Langit di atas kepala terasa mulai menghangatkan, tapi lebih hangat lagi perasaan Dea Posa kini, setelah akhirnya dia mendapatkan nomor ponsel Daffa yang sebenarnya. Bukan lagi yang palsu, yang Herman berikan."08 ... 0858 ...." Sepanjang naik taksi menuju mall, Dea terus menghafalkan nomor yang Daffa sebutkan tadi, takut Dea lupa.Sopir taksi pun diam-diam memerhatikan, lantas berpikir ... apakah gadis muda di kursi penumpangnya itu sedang mengira-ngira berapa ongkos yang akan dia bayarkan, melihat dari tampilan Dea, pria berjanggut hitam tebal itu tahu, pegawai minimarket memangnya punya banyak uang untuk membayar ongkos taksi?Julid sekali bapak-bapak ini, meremehkan orang hanya dengan tampilannya saja. Mana tahu dia kalau Dea Posa itu anaknya seorang orang kaya, Pak Jhon yang katanya pria perkasa."Mbak, ngitung apaan? Ngitung utang?" Si bapak nyeletuk aja. Seketika membuat Dea berhenti menghafal nomor Daffa dan menatap sinis pada bapak sopir taksi."Utang mata Bapak? Enak aja, sa
Bila saja mungkin waktu bisa diputar, Daffa tak akan memberikan nomor ponselnya kepada Dea Posa yang dianggapnya genit luar biasa. Karenanya, sekarang ponselnya yang terbiasa damai sentosa itu diserang oleh Chat unfaedah perempuan itu.Fiuh~Lagi-lagi hanya bisa mengeluarkan rasa sesalnya lewat hembus napas panjang.Jika Daffa ingat lagi, selain genit dan terang-terangan menunjukkan perasaan sukanya, dia juga ternyata manja. Buktinya pagi tadi pun dia memaksa Daffa untuk mengantarkannya hingga ke perempatan jalan sana dengan alasan takut kena jambret lagi.Untunglah Daffa punya alasan untuk menghindari keinginannya, setelah dia memberikan nomor ponselnya cuma-cuma begitu saja pada Dea Posa karena kasihan sudah ditipu Herman. Dia juga agak geram soal yang satu itu, sebab Herman memanfaatkan kesempatan itu untuk meraih keuntungan dengan menjual nomornya.Saat ini dia tengah santai menghadap layar komputer, sebab dokumen yang diminta Pak Camat sudah selesai ia kerjakan. Sering menoleh ke
Tok! Tok! Tok!Pintu kamar Dea Posa diketuk pelan. Pelakunya tak lain bapak Dea sendiri, Pak Jhon. Pria yang memiliki perut tumpah-tumpah itu ingin memastikan apakah putrinya baik-baik saja? Sejak kemarin, setelah pulang bekerja, dia doyan bersemayam di kasurnya melulu.Pak Jhon khawatir, ingin tahu apa hal penyebabnya. Apakah jangan-jangan dia sedang patah hati lagi tanpa ia ketahui?"Dea ...." suara berat khas Pak Jhon banget mulai memenuhi gendang telinga Dea.Segera gadis itu beranjak dari posisinya kini, kemudian berjalan setengah ngibrit menuju ambang pintu. 'Duh, bapak bisanya ganggu aja. Orang lagi chat-an sama ayang Daffa.' Hatinya menggerundel sebal. Tapi yang namanya Pak Jhon, kalau diabaikan justru malah akan menjadi. Intinya ... sebelum hal itu terjadi, ia pun cepat-cepat bangkit, tak mau menunggu singa dalam diri Pak Jhon bangun dulu.KREEET ... pintu terbuka. Dea menyambut bapaknya dengan senyum semringah yang jelas sekali terpaksa."Kenapa, Pak? Hee ...." Sambil nyengi
Sabtu sore, Dea yang gabut jalan mendekati pagar kecamatan yang sudah tertutup, mungkin karena hampir semua karyawan pulang, kecuali dua orang lagi yang belum, di antaranya ada Daffa."Pasti dia belum pulang. Kelihatan dari motornya yang masih terparkir ganteng di halaman," ujarnya seraya berusaha mengintip di celah pagar.Namun, melakukan itu berasa percuma, Dea sama sekali tidak dapat melihat sang pujaan hati. Sudah jinjit pun hasilnya tetap sama, tak kelihatan.Jadi, Dea memasukkan kepalanya iseng ke celah pagar besi hitam dan sedikit karatan itu."Kapan dia pulangnya, sih?" gumam Dea Posa. Merasa melakukan hal itu pun sia-sia, maksud hati ingin kembali mengeluarkan kepala ke luar pagar, eh ... malah nyangkut.Waduh!Dea terkejut, mengapa kepalanya malah terjebak tak bisa dikeluarkan. Dua tangannya memegangi dua jeruji pagar itu, lalu berusaha dengan keras untuk menarik kepalanya lagi. Akan tetapi hasilnya gagal."Mampus, nih. Nggak bisa dilepas lagi ... gimana?" Wajah Dea sudah te
Hari berganti lagi. Kali ini sudah waktunya bagi Dea bekerja dengan shift pagi pulang sore. Namun, karena Nana sedang ambil cuti, sehabis pulang kerja, Dea malah pergi main dulu dengannya sepuas hati.Tahu-tahu langit sudah gelap ketika keduanya pulang ke rumah. Karena takut kepada Pak Jhon, dia mengendap-endap. Terlebih lagi saat menggeser pagar di depan, Dea melakukannya sangat perlahan supaya tidak timbul suara decit."Heh, Dea!" Nana Banana yang iseng tiba-tiba memunculkan kepalanya di celah pagar."Bujubuneng! Syaiton!" Dan sukses membuat nyawa Dea hampir terbang lewat ubun-ubun kepala. "Nana, ngagetin aja!" sentak Dea dengan suara setengah berbisik, tapi bernada ngegas.Ya, bagaimana tidak ngegas, orang emosi. Katanya tadi Nana mau langsung masuk, tahunya malah balik lagi dan mengagetkan Dea yang akhir-akhir ini emosian. Alhasil dia marah. Tapi bukan Nana namanya bila menyesali perbuatannya, justru dia malah nyengir kuda seakan tak punya dosa."Syaiton matamu, De.""Maaf, ya aku
BLUG!Pintu utama dibanting Dea, pintu kamarnya."Ih! Bapak nyebelin!" Kemudian ia melemparkan diri ke atas kasur dengan mata penuh dengan cairan bening asinnya.Cairan hangat itu keluar pertanda ia tengah tersakiti hatinya. Semua karena perkara perjodohan itu. Dan ia sama sekali tak punya andil di dalamnya. Tugasnya sebagai anak terakhir Pak Jhon hanyalah untuk menurut saja. Ia tak ada hak apa pun untuk buka suara, memberi pendapat, apalagi penolakan.Sungguh ironi sekali memang, satu-satunya orang tua yang Dea miliki saat ini rasanya sudah berubah menjadi biro jodoh until jannah, tapi dengan versi memaksa. Dea pikir, sekarang hidupnya sesak sekali. Ia bukan lagi tuan putri yang akan mewarisi Tahta, tapi jadi Rapunzel yang dikurung rajanya sendiri di menara tinggi."Ah, Bapak jahat." Tangisnya masih pecah seribu setelah ia dipertemukan dengan Om Bromo itu, setelah membicarakan soal perjodohan kucing dalam sarung.Ya, Dea menyebutnya sebagai perjodohan kucing dalam karung, sebab
Seperti biasa, pagi ini diadakan briefing oleh Pak Manager. Dea menjadi yang paling semangat sebagai anak baru di sana. Nana sampai memonyongkan bibirnya dengan setengah tersenyum. Bangga sekali dia sebagai teman sekaligus rekan kerja."Sebentar lagi bulan Agustus tiba, akan ada kegiatan olahraga yang pesertanya para karyawan minimarket juga. Semua pegawai minimarket akan menyumbangkan beberapa orang untuk dijadikan perwakilan, termasuk dari kita. Dari cabang kita butuh empat orang yang nantinya akan digabungkan dengan karyawan pusat atau cabang-cabang yang lain. Acara akan diselenggarakan seminggu full, jadi yang ikut jadi peserta, dibebastugaskan sementara dari status kasir atau karyawan lainnya. Siapa di sini yang mau ikut?"Waw, itu kabar yang tidak terduga. Setelah beberapa tahun Nana bekerja di minimarket tersebut, baru kali ini perusahaan yang bergerak dalam bidang ini ikut-ikutan memeriahkan acara tujuh belasan. Biasanya juga tak ada acara seperti itu. Tumben sekali pikir Nana
"Hah?! Kamu dijodohin?! Jadi, mobil yang semalam parkir di depan rumah kamu itu beneran calon suamimu? What?!"Ekspresi terkejut itu muncul sesaat setelah Dea Posa bercerita tentang apa yang terjadi semalam. Tentang perjodohan kucing dalam karung. Pakai suara ekstra berisik pula, Dea terpaksa menyenggol keras pinggangnya hingga ia meringis kesakitan.Mau bagaimana lagi? Kagetnya Nana macam lagi pengumuman soalnya."Aduh, Dea. Kalau nyenggol itu kira-kira dikit napa, ah!" omel Nana, kali ini dengan suara yang amat pelan."Ya, maaf. Habisnya suara kamu itu kayak toa masjid aja, Na.""Ya, udah aku juga minta maaf, soalnya kaget." Nana mendekat, lalu membisik, "Jadi, semalam beneran apa yang aku bilang itu?"Dea tak langsung menjawab. Dia malah menghela napasnya begitu dalam hingga rasanya seperti tengah menyampaikan lelah letih lesu secara bersamaan. Ia tengah bimbang mau menyampaikan cerita dari mana dulu setelah ini.Untungnya ruko bubur Bang Juki ini sedang agak sepi. Soalnya yang sar
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa