Gendhis kembali' teringat akan kata-kata Farra, ia kembali mengingat-ingat wajah Raka, memang selama Gendhis tak pernah memperlihatkan wajah Raka dengan seksama, karena yang ia tahu Dirga adalah anak Annisa yang sesungguhnya. Ah mungkin kah semua yang dikatakan oleh Farra itu? Tapi mengapa? Teka teki yang sulit sekali terpecahkan, mungkinkah Ia harus bertemu dengan Annisa esok hari? Tapi jika ternyata nanti bukan bagaiman? Farid masuk ke kamarnya, ia melihat sang istri belum juga tidur, padahal pamit tidurnya sudah dari tadi."Kok belum tidur sayang?" tanya Farid sambil merebahkan tubuhnya di samping Gendhis."Iya ni Mas, aku nggak bisa tidur setelah mendengar ucapan Farra tadi, aku merasa apa yang dikatakan Farra benar, secara tak langsung wajah Raka mirip dengan Damar, entah di bagian mananya? coba Masa ingat-ingat?" ucap Gendhis.Farid seperti sedang berpikir, ia memang jarang bertemu dengan Raka, bahkan bisa dihitung dengan jari, karena Farid terlalu sibuk di kantor. Terkadang j
Satu jam kemudian Gendhis tiba di rumah Mamanya, ia segera menemui Annisa, tapi Gendhis tak ingin membuat semua orang curiga, dia duduk santai dulu dengan Bu Widya dan Pak Danu, juga Damar yang juga sudah pulang dari kantor."Kok ke sini lagi Ndis?" tanya Bu Widya."Kok gitu sih Ma? Mentang-mentang anaknya sudah tak tinggal di sini lagi, " ucap Gendhis berkelakar. "Bercanda, itu saja dimasukkan ke dalam hati, sensitif sekali," ucap Mama Widya tertawa kecil.Setelah bercanda dan mengobrol sebentar, Kemudian barulah Gendhis mengajak Annisa ke taman belakang agar lebih leluasa berbincang. Gendhis melihat ke kiri dan ke kanan takut ada yang mendengarkan. Tadi ia melihat Rania ibunya Raka yang masih bekerja pada sore harinya.“Nis ada yang mau aku tanyakan padamu,” ucap Gendhis serius. Annisa mendengarkan adik iparnya itu dengan seksama. “Kamu yakin Dirga itu adalah anakmu?” tanya Gendhis. Annisa tertawa. “Gendhis, Gendhis, kok kamu bicara begitu, yakinlah, memangnya kenapa?” tanya Ann
Kemudian Rania pulang ke rumahnya dengan perasaan tak tenang, lagi-lagi Rania memikirkan pertanyaan-pertanyaan Annisa yang membuat dia gelisah. Rania yang sedang memasak pun tertegun, ia mulai resah, dengan rahasia yang selama ini ia simpan. Apa aku harus jujur saja ya? Apa aku harus memberi tahu Bu Annisa? ucap Rania dalam hati. Jika ia jujur nanti bagaimana dengan Dirga? Kemudian Raka muncul, ia berdiri sambil menatap Rania.“Bu, Bu?” Panggil Raka yang keheranan melihat Rania yang melamun sambil memasak dengan kompor yang masih menyala.“Ah, eh, i-iya, ada apa Ka?” tanya Rania terbata. Ia memperbaiki posisinya.“Kok Ibu melamun sambil memasak, lihat tuh, sambelnya hampir gosong,” ucap Raka sambil menunjuk kuali yang berasal kerena dibiarkan oleh Rania.“Astagfirullah!!” Rania baru sadar ternyata cukup lama ia termenung. Gegas ia mematikan kompor dan mengaduk sambalnya agar tidak gosong. “Ya Allah, untunglah ada kamu Raka, kalau enggak Ibu keterusan melamun nya, untung saja sambaln
Annisa meninggalkan Rania, yang sedang menyiram tanaman, ia semakin yakin akan menyelidiki semua ini, banyak kejanggalan yang setelah ia pikir-pikir agak aneh. Tentang Dirga, yang tingkahnya tidak mencerminkan dirinya atau juga Damar, tentang kepintaran yang dimiliki oleh Dirga, bahkan di bawah standar.Wajah Dirga yang tidak mirip sama sekali dengan Damar dan banyak lagi kejanggalan yang kini baru ia sadari.Kemudian Raka yang agak mirip dengan Damar, jika diperhatikan dengan seksama Raka memang mirip dengan Damar, mungkin jika remaja itu dipakaikan jas dan berpakaian rapi mungkin akan terlihat mirip dengan Damar.Kemudian, sikap Rania juga agak aneh ketika Annisa mulai menanyakan tentang Raka.Annisa mulai tak tenang dan gelisah, jadi jika Dirga bukan anaknya, siapakah anaknya yang sesungguhnya? Mungkinkah Raka? atau orang lain, dan entah dimana dia berada.Kemudian Annisa pergi menemui Gendhis di cafenya, ia ingin membicarakan hal ini pada Gendhis, Annisa tak bisa berpikir jika s
Annisa masih duduk bersama Gendhis di Cafenya.“Jadi gimana Nis rencananya?” tanya Gendhis.“Kita tes DNA dulu, jika terbukti nanti barulah aku memberi tahu Mas Damar, supaya dia juga percaya dengan ucapanku berdasarkan bukti, doa kan ya Ndis, semoga berjalan lancar,” ucap Annisa sambil menatap Gendhis.“Tolong rahasiakan dulu ya Ndis, Cuma kamu yang tahu hal ini,” ucap Annisa sebelum pulang. Gendhis mengangguk.“Ya sudah, aku pulang dulu ya Ndis, Assalamualaikum,” ucap Annisa. Gendhis menjawab salam Annisa, ia turut prihatin atas apa yang menimpa sahabatnya itu, ia tak menyangka ternyata ucapan Farra waktu itu, membuat Annisa benar-benar menyelidikinya, sehingga kebenaran pun terungkap walaupun belum ditemukan titik terangnya. “Kasihan Annisa, siapa yang tega menukar bayinya saat itu, ini pasti perbuatan seseorang yang tak suka pada Annisa dan Kak Damar,” ucap Gendhis bermonolog. Ia masih berdiri melihat Annisa yang berjalan keluar dari Cafenya.Annisa pulang ke rumah, ia bersikap b
Tak lama kemudian Damar pulang, seperti biasa Annisa mencium punggung tangan Damar dan mengambil tas dari tangan Damar. “Capek sayang?” tanya Annisa. “Hmm.” Damar membuka dasinya dan duduk di ranjang, wajah Damar terlihat sangat lelah, mungkin banyak yang ia kerjakan saat di kantor tadi.Damar merebahkan tubuhnya sejenak, tidak mungkin kan Annisa meminta memotong kuku suaminya disaat begini, mungkin saat dia tidur nanti, ya, benar pikir Annisa. Setelah makan malam, Annisa sebenarnya tak ingin merahasiakan ini semua dari Damar, tapi Annisa takut jika ia mengatakan hal ini, Annisa disangka sedang ngawur, lebih baik saat hasil tes DNA itu keluar Annisa akan menjelaskan semuanya pada Damar. Entah bagaimana tanggapan Damar jika ia sampai mengetahui hal itu, karena Damar begitu menyayangi Dirga begitu juga dengan Bu Widya dan Pak Danu, mereka begitu menyayangi Dirga bahkan mereka cenderung memanjakan Dirga. Malamnya sebelum tidur Annisa sengaja mengelus-elus rambut Damar, sambil berca
“Apa yang akan kau tanyakan Nak?” tanya Rania.“Aku mau menanyakan saat Ibu menangis saat itu, apa yang ingin Ibu katakan? Apakah aku bukan anak kandung Ibu?” tanya Raka. Rania kaget dengan pertanyaan yang diajukan oleh Raka. ternyata Raka bisa menebaknya, padahal selama ini Rania selalu bersikap baik pada Raka.“Mengapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?”tanya Rania.“Karena Sepertinya saat itu Ibu ingin mengatakan hal itu, tapi tidak jadi karena Bapak menghalangi, apa benar Bu?” Rania diam, sesungguhnya semua yang dikatakan oleh Raka adalah benar.“Bu?” Raka kembali menunggu jawaban dari Rania. Kemudian Kanaya tiba-tiba keluar dari kamar, ia berdiri dan menatap tajam pada Raka.“Benar, kau bukan anak kandung Ibu, akulah sebenarnya anak kandung Ibu, kamu hanya anak pungut,” ucap Kanaya tajam.“Naya!” sentak Rania.“Kenapa? Sampai kapan Ibu ingin menyembunyikan ini semua dari Raka? Dia memang bukan anak kandung Ibu sama Bapak, kamu Cuma anak yang ditukar dengan adik kandung ku!” peki
Raka membersihkan rumah sesekali melirik Rania yang ada di depannya, tak ada suara apa pun, hening. Kemudian Raka bangkit dan menghampiri Rania. “Bu, maafkan aku, walaupun Ibu bukan Ibu kandungku, tapi aku tetap sayang pada Ibu, tapi Bu, mengapa kita harus pindah? Apakah aku masih bisa sekolah? Pekerjaan Ibu bagaimana?” tanya Raka.“Ibu nggak tahu, ikuti saja ucapan Bapak,” ucap Rania. Raka kini tak tahu harus ke mana, mau tak mau ia harus ikut juga pindah bersama Rania dan Surendra. Tapi, jika harus mengorbankan sekolahnya Raka akan bertahan hidup sendiri, lagi pula diam-diam Raka sudah punya tabungan dari mengajar privat Dirga, walaupun tak begitu banyak tapi setidaknya cukup untuk hidup sendiri.Malam harinya sebuah mobil truk besar datang, Surendra dan beberapa temannya segera mengangkat barang-barang yang sudah dirapikan dari tadi.Setelah semua selesai, mereka segera berangkat ke kontrakan baru, entah dimana, hanya Surendra yang tahu, Rania juga sudah pasrah dengan keadaan. Ji
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis