Hari berlalu pernikahan Ryan dan Gendhis semakin dekat, entah kenapa Gendhis masih belum yakin dengan pernikahannya.
Berkali-kali ia shalat tahajud dan istikharah semakin ia ragu akan pernikahan ini dilanjutkan.
Hari ini ia menemui Ryan di Cafenya, ia datang bersama Annisa agar mereka tak berbicara berdua saja. Takut timbul fitnah karena mereka belum menjadi suami istri.
“Nis, ini hari minggu, temani aku ya ke Cafe Ryan pliissss, mumpung kamu juga belum kerja,” ucap Gendhis memohon.
“Eh Ukhti kok mau apelan sih, dah dulu dong, Ndis,” ucap Annisa.
“Ya biarin dia ketemu calon suaminya, mungkin Gendhis kangen,” ucap Bu Widya tertawa kecil.
“Bukan kok Ma, ada hal yang mau aku omongin ke dia, tentang pernikahan kita Ma,” ucap Gendhis mengedipkan matanya ke Annisa. Niat hati Gendhis ini mengatakan padaRyan, ia ingin m
Hari ini hari pertama Annisa bekerja lagi sebagai sekretaris di kantor Damar, setelah sekian purnama ia tak lagi bekerja terkadang ada rasa rindu bertemu dengan pekerjaan yang tak habisnya, bertemu teman-teman sekantor.Selama menikah Annisa hanya menghabiskan waktu di rumah, sebenarnya ia tak ingin bekerja lagi, tetapi karena ia mendengar Clarissa sudah mulai gencar mendekati Damar, ada baiknya jaga-jaga.Beberapa hari yang lalu Hera sudah di pindahkan ke bagian pegawai HRD, dan sebagai gantinya Annisa yang akan menjadi sekretaris, Damar suaminya sendiri.Annisa dan Damar turun dari mobil, Pak Karyo masih setia menyupiri Damar. Annisa tersenyum mengingat awal-awal ia bekerja dahulu, pria di sampingnya yang dulu menjadi Bosnya, memperlakukan Annisa seenaknya.“Kok senyum-senyum?” tanya Damar.“Emang kelihatan aku lagi senyum?”“I
“Jadi, bukan karena hadirnya Clarissa?” tanya Damar.Annisa menghentikan langkahnya.“Kalau iya kenapa?” tantang Annisa.Damar bertingkah kikuk.“Ya nggak apa-apa, Oh iya Em, jadi Cellin naksir Lukman ya, Nis?” tanya Damar mengalihkan topik pembicaraan.“Sepertinya, tapi Pak Lukman kaya nggak peka gitu, kasian Cellinnya.”“Oh.”Hari berlalu, bulan berganti, Annisa masih bekerja sebagai sekretaris Damar. Seperti yang Damar katakan ia akan bersikap profesional selama berada di kantor.Annisa sedang sibuk di mejanya, ia sedang membuat surat izin mengadakan proyek ke berbagai pihak, karena perusahaan akan mendapatkan proyek baru yang lumayan besar.Tiba-tiba di ujung koridor seorang wanita berpakaian cantik dan elegan menuju ke arah Annisa.Annisa langsung mengenali wanita itu dari jauh, ia berjalan seolah tanpa melihat kehadiran Annisa di mejanya.“Wanita itu, ngapain lagi dia kemari?” gumam Annisa.Ia langsung hendak menerobos masuk ke ruangan Damar. Tapi ....“Maaf Mbak Clarissa, anda
“Belum ada tanda-tanda juga, Nis?”tanya Bu Widya ketika sedang bersantai di ruang keluarga bersama yang lain.“Maksud Mama tanda-tanda apa?” tanya Annisa melihat ke arah Bu Widya.“Ya tanda-tanda kalau kamu hamil?” “Oh, Nisa pikir tanda apa, belum Ma,” jawab Annisa.“Em, padahal Mama sudah pengen Ssekali menimang cucu,” ujar Bu Widya lagi sinis.“Anak itu titipan Ma, Allah yang memberikannya, sama kayak jodoh, kalau belum waktunnya kata Allah, ya belum juga,” ucap Pak Danu.“Maunya yo kamu periksa tho Nis ke dokter, siapa tau rahim kamu bemasalah,” saran Bu Widya.“Iya Ma, nanti aku akan antarin Annisa ke dokter Obgyn, Mama tenang aja,” ujar Damar. Annisa hanya diam, ia melirik suaminya, semenjak keguguran sikap Bu Widya mulai berubah, ia mulai tak menyukai Annisa, mungkin karena sampai sekarang Annisa belum juga kunjung memberikan cucu padanya.“Jangan lama-lama dong, sepertinya Annisa sudah cukup lama kosong semenjak keguguran itu, apa dia tak berniat punya anak lagi?” tanya Bu Wi
Tok ... tok... tok ...Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Farid.“Ya masuk!” seru Farid dari dalam.Di depan pintu tampak Sandika dan seorang perempuan mengenakan niqab berdiri di depan pintu. “Sandika?” ucap Farid keheranan.“Masuklah, silahkan duduk,” Farid mempersilahkan kedua tamu yang datang untuk duduk.“Maaf Mas Farid, aku tak memberitahumu dahulu tentang kedatangan kami kemari, kemarin kami mampir ke rumah Mas Farid, kebetulan hanya bertemu dengan Bu Wartini saja, jadi, beliau menyuruhku untuk kemari agar bertemu dengan Mas Farid,” terang Sandika sembari menarik kursi dan duduk.“Tidak masalah, aku juga sedang tidak sibuk,” ujar Farid tersenyum.“Oh iya, kedatangan saya kemari sebenarnya ingin memperkenalkan adik saya, namanya Seruni, dia baru pulang beberapa hari yang lalu, kemarin saya mengatakan kalau Seruni putri belum pulang, tapi ternyata Seruni bisa pulang lebih cepat.”“Oya, Dek ini Mas Farid, anaknya Bu Wartini yang kita mampir ke rumahnya kemarin,” ucap Sandi
Farid kembali teringat akan Gendhis, Gendhis juga memiliki sebuah restoran dan terakhir ia menerima kabar Gendhis, Gendhis sudah menikah dengan seorang Chef rekan bisnisnya.Em mengapa suami Sandika juga Chef?“Ah nggak mungkin, Gendhis sudah menikah,” gumam Farid.“Kamu ngomong apa Rid?” tanya Wartini seraya melihat persembahan musik sebagai hiburan di acara pernikahan Sandika ini.“Tidak Mak, Farid nggak ngomong apa-apa, ya sudah ayo kita ke pelaminan, Farid udah siap makan,” ucap Farid mengajak Emaknya yang gini berpenampilan layaknya orang berada, setelah mendapatkan warisan perusahaan dari ayahnya, hidup Farid benar-benar berubah.Mereka berusa segera naik ke atas pelaminan, Wartini menyalami Ibunya Sandika.“Aduh Jeng aku pikir nggak jadi dateng,” ucap Ibu Sandika seraya melirik Farid yang hanya tersenyum simpul.“Semoga nanti hubungan kita menjadi lebih deket ya Jeng, siapa tau jadi besan,” kelakar Bu Sofi sambil tersenyum penuh arti pada Seruni.“Iya, amin Jeng, biar bisa
Mereka berdua memasuki sebuah salon ternama, rencananya ingin memanjakan tubuh dengan spa dan sebagiannya.Dua orang karyawan salon segera menyambut kedatangan mereka berdua.“Selamat datang di salon BEAUTY, ada yang bisa kami bantu Mbak?” tanya salah seorang dari mereka.“Mama aku mau spa aja, tubuhku rasanya udah lama nggak dimanjain, yuk sekalian aja Ma,” ajak Gendhis.“Mama mau krimbat sama facial aja lah, nggak usah spa,” ucap Bu Widya menolak ajakan Gendhis.“Oh ya udah, Gendhis masuk ya, Ma,” pamit Gendhis. “Silahkan Bu,” ujar salah seorang karyawan salon. Gendhis langsung masuk ke ruangan spa, aroma ruangan yang segar tercium, setelah dipijat Gendhis memilih untuk luluran agar tubuh terasa lebih segar.Sementara Bu Widya sedang menikmati krimbat dan facial wajah.Setelah selesai Bu Widya duduk santai membaca majalah seraya menunggu Gendhis yang sedang menikmati spa-nya.“Terimakasih atas kunjungannya,” ucap salah seorang karyawan, membungkuk pada seorang Ibu-ibu yang sudah
“Oh iya Mas Farid, kamu belum pernah melihat wajah seruni tanpa niqab bukan?” tanya Sandika sambil melirik Seruni. Farid menggeleng. “Oh iya Farid bagaimana perusahaanmu, lancar?” tanya Pak Hartono ayah Sandika. “Alhamdulillah lancar Om, itu juga berkat bantuan Sandika beberapa tahun lalu, hingga akhirnya aku bisa memimpin perusahaan dengan baik,” ujar Farid mengulas senyum. “Om ikut senang melihat kamu akhirnya bisa sukses, inilah buah ketekunanmu selama ini,” ujar Pak Hartono lagi. “Terimakasih Om.” “Oh iya Farid, mungkin kamu sudah tau dari Bu Wartini, kalau maksud saya mengundang kamu dan Emakmu ingin mempererat silaturahmi kita yang selama ini terjaga dengan baik.” “Saya berencana menjodohkan kamu dengan anak kedua saya Seruni Putri,” lanjut Pak Hartono. Farid terdiam ia menunduk mendengarkan Pak Hartono. “Untuk itu saya harap kamu bisa menerima perjodohan ini, bagaimana menurutmu Farid?” Farid belum menjawab pertanyaan dari Pak Hartono, entah kenapa baginya terlalu sulit
“Sudahlah Mas, mungkin ucapan Mama benar, aku belum bisa memberi kamu anak,” ucap Annisa tiba-tiba.“Apa? Maksud kamu, kamu setuju dengan saran Mama?!” Suara damar meninggi.“Damar, Annisa, sudahlah jangan dibahas lagi, Damar tidak boleh poligami, sudah jangan hiraukan Mamamu” Pak Danu menengahi.“Ini juga sudah siang, lebih baik kalian segera berangkat bekerja,” saran Pak Danu.“Baik Pa,” sahut Annisa, sedangkan Damar masih dengan raut wajah kesal berpamitan pada Pak Danu.Mereka berangkat bekerja bersama ke kantor, Damar membatu, ia tak bersuara dari tadi, Annisa menoleh pada Damar yang duduk di sampingnya, Annisa menyentuh lengan Damar pelan.“Mas, maafkan aku,” ucap Annisa.“Tak ada yang perlu dimaafkan,” ucap Damar dingin. “Aku tidak bermaksud untuk ...”“Sudahlah Annisa, aku tak mau membahas itu lagi!" sentak Damar. Pak Karyo yang sedang menyetir kaget mendengar Damar menaikkan suaranya pada Annisa. Terlihat Pak Karyo melihat mereka berdua melalui kaca spion.Sampai ke kantor
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis