Jam berdenting di tengah gersangnya waktu tengah hari ini. Belum lagi panasnya matahari menambah panas hawa dalam ruangan di mana Daffa menjalankan tugasnya sebagai pekerja magang kecamatan.Ada AC, tapi tetap tak bisa meredam panasnya ciptaan yang Maha Kuasa.Daffa sedang sibuk-sibuknya menginput data, dia mengerjakan sefokus yang ia bisa. Setelah berhasil lulus kuliah, dan langsung diberi amanah pekerjaan yang lumayan langsung bisa dia jalankan tanpa hambatan, mana mungkin Daffa sia-siakan.Pekerjaan di kota bagai jarum dalam jerami. Ribuan orang berlomba mencari-cari hingga tubuh bercucur peluh. Tapi akhirnya hanya satu yang beruntung mendapatkannya.Katakan Daffa sedang mujur, di saat orang berusaha sampai rela merogoh kantong uang untuk menyogok orang dalam, dia bisa masuk tanpa embel-embel apa pun karena dia memiliki kemampuan. Ini membuktikan bahwa tidak semua hal bisa dibeli dengan uang, meski kenyataannya jaman sekarang hal itu sudah lumrah dilakukan Berbekal restu dan doa,
Bibir merah jambu itu mengerucut tajam, pertanda sebal tengah menguasainya. Bagaimana tidak? Setelah si tampan membahana menyamakannya dengan perempuan lainnya."Hih, enak aja! Dasar si hati batu. Pake bilang nggak suka cewek segala." Berjalan melintas jalan, kembali ke depan toko minimarket.Nana Banana keluar lagi, ngintip dari pintu. Dia sudah curiga ada yang terjadi ketika tadi hilang bagai angin lalu. Kelihatan dari gelagat kesalnya yang begitu jelas."Kamu kenapa, Posa? Misuh-misuh di situ? Tadi kamu ngilang ke mana? Kirain pulang, ternyata balik lagi. Jangan bilang kamu ke kecamatan buat nemuin ayang-ayanganmu itu?" Praduga yang pas sekali dengan kenyataan yang ada.Dea menatap sinis sahabatnya. Sebelum akhirnya ia menjatuhkan diri di kursi itu, lalu menyandar pasrah sembari menghela napas panjang dan mengeluarkannya lagi tak kalah panjang.Ngomong-ngomong, kalimat yang Nana lontarkan persis sekali dengan apa yang Dea lakukan. Dia jadi curiga, jangan-jangan sahabatnya ini punya
Bermodalkan dukungan Pak Jhon, akhirnya Dea Posa bisa bekerja di tempat yang ia inginkan. Di minimarket sama dimana Nana bekerja. Ada dua sif di sana, pagi hingga magrib, dan dari magrib hingga pagi menjelang.Dea Posa kebagian sif malam. Jadi dia akan bekerja dimulai dari pukul enam sore hingga pukul enam pagi. Begitulah jam kerja di sana, dan Dea sangat semangat sekali sampai mau jungkir balik."Eh tapi ... jam enam artinya mas kesayangan udah pulang, dong. Kan kecamatan tutup sore habis Ashar. Aduh, Posa gini amat nasibmu." Dia mau mati suri saja rasanya karena kesal.Tapi ya sudah. Dea tak bisa apa. Yang penting kerja dulu saja. Sudah mau pukul setengah enam, dia sudah bersiap dengan seragam merah berkerahnya, memakai jeans hitam panjang, dan menyampirkan tas selempang di bahu. Sementara itu rambutnya dia kuncir kuda. Kalau tidak memakai hijab, wajib dikuncir soalnya."Bapak, Dea pergi dulu, ya." Ada Pak Jhon sedang mengamati ikan arwana kesayangan di dalam akuarium. Dea mendekati
Demi langit dan bumi, Dea Posa senang bukan main ketika dia akhirnya mendapatkan nomor ayang Daffa. Sekalipun akhirnya dia harus merelakan uang tiga puluh ribu sebagai gantinya, supaya Herman mau memberikan nomor itu, dia tak merasa dirugikan sama sekali."Tapi kenapa foto profilnya kayak beda gitu, sih?" gumam Dea usai menyimpan nomor itu dengan nama 'Ayang DafDaf' di ponselnya.Memang, setelah menilik-nilik dengan saksama, Dea menemukan ada yang aneh dengan posturnya. Dia lama melihatnya sampai mata mau juling-juling. Tapi .... "Ah, efek diupload jadi begini, kan biasanya? Kadang suka gepeng, kadang suka bulet. Ya udah, lah. Yang penting aku bisa kirimi pesan. Aaaah dia pasti kaget banget, kan aku bisa dapetin nomornya?"Rada-rada. Yeni yang melihat tingkah rekan kerjanya yang baru ini hanya geleng kepala. Terlihat Dea mengetik sebuah pesan. Ketik, hapus, ketik, hapus, terus saja begitu sampai Yeni sebal melihatnya."Heh, Dea. Itu ada pembeli, simpen HP-nya. Lagian dilarang main HP
Tangisan Dea semakin menggelegar bagai guntur di atas mega. Memancing orang-orang yang sedang lewat di jalan, baik yang naik kendaraan atau pejalan kaki.Nenek-nenek datang menghampiri. Menunjuk batang hidung Daffa. “Heh, kamu anak muda yang ganteng, mentang-mentang ganteng, pagi-pagi begini udah mau melecehkan perempuan aja. Mana di tengah jalan!”Waduh!Daffa kena fitnah jahara dari nenek-nenek yang tak tahu duduk permasalahannya. Rongga dada seketika dipenuhi dengan rasa gelisah tak terkira. Kepala Daffa menggeleng, sementara dua tangannya terangkat hingga ke dada.“Eh, ja-jangan asal nuduh, Nek. Justru saya baru aja mau menyelamatkan dia dari penjambretan!” sangkal Daffa cepat. Dia bergegas menarik lengan Dea Posa yang kondisi tubuhnya masih layu bak bunga yang lama tak tersirami air.“Bener, kan Dea?! Dea, sadar dong! Udah, jangan nangis terus! Nanti aku kasih nomorku lagi!” tekan Daffa yang akhirnya menyadarkan Dea.Dea berhenti menangis. “Beneran?”“Iya, tapi bubarin dulu kerum
Langit di atas kepala terasa mulai menghangatkan, tapi lebih hangat lagi perasaan Dea Posa kini, setelah akhirnya dia mendapatkan nomor ponsel Daffa yang sebenarnya. Bukan lagi yang palsu, yang Herman berikan."08 ... 0858 ...." Sepanjang naik taksi menuju mall, Dea terus menghafalkan nomor yang Daffa sebutkan tadi, takut Dea lupa.Sopir taksi pun diam-diam memerhatikan, lantas berpikir ... apakah gadis muda di kursi penumpangnya itu sedang mengira-ngira berapa ongkos yang akan dia bayarkan, melihat dari tampilan Dea, pria berjanggut hitam tebal itu tahu, pegawai minimarket memangnya punya banyak uang untuk membayar ongkos taksi?Julid sekali bapak-bapak ini, meremehkan orang hanya dengan tampilannya saja. Mana tahu dia kalau Dea Posa itu anaknya seorang orang kaya, Pak Jhon yang katanya pria perkasa."Mbak, ngitung apaan? Ngitung utang?" Si bapak nyeletuk aja. Seketika membuat Dea berhenti menghafal nomor Daffa dan menatap sinis pada bapak sopir taksi."Utang mata Bapak? Enak aja, sa
Bila saja mungkin waktu bisa diputar, Daffa tak akan memberikan nomor ponselnya kepada Dea Posa yang dianggapnya genit luar biasa. Karenanya, sekarang ponselnya yang terbiasa damai sentosa itu diserang oleh Chat unfaedah perempuan itu.Fiuh~Lagi-lagi hanya bisa mengeluarkan rasa sesalnya lewat hembus napas panjang.Jika Daffa ingat lagi, selain genit dan terang-terangan menunjukkan perasaan sukanya, dia juga ternyata manja. Buktinya pagi tadi pun dia memaksa Daffa untuk mengantarkannya hingga ke perempatan jalan sana dengan alasan takut kena jambret lagi.Untunglah Daffa punya alasan untuk menghindari keinginannya, setelah dia memberikan nomor ponselnya cuma-cuma begitu saja pada Dea Posa karena kasihan sudah ditipu Herman. Dia juga agak geram soal yang satu itu, sebab Herman memanfaatkan kesempatan itu untuk meraih keuntungan dengan menjual nomornya.Saat ini dia tengah santai menghadap layar komputer, sebab dokumen yang diminta Pak Camat sudah selesai ia kerjakan. Sering menoleh ke
Tok! Tok! Tok!Pintu kamar Dea Posa diketuk pelan. Pelakunya tak lain bapak Dea sendiri, Pak Jhon. Pria yang memiliki perut tumpah-tumpah itu ingin memastikan apakah putrinya baik-baik saja? Sejak kemarin, setelah pulang bekerja, dia doyan bersemayam di kasurnya melulu.Pak Jhon khawatir, ingin tahu apa hal penyebabnya. Apakah jangan-jangan dia sedang patah hati lagi tanpa ia ketahui?"Dea ...." suara berat khas Pak Jhon banget mulai memenuhi gendang telinga Dea.Segera gadis itu beranjak dari posisinya kini, kemudian berjalan setengah ngibrit menuju ambang pintu. 'Duh, bapak bisanya ganggu aja. Orang lagi chat-an sama ayang Daffa.' Hatinya menggerundel sebal. Tapi yang namanya Pak Jhon, kalau diabaikan justru malah akan menjadi. Intinya ... sebelum hal itu terjadi, ia pun cepat-cepat bangkit, tak mau menunggu singa dalam diri Pak Jhon bangun dulu.KREEET ... pintu terbuka. Dea menyambut bapaknya dengan senyum semringah yang jelas sekali terpaksa."Kenapa, Pak? Hee ...." Sambil nyengi
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa