Malam ini hujan turun dengan lebat, cuaca panas berganti sejuk setelah beberapa hari dilanda panas yang amat sangat.
“Allahumma shayyiban nafi’an, ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat.”
Aku duduk di beranda sekedar menikmati hujan dan cuaca yang sejuk, sambil minum segelas teh manis yang dibuatkan ibu.
“Gimana, Nduk hari pertama bekerja?”Ibu menghampiriku.
“Aneh Bu.”
“Lha kok bisa?”
“Hari pertama cuma duduk manis di meja kerja, aku juga belum kenal yang mana bosku,”ucapku.
Ibu tertawa kecil.“Mungkin aja dia lagi gak ada di tempat Nis jangan su'udzon gak baik.”
“Astaghfirullah, bener Bu kok Nisa jadi su'udzon ya, baru juga satu hari.”
Ibu mengangguk mengiyakan perkataanku.
“Ya uwes ndak usah dipikirkan, ayo masuk ke dalam, takutnya ada petir.”
Esoknya seperti biasa aku berangkat pagi sekali, langsung menuju ruangan sekretaris. Tiba-tiba dari belakang ada seorang yang memanggil, ternyata Andina yang setengah berlari sambil memanggil namaku.
“Pagi Nis, cepat amat datangnya.”
“Pagi juga, Ndin, kamu juga cepet datangnya.” Kami tertawa bersamaan.
Andina anak yang ramah, oleh karena itu kami sudah akrab walaupun belum lama saling kenal, kami juga sudah bertukar nomor telepon kemarin.
“Eh gimana udah ketemu Pak Damar belum?”
“CEO kita? Belum tuh seharian kemarin cuman duduk manis, emang kenapa sih, Ndin?”tanyaku penasaran.
Aku sempat membaca sekilas nama pak Damar di kontrak kerja kemarin, tapi lupa nama belakangnya apa.
“Gak ada apa-apa gue cuma nanyak aja, nanti kita makan siang bareng ya, Nis, ya udah gue duluan yah,” ucap Andina sambil berlalu. Ingat Nis jangan su'udzon.
Jam sudah menunjukkan jam makan siang, dari tadi aku hanya duduk di meja kerja sambil mempelajari administrasi kantor dan laporan perusahaan yang sudah ada.
"Ting" ada pesan masuk dari Andina [gue tunggu dikantin ya Nis] segera kututup aplikasi hijau tersebut tanpa membalasnya, saat hendak bangun tiba-tiba telpon berdering, segeraku angkat dan...
[Segera ke ruangan saya!], suara bariton terdengar dari ujung telpon. Sempat kebingungan sesaat, aku segera tersadar ya Allah sepertinya itu Pak Damar, hampir saja aku bertanya, ini dengan siapa?
["I-i-iya pak,"] jawabku terbata.
Aku segera bangun dari tempat duduk dan menuju pintu, kupegang handle pintu, oh tidak aku harus mengetuknya dahulu.
Tok...tok .. tok ..
“Masuk”terdengar suara bariton itu dari dalam.
Kudorong handle pintu pelan-pelan, kira-kira ngucapin salam atau selamat siang ya?Pintu terbuka, kuedarkan pandang ke seluruh ruangan, ruangannya sangat luas dan juga rapi, ada perpustakaan mini di sebelah kiri ruangan.
Di dekat pintu masuk ada sofa mewah untuk menerima tamu dan sebuah televisi besar yang letaknya menghadap ke arah sofa.
Sedangkan meja CEO letaknya membelakangi jendela kaca, ada seseorang yang duduk di sana sibuk bekerja menghadap laptop, tanpa memperdulikan kehadiranku.
Aku tak bisa melihat dengan jelas, karena pantulan cahaya dari luar dan aku berdiri agak jauh dari meja ku lirik papan nama yang berada di atas meja 'Damar Hardana Wijaya'.
“Selamat siang Pak, ada yang bisa saya bantu?” sapaku.
Pak Damar bergeming bahkan dia tak sedikitpun menoleh ke arahku.
Beberapa saat aku menunggu hingga ia selesai dengan pekerjaannya, mana perut sudah keroncongan minta diisi.
“Tolong kamu rekap data absensi semua karyawan dan data karyawan yang lembur, datanya sudah saya kirim ke email kamu.”
“Sekarang Pak?”
Ia menoleh kepadaku. Deg! Ya Allah dia kan eksekutif muda yang membantu menahan lift saat aku interview beberapa hari yang lalu. Refleks kutundukkan pandanganku. Aku berfikir CEO perusahaan ini pria paruh baya yang ramah, ternyata ...
“Ya, saya butuh secepatnya,” jawabnya datar dan kembali menekuni laptopnya.
What? Inikah CEO itu, tanpa menjawab sapaanku, bahkan dia tak menanyakan namaku, mungkin pikirnya itu tak penting. Lebih baik kukerjakan secepatnya agar aku bisa makan siang. Oh iya, aku lupa membalas pesan Andina, ya sudah, nanti saja.
“Baik pak, saya permisi,”ucapku, tak ada jawaban.
Aku langsung keluar ruangan Pak Damar dan mengerjakan tugas yang dia berikan, kubuka emailku yang sudah kumasukkan ke laptop kantor.
Ya Rabbi banyak sekali data yang harus kurekap, segera kucari soft copy rekapan absensi bulan-bulan yang lalu di laptop, Alhamdulillah ketemu, jadi aku tak usah membuat ulang tabelnya.
Sepertinya sekertaris yang lama tak sempat membuat rekapan absensi bulan kemarin, kemudian segera aku mengerjakannya.
Kulirik jam di laptopku hampir jam 2 siang, Allah ... aku belum shalat zuhur, aku bergegas ke mushola dan menunaikan shalat zuhur, kemudian aku kembali lagi ke lantai empat tanpa sempat makan siang.
Jika aku makan siang takutnya tugasku tak selesai dengan cepat, aku tak mau merusak semuanya, bosku marah di hari pertamaku bekerja.
Kukerjakan lagi tugas dari Pak Damar, dan selesai, hampir dua jam lebih aku mengerjakan data absensi dan data lembur karyawan seluruh kantor ini 'send' aku mengirimnya via email ke pak Damar.
Telepon kembali berdering, langsung ku angkat ["Tolong kamu print saya butuh yang hard copy juga, print dua rangkap untuk arsip."]
[Baik Pak].
Jam makan siang kulewati begitu saja, bahkan sudah hampir memasuki waktu ashar.
Aku segera mengerjakannya, sambil memprinter absensi kubalas pesan Andina. [Maaf, Ndin kita gak bisa makan siang bareng tadi, dapat tugas dari pak Damar banyak banget] centang dua, dia belum membacanya.
Setelah selesai aku masuk lagi ke ruangan Pak Damar menyerahkan rekapan absensi yang sudah kuprinter.
“Ini pak rekapanya, sudah selesai.” Sambil menyerahkan kepada Pak Damar.
“Letakkan di meja." Lagi dan lagi tanpa menoleh sedikitpun.
“Pak Damar, saya shalat ashar dulu, jika Bapak butuh bantuan nanti setelah shalat saya kerjakan.”
“Ya,”jawabnya singkat, pelit amat sama kata-kata.
“Saya permisi pak.”
Perasaan kayak ngomong sama Patung Pancoran tak ada Jawaban. Aku segera turun ke mushala kantor, menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.
Selesai shalat kusempatkan mampir ke kantin membeli kudapan untuk mengganjal perutku, yang sedari tadi belum makan siang.
Jangankan untuk menanyakanku makan siang, menjawab pertanyaanku saja dia enggan. Semoga aku sabar menjalaninya.
***
Alhamdulillah akhirnya aku sampai di rumah, setelah seharian bekerja lelah juga, ketika hendak turun dari motor Bu Romlah datang dan menghampiri.“Annisa sore amat pulangnya? Dari mana aja sih?”Sepertinya Bu Romlah sengaja menungguku pulang, ia penasaran sekali dengan hidupku, dulu ketika aku mulai kuliah saja dia mengejekku dan ibu.“Orang miskin gak usah banyak gaya lu, Nis, pake mau kuliah segala, udah cukup makan aja syukur.”Yah begitulah Bu Romlah, tapi aku tetap menghormatinya, karena dia lebih tua dariku anggap saja ucapanya sebagai motivasi supaya bisa hidup lebih baik lagi.“Pulang kerja Bu Romlah, O ya, ada apa Bu kok sampe nyamperin Nisa ke rumah?”“Kagak Nis, emang lu kerja dimana sih?" tanya Bu Romlah penasaran.“Saya kerja di kantor Bu Romlah.”“Em beneran lu kerja di kantor? Emang jabatan lu apa?”tanyanya lagi.“Iya Bu, masa Nisa boong.”“Jabatan nya apa? trus gajinya berapa?” Bu Romlah terus bertanya tentang jabatanku.“Cuma sekretaris biasa, Bu, udah ya Bu Romlah Ni
Hari ini aku datang lebih pagi, karena akan mempersiapkan berkas-berkas meeting Pak Bos dengan kliennya. Untung saja laporan kepada Pemda, Kepolisian, dan Lurah tetang keberadaan proyek yang dikerjakan Angga selesai kemarin sore, itupun ketika kantor sudah mulai sepi. Pak Damar menunggu laporan di ruangan sampai aku selesai mengerjakannya, kenapa dia tidak menyuruhku mengerjakan besok saja atau dikerjakan di rumah. Benar-benar Bos yang satu ini membuat kesabaranku di uji. Ketika akan masuk ke kantor, aku berpapasan dengan Andina dan Cellin, mereka adalah staff bagian akuntansi yang mengelola keuangan dan menyusun buku kas, laporan keuangan berkala, bertanggung jawab terhadap kas proyek dan lain-lain. “Nisa, kamu pulang jam berapa kemarin?” Cellin bertanya. “Hampir magrib terpaksa aku shalat magrib di mushola dulu kemarin, Pak Damar bilang laporannya harus siap sore itu juga, terpaksa deh aku pulang telat.”
Aku melihat ke arah Lisa dan tanpa sengaja Lisa juga menatapku, dia menunjuk ke arahku dan Pak Damar secara bergantian dengan tatapan heran dan tak percaya, tentunya setelah Pak Damar berbalik arah ke pintu keluar. “Sekretaris???” Lisa bertanya setengah berbisik ke arahku seperti tak percaya. Ku tinggalkan Lisa yang terpaku dengan wajah melongonya itu, segera kususul Pak Damar dengan cepat. Mobil Camry mewah beserta supir pribadi sudah menunggu di depan kantor, Pak Damar langsung masuk dan duduk di belakang. Aku segera membuka pintu depan mobil dan berencana untuk duduk di dekat supir saja.
Matahari pagi bersinar dengan garangnya, padahal baru pukul 7 pagi sudah membuatku gerah, rasanya aku ingin segera cepat-cepat mengguyurkan tubuhku dengan air. Bumi ini semakin panas saja, akibat pemanasan global yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Efek rumah kaca, karbondioksida dari asap kendaraan dan pabrik, pembakaran hutan, pemakaian pendingin ruangan menyebabkan lapisan ozon semakin menipis sehingga bumi kita menjadi semakin panas, semua itu karena ulah manusia yang tidak mau menjaga alam ini bahkan merusaknya. Aku segera mandi, hari minggu ini aku bisa bersantai di rumah bersama ibu dan merawat bunga-bungaku yang sudah tak terawat lagi karena terlalu sibuk bekerja. “Nduk ... tolong ke warung Teh Diah, belikan keperluan dapur sudah pada habis,” titah ibu. “Baik Bu, Nisa pakai jilbab dulu.” Ku kenakan jilbab instan lebarku, tubuhku terasa segar setela
Hari berlalu tak terasa aku sudah terbiasa dengan sikap dinginnya Pak Damar, mengerjakan tugas dengan cepat, tak pernah basa-basi, irit bicara, tegas dan harus tepat waktu.Asal dia menghargai waktu shalatku saja sudah cukup, namanya juga jadi bawahan ya harus ikut semua perkataan bosnya dalam hal pekerjaan.Ketika sedang makan siang di kantin bersama Andina dan Cellin. Pak Lukman menghampiri kami yang sedang makan siang.“Assalamu’alaikum, Nisa,” ucapnya sambil tersenyum.Aku, Cellin dan Andina berpandangan heran.“Wa’alaikumsalam,” sahutku.“Kok ngucapin salamnya ke Nisa doang Pak?” tanya Andina.“Anu ... cuma mau nanyak alamat rumahnya Nisa aja d
Cukup lama juga wanita indo tersebut berada di ruangan Pak Damar, tak lama kemudian ia keluar. “Heh Mbak, lain kali jangan larang-larang saya untuk ketemu Pak Damar lagi, saya ini calon istrinya Pak Damar Hardana Wijaya, calon istri CEO,” wanita berparas Indo tersebut menjelaskan kepada ku. Sejenak aku terpaku mendengar ucapannya. “Baik Bu,” ucapku singkat. Aduh, aduh, belum juga jadi istri udah begitu, bagaimana kalau sudah jadi istrinya nanti. Aku masuk ke ruangan Pak Damar setelah ia menghubungiku melalui sambungan telepon, seperti biasa ia langsung ke inti tugasnya tanpa basa basi.
Hari ini aku segera mengerjakan laporan berkala proyek yang sedang dikerjakan oleh perusahaan.Tiba-tiba Pak Lukman datang menghampiriku, “Nisa CEO yang dulu dari perusahaan ini datang, segera sambut kedatangan beliau.”“Baik Pak.”Tak lama kemudian nampak rombongan mereka, ada General manager (manager umum) Pak Heri yang sudah cukup berpengalaman, Manager fungsional Bu Indah dan manager HRD Pak Lukman, mereka dulu yang mengintervieuw aku waktu itu, sepertinya mereka akan bertemu Pak Damar.Aku segera berdiri, menyambut kedatangan mereka.Tampak seorang pria berkacamata yang sudah cukup berumur tapi masih terlihat kharismatik dan berwibawa mengenakan jas dan sepatu pantofel.Di sampingnya berjalan seorang ibu-ibu paruh baya tapi masih terlihat anggun dan cantik.Beliau memakai kebaya dan sangg
Hari ini, hari libur aku janjian dengan Gendhis ia mengajakku makan, mungkin sebagai balasan karena aku sudah menemukan dan mengembalikan dompetnya, dan katanya lagi dia mau belajar agama, tentu saja aku tak menolaknya.Gendhis menjemputku ke rumah dengan mobil mewahnya, bahkan ia mampir sekedar untuk menyapa Ibu, aku suka pribadi Gendhis yang ramah, rendah hati dan lembut. Aku juga sudah menceritakan kepada Ibu tentang Gendhis.“Nis ... Kenapa Ibu gak sekalian di ajak aja,“ ucapnya menyarankan.“Jangan to, Nduk, Ibu gak biasa pergi ke tempat-tempat seperti itu, nanti bikin malu kalian aja, Ibu dibungkusi aja nanti,” ucap Ibu berkelekar. Gendhis tertawa.“Ya sudah Bu kami pamit dulu, assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumsalam."
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis