Sekolah SMA Bina Bangsa Sebuah motor gede berhenti di parkiran sekolah Bina Bangsa itu, Dirga memang menjadi idola kaum hawa karena mereka mengetahui kalau Durga adalah anak sultan, anak sang CEO. Jika soal tampan Dirga tak begitu tampan hanya saja penampilannya membuat ia terlihat gagah dan berkelas, sikap dinginnya itu membuat kaum hawa tergila-gila untuk mendapatkan hatinya. Ia membuka helmnya dan mengibaskan rambutnya agar tidak lepek dan kusut. Semua mata tertuju pada Dirga. Ia begitu mempesona. Ia berjalan menuju kelasnya dengan mengangkat dagunya tak lupa kaca mata hitam ia kenakan agar terlihat lebih menawan.Anak-anak kelas sepuluh berteriak histeris saat sang idola sekolah itu lewat menuju kelasnya."Dirga!!!" "Dirga! aku padamu!""Dirga, aku mau jadi pacarmu!"Begitulah cewek-cewek terus berteriak sambil loncat-loncat tak karuan, bak cacing kepanasan. Namun, sang idola tetap cuek, ia terus berjalan ke kelasnya tanpa mengindahkan panggilan dari mereka, kebetulan sekali Ra
Dari pertemuan itu membuat Zahra dan Raka dekat, Raka juga menceritakan bahwa dia masuk ke sekolah ini karena orang tua Durga yang menyekolahkan dia."Ibu aku bekerja di rumahnya sudah lama, sehingga aku sering main bersama Dirga, keluarga mereka baik hati jadi aku disekolahkan sampai ke jenjang SMA. Kalau Ibu aku mana sanggup menyekolahkan ku di sekolah elit begini," ucap Raka sambil memperhatikan sekeliling sekolah."Kalau boleh aku tahu, yang mana yang namanya Dirga?" tanya Zahra."Dirga yang duduk di sebelahku, yang ganteng," ucap Raka terkekeh. Zahra mengangguk-angguk, sambil mengingat-ingat Dirga yang mana, ia baru saja masuk tadi pagi, dia tidak bisa menghapal semua wajah di kelas itu.Bel berbunyi!Gegas Raka dan Zahra mengembalikan buku ke tempatnya, tapi segera beranjak ke kelas. Dirga yang sudah dari tadi masuk ke kelas, mengernyitkan dahinya, mengapa Raka Zahra masuk bersama? Ia seperti tak suka. Pelajaran hari ini berjalan lancar, Raka tetap yang paling menonjol di kelas
Rania masuk ke dalam, dengan perasaan kesal, ia segera menemui Raka yang ada di dapur. Ia baru selesai mencuci piring dan sedang menanak nasi, Rania tertegun melihat Raka yang begitu sayang padanya, ia tahu Ibunya capek-capek bekerja jadi ia membantu Rania walau hanya sekedar mencuci piring, Kanaya yang anak kandungnya saja tidak begitu, bahkan Kanaya hanya peduli pada dirinya sendiri. Niat hati Rania ingin memarahi Raka, karena telah memberitahu Surendra di mana mereka bekerja. “Eh Bu udah pulang, ngagetin aja tiba-tiba berdiri di situ?” ucap Raka agak kaget. “Iya, baru... aja pulang, kamu udah lama pulangnya?” tanya Rania. “Udah Bu, ni nasinya, udah Raka masakin, aku bingung mau masak lauk apa Bu untuk makan malam,” ucap Raka menggaruk-garuk kepalanya bingung.“Ya sudah biar Ibu saja, dengan mencuci piring dan nasinya sudah dimasak saja sudah sangat membantu Ibu, ya udah sana mandi, biar Ibu yang masak lainya,” ucap Rania tersenyum. “Oke Bos!” ucap Raka mengangkat tangannya se
Sekolah SMA Bina Bangsa Pagi-pagi sekali Raka sudah tiba di sekolah Bina Bangsa, ia begitu bersemangat untuk ke sekolah hari ini.“Eh, anak pembantu udah punya motor lu Ka?” sapa seorang teman sekelasnya, ia sudah terbiasa dipanggil begitu oleh teman sekelasnya. “Alhamdulillah, udah, Cuma motor bekas, tapi masih bagus,” ucap Raka. “Ah, klo gue motor kayak gitu, udah nggak gue pake lagi, apalagi cuma motor bebek begitu, motor cewek,” timpal yang lain. Kemudian mereka tertawa.Tak lama kemudian Dirga datang dengan motornya kemudian menghampiri anak-anak orang kaya yang sedang menertawakan Raka. “Eh, eh, apa-apaan kalian ha? Udah bubar! Bubar!” ucap Dirga. “Ah, Lu Dirga, anak pembantu lu aja, dibela, nggak asik ah...” gerutu salah satu dari mereka. “Kamu nggak apa-apa Ka?” tanya Dirga sambil melihat anak-anak yang telah dibubarkan oleh Dirga. “Nggak apa-apa, aku udah biasa Ga, diperlakukan begini oleh mereka,” ucap Raka tertawa garing. “Ya udah ayo kita masuk!” ajak Dirga. Zahra
Gendhis kembali' teringat akan kata-kata Farra, ia kembali mengingat-ingat wajah Raka, memang selama Gendhis tak pernah memperlihatkan wajah Raka dengan seksama, karena yang ia tahu Dirga adalah anak Annisa yang sesungguhnya. Ah mungkin kah semua yang dikatakan oleh Farra itu? Tapi mengapa? Teka teki yang sulit sekali terpecahkan, mungkinkah Ia harus bertemu dengan Annisa esok hari? Tapi jika ternyata nanti bukan bagaiman? Farid masuk ke kamarnya, ia melihat sang istri belum juga tidur, padahal pamit tidurnya sudah dari tadi."Kok belum tidur sayang?" tanya Farid sambil merebahkan tubuhnya di samping Gendhis."Iya ni Mas, aku nggak bisa tidur setelah mendengar ucapan Farra tadi, aku merasa apa yang dikatakan Farra benar, secara tak langsung wajah Raka mirip dengan Damar, entah di bagian mananya? coba Masa ingat-ingat?" ucap Gendhis.Farid seperti sedang berpikir, ia memang jarang bertemu dengan Raka, bahkan bisa dihitung dengan jari, karena Farid terlalu sibuk di kantor. Terkadang j
Satu jam kemudian Gendhis tiba di rumah Mamanya, ia segera menemui Annisa, tapi Gendhis tak ingin membuat semua orang curiga, dia duduk santai dulu dengan Bu Widya dan Pak Danu, juga Damar yang juga sudah pulang dari kantor."Kok ke sini lagi Ndis?" tanya Bu Widya."Kok gitu sih Ma? Mentang-mentang anaknya sudah tak tinggal di sini lagi, " ucap Gendhis berkelakar. "Bercanda, itu saja dimasukkan ke dalam hati, sensitif sekali," ucap Mama Widya tertawa kecil.Setelah bercanda dan mengobrol sebentar, Kemudian barulah Gendhis mengajak Annisa ke taman belakang agar lebih leluasa berbincang. Gendhis melihat ke kiri dan ke kanan takut ada yang mendengarkan. Tadi ia melihat Rania ibunya Raka yang masih bekerja pada sore harinya.“Nis ada yang mau aku tanyakan padamu,” ucap Gendhis serius. Annisa mendengarkan adik iparnya itu dengan seksama. “Kamu yakin Dirga itu adalah anakmu?” tanya Gendhis. Annisa tertawa. “Gendhis, Gendhis, kok kamu bicara begitu, yakinlah, memangnya kenapa?” tanya Ann
Kemudian Rania pulang ke rumahnya dengan perasaan tak tenang, lagi-lagi Rania memikirkan pertanyaan-pertanyaan Annisa yang membuat dia gelisah. Rania yang sedang memasak pun tertegun, ia mulai resah, dengan rahasia yang selama ini ia simpan. Apa aku harus jujur saja ya? Apa aku harus memberi tahu Bu Annisa? ucap Rania dalam hati. Jika ia jujur nanti bagaimana dengan Dirga? Kemudian Raka muncul, ia berdiri sambil menatap Rania.“Bu, Bu?” Panggil Raka yang keheranan melihat Rania yang melamun sambil memasak dengan kompor yang masih menyala.“Ah, eh, i-iya, ada apa Ka?” tanya Rania terbata. Ia memperbaiki posisinya.“Kok Ibu melamun sambil memasak, lihat tuh, sambelnya hampir gosong,” ucap Raka sambil menunjuk kuali yang berasal kerena dibiarkan oleh Rania.“Astagfirullah!!” Rania baru sadar ternyata cukup lama ia termenung. Gegas ia mematikan kompor dan mengaduk sambalnya agar tidak gosong. “Ya Allah, untunglah ada kamu Raka, kalau enggak Ibu keterusan melamun nya, untung saja sambaln
Annisa meninggalkan Rania, yang sedang menyiram tanaman, ia semakin yakin akan menyelidiki semua ini, banyak kejanggalan yang setelah ia pikir-pikir agak aneh. Tentang Dirga, yang tingkahnya tidak mencerminkan dirinya atau juga Damar, tentang kepintaran yang dimiliki oleh Dirga, bahkan di bawah standar.Wajah Dirga yang tidak mirip sama sekali dengan Damar dan banyak lagi kejanggalan yang kini baru ia sadari.Kemudian Raka yang agak mirip dengan Damar, jika diperhatikan dengan seksama Raka memang mirip dengan Damar, mungkin jika remaja itu dipakaikan jas dan berpakaian rapi mungkin akan terlihat mirip dengan Damar.Kemudian, sikap Rania juga agak aneh ketika Annisa mulai menanyakan tentang Raka.Annisa mulai tak tenang dan gelisah, jadi jika Dirga bukan anaknya, siapakah anaknya yang sesungguhnya? Mungkinkah Raka? atau orang lain, dan entah dimana dia berada.Kemudian Annisa pergi menemui Gendhis di cafenya, ia ingin membicarakan hal ini pada Gendhis, Annisa tak bisa berpikir jika s
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis