“Kalian bicaralah. Aku yang akan menghandle meetingnya.” Leo memberikan izin kepada Pijar sebelum perempuan itu menolak. Leo tampaknya tahu jika Elang sedang tidak dalam mood yang baik. Ekspresi lelaki itu menunjukkan semuanya. Jika Elang sudah marah, maka itu hanya akan membuat orang-orang di sekitarnya ketakutan. Terlebih jika sudah seperti ini. Jika kemarahannya tidak tersalurkan, itu hanya akan membuat orang lain yang terkena imbasnya. Leo tahu betul bagaimana tabiat kakaknya. Pijar pun mengangguk dan meminta agar Elang dan Manda mengikutinya. Akan lebih nyaman kalau mereka berbicara di ruangannya. “Jadi, apa yang ingin kalian katakan?” tanya Pijar ketika mereka sudah sampai di ruangannya, “pastilah itu sangat penting. Kalian akan segera menikah?” Perempuan itu tidak mempersilahkan tamunya untuk duduk. Dia pun hanya berdiri dan menatap kedua orang tersebut. Pijar tidak bisa memungkiri jika perasaannya hancur ketika ucapan itu keluar dari mulutnya. Tidak bertemu dengan Elang be
“Kalau kamu terus berteriak, saya pastikan kamu tidak akan selamat!” Sebelum keluar dari mobil, peringatan itu diberikan oleh Elang kepada Manda agar perempuan itu tidak terus berteriak. Manda sudah seperti kehilangan kekuatannya untuk memohon ketika dia ditarik oleh Elang keluar dari mobil. Dia dibawa ke sebuah hotel yang pernah Manda gunakan untuk menjebak Elang. “Lang, kalau kamu mau aku berlutut di depanmu, aku akan melakukannya. Tapi, tolong jangan lakukan ini kepadaku.” “Diam!” Elang terus menarik Manda untuk masuk ke dalam salah satu kamar. Dan itu juga kamar yang sama saat kejadian menjijikkan itu terjadi. Elang melepaskan Manda dan mendorong perempuan itu ke depan seorang lelaki paruh baya yang tengah duduk di sofa dengan gaya angkuh. “Aa … nggak! Aku nggak mau. Lepaskan!” Manda berteriak ketika lelaki itu memeluk pinggangnya dengan erat dengan senyum penuh kelicikan. Adam yang hanya menjalankan perintah itu hanya diam karena tidak mengerti apa pun. Dia hanya ditugaskan
“Kamu sengaja menghindariku?” Pijar terjingkat kaget ketika melihat Elang ada di depannya. Pijar baru saja mandi ketika pintu rumahnya diketuk dan Elang berdiri di depan pintunya. Lelaki itu tampak marah menatap Pijar. “Aku nggak menghindar,” jawab Pijar masih berada di ambang pintu, “ada apa kamu malam-malam datang ke sini?” Wajah lelah Pijar tidak bisa dibohongi. Matanya sudah terlihat sayu karena kantuk. Suaranya juga terdengar lemah.Melihat itu, segala macam emosi yang menumpuk di hati Elang pun terasa musnah begitu saja. Lelaki itu lantas bertanya, “Udah makan?” tanyanya penuh perhatian. “Ya, aku udah makan tadi.” Nyatanya ucapan Pijar itu tak sinkron dengan perutnya yang berbunyi karena lapar. Pijar selalu malas makan jika sudah malam dan lelah. Perempuan itu memejamkan matanya karena merasa frustasi dengan dirinya sendiri. Di saat seperti ini kenapa perutnya tidak bisa diajak bekerja sama. Elang menyeringai. “Mau makan di rumah atau kita keluar sekarang.” Sikap Elang itu
“Mas, tolong ambilin itu buku gue!” Pijar sedikit menjerit ketika wajahnya terlihat gugup. Sebentar lagi kelas akan segera dimulai dan dia harus mengalami insiden kecil sehingga semua isi tasnya berhamburan keluar. “Lo panggil gue apa?” tanya Elang saat berdiri menjulang di depan Pijar yang tengah memunguti barang-barangnya yang berserakan. “Mas?” Wajahnya begitu tidak terima dengan panggilan yang disematkan kepadanya. “Astaga, tolong itu buku gue.” Pijar tidak mengindahkan ucapan Elang dan memilih menunjuk buku akuntansi yang tergeletak tak jauh dari tempat Pijar. Alih-alih membantu Pijar, Elang justru hanya menatap Pijar tanpa menolong sama sekali. Dia sepertinya merasa heran dengan bawaan Pijar. Mengeluarkan unek-uneknya, dia lantas bertanya, “Lo itu mau kuliah atau mau pindah tidur di kampus? Segala boneka di bawa-bawa.” Pijar mendengus keras ketika beranjak dan melotot menatap Elang. “Banyak tanya! Dimintai tolong nggak becus.” Dia marah karena Elang sejak tadi hanya terus d
“Sudah sejauh apa hubunganmu dengan Noah?” Elang tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu kepada Pijar. Bukan hanya itu, dia juga belum tahu apakah Pijar sudah bertemu dengan orang tua Noah atau belum. Maka, dia segera bertanya, “Lalu, kamu sudah bertemu dengan orang tua Noah?” Setelah makan malam yang sangat kaku itu selesai beberapa saat lalu, Elang tidak melepaskan Pijar untuk pulang dengan Noah. Dia segera menggandeng perempuan itu dan bersedia untuk mengantarkannya. Noah pada awalnya tidak terima, tetapi Pijar akhirnya memilih untuk ikut dengan Elang. “Kami sudah bertemu dan ada banyak pembicaraan tentu saja,” jawab Pijar santai. “Membicarakan tentang apa? Pernikahan kalian?” Elang melirik Pijar tak senang. “Ya, begitulah!” Sontak saja rem mendadak itu membuat kepala Pijar hampir menghantam dashboard. Rahang Elang mengetat. Dia menatap Pijar dengan kilatan amarah yang tidak terbendung, bahkan dia tak bertanya tentang kondisi Pijar saat ini. Beruntung mereka su
“Bapak yakin akan bertamu malam begini, Pak?” Adam melontarkan pertanyaan ketika mereka sudah berada di depan rumah orang tua Pijar. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan terlihat pintu sudah tertutup rapat. Ternyata rumah orang tua Pijar bukan di perumahan, tetapi di sebuah perkampungan yang tertata apik. “Kamu sudah pesan kamar di penginapan?” tanya Elang. “Sudah, Pak.” “Kalau begitu kita ke penginapan terlebih dulu. Kita kembali lagi besok pagi.”Elang juga tahu diri jika dia tidak bisa mengetuk pintu rumah orang tua Pijar di jam seperti ini. Maka mau tak mau dia harus menundanya untuk esok pagi. Sesampainya di penginapan, Elang mendesah panjang. Itu benar-benar penginapan yang tidak terlalu besar. “Sepertinya aku perlu membangun hotel di sini. Bagaimana mungkin tidak ada hotel di tempat ini,” gumamnya seorang diri seolah dia memiliki peluang untuk membangun bisnis di sana. “Kasurnya juga bukan yang premium.” Elang kali ini benar-benar banyak komentar. Padahal keti
“Jadi, apa hal penting apa yang membuat Pak Elang datang ke rumah kami?” Ayah Pijar kembali bertanya ketika obrolan mereka sudah pada inti yang harus disampaikan. Pertanyaan tentang keberadaan Adam beberapa saat lalu sudah terjawab dan itu membuat Elang harus mengumpulkan keberaniannya kembali untuk masuk dalam inti percakapan. Beruntung ayah Pijar sudah memulainya lebih dulu. “Ini tentang saya dan Pijar, Pak.” Tidak perlu lagi berbasa-basi dan berbicara berputar-putar ke sana-kemari untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Elang bisa melihat bagaimana ekspresi terkejut yang ditunjukkan oleh ayah Pijar tersebut. Lelaki itu tampak penasaran. “Pijar dan Pak Elang?” tanyanya balik dengan suara sedikit terkejut. “Benar, Pak.” Elang kini menyamankan duduknya sebelum dia melanjutkan ucapannya. “Saya dan Pijar sebenarnya dulu adalah sepasang kekasih.” “Apa?” Reaksi terkejut itu tentu saja bukan hal yang aneh bagi Elang. Bahkan ketika orang tuanya dulu mengetahui itu pun mereka terlihat
Di gedung Sigma, seorang perempuan tengah menunggu Pijar di lobby kantor. Ekspresi wajah perempuan itu tidak bersahabat. Alih-alih duduk di sofa, dia memilih mondar-mandir menunggu kedatangan Pijar. Entah apa yang akan dilakukan oleh perempuan itu, sepertinya itu bukan hal yang baik. “Selamat siang. Ibu mencari saya?” Pijar datang dan membuat perempuan itu menoleh. “Ya, saya mencari Anda,” jawabnya ketus dan tidak bersahabat. Lalu, tanpa diduga sebelumnya, perempuan itu melayangkan tamparan keras di pipi Pijar membuat Pijar terperanjat. Demi Tuhan, dia bahkan tidak mengenal siapa perempuan itu. Dia bahkan tak tahu siapa nama perempuan itu, tetapi tiba-tiba dia mendapatkan tamparan tanpa sebab. Pijar tentu saja terdiam untuk beberapa saat ketika dia mengelus pipinya yang terasa panas. “Dasar perempuan murahan! Apa yang sedang kamu lakukan dengan suamiku?” Suara perempuan itu penuh dengan geramanan. Dia menuduh Pijar atas sesuatu yang tidak dia ketahui sebelumnya. “Ibu ini sebenarn