Share

Bab. 3

Author: yanticeudah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Suara adzan shubuh berkumandang aku segera bangun untuk menunaikan panggilan Rabb-ku.

Kulihat disamping ibu sudah bangun dari tadi. Ahhh ibu tak pernah kesiangan bangun pagi, ibu benar-benar wanita tangguh yang hebat, jika ia sehat selalu bangun cepat untuk menyediakan sarapan ala kadarnya.

Jika dulu masih berjualan ibu akan bangun jam 03:00 WIB, jika orang lain masih tidur ibu sudah sibuk di dapur, membuat adonan kue untuk dijajakan dari rumah ke rumah.

“Lho, Nduk Ibu pikir belum bangun, baru aja Ibu mau membangunkanmu.”

“Sudah Bu, Nisa udah bangun pas dengar suara adzan tadi.”

“Yo wes ibu shalat duluan yo.” Kujawab pertanyaan ibu dengan anggukan.

Sebelum shalat shubuh, aku shalat sunat qabliyah shubuh dulu kemudian shalat shubuh dilanjutkan membaca alma’surat ( zikir pagi sore) yang setiap hariku amalkan.

Setelah itu kuhadiahkan surah yasin untuk ayah, semoga bisa menjadi penolong, penerang dan penyejuk di alam barzah sana.

Beberapa hari yang lalu aku masih bekerja di salah satu kampus swasta sebagai operator, dengan gaji yang tidak begitu tinggi.

Tapi sekarang sudah resign karena gajinya tidak sesuai dengan pekerjaan yang sangat berat dan tanggung jawab yang sangat besar.

Jadi, sementara menunggu panggilan kerja aku menitipkan beraneka kue basah dan keripik di warung-warung terdekat untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Dan untungnya aku masih punya tabungan untuk beberapa bulan ke depan, motor matic bekas yang selalu menemani sejak kuliah S2 juga kudapatkan dari menabung sedikit demi sedikit.

Dari kecil aku terbiasa membantu ibu membuat kue hingga sekarang sehingga aku mahir membuat berbagai aneka kue.

Pagi ini aku menitipkan dagangan ke warung Teh Diah. Ada bakwan, risole dan kue lapis yang sudah kubuat dari semalam.

Karena warung Teh Diah tak terlalu jauh dari rumah, aku berjalan kaki ke warung Teh Diah sambil menenteng tiga box yang berisi kue.

Gang-gang sempit di tempatku tinggal sudah ramai dilewati warga, warung Teh Diah tidak terlalu ramai, ada beberapa ibu-ibu yang belanja keperluan dapur.

Sesampainya di warung Teh Diah kuserahkan ketiga box yang berisi kue kepadanya.

“Satu kotak nya isi 25 ya, Teh.”

“Dikit-dikit amat bikinnya, Neng, kue nya laris lho, Neng Nisa.”

“Iya, Teh nanti biar Nisa tambah beberapa macam lagi, Nisa coba dulu takutnya enggak laku.”

“Kue-kue kamu mah enak Nisa, gak dikurang-kurangi bahannya, rasanya mah sama kayak ibu kamu yang buat,” puji Teh Diah dengan logat Sunda nya.

“E eh ... Nisa belanja ya?” sapa Bu Romlah basa basi.

“Bukan Bu Romlah, Nisa nitipin kue ke warung Teh Diah.”

“Elu kan lulusan S2 Nis, kalau kerja nya cuma nitipin kue doang, yang lulusan SD juga bisa Nis,”ucap Bu Romlah.

“Iya Bu Romlah, ni Nisa juga lagi cari-cari kerjaan, ya gak ada salahnya juga Nisa nitipin kue.”

“Gengsi dong sama gelar gak sesuai, makanya nikah biar suami yang membiayai kehidupan elu, kayak Tuti noooh ...” Bu Romlah semakin julid saja.

“Kalau soal bekerja gak boleh gengsian atuh Bu Romlah yang penting halal," Ibu-ibu yang lain ikut mengiyakan ucapan Teh Diah.

“Ya sudah Teh, Nisa pamit dulu, mari ibu-ibu."

Aku segera pulang sebelum Bu Romlah semakin menyerangku di depan ibu-ibu yang lain.

Kehidupan yang keras membuatku menjadi tegar dalam menghadapi hal-hal seperti itu.

Kulihat Ibu sedang menungguku untuk sarapan bersama, aku duduk di samping lbu, lbu membuat kan nasi goreng dengan lauk telur ceplok ditemani teh manis.

“Ini sudah satu minggu setelah wawancara, apa belum ada panggilan kerja Nduk dari tempat kamu melamar pekerjaan itu,” Ibu membuka percakapan.

“Astaghfirullahal a’dzim ... Nisa lupa, gak pernah cek email Nisa Bu, lagian selama ini Nisa tak pernah membuka laptop,” ucapku sambil menepuk jidat.

“Untung ibu ingatkan Nis, siapa tau itu rejeki kamu."

“Amin ... nanti setelah sarapan Nisa cek, Bu.”

Setelah sarapan, kusempatkan untuk shalat dhuha sebelum melihat email, tak lupa kuhadiahkan surah Al Fatihah untuk almarhum ayah.

Segera kubuka laptop, berharap ada email masuk dari salah satu perusahaan yang kukirimkan surat lamaran.

Bismillah ... ada kotak masuk yang belum kubaca, langsung kubuka dan ...

“Ya Allah, Alhamdulillah wa syukurillah aku diterima kerja."

“Ibu! Ibu! Ibu!”

“Ada apa to, Nduk bikin kaget ibu aja,” Ibu tergopoh-gopoh menghampiriku.

“Ibu aku diterima kerja Bu, aku diterima kerja,” ucapku girang sambil memeluk Ibu.

“Alhamdulillah, ya Allah engkau mengabulkan do'aku,” Ibu mengucapkan syukur netranya mengembun.

“Alhamdulillah Bu, makasih do’anya, tanpa restu darimu apalah arti hidup ini Bu." Sekali lagi aku memeluk ibu.

“Yo wes segera balas emailnya dulu.”

“iya, iya Bu ... ”

Aku segera kembali ke laptop, ku baca sekali lagi email yang dikirim kan oleh PT. Jaya Konstruksi tersebut, serasa tak percaya aku di panggil bekerja untuk jabatan sekretaris.

Sekretaris pakai jilbab lebar? aneh memang syar’i pula, kenapa mereka tak memilih salah satu dari keempat perempuan yang modis dan menarik itu?

Aaahh berpikir positif saja, mungkin pemimpin perusahaannya punya istri yang cemburuan atau posesif, mungkin juga CEOnya shaleh atau bisa jadi CEOnya sudah tua, entahlah yang penting aku diterima dulu, mungkin ini rezekiku dan ibu.

Segera aku mengkonfirmasi email tersebut, untuk menandatangani kontrak di bagian HRD hari senin nanti.

Hari ini sabtu, minggu, Senin, wah ... lusa, untung saja ibu segera mengingatkan kalau saja tidak mungkin bisa batal mendapatkan pekerjaan, mana dapatnya susah lagi.

Pagi ini aku bangun pagi sekali, bukan untuk membuat kue tapi hari ini aku akan menandatangani kontrak kerja sebagai sekretaris.

Setelah shalat shubuh aku membantu ibu di dapur membuat sarapan.

“Cah Ayu ... Ibu semangat sekali hari ini,” kata Ibu menoleh ke arahku yang baru muncul ke dapur.

“Iya ni Bu, kok Nisa jadi deg-degan ya, perusahaan nya besar lo Bu semoga bosnya baik, kok Nisa jadi takut sendiri.”

“Tenang to Nduk, ini kan baru penandatanganan kontrak belum bekerja, serahkan semua pada Allah, insyaallah anak Ibu bisa.”

“Makasih Ibu kusayang, Ibu bisa aja bikin hatiku tenang.” Kucium pipi ibu seperti balita yang baru diberikan mainan oleh ibunya.

Aku memang sangat dekat dengan ibu, dari kecil hanya ibu yang aku punya, apa pun kuceritakan kepadanya.

Kulirik jam tangan pukul 06:35 WIB semoga saja tidak terkena macet.

Setelah Salim pada Ibu dan mengucap salam, bismillah ... aku berangkat ke kantor, ciee rupanya aku sudah punya kantor.

Kusalip mobil yang berjalan agak lambat, agar tiba di kantor lebih cepat.

Setibanya di kantor langsung menuju resepsionis dahulu, karena aku tidak tau dimana letak ruang Human Resource Departemen (HRD), kulirik bet nama respsionis cantik itu.

“Pagi Mbak Lisa,” sapaku ramah.

“Pagi ada yang bisa kami bantu?”

“Ruang HRD dimana ya, Mbak?”

“Oh mbak OB baru yang kemarin itu ya? Selamat ya diterima kerja disini,” ucapnya memberi selamat.

“Iya Mbak,” dari pada panjang mending di diiyakan saja, toh, OB juga pekerjaan yang halal.

“Tuh kan bener OB, kemarin Mbak bilang interview sekretaris, mana mungkin kayak Mbak jadi sekretaris di perusahaan ini."

“Ehemm, Mbak Lisa jadi ruang HRDnya dimana?”

“Oh iya di lantai dua Mbak, terus Mbak belok ke kanan.”

“Terimakasih Mbak.”

“Kembali,” ucap resepsionis singkat.

***

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Darma Azis
semangat lanjut tour
goodnovel comment avatar
Tri Budi
ayo semangat nisa...
goodnovel comment avatar
Tri Budi
ayo semangat bisa...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab. 4

    Memang CEOnya seperti apa sih? Sepertinya mereka terlalu mempermasalahkan tentang siapa sekretarisnya. Ah sudahlah, yang penting tanda tangan kontrak dulu.Aku segera bergegas menuju lantai dua ruang HRD, dengan menggunakan lift.Hari ini penampilanku lumayan rapi, rok hitam, baju blouse panjang berwarna soft purple dan jilbab lebar bermotif berwarna senada, tak lupa sepatu kets putih kesayangan walaupun sudah lusuh tapi nyaman dipakai.Aku langsung bertemu dengan Manager HRD yang mewakili perusahaan untuk menandatangani kontrak kerja, usianya sekitar 35 tahunan.“Halo nama saya Lukman, saya yang mewakili perusahaan untuk penanda tanganan kontrak kerja Anda,” ucapnya sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman.“Saya Annisa Pak.” Kutangkupkan tangan di dada, tanpa menyambut uluran tangan Pak Lukman. Ia tampak kikuk dan terpaku beberapa saat.“Boleh saya duduk Pak?” aku mencoba mencairkan suasana agar Pak Lukman merasa santai karena telah menolaknya bersalaman.“Oh ya ya Silahkan Mbak

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab. 5

    Malam ini hujan turun dengan lebat, cuaca panas berganti sejuk setelah beberapa hari dilanda panas yang amat sangat.“Allahumma shayyiban nafi’an, ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat.”Aku duduk di beranda sekedar menikmati hujan dan cuaca yang sejuk, sambil minum segelas teh manis yang dibuatkan ibu.“Gimana, Nduk hari pertama bekerja?”Ibu menghampiriku.“Aneh Bu.”“Lha kok bisa?”“Hari pertama cuma duduk manis di meja kerja, aku juga belum kenal yang mana bosku,”ucapku.Ibu tertawa kecil.“Mungkin aja dia lagi gak ada di tempat Nis jangan su'udzon gak baik.”“Astaghfirullah, bener Bu kok Nisa jadi su'udzon ya, baru juga satu hari.”Ibu mengangguk mengiyakan perkataanku.“Ya uwes ndak usah dipikirkan, ayo masuk ke dalam, takutnya ada petir.”Esoknya seperti biasa aku berangkat pagi sekali, langsung menuju ruangan sekretaris. Tiba-tiba dari belakang ada seorang yang memanggil, ternyata Andina yang setengah berlari sambil memanggil namaku.“Pagi Nis, cepat amat datangnya.”“Pagi

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab.6

    Alhamdulillah akhirnya aku sampai di rumah, setelah seharian bekerja lelah juga, ketika hendak turun dari motor Bu Romlah datang dan menghampiri.“Annisa sore amat pulangnya? Dari mana aja sih?”Sepertinya Bu Romlah sengaja menungguku pulang, ia penasaran sekali dengan hidupku, dulu ketika aku mulai kuliah saja dia mengejekku dan ibu.“Orang miskin gak usah banyak gaya lu, Nis, pake mau kuliah segala, udah cukup makan aja syukur.”Yah begitulah Bu Romlah, tapi aku tetap menghormatinya, karena dia lebih tua dariku anggap saja ucapanya sebagai motivasi supaya bisa hidup lebih baik lagi.“Pulang kerja Bu Romlah, O ya, ada apa Bu kok sampe nyamperin Nisa ke rumah?”“Kagak Nis, emang lu kerja dimana sih?" tanya Bu Romlah penasaran.“Saya kerja di kantor Bu Romlah.”“Em beneran lu kerja di kantor? Emang jabatan lu apa?”tanyanya lagi.“Iya Bu, masa Nisa boong.”“Jabatan nya apa? trus gajinya berapa?” Bu Romlah terus bertanya tentang jabatanku.“Cuma sekretaris biasa, Bu, udah ya Bu Romlah Ni

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab. 7

    Hari ini aku datang lebih pagi, karena akan mempersiapkan berkas-berkas meeting Pak Bos dengan kliennya. Untung saja laporan kepada Pemda, Kepolisian, dan Lurah tetang keberadaan proyek yang dikerjakan Angga selesai kemarin sore, itupun ketika kantor sudah mulai sepi. Pak Damar menunggu laporan di ruangan sampai aku selesai mengerjakannya, kenapa dia tidak menyuruhku mengerjakan besok saja atau dikerjakan di rumah. Benar-benar Bos yang satu ini membuat kesabaranku di uji. Ketika akan masuk ke kantor, aku berpapasan dengan Andina dan Cellin, mereka adalah staff bagian akuntansi yang mengelola keuangan dan menyusun buku kas, laporan keuangan berkala, bertanggung jawab terhadap kas proyek dan lain-lain. “Nisa, kamu pulang jam berapa kemarin?” Cellin bertanya. “Hampir magrib terpaksa aku shalat magrib di mushola dulu kemarin, Pak Damar bilang laporannya harus siap sore itu juga, terpaksa deh aku pulang telat.”

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab. 8

    Aku melihat ke arah Lisa dan tanpa sengaja Lisa juga menatapku, dia menunjuk ke arahku dan Pak Damar secara bergantian dengan tatapan heran dan tak percaya, tentunya setelah Pak Damar berbalik arah ke pintu keluar. “Sekretaris???” Lisa bertanya setengah berbisik ke arahku seperti tak percaya. Ku tinggalkan Lisa yang terpaku dengan wajah melongonya itu, segera kususul Pak Damar dengan cepat. Mobil Camry mewah beserta supir pribadi sudah menunggu di depan kantor, Pak Damar langsung masuk dan duduk di belakang. Aku segera membuka pintu depan mobil dan berencana untuk duduk di dekat supir saja.

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab. 9

    Matahari pagi bersinar dengan garangnya, padahal baru pukul 7 pagi sudah membuatku gerah, rasanya aku ingin segera cepat-cepat mengguyurkan tubuhku dengan air. Bumi ini semakin panas saja, akibat pemanasan global yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Efek rumah kaca, karbondioksida dari asap kendaraan dan pabrik, pembakaran hutan, pemakaian pendingin ruangan menyebabkan lapisan ozon semakin menipis sehingga bumi kita menjadi semakin panas, semua itu karena ulah manusia yang tidak mau menjaga alam ini bahkan merusaknya. Aku segera mandi, hari minggu ini aku bisa bersantai di rumah bersama ibu dan merawat bunga-bungaku yang sudah tak terawat lagi karena terlalu sibuk bekerja. “Nduk ... tolong ke warung Teh Diah, belikan keperluan dapur sudah pada habis,” titah ibu. “Baik Bu, Nisa pakai jilbab dulu.” Ku kenakan jilbab instan lebarku, tubuhku terasa segar setela

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab. 10

    Hari berlalu tak terasa aku sudah terbiasa dengan sikap dinginnya Pak Damar, mengerjakan tugas dengan cepat, tak pernah basa-basi, irit bicara, tegas dan harus tepat waktu.Asal dia menghargai waktu shalatku saja sudah cukup, namanya juga jadi bawahan ya harus ikut semua perkataan bosnya dalam hal pekerjaan.Ketika sedang makan siang di kantin bersama Andina dan Cellin. Pak Lukman menghampiri kami yang sedang makan siang.“Assalamu’alaikum, Nisa,” ucapnya sambil tersenyum.Aku, Cellin dan Andina berpandangan heran.“Wa’alaikumsalam,” sahutku.“Kok ngucapin salamnya ke Nisa doang Pak?” tanya Andina.“Anu ... cuma mau nanyak alamat rumahnya Nisa aja d

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab. 11

    Cukup lama juga wanita indo tersebut berada di ruangan Pak Damar, tak lama kemudian ia keluar. “Heh Mbak, lain kali jangan larang-larang saya untuk ketemu Pak Damar lagi, saya ini calon istrinya Pak Damar Hardana Wijaya, calon istri CEO,” wanita berparas Indo tersebut menjelaskan kepada ku. Sejenak aku terpaku mendengar ucapannya. “Baik Bu,” ucapku singkat. Aduh, aduh, belum juga jadi istri udah begitu, bagaimana kalau sudah jadi istrinya nanti. Aku masuk ke ruangan Pak Damar setelah ia menghubungiku melalui sambungan telepon, seperti biasa ia langsung ke inti tugasnya tanpa basa basi.

Latest chapter

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 214

    Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 213

    Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 212

    “Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 211

    Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 210

    Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 209

    "Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 208

    Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 207

    Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem

  • Sekretarisku Jilbaber    Bab 206

    Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis

DMCA.com Protection Status