya Daffa bertanya demikian. Jelas Dea merasa lelah, dari tadi dibawa jalan lurus tanpa tujuan. Tambah capek lagi dengan sikap Daffa yang mendadak sedingin es. Apa dia sudah kembali ke versi lamanya? Yang songong bin jutek itu?Ah ... Dea sama sekali tak bisa bayangkan itu.
Petrikor menguar menusuk hidung, ikut mewarnai sore yang perlahan mendung. Dua manusia itu masih saling diam walau anak hujan mulai turun. Orang-orang di sekelilingnya berhamburan mencari tempat untuk berteduh. Entahkah itu di bibir kafe, atau di dalamnya, atau bahkan ada juga yang berjejer di bawah terpal pedagang kaki lima yang mangkal.Llihatlah bagaimana dua manusia itu saling kunci pandang, dengan butir-butir putih mendarat di pucuk rambut. Sehingga jika dilihat hanya selintas, akan terlihat seperti telur kutu rambut."Aku tahu dari anak minimarket, tapi bukan Nana." Mengaku juga Daffa, kali ini tanpa harus membuat hati Dea bergetar. "Bukan yang cewek juga." Daffa menambahkan. Dari sorot matanya, Daffa benar-benar seperti kecewa berat.Dea masih diburu rasa kaget, ia hanya diam macam boneka salju yang beku. Menatap mata Daffa yang berkaca-kaca."Alasan kamu hilang berbulan-bulan itu ... apa karena itu? Tiba-tiba kamu membatalkan janji hari itu, dengan alasan ada kepentingan mende
"Heh, dasar ba*ingan!" umpat Nana tak lama setelah berjega di hadapan Daffa yang hanya menatapnya dalam kebisuan.Tapi Daffa mengerti mengapa Nana mengamuk dan menyebutnya dengan kalimat tak pantas begitu. Pikirnya, pasti Dea sudah curhat masalah semalam. Setahunya, kan Nana sahabat Dea.Daffa menghela napasnya dalam-dalam. Membuang tatap ke lain arah, sebab malas saja rasanya. Pasti pembahasannya tak jauh-jauh dari betapa berengseknya Daffa karena sudah melukai hati Dea."Pergilah, Nana. Saya tak mau berurusan dengan kamu," usir Daffa tak gentar. Dia bangkit dari kursi yang sedang diduduki, lalu beranjak sambil membawa tabung gas menuju motornya.Namun, tangan Nana sigap menghalangi. Wajah Nana mengeras, meski ia tak bisa mengatakan apa pun. Tangan Nana mengepal kuat, lalu hanya dalam hitungan detik saja satu pukulan darinya mendarat begitu keras di perut berotot Daffa, hingga tabung gas yang diangkat sebelah tangan Daffa itu lepas. Beruntung tak sampai jatuh menimpa kaki, jika iya b
Dea ketika mendapat pesan-pesan dari pacar yang hilang sejak semalam. Dahinya mengernyit, bibir cemberut, monyong hampir lima senti. Saat itu Dea sedang melakukan cek kesehatan di rumah sakit, makanya ia tak bisa menerima telepon karena antrean dan tanggung, setelah ini bagiannya masuk.Dea yakin jika diterima panggilannya, percakapan akan sangat panjang sekali meluber ke mana-mana. Tapi didiamkan juga cukup mengganggu, sebab pesan demi pesan masuk ke ponselnya runut.Membuat kekesalan Dea memuncak. Akhirnya Dea membalas pesan Daffa dengan kalimat singkat, padat, dan bisa dikata jelas.[Jangan ganggu, lagi di rumah sakit.]Begitu isinya. Dea tak lagi menyembunyikan soal kesehatannya, karena dia yakin Nana pasti sudah mengatakannya hari ini, terbukti dari pesan Daffa yang mengatakan dia telah mengetahui apa yang terjadi. Memangnya siapa lagi yang akan bisa membeberkan semua jika bukan Nana Banana?Pesan yang membuat jantung Daffa serasa mau jatuh dari balik rusuknya. Mengira jika Dea a
Ketika kesalahpahaman itu tertumpaskan, tak ada lagi praduga penuh curiga. Sepasang kekasih yang masih dibayang-bayangi takut akan perpisahan itu telah kembali saling bercengkerama.Mereka melupakan hal yang sudah terjadi, memilih untuk saling percaya kembali. Ada pun Daffa, ia telah menyesali semua perbuatannya kepada Dea dan berjanji tak akan pernah mengulangi hal sama.Juga berjanji untuk tidak memaksa Dea untuk segera mempertemukannya dengan keluarganya. Ia akan sabar menunggu hingga Dea bersedia. Selagi itu belum terjadi, Daffa akan bersiap-siap, sebab kata Dea bapaknya sangat galak."Gitu, ya? Jadi Dea itu anak yatim?" Herman tak menyangka setelah mendengar tutur curhat rekan kerja yang kini sudah menjadi teman akrabnya di kantor kecamatan.Ini sudah jam makan siang, mereka baru saja selesai makan di warteg yang letaknya tak jauh dari kantor."Heem." Daffa sibuk dengan ponselnya, jadi menjawab singkat pun sudah untung."Dia punya saudara?""Katanya ada. Tapi nggak bilang berapa-
"Aku pergi dulu, ya Na, bye!" pamit Dea Posa setelah dia mulai bosan lama-lama nongkrong di minimarket. Mana para mantan rekannya nanya melulu pula kenapa Dea tiba-tiba berhenti, bahkan pertanyaan apakah benar Dea berhenti bekerja gara-gara gagal nikah itu mampir ke telinganya.Saat ditanya begitu sontak Dea saling kunci pandang dengan Nana, lalu sejurus kemudian tergelak. Bukan, Dea menjawabnya lantang, lalu mengatakan jika apa yang mereka dengar itu adalah kebohongan.Dea memilih merahasiakan soal Rio, meski beberapa dari mereka tahu dan pernah melihat Rio secara langsung. Tapi Dea menyangkal bahwa dia gagal menikah, sebab dari awal tak ada rencana pernikahan. Dan antara Dea dengan Rio, mereka hanya teman biasa.Itu cukup untuk membungkam mulut-mulut penggoreng gosip dan menghentikan beritanya sehingga setelah itu tak ada lagi yang membicarakannya lagi.Dea meraih tas dari meja, hendak pergi. Nana yang baru saja selesai melayani pelanggan, keluar. Hanya separuh tubuhnya yang muncul
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa