Raka membersihkan rumah sesekali melirik Rania yang ada di depannya, tak ada suara apa pun, hening. Kemudian Raka bangkit dan menghampiri Rania. “Bu, maafkan aku, walaupun Ibu bukan Ibu kandungku, tapi aku tetap sayang pada Ibu, tapi Bu, mengapa kita harus pindah? Apakah aku masih bisa sekolah? Pekerjaan Ibu bagaimana?” tanya Raka.“Ibu nggak tahu, ikuti saja ucapan Bapak,” ucap Rania. Raka kini tak tahu harus ke mana, mau tak mau ia harus ikut juga pindah bersama Rania dan Surendra. Tapi, jika harus mengorbankan sekolahnya Raka akan bertahan hidup sendiri, lagi pula diam-diam Raka sudah punya tabungan dari mengajar privat Dirga, walaupun tak begitu banyak tapi setidaknya cukup untuk hidup sendiri.Malam harinya sebuah mobil truk besar datang, Surendra dan beberapa temannya segera mengangkat barang-barang yang sudah dirapikan dari tadi.Setelah semua selesai, mereka segera berangkat ke kontrakan baru, entah dimana, hanya Surendra yang tahu, Rania juga sudah pasrah dengan keadaan. Ji
Setelah Dirga berangkat ke sekolah, Annisa berniat akan ke rumah Rania, kebetulan Annisa sudah tahu di mana rumah Rania. Saat Rania sakit.Tapi sebelum itu dia akan akan ke rumah sakit dulu untuk mengambil hasil tes DNA, gegas Annisa naik ke lantai dua rumah sakit dan bertemu dengan Kepala LAB yang menangani tes DNA milik Annisa Minggu lalu. “Bagaimana Bu apa hasilnya sudah keluar?” tanya Annisa. “Sudah Bu, ini hasilnya, jika ada yang ibu tidak mengerti tanyakan pada saya,” ucap Kepala Lab perempuan itu.Annisa membuka hasil Lab yang telah keluar itu, tangannya bergetar karena ia takut ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Annisa membuka hasil tesnya atas nama Dirga dan Damar, kemudian Annisa membacanya dengan seksama. Di akhir surat Annisa membacanya dengan suara pelan. “... Jadi dapat disimpulkan Bahwa Dirgantara Damar Wijaya dan Damar Hardana Wijaya tidak memiliki kesamaan DNA atau negatif...” Annisa menutup mulutnya, ternyata anak yang ia asuh saat ini adala
Gegas Annisa dan Damar melangkahkan kakinya keluar kantor. Annisa mengimbangi langkah kaki suaminya yang lebar-lebar."Nisa!" panggil Andina.Andina kini sudah menikah dan mempunyai anak, tapi dia masih bekerja di kantor Damar. Annisa menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Andina setengah berlari mendekati Annisa. "Nis, apa kabar? Gue kangen banget sama lu," ucap Andina."Alhamdulillah, sehat bagaimana keadaan kamu?""Aku juga sehat, kok nggak ngasih kabar, kalau mau datang kemari atau kenapa nggak mampir ke ruangan aku?"Damsar menunggu Annis dan meliriknya berkali-kali. Memberikan isyarat agar cepat dengan lirikan matanya."Maaf, aku terburu-buru, ada urusan sedikit, aku pergi dulu ya, lain kali aku datang lagi, Mas Damar udah nungguin aku, sampaikan salam ku pada Cellin ya!" ucap Annisa, tanpa menunggu jawaban dari Andina, kemudian Annisa segera berlalu mengikuti Damar yang sudah lebih dulu pergi ke mobilnya. Kemudian mereka naik ke mobil Damar dengan terburu-buru.Setel
Malam kian beranjak, Damar sudah tidur dari tadi tapi Annisa tidak bisa memejamkan matanya, bayangan Raka terus membayangi malamnya. Ia terus teringat akan anak itu, di mana Raka sekarang? Apa dia sudah makan atau belum? Apakah dia sehat atau tidak? Apakah dia baik-baik saja?Annisa bangun kemudian mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat untuk menenangkan hatinya, ia berdoa semoga Allah memudahkan jalannya dalam mencari Raka. Kemudian setelah selesai sholat ia merebahkan tubuhnya di samping Damar.“Maaf Mas, jika semua ini harus terjadi,” ucap Annisa. Pagi-pagi Annisa sengaja mengantarkan Dirga ke sekolahnya, sekalian melihat keberadaan Raka, siapa tahu dia muncul di sekolah. “Mi, kenapa harus diantar sih, biasanya juga Pak Supir yang mengantarnya,” ucap Dirga. “Ummi mau lihat Raka, siapa tahu dia ke sekolah hari ini.”“Raka nggak sekolah lagi Mi, dengar-dengar dia sudah pindah jauh, kemarin Zahra mengatakan begitu, baguslah setidaknya dia nggak dekat-dekat lagi sama Zahra,” u
Rania menetralkan raut wajahnya, agar terlihat biasa, “Mari masuk Bu, Pak, maaf rumahnya berantakan begini,” ucap Rania. Surendra juga menetralkan raut wajahhya, mereka harus bersikap senormal mungkin. Menutupi rasa gugupnya karena tiba-tiba kehadiran Annis dan Damar tanpa di duga.Damar dan Annisa masuk dan duduk di ruang tamu beralaskan ambal yang sudah tua. Annisa melihat sekeliling rumah, ruangannya tidak begitu luas, tidak ada perabotan apa pun kecuali sebuah TV yang sudah usang.“Rania bagaimana kabarmu?” tanya Annisa. Ia juga bersikap seperti biasa, tidak mungkin datang-datang langsung menanyakan tentang prihal Raka.“Alhamdulillah sehat Bu, Ibu bagaimana?” “Alhamdulillah sehat Ran.” Sesaat semua terdiam.“Rania ... dima...” “Mas!” Annisa segera memotong ucapan Damar, kemudian menggeleng. Damar pun tidak jadi meneruskan ucapnya. Surendra menyalakan rokoknya sambil melirik pada Damar. “Bu maafkan saya, tidak memberi tahu Ibu kalau kami sudah pindah rumah, kami mendadak pinda
"Baca itu! agar kamu tidak banyak berkomentar.” Ucap Damar lantang. Surendra mengambil kertas yang isinya hasil tes DNA.Annisa dan Damar menunggu Surendra membaca hasil tes tersebut, begitu juga dengan Raka, ia belum bisa mencerna dengan apa yang ia dengar malam ini. Tubuhnya terasa lengket dan bau asem setelah seharian bekerja menjadi kuli bangunan. Raka terpaksa bekerja kerena setelah pindah ke rumah ini, Rania kehilangan pekerjaan sehingga Surendra menyuruh Raka untuk berhenti sekolah dan bekerja.Kemudian Surendra membaca isi kertas tersebut, sebelum membaca tak lupa tatapan sinis ia layangkan pada Damar. Ia membaca nama Raka dan Damar, kemudian membaca isi keseluruhannya, sampai bagian akhir. Surendra mulai ketakutan, Sekali lagi ia membaca ulang hasil tes tersebut. “Apa?? Jadi Ra-Raka bukanlah anak dari ...” ucap Surendra tak sanggup meneruskan ucapannya. Seolah-olah ia begitu terkejut dengan hasilnya dan berpura-pura merasa sedih karena anak yang selama ini mereka rawat bu
"Tunggu dulu Bu, saya mau minta izin pada Bu Rania dulu, walaupun bagaimana beliau lah yang merawat aku dari bayi, hingga aku bisa sebesar ini, seharusnya Ibu dan Bapak berterima kasih pada Bu Rania," ucap Raka. "Bu Rania merawat ku dengan baik selama ini, walaupun tak mampu menyekolahkan aku Bu Rania menganggapku seperti anak kandungnya sendiri," ucap Raka lagi. Netra Rania berkaca-kaca, ia tak menduga Raka ingat akan jasanya, selama ini memang hanya Rania saja yang peduli pada Raka. Sedangkan Kanaya dan Surendra tak pernah menganggap Raka ada. Raka beringsut mendekati Rania. Tak terasa air mata di pelupuk mata Rania jatuh juga, ia terisak begitu melihat Raka, selama ini Raka lah yang peduli padanya, bukan seperti Kanaya anak kandungnya yang cenderung tak pernah mau peduli dengan keadaan Rania."Bu, Pak, terima kasih karena selama ini, kalian sudah membesarkan ku hingga seperti menjadi seperti ini, Bu terima kasih selama ini Ibu telah menyayangiku walaupun Ibu tahu bahwa aku bukan
Entah apa yang akan ia katakan pada Dirga dan Bu Widya dan juga Pak Danu nanti.Annisa tersenyum melihat Raka makan dengan lahap, anak ini benar-benar lapar sepertinya. Pulang bekerja sudah larut malam dan belum makan pula. "Kamu nambah lagi?" tanya Annisa."Cukup Bu, aku sudah kenyang," ucap Raka. Damar dan Annisa tersenyum. Setelah selesai makan mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Bu Widya.Setelah beberapa jam perjalanan mereka sampai juga di rumah Bu Widya yang besar, Raka ternyata sudah tertidur, mungkin dia sangat lelah setelah seharian bekerja."Raka, Nak, bangun, kita sudah sampai," ucap Annisa membangunkan Raka. "Ya Allah, maaf Bu aku ngantuk, jadi ketiduran," ucap Raka. Annisa tersenyum."Ya sudah nggak apa-apa, ayo kita masuk," ajak Annisa. Raka mengangguk, kemudian Raka turun dari mobil dan mengikuti Annisa dengan Damar ragu-ragu. Ia menenteng tas sekolahnya yang berisi buku dan seragam sekolah, juga sebuah kantong plastik yang berisi baju-bajunya beberapa
Esok harinya kami mengadakan resepsi di sebuah gedung, resepsi hanya dilakukan sekali saja, aku tak terlalu suka yang ribet-ribet jadinya cukup satu kali undangannya dari kedua belah pihak. Pihak Zahra mengatakan tak mampu membuat acara di rumahnya lagian membuang-buang uang saja, jadi kamu memutuskan melakukan satu kali acara. Resepsi digelar meriah banyak sanak keluarga yang hadir, termasuk ibu Rania yang kemarin sudah berada di rumahku. Ia begitu bahagia melihat aku bersanding dengan Zahra, begitu juga Ayah dan Ibu ada keharuan di wajah mereka, melepas anak semata wayang mereka. Saat sedang berdiri di pelaminan, Dirga membisikkan sesuatu ke telingaku. "Ka, kamu tahu, kemarin polisi berhasil menangkap Clarissa, dalang yang menular kita dulu," bisiknya. "Oh ya?" Dirga mengangguk. "Dia pulang ke Indonesia, entah dari mana informasi yang polisi dapatkan, akhirnya dia tertangkap juga," ucap Dirga. "Alhamdulillah, biarkan dia mendapatkan hukuman atas apa yang dia lakukan,"
Kabar hubunganku dengan Zahra tersebar ke seluruh kantor, mereka tak menyangka akhirnya aku dan Zahra bisa berjodoh, mereka langsung mencari tahu pada Dirga dan juga Zahra. Tak butuh waktu lama akhirnya Zahra menerima perjodohan ini dan aku akan melamar Zahra dalam waktu dekat ini.Bisik-bisik di kantor pun mulai terdengar, mereka tak menyangka jika akhirnya aku memilih Zahra yang sederhana. Tak sengaja aku mendengar percakapan karyawanku yang sedang berdiri di dekat depan kantorku."Aku nggak nyangka lho, kok bisa Pak Raka jatuh cinta sama Zahra yang hidupnya sederhana dan juga gayanya biasa saja." Terdengar suara seorang karyawan perempuan yang sepertinya kurang suka dengan aku memilih Zahra."Iya, aku juga heran, masak CEO seleranya cuma begitu, nggak berkelas banget nggak sih." Aku geram dan juga ingin marah dan melabrak mereka tapi saat aku hendak melangkah menghampiri mereka. "Kalian nggak boleh gitu, memandang orang lain dari luarnya saja, walaupun Zahra itu sederhana tapi di
“Zahra?” gumamku sambil terus menatap gadis yang dari tadi menunduk kini malah melotot padaku. Matanya membeliak, seolah-olah hendak keluar dari kelopak matanya. Aku juga ikut membeliakkan mataku, tak kalah terkejutnya seperti yang Zahra rasakan. “Pak Raka?” ucap Zahra. Kulihat ibu dan yang lain menatap heran pada kami berdua, ternyata yang akan dijodohkan saling mengenal. Aku juga tak sempat bertanya pada ibu siapa nama wanita yang akan dijodohkan denganku. “Kalian saling kenal?” tanya Tante Sukma. Zahra mengangguk. Kemudian aku menjelaskan karena melihat raut wajah mereka yang bingung. “Zahra adalah karyawan aku di kantor, ia juga teman SMA-ku,” jawabku. “Berarti kalian sudah saling kenal dong,” ucap Tante Sukma. Aku mengangguk hampir bersamaan dengan Zahra. “Wah, wah, menarik ni, jadi ngapain dikenalin lagi ya kan Jeng Nisa, ternyata anaknya saling kenal, tinggal nanyak ke mereka saja, apa kalian cocok satu sama lain,” ucap Tante Sukma. “Benar Jeng, aku nggak nyangka t
Malam ini aku masih tiduran di kamarku, sebenarnya malam ini aku dan ibu akan berkunjung ke rumah gadis yang akan dijodohkan oleh Ibu, gadis itu adalah anak dari temannya dari temennya ibuku, Tante Sukma. Tante Sukma adalah teman yang baru ibu temui di acara pengajian akhir-akhir ini, istilahnya teman baru. Aku benar-benar tidak bersemangat sedikit pun, menolak pun aku tak mungkin. Sore tadi Mama mengatakan padaku. Jika dia tidak percaya pada dengan pilihanku. “Tuh, contohnya si Briana kan nggak genah, malah kayak memaksakan diri untuk bersamamu, pokoknya kali ini kamu nurut sama Ibu,” ucap Ibu, sepertinya ucapan ibu tak bisa dibantah lagi. Tapi untuk mengganti bajuku saja enggan aku malah mengantuk. Tok! Tok! Pintu kamar di ketuk, itu pasti ibu, dia pasti menyuruhku ganti baju, padahal sudah dari tadi sore ibu mewanti-wantiku. Aku beranjak dari tidurku dengan malas dan membuka pintu kamarku. Wajah cantik ibu terlihat di depan pintu dengan jilbab lebarnya yang menjuntai. Ibu menili
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Briana? Apakah itu kau?" tanyaku sambil berusaha bersikap biasa saja. Aku melirik Zahra yang mulai gelisah dan risih karena kehadiran Briana."Ternyata kau masih mengingatku. Bolehkah aku duduk?" "A-ah, eh, tentu saja, silahkan," ucapku dengan gagu sambil mempersilahkan Briana untuk duduk. Selama ini aku berusaha melupakan masa lalu, tapi kini Briana hadir di depanku. Sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin dia muncul begitu saja? Apakah dia sudah berubah, atau mungkin sudah normal kembali? "Pak Raka, sepertinya Anda punya tamu penting. Saya permisi dulu, nanti jika sudah selesai Bapak bisa memanggil saya lagi," ucap Zahra. Aku jadi bingung dan merasa bersalah. Bagi aku, Zahra yang lebih penting. Namun, mungkin saja Zahra mengira bahwa Briana adalah kekasihku dan bahwa bunga yang kubawa ini untuk Briana. Padahal ini untuknya. "Ah, baiklah, nanti saja kita bicara saat makan siang," jawabku kepada Zahra. Zahra mengernyitkan dahinya, namun kemudian ia
Malam itu, aku terjaga sepanjang malam, memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan cinta yang kian dalam ini kepada Zahra. Semakin kukendalikan perasaanku, semakin kukhawatirkan hari dimana aku terlambat mengungkapkannya kepadanya. "Benarkah ini cinta? Apa aku bisa mengatakannya melalui telepon saja? Atau mungkin lewat pesan?" Bisik hatiku. Aku meraih ponselku yang tergeletak di sampingku, meraba-raba dalam gelap, mencari nama Zahra di dalam daftar kontak. Saat jari-jari mulai mengetik, teringat akan satu momen ketika Zahra menyebut bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Teringat akan wajahnya, air muka cemburuku tiba-tiba bergejolak. "Bukankah dengan Dirga? Lalu dengan siapa? Aku harus melakukannya, aku harus memberanikan diri sebelum terlambat." Namun ketika hampir menghubunginya, rasa ragu menghantui hatiku. Segala pertanyaan berkecamuk dalam benak ini, "Apa yang harus aku katakan padanya? Apakah dia akan menolakku dengan halus atau dengan marah?" Menghem
Melihat ekspresi wajah Dirga yang penuh kebahagiaan, aku tak bisa menahan rasa was-was dan cemas di dalam hati. Semakin mendekati saat calon istrinya keluar dari kamar, semakin besar kekhawatiran yang menghantui pikiranku. Bagaimana kalau ternyata calon tunangan Dirga adalah Zahra, wanita yang selama ini jadi bagian terbesar dari hidupku? Aku merasa seperti diterjang gelombang emosi yang menerjang tanpa ampun. Tiba-tiba, seorang wanita berhijab keluar dari kamar, didampingi oleh dua orang perempuan. Ia menunduk sambil berjalan ke arah kami semua. Mataku tak bisa lepas dari wanita tersebut, perhatianku tertuju pada postur tubuhnya yang ramping dan tinggi, seperti tubuh Zahra. "Apakah benar dia? Apakah Zahra-lah yang akan menjadi istri Dirga?" Batinku, hati berdebar kencang. Namun, ketika wanita itu akhirnya menatapku, aku baru menyadari sesuatu."Hei, kok gitu banget memperhatikan calon istrinya Dirga," ucap Ibu setengah berbisik sambil menepuk pahaku. "Eh, eh, penasaran aja Bu!" bis