“Oh iya Mas Farid, kamu belum pernah melihat wajah seruni tanpa niqab bukan?” tanya Sandika sambil melirik Seruni. Farid menggeleng. “Oh iya Farid bagaimana perusahaanmu, lancar?” tanya Pak Hartono ayah Sandika. “Alhamdulillah lancar Om, itu juga berkat bantuan Sandika beberapa tahun lalu, hingga akhirnya aku bisa memimpin perusahaan dengan baik,” ujar Farid mengulas senyum. “Om ikut senang melihat kamu akhirnya bisa sukses, inilah buah ketekunanmu selama ini,” ujar Pak Hartono lagi. “Terimakasih Om.” “Oh iya Farid, mungkin kamu sudah tau dari Bu Wartini, kalau maksud saya mengundang kamu dan Emakmu ingin mempererat silaturahmi kita yang selama ini terjaga dengan baik.” “Saya berencana menjodohkan kamu dengan anak kedua saya Seruni Putri,” lanjut Pak Hartono. Farid terdiam ia menunduk mendengarkan Pak Hartono. “Untuk itu saya harap kamu bisa menerima perjodohan ini, bagaimana menurutmu Farid?” Farid belum menjawab pertanyaan dari Pak Hartono, entah kenapa baginya terlalu sulit
“Sudahlah Mas, mungkin ucapan Mama benar, aku belum bisa memberi kamu anak,” ucap Annisa tiba-tiba.“Apa? Maksud kamu, kamu setuju dengan saran Mama?!” Suara damar meninggi.“Damar, Annisa, sudahlah jangan dibahas lagi, Damar tidak boleh poligami, sudah jangan hiraukan Mamamu” Pak Danu menengahi.“Ini juga sudah siang, lebih baik kalian segera berangkat bekerja,” saran Pak Danu.“Baik Pa,” sahut Annisa, sedangkan Damar masih dengan raut wajah kesal berpamitan pada Pak Danu.Mereka berangkat bekerja bersama ke kantor, Damar membatu, ia tak bersuara dari tadi, Annisa menoleh pada Damar yang duduk di sampingnya, Annisa menyentuh lengan Damar pelan.“Mas, maafkan aku,” ucap Annisa.“Tak ada yang perlu dimaafkan,” ucap Damar dingin. “Aku tidak bermaksud untuk ...”“Sudahlah Annisa, aku tak mau membahas itu lagi!" sentak Damar. Pak Karyo yang sedang menyetir kaget mendengar Damar menaikkan suaranya pada Annisa. Terlihat Pak Karyo melihat mereka berdua melalui kaca spion.Sampai ke kantor
Bu Widya sedang duduk bersama Gendhis di taman belakang, sebenarnya setelah bertemu dengan Bu Wartini, Bu Widya ingin mengatakannya pada Gendhis bahwa ia bertemu dengan Farid, sejak pertemuan itu pandangan Bu Widya pada Farid mulai berubah. Jika saja Farid belum menikah tentu saja ia setuju Gendhis membina rumah tangga kembali atau melanjutkan proses ta’aruf beberapa tahun yang lalu.“Kelihatannya dia sudah jadi pengusaha kaya,” gumam Bu Widya tanpa sengaja. Gendhis yang mendengarkan hal itu menautkan kedua alisnya, menatap Bu Widya yang senyum-senyum sendiri dari tadi. “Dooooor!!!” iseng Gendhis mengagetkan Bu Widya yang sedang melamun. “Eh Farid udah kaya!” spontan kata-kata itu meluncur dari mulut Bu Widya, refleks Bu Widya menutup mulutnya. “Ma?” “Apa?” sahut Bu Widya pura-pura tak tau. “Mama ngomong apa barusan?” selidik Gendhis. “Ngomong apa? Mama ndak ngomong apa-apa kok, tadi kan Mama kaget aja gara-gara kamu,” sahut Bu Widya bedalih. “Habisnya sih Mama pakek melamun s
Gendhis memicingkan matanya, bukan untuk melihat nominal uang yang diberikannya, tetapi ia seperti mengenal pria itu.“Bang Farid?” gumamnya dengan bibir bergetar. “Benar dia Bang Farid,” ucap Gendhis seraya melongok ke luar jendela. Traffic light berubah warna menjadi hijau, mobil Farid bergerak, Gendhis segera melajukan mobilnya di tengah ramainya kendaraan.Ia terus mengawasi mobil Farid yang berada di depannya, mobil Farid melaju dengan lincah, menyalip mobil yang ada di depan, sehingga mobil Gendhis tertinggal jauh. “Ah lampu merah lagi,” gerutu Gendhis. Mobil Farid tak terlihat oleh pandangan Gendhis ditelan oleh keramain kendaraan yang berdesakan. ‘Lebih baik aku ke rumah Bag Farid yang dulu, benar, aku ke sana saja,' pikirnya. Gendhis memacu kembali mobilnya, siapa tau Farid masih tinggal di rumahnya yang dulu, entah apa yang dipikirkan Gendhis sampai ia harus mencari keberadaan Farid. Ia hanya kata menuruti hatinya, entah kenapa ia hanya ingin bertemu dengan Farid.Ketika
“Ya udah aku aja Tan, yang jadi istri kedua Damar, pasti aku akan memberikan cucu yang banyak untuk Tante,” ujar Clarissa yang sukses membuat darah Annisa mendidih. Bu Widya dan Clarissa tertawa bersama.“Cukup ! cukup! Hentikan” Teriak Annisa keras.Semua kaget mendengar teriakan Annisa yang tiba-tiba, Clarissa dan Bu Widya memandang Annisa tanpa berkedip.“Clarissa! Bisa-bisanya kau berbicara seperti itu, ketika aku istri Mas Damar, ada di sini!” “Ck, Ck, Annisa, Annisa, aku hanya bercanda, begitu saja kamu masukkan ke hati, tenang ... aku nggak akan ngerebut Damar darimu, asalkan...”“Kau cepat-cepat memberikan pewaris untuk keluarga ini, iya kan Tan?” sambungnya lagi. Bu Widya mengangguk membenarkan ucapan Clarissa.“Mama tega padaku, tega-teganya Mama memikirkan mencari istri untuk Mas Damar padahal aku masih bisa memberikan keturunan untuk Mas Damar, hanya belum waktunya saja, Ma.” Clarissa tergelak, “Annisa, Annisa, bisa-bisanya kamu percaya pada omonganku, aku hanya bercanda
Setelah selesai makan, Pak Hartono langsung membicarakan tentang pertunangan antara Seruni dan Farid, menurut Pak Hartono pertunangan mereka digelar di sebuah gedung dengan mengundang banyak orang tapi Farid tak ingin pertunangannya terlalu meriah ia hanya ingin pertunangannya di selenggarakan dengan sederhana dan dihadiri oleh keluarga saja.“Nak Farid kami ini banyak relasi, jika tak mengundang mereka aku merasa tak enak,” ucap Pak Hartono.“Tapi Om bisa mengundangnya ketika acara resepsinya nanti, ini kan baruntunanagan tapi saya rasa tak perlu semeriah itu, lagipula dalam Islam tidak ada pertunangan yang ada hanya mengkhitbah atau melamar,” ucap Farid.“Iya Om mengerti, Om hanya ingin membahagiakan Seruni saja, tak ada salahnya bukan kalau orang tua ingin membahagiakan anaknya,” ujar Pak Hartono yang kekeh dengan pendapatnya.Bagi Farid keluarga Pak Hartono terlalu modern, jika Seruni benar-benar paham agama seharusnya ia tak mau sering-sering datang ke kantor Farid hanya mengotor
“Maksud kamu apa sampe nyari-nyari Farid kemana-mana, kamu masih berharap pada Farid ya, Ndis?” selidik Annisa, Gendhis nampak menunduk dan tak menjawab. “Aku Cuma mau mencari tau apakah Bang Farid sudah menikah atau belum, itu aja, Nis,” ujar Gendhis menyangkal.“Kenapa nggak langsung telepon Ukhti Aisya?” “Nomornya sudah nggak aktif lagi, mungkin dia sudah ganti nomor,” jawab Gendhis. Annisa terdiam ia melihat manik mata Gendhis di situ masih terlihat kalau Gendhis masih menaruh harapan pada Farid, begitu besarkah rasa cintanya pada Farid?“Nis, bantu aku cari tau tentang Bang Farid, apa dia sudah menikah atau belum, pliiiss.” Gendhis menyatukan tangannya dan memohon pada Annisa. “Jika Farid belum menikah kamu mau apa?” tanya Annisa. “Em, tidak apa-apa, aku hanya mau mencari tau saja,” ujar Gendhis memilin ujung hijabnya. “Em, ketahuan kamu memang masih mengharapkan Farid, kasihan adikku, ya sudah nanti aku cari nomor baru Ukhti Aisya, siapa tau ada, aku nggak nyangka sudah sek
Malam kian beranjak, Bu Widya dan Clarissa masuk ke dalam villa terlebih dahulu, alasannya Bu Widya ingin menunjukan Clarissa kamar. Kemudian diikuti oleh Gendhis, Pak Danu dan Damar, Annisa masih membereskan sedikit makanan yang tersisa di taman.“Mar ini minum susu dulu, biar tidurmu nyenyak.” Bu Widya memberikan segelas susu pada Damar ketika ia hendak masuk ke kamar, dan ia menerimanya tanpa curiga sedikitpun. Ia meneguk habis susu hangat tersebut dan langsung masuk ke kamar setelah mengucapkan terimakasih. Sementar itu Annisa baru selesai membereskan makanan yang masih tersisa, ia hendak masuk ke kamar juga menyusul Damar tapi dicegah oleh Bu Widya. “Nis Mama mau minta tolong, boleh?” “Boleh Ma, apa yang bisa aku bantu Ma?” tanya Annisa. “Tolong kerokin punggung Mama, kayaknya Mama masuk angin nih.” Bu Widya mengeluarkan sendawa seperti orang yang sedang masuk angin. “Baik Ma, di sini saja?” tanya Annisa. “Di kamar aja.” “Emm tapi di kamar ada Papa, nanti menganggu Papa yan
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis