Kupacu motor maticku dengan kecepatan tinggi, menuju salah satu perusahaan ternama di kotaku, jalanan macet membuatku kesulitan mengendarai motorku.
Hari ini aku di panggil interview kerja di salah satu perusahaan kontruksi yang cukup bonafit. Aku tak ingin keterlambatanku membuatku gagal dalam interview nanti.
Di jaman sekarang cukup sulit mendapatkan pekerjaan, entah berapa banyak lamaran yang sudah kukirimkan, tapi tak satupun lamaranku diterima.
Setelah beberapa bulan menunggu akhirnya dapat panggilan interview juga. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam gedung bertingkat tersebut, disana bertuliskan nama perusahaan PT. Jaya kontruksi.
Kuedarkan pandang ke seluruh ruangan, banyak karyawan dan karyawati yang kelihatan berjalan tergesa-gesa, mungkin mereka takut terlambat, pikirku.
Aku langsung menuju meja resepsionis, untuk menanyakan ruangan mana yang menerima Interview untuk jabatan sekretaris.
Sang resepsionis yang berpenampilan menarik dan make up yang cantik, memperhatikanku dari atas sampai ke ujung kaki. Aku merasa risih juga diperhatikan seperti itu.
“Mbak yakin? Bukannya interview OB mbak?” tanyanya merendahkan.
Karena penampilanku begini dia tak yakin kalau aku mendapatkan kesempatan untuk interview jabatan sekretaris.
“Iya saya yakin Mbak!” jawabku mantap.
“Mbak langsung ke lantai 4 aja, Mbak.”
“Terimakasih, Mbak!”
Gegas aku berlari ke arah pintu lift yang nyaris tertutup, untung ada seseorang yang menahan pintu lift agar tidak tertutup, seorang laki-laki berpakaian rapi bak eksekutif muda.
Setelah di dalam lift kuucapkan terimakasih kepadanya sembari menundukkan pandanganku. Hanya ada lima orang di dalam lift termasuk pria rapi bak eksekutif muda tadi.
Alhamdulillah, ternyata interviewnya belum dimulai, aku bergabung dengan yang lain di luar ruangan, menunggu giliran dipanggil.
Ada empat orang peserta yang lain semuanya berpenampilan menarik bak model, memakai blus putih pas dibadan dipadukan dengan rok pendek di atas lutut, high heels, dan make up yang elegan.
Mereka menatap remeh kepadaku sambil berbisik-bisik, aku tau mereka membicarakanku hingga salah satu dari mereka menegurku.
“Ikut interview juga, Mbak?”
“Iya Mbak,” sahutku singkat.
“gak salah tuh mbak, cocoknya mbak ke pengajian bukan melamar jadi sekretaris.”
Disambut gelak tawa oleh ketiga perempuan yang lain.
“Di persyaratan tidak dituliskan berpenampilan menarik, ya saya coba masukkan lamaran siapa tau diterima,” ucapku santai.
“Dimana-mana sekertaris itu cantik, seksi dan pintar, bukan kayak Mbak, itu baju atau karung,”yang lain Ikut menimpali, mereka tertawa terpingkal-pingkal. Aku diam saja tak mau menanggapi.
Memang penampilanku tidak mencerminkan sekertaris pada umumnya, tetapi apa salahnya mencoba, toh tak ada larangan juga.
Penampilanku sangatlah sederhana hanya memakai kemeja putih sampai ke lutut, rok lebar hitam dan jilbab lebar berwarna hitam bermotif abstrak yang menjuntai panjang, di padukan sepatu kets berwarna putih.
Tanpa make up apa pun, hanya pelembab bibir agar bibirku tak kering saat cuaca sedang panas.
Tak berselang lama salah seorang wanita di panggil ke dalam, aku menunggu harap-harap cemas sambil berzikir dalam hatiku.
Setelah mereka berempat selesai di interview semua tersenyum mengejekku.
“Good luck ya, Mbak ...”
“Semoga berhasil ...!” Diikuti cekikikan ke empatnya.
Kini tiba giliranku, aku masuk ke ruangan interview, mereka mempersilahkan aku duduk di kursi yang sudah disediakan. Kulihat sekeliling ruangan, ada kamera yang terpasang mengarah kepadaku.
Ada tiga orang laki-laki, mereka berumur sekitar 40 tahunan, dan satu orang perempuan yang berpenampilan menarik berusia sekitar 30 tahun, mereka yang akan memberikan tes dan pertanyaan kepadaku.
Mereka mulai membaca CVku, sambil sekali-sekali menatapku. Aku duduk dengan tenang.
“Silahkan perkenalkan diri anda,” ucap salah seorang dari mereka.
“Selamat pagi, nama saya Annisa Nur Cahya, saya ber umur 25 tahun lulusan S2 magister manajemen di Universitas Negri Dewantara, Saya pernah menjadi Asisten Dosen selama dua tahun sambil kuliah, dan saya pernah bekerja sebagai operator di kampus swasta selama kurang lebih dua tahun."
Awalnya mereka memberikan pertanyaan dasar, mengapa memilih perusahaan ini, apa tujuan ikut interview ini, apa yang kau berikan untuk memajukan perusahaan ini dan banyak lagi.
Semua kujawab dengan lancar dan lugas tanpa gugup sedikitpun.
Mereka juga bertanya tentang profil, visi dan misi perusahaan semua ku jawab dengan lancar karena aku sudah mempelajarinya terlebih dahulu.
Kemudian salah satu dari mereka menyuruhku untuk mengoperasikan komputer, mulai dari microsoft word, Exel, dan power point.
Alhamdulillah aku menguasai semuanya, yang aku herankan mengapa mereka tak menanyakan penampilanku. Jika mereka bertanya maka aku akan menjawab, ini adalah pakaian wanita yang diperintahkan oleh Tuhanku, semoga saja mereka tak mempermasalahkannya.
Yah ... beginilah penampilan sehari-hari, apa adanya dengan jilbab lebar yang menjuntai, sepatu kets lusuh yang setiap hariku kenakan, juga tas ransel yang isinya mukenah, Mushaf kecil, buku agenda, pulpen dan air mineral yang tak lupa kubawa kemana pun, juga ponsel keluaran lama yang masih kugunakan sampai sekarang.
“Baiklah Bu Annisa, interview anda selesai kami akan memilih salah satu yang akan menjadi sekretaris di perusahaan, nanti jika anda anda terpilih, kami akan menghubungi anda, terimakasih,” ucap wanita yang berpenampilan elegan tersebut.
“Terimakasih, saya permisi.”
Aku keluar ruangan interview dengan perasaan lega dan berharap aku diterima kerja dengan gaji sangat menjanjikan.
Semoga!
Kupacu kembali motor matic kesayanganku di jalan yang padat untuk kembali pulang ke rumah.
***
"Assalamu'alaikum,” aku mengucap salam ketika sudah sampai di depan pintu rumah.“Wa'alaikumsalam,” terdengar suara ibu menjawab salam.Rumah tua ini adalah rumah sederhana peninggalan ayah yang terletak di pinggiran kota ini.Ibu membukakan pintu, kucium tangan ibu takzim.“Udah pulang toh, Nduk?”“Iya Bu, interviewnya sudah selesai, Nisa langsung pulang Bu.”“Bagaimana interviewmu, apa kamu bisa menjawab semua, Nduk?”“Alhamdulillah, bisa Bu berkat do'a dan restu Ibu, semoga bisa diterima kerja gajinya lumayan, bisa buat berobat Ibu dan untuk biaya hidup kita.” Kata ku berbinar.“Amin,” sambut Ibu cepat.“Maafin Ibu yo, Nduk, Ibu gak bisa bekerja lagi terpaksa kamu bekerja kesana kemari.”“Ibu kok ngomong gitu, Ibu sudah lelah berjuang selama 20 tahunan, kini saatnya aku yang berbakti kepada ibu,” ucapku sambil memeluk Ibu.“Yo wis ... ndang kamu makan dulu Nis, udah siang Ibu masak makanan kesukaanmu orek-orek tempe.” Ibu melepaskan pelukanku.“Asiiikk ... yuk Bu kita makan bareng,
Suara adzan shubuh berkumandang aku segera bangun untuk menunaikan panggilan Rabb-ku.Kulihat disamping ibu sudah bangun dari tadi. Ahhh ibu tak pernah kesiangan bangun pagi, ibu benar-benar wanita tangguh yang hebat, jika ia sehat selalu bangun cepat untuk menyediakan sarapan ala kadarnya.Jika dulu masih berjualan ibu akan bangun jam 03:00 WIB, jika orang lain masih tidur ibu sudah sibuk di dapur, membuat adonan kue untuk dijajakan dari rumah ke rumah.“Lho, Nduk Ibu pikir belum bangun, baru aja Ibu mau membangunkanmu.”“Sudah Bu, Nisa udah bangun pas dengar suara adzan tadi.”“Yo wes ibu shalat duluan yo.” Kujawab pertanyaan ibu dengan anggukan.Sebelum shalat shubuh, aku shalat sunat qabliyah shubuh dulu kemudian shalat shubuh dilanjutkan membaca alma’surat ( zikir pagi sore) yang setiap hariku amalkan.Setelah itu kuhadiahkan surah yasin untuk ayah, semoga bisa menjadi penolong, penerang dan penyejuk di alam barzah sana.Beberapa hari yang lalu aku masih bekerja di salah satu kam
Memang CEOnya seperti apa sih? Sepertinya mereka terlalu mempermasalahkan tentang siapa sekretarisnya. Ah sudahlah, yang penting tanda tangan kontrak dulu.Aku segera bergegas menuju lantai dua ruang HRD, dengan menggunakan lift.Hari ini penampilanku lumayan rapi, rok hitam, baju blouse panjang berwarna soft purple dan jilbab lebar bermotif berwarna senada, tak lupa sepatu kets putih kesayangan walaupun sudah lusuh tapi nyaman dipakai.Aku langsung bertemu dengan Manager HRD yang mewakili perusahaan untuk menandatangani kontrak kerja, usianya sekitar 35 tahunan.“Halo nama saya Lukman, saya yang mewakili perusahaan untuk penanda tanganan kontrak kerja Anda,” ucapnya sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman.“Saya Annisa Pak.” Kutangkupkan tangan di dada, tanpa menyambut uluran tangan Pak Lukman. Ia tampak kikuk dan terpaku beberapa saat.“Boleh saya duduk Pak?” aku mencoba mencairkan suasana agar Pak Lukman merasa santai karena telah menolaknya bersalaman.“Oh ya ya Silahkan Mbak
Malam ini hujan turun dengan lebat, cuaca panas berganti sejuk setelah beberapa hari dilanda panas yang amat sangat.“Allahumma shayyiban nafi’an, ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat.”Aku duduk di beranda sekedar menikmati hujan dan cuaca yang sejuk, sambil minum segelas teh manis yang dibuatkan ibu.“Gimana, Nduk hari pertama bekerja?”Ibu menghampiriku.“Aneh Bu.”“Lha kok bisa?”“Hari pertama cuma duduk manis di meja kerja, aku juga belum kenal yang mana bosku,”ucapku.Ibu tertawa kecil.“Mungkin aja dia lagi gak ada di tempat Nis jangan su'udzon gak baik.”“Astaghfirullah, bener Bu kok Nisa jadi su'udzon ya, baru juga satu hari.”Ibu mengangguk mengiyakan perkataanku.“Ya uwes ndak usah dipikirkan, ayo masuk ke dalam, takutnya ada petir.”Esoknya seperti biasa aku berangkat pagi sekali, langsung menuju ruangan sekretaris. Tiba-tiba dari belakang ada seorang yang memanggil, ternyata Andina yang setengah berlari sambil memanggil namaku.“Pagi Nis, cepat amat datangnya.”“Pagi
Alhamdulillah akhirnya aku sampai di rumah, setelah seharian bekerja lelah juga, ketika hendak turun dari motor Bu Romlah datang dan menghampiri.“Annisa sore amat pulangnya? Dari mana aja sih?”Sepertinya Bu Romlah sengaja menungguku pulang, ia penasaran sekali dengan hidupku, dulu ketika aku mulai kuliah saja dia mengejekku dan ibu.“Orang miskin gak usah banyak gaya lu, Nis, pake mau kuliah segala, udah cukup makan aja syukur.”Yah begitulah Bu Romlah, tapi aku tetap menghormatinya, karena dia lebih tua dariku anggap saja ucapanya sebagai motivasi supaya bisa hidup lebih baik lagi.“Pulang kerja Bu Romlah, O ya, ada apa Bu kok sampe nyamperin Nisa ke rumah?”“Kagak Nis, emang lu kerja dimana sih?" tanya Bu Romlah penasaran.“Saya kerja di kantor Bu Romlah.”“Em beneran lu kerja di kantor? Emang jabatan lu apa?”tanyanya lagi.“Iya Bu, masa Nisa boong.”“Jabatan nya apa? trus gajinya berapa?” Bu Romlah terus bertanya tentang jabatanku.“Cuma sekretaris biasa, Bu, udah ya Bu Romlah Ni
Hari ini aku datang lebih pagi, karena akan mempersiapkan berkas-berkas meeting Pak Bos dengan kliennya. Untung saja laporan kepada Pemda, Kepolisian, dan Lurah tetang keberadaan proyek yang dikerjakan Angga selesai kemarin sore, itupun ketika kantor sudah mulai sepi. Pak Damar menunggu laporan di ruangan sampai aku selesai mengerjakannya, kenapa dia tidak menyuruhku mengerjakan besok saja atau dikerjakan di rumah. Benar-benar Bos yang satu ini membuat kesabaranku di uji. Ketika akan masuk ke kantor, aku berpapasan dengan Andina dan Cellin, mereka adalah staff bagian akuntansi yang mengelola keuangan dan menyusun buku kas, laporan keuangan berkala, bertanggung jawab terhadap kas proyek dan lain-lain. “Nisa, kamu pulang jam berapa kemarin?” Cellin bertanya. “Hampir magrib terpaksa aku shalat magrib di mushola dulu kemarin, Pak Damar bilang laporannya harus siap sore itu juga, terpaksa deh aku pulang telat.”
Aku melihat ke arah Lisa dan tanpa sengaja Lisa juga menatapku, dia menunjuk ke arahku dan Pak Damar secara bergantian dengan tatapan heran dan tak percaya, tentunya setelah Pak Damar berbalik arah ke pintu keluar. “Sekretaris???” Lisa bertanya setengah berbisik ke arahku seperti tak percaya. Ku tinggalkan Lisa yang terpaku dengan wajah melongonya itu, segera kususul Pak Damar dengan cepat. Mobil Camry mewah beserta supir pribadi sudah menunggu di depan kantor, Pak Damar langsung masuk dan duduk di belakang. Aku segera membuka pintu depan mobil dan berencana untuk duduk di dekat supir saja.
Matahari pagi bersinar dengan garangnya, padahal baru pukul 7 pagi sudah membuatku gerah, rasanya aku ingin segera cepat-cepat mengguyurkan tubuhku dengan air. Bumi ini semakin panas saja, akibat pemanasan global yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Efek rumah kaca, karbondioksida dari asap kendaraan dan pabrik, pembakaran hutan, pemakaian pendingin ruangan menyebabkan lapisan ozon semakin menipis sehingga bumi kita menjadi semakin panas, semua itu karena ulah manusia yang tidak mau menjaga alam ini bahkan merusaknya. Aku segera mandi, hari minggu ini aku bisa bersantai di rumah bersama ibu dan merawat bunga-bungaku yang sudah tak terawat lagi karena terlalu sibuk bekerja. “Nduk ... tolong ke warung Teh Diah, belikan keperluan dapur sudah pada habis,” titah ibu. “Baik Bu, Nisa pakai jilbab dulu.” Ku kenakan jilbab instan lebarku, tubuhku terasa segar setela
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis