Di gedung Sigma, seorang perempuan tengah menunggu Pijar di lobby kantor. Ekspresi wajah perempuan itu tidak bersahabat. Alih-alih duduk di sofa, dia memilih mondar-mandir menunggu kedatangan Pijar. Entah apa yang akan dilakukan oleh perempuan itu, sepertinya itu bukan hal yang baik. “Selamat siang. Ibu mencari saya?” Pijar datang dan membuat perempuan itu menoleh. “Ya, saya mencari Anda,” jawabnya ketus dan tidak bersahabat. Lalu, tanpa diduga sebelumnya, perempuan itu melayangkan tamparan keras di pipi Pijar membuat Pijar terperanjat. Demi Tuhan, dia bahkan tidak mengenal siapa perempuan itu. Dia bahkan tak tahu siapa nama perempuan itu, tetapi tiba-tiba dia mendapatkan tamparan tanpa sebab. Pijar tentu saja terdiam untuk beberapa saat ketika dia mengelus pipinya yang terasa panas. “Dasar perempuan murahan! Apa yang sedang kamu lakukan dengan suamiku?” Suara perempuan itu penuh dengan geramanan. Dia menuduh Pijar atas sesuatu yang tidak dia ketahui sebelumnya. “Ibu ini sebenarn
“Anda harus menyelesaikan masalah Anda dengan suami Anda karena Pijar tidak salah dalam hal ini.” Jika Elang sudah mengeluarkan titahnya, maka tidak ada yang bisa menghentikannya. Astrid pergi dari gedung Sigma dengan raut kesal bercampur malu. Tentu saja dia tak akan merasa puas sebelum bisa membalas Pijar. Perempuan mana yang akan diam saja ketika suaminya masih mencintai mantan kekasihnya. Di tempat lain, Elang menarik Pijar keluar dari kerumunan dan masuk ke dalam lift. Leo yang masih berada di sana, memberikan kode kepada semua karyawannya agar mereka bubar dan melanjutkan apa pun yang mereka tuju dari awal. Jam makan siang sedikit terganggu karena ada tontonan gratis. “Aku bisa mengatasi dia sendiri.” Pijar melepaskan rangkulan Elang yang ada di pundaknya ketika mereka sudah ada di ruangnya. “Nggak perlu mengatakan kalau aku calon istrimu!” Perempuan itu menatap Elang dengan kesal karena Elang mengatakan sesuatu yang tidak-tidak. “Aku tahu kamu bisa mengatasi masalah kecil s
“Apa kamu bilang?” Pijar melototkan matanya maksimal. “Kamu apa? Minta izin sama Ayah mau nikahin aku?” “Hem.” Elang mengangguk penuh dengan percaya diri. “Aku udah cerita tentang kita kepada mereka dan sekarang tergantung sama kamu. Kalau kamu mau nikah cepet, mereka juga akan izinkan.” Pijar tidak bisa berkata-kata. Elang ini benar-benar titisan iblis berambut hitam. Sebelum ini dia tak pernah mengatakan kepada siapa pun tentang orang tuanya, di mana alamat rumah mereka, atau hal-hal lain yang menyangkut privasi orang tuanya. Jika Noah tahu rumah orang tuanya, itu tentu hal wajar karena orang tua Noah adalah teman ayahnya. Namun, dari mana Elang tahu juga?Untuk beberapa saat, Pijar hanya termenung dan menatap Elang dengan tatapan kosong. Kenapa begitu cepatnya lelaki itu bertindak. Kenapa ayahnya tidak mengatakan apa pun kepadanya? Lalu, kapan Elang datang ke rumah orang tuanya? Elang beranjak ketika mendengar ketukan pintu. Pesanan makanan sudah datang. Ada dua paperbag bertuli
Pijar tidak mengatakan dengan spesifik jika dirinya menerima Elang lagi. Tidak ada juga pernyataan yang jelas jika mereka sudah merajut hubungan mereka yang sempat putus. Namun, Elang tetaplah Elang. Dia sudah merasa memiliki Pijar sepenuhnya. Lelaki itu jadi sering menemui Pijar baik itu di kantor atau bahkan di rumah Pijar. Dia tak akan membiarkan lelaki lain mengambil Pijar dari tangannya. Tidak akan ada kesempatan untuk orang lain mendekati Pijar. “Kenapa kamu jadi sering datang ke sini?” tanya Pijar kepada Elang saat malam ini Elang kembali datang ke rumah Pijar. Tatapan kesal Pijar tidak dihiraukan. Elang nyelonong masuk ketika Pijar baru saja membukakan pintu rumahnya. “Makanya ayo nikah biar kita tinggal serumah. Capek aku tiap pulang kerja harus nyetir agar jauh-jauh datang ke sini.” Begitu bunyi suara Elang sambil berjalan menuju sofa ruang keluarga. Padahal, dia dulu juga tinggal di depan rumah Pijar. Perjalanan dari kantornya ke rumah Pijar juga hanya setengah jam. Ela
“Gimana keadaan, Tante, Mas?” Pijar terlihat khawatir ketika mengeluarkan pertanyaan itu kepada Noah. Dia baru saja pulang dari kantor ketika sang ayah mengatakan jika ibu Noah masuk rumah sakit. Ayahnya meminta agar Pijar menjenguk perempuan paruh baya itu sebagai perwakilan dirinya. Baru saja dia memarkirkan mobilnya, dia kembali pergi bahkan belum sempat untuk masuk ke dalam rumah. “Masih ditangani dokter, Jar.” Noah terlihat lemah ketika mengatakan itu. “Kok kamu bisa tahu kalau Mama ada di rumah sakit? Aku belum kasih tahu kamu, ‘kan?” “Ayah yang bilang. Jadi, aku langsung cepat-cepat dateng. Kejadiannya gimana, Mas?” Noah menarik napasnya panjang sebelum menjawab. “Mama tadi katanya sesak napas. Terus pingsan. Aku nggak tahu kenapa karena beliau nggak punya riwayat penyakit dalam.” “Tante pasti baik-baik saja.” Pijar segera bersuara untuk menguatkan Noah. Dia ingat betul bagaimana rasanya ketika orang tua sedang terbaring sakit di rumah sakit. Dia pernah mengalaminya ketika
“Calon suami?” Ibu Noah terkejut luar biasa mendengar jawaban Elang. Pijar menutup matanya erat karena ulah Elang. Tidak seharusnya dia mengatakan itu di depan ibu Noah. Perempuan paruh baya itu tampak bingung ketika menatap Elang dan Pijar bergantian. “Kamu … punya pacar, Pijar? Bukannya kamu sedang dekat dengan Noah?” “Ma!” Noah mendekat. “Jangan pikirkan apa pun dulu. Yang penting sekarang adalah Mama sembuh.” “Tapi, Noah ….” “Pijar, udah malam. Jam besuk juga udah habis. Kamu bisa pulang dulu. Besok bisa kesini lagi.” Noah tentu tidak ingin kalau ibunya menjadi terbebani dengan masalah perjodohan dirinya dengan Pijar. Bukan hanya itu, terlihat sekali Elang tidak akan bisa mengalah dan menahan ucapannya. “Kalau begitu, kami pulang dulu, Mas.” Pijar menyetujui ucapan Noah. Dia pamit dengan ibu Noah meskipun perempuan paruh baya itu masih terlihat bingung. “Kamu itu tolong tahan ucapan kamu dong, Lang.” Sampai di luar rumah sakit, Pijar segera menegur Elang. “Tante itu lagi sa
“Padahal ada harapan besar untuk kalian bersama. Tante ingin sekali kamu dan Noah menikah.” Kali ini ibu Noah tidak bisa menutupi kekecewaannya ketika mengatakan itu. Pijar sudah mengatakan tentang hubungannya dengan Noah, juga hubungannya dengan Elang. Dia ingin semuanya menjadi jelas dan tidak ada yang perlu ditutupi. Hatinya tak bisa dibohongi. Cintanya dengan Elang memang sudah melekat erat di dalam hatinya. “Saya minta maaf karena sudah mengecewakan Tante. Saya hanya ingin semua ini menjadi jelas. Saya memang belum menerima Elang sepenuhnya, tapi perasaan saya tidak bisa dibohongi.” Sejak awal, dia sudah menganggap Noah sebagai kakaknya. Pijar memang merasa jahat, tetapi dia juga tidak bisa memaksakan hatinya. Elang memang brengsek, hanya saja si brengsek itulah yang sanggup membuatnya jatuh cinta. “Apa tidak ada celah untuk Noah masuk dalam hati kamu, Jar?” Perempuan paruh itu tampaknya tidak ingin menyerah. “Sedikitpun tidak masalah bagi Tante, Jar.” Pijar merasa bersalah,
“Jangan bilang sama Mama kalau aku di rumah sakit, ya, udah cukup kamu di sini aja.” Setelah dua jam berlalu, panas Elang tak kunjung turun. Pada akhirnya Pijar meminta Adam untuk membantu Elang membawa ke rumah sakit. Ternyata setelah dicek, bukan hanya demam biasa melainkan sakit tipes. Parahnya lagi, Elang tidak ingin orang tuanya dihubungi. Baginya sekarang keberadaan Pijar sudah cukup. Pijar bahkan harus meminta izin kepada Leo untuk tidak masuk kantor. Semua itu gara-gara permintaan si bocah tua bernama Elang. Pijar sebenarnya juga merasa kesal, tetapi dia harus menjaga lelaki itu. “Ayo, makan dulu!” Pijar sudah benar-benar lelah ketika dia harus membujuk Elang untuk makan. Ini sudah waktunya jam makan siang dan Elang sulit sekali diminta makan. “Pahit, Jar, ya ampun. Udah, nggak usah makan. Temani aja sini.” Pijar semalam hanya tidur sebentar dan sekarang dia juga harus menemani Elang yang rewelnya minta ampun. Dia sudah seperti merawat suaminya saja sekarang. Kalau saja A
Pernikahan itu tidak mewah seperti yang diinginkan oleh Ruby sebelumnya. Namun, bisa dirasakan begitu khidmatnya acara akad nikah tersebut. Tamu yang datang benar-benar hanya teman dekat dari dua belah keluarga sehingga acara itu sungguh begitu nyaman.Sepanjang acara, Orion tidak melepaskan Ruby sama sekali. Entah itu dengan menggenggam tangannya, memeluk pinggangnya, atau hanya menempelkan bahunya dengan bahu Ruby. Lelaki itu seolah tidak ingin ditinggalkan oleh Ruby. Acara itu hanya berjalan dua jam, tetapi Orion merasa dia lelah luar biasa.“Pa, Ma, aku pamit.” Ruby berdiri di depan anggota keluarganya untuk pergi dari rumah dan tinggal berdua dengan Orion. Mereka bahkan tidak ingin seharipun menginap di rumah orang tua Ruby.“Kamu baik-baik, ya. Sekarang kamu sudah menjadi istri. Yang nurut sama suami. Kalau ada sesuatu yang dirundingkan dan jangan asal ambil keputusan sendiri,” pesan ibunya dengan mata berkaca-kaca.“Iya, Ma. Aku ngerti.” Ruby mengangguk dan tidak lagi banyak bic
Ruby tampak anggun dengan dress navy di bawah lutut. Rambutnya diurai dengan model curly, make up tipis menghiasi wajahnya. Keseluruhan penampilannya begitu cantik luar biasa. Sebelumnya dia tak pernah berpenampilan seperti ini. Tentu saja hal itu membuat Orion tampak terpesona. Senyum tipis penuh makna itu terlihat di bibirnya. Dua keluarga itu duduk berhadapan untuk membicarakan masalah pernikahan. Pada akhirnya, hubungan yang dianggap tidak akan bertahan lama itu ternyata akan berakhir di pelaminan. “Untuk mengikat keduanya, kami sudah menyiapkan cincin pertunangan untuk mereka. Maaf kalau sebelumnya kami tidak mengatakan apa pun terkait ini, tapi, akan lebih baik kalau mereka tunangan lebih dulu.” Pijar meletakkan kotak cincin di atas meja dengan keadaan terbuka. Dua cincin berkilauan itu terlihat. Satu cincin bertahtakan berlian itu tampak begitu mewah dan indah. Cincin itu diperuntukkan untuk Ruby dan satu cincin polos tentu saja untuk Orion. “Bu Pijar, bukankah ini terlalu
“Pasti ada hal penting yang ingin dr. Daniel katakan kepada kami sehingga jauh-jauh datang ke kantor kami.” Elang menyambut dengan baik kedatangan Daniel. Setelah mengetahui jika Elang adalah seorang CEO, lelaki itu tampaknya mengubah pandanganya tentang Orion. Dia belum tahu mendalam tentang Orion dan keluarganya dan hanya dengan semua ini saja dia sudah terkejut luar biasa. Daniel mengangguk sebelum berbicara. “Ruby menerima tawaran Orion. Dia mau menikah dengan Orion dan saya diminta Papa untuk menemui Pak Elang untuk membicarakan tentang ini. Kapan keluarga kami bisa datang ke kediaman Pak Elang untuk membahas pernikahan?” Elang menatap Orion yang juga tengah menatapnya dengan serius. Dia tak memiliki apa pun untuk dikatakan. Lelaki itu hanya diam seolah masih mencerna setiap kejadian yang terjadi hari ini. “Kalau memang ingin membicarakan pernikahan, kami saja yang akan datang. Sekalian melamar secara resmi.” Elang menjawab dengan lugas dan tegas. “Tidak, Pak. Bapak dan kelu
“Aku sudah memutuskan untuk menikah. Nggak peduli kalau hanya menjadi ibu rumah tangga.” Setelah memikirkan selama berhari-hari, akhirnya Ruby mengambil keputusan dan mengatakan kepada keluarganya. setelah makan malam, dia mengumpulkan empat anggota keluarganya untuk diajak berbicara serius. Baginya semua akan sama saja. Dia sekarang terkurung di rumah besar orang tuanya tanpa melakukan apa pun. Semua yang dia mau sudah tersedia dan sekedar menginginkan es krim saja sudah tersedia. Ruby sudah merasa lelah dengan semua yang terjadi sekarang. Biarlah dia menikah dan menjadi istri Orion. Dia tidak pernah apa keputusannya menikah muda adalah keputusan yang tepat, tetapi baginya ini lebih baik. “Aku sudah memikirkan secara matang dan mendalam. Aku akan menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku banyak cinta dan Orion adalah orang itu.” Ruby menatap satu per satu keluarganya. Bisa dilihat bagaimana mereka tampak terkejut yang berusaha ditutupi. Rahang sang ayah tampak mengerat, pun d
Seluruh anggota keluarga Ruby dibuat terkejut dengan kemunculan Orion di rumah mereka. Orion tidak datang sendiri melainkan bersama dengan kedua orang tuanya. Lelaki itu seolah ingin menunjukkan keseriusannya kepada Ruby atas hubungannya dengan gadis itu. Ayah Ruby tentu saja menerima kedatangan mereka dengan santun selayaknya tuan rumah menerima tamu. “Maafkan kami, Pak, kalau kedatangan kami mengejutkan Bapak dan keluarga.” Elang mengawali. “Tujuan kami ke sini tak lain adalah untuk itikad baik kami dalam hubungan Orion dan Ruby.” Ruby yang juga berada di sana pun terlihat terdiam tak mengatakan apa pun. Elang adalah bos besar dan dia bahkan tidak pernah berhadapan langsung dengan lelaki itu sejauh dia bekerja di Infinity. Namun, sekarang lelaki itu tiba-tiba datang dan membicarakan masalah hubungan putranya dengan mantan karyawannya. Sungguh, dalam bayangan Ruby pun dia tak pernah menyangka hari ini akan tiba. “Orion mengatakan jika dia sangat mencintai Ruby dan tidak siap jika
Total sudah dua bulan Orion tidak bertemu dengan Ruby. Jangan tanyakan bagaimana rindunya lelaki itu kepada sang pujaan hati. Setelah dia mendapatkan alamat rumah orang tua Ruby, alih-alih segera mendatangi rumah gadis itu, dia justru terus memutar ucapan sang ayah di dalam kepalanya. Dia selama ini tidak pernah mendapatkan penolakan dalam hal apa pun. Tentu saja ada sebuah ketakutan yang muncul di dalam hatinya jika orang tua Ruby akan menolaknya mentah-mentah. Oleh karena itu, dia belum berani ambil resiko. Namun, semakin dia merasakan rindu itu menggebu, semakin tidak bisa dia mengendalikan emosinya. Hampir setiap hari dia marah kepada orang-orang di sekitarnya. “Silakan, Mas.” Orion terhenyak ketika seorang pelayan datang membawa pesanan makan siangnya. Dia mengangguk dan berterima kasih kepada pelayan tersebut sebelum memulai makan. Merasa ada yang memperhatikan, Orion mendongak dan seperti ada tamparan di wajahnya, tepat di depannya ada Ruby yang menatap ke arahnya. Orion den
Perjalanan cinta Orion sama sekali tidak mudah. Pertentangan itu bukan hanya muncul dari satu orang, tetapi satu keluarga Ruby. Orion memang belum pernah bertemu dengan ayah Ruby, tetapi dia pun yakin semua ucapan Daniel sudah mewakili ayahnya. Sekarang dia hanya menunggu sebuah keajaiban barangkali dia akan bertemu dengan Ruby tanpa disengaja. “Mas Orion.” Orion mendongak menatap dua orang yang ada di depannya. Dia memanggil dua orang tersebut untuk ke ruangannya. “Duduk!” perintahnya setelah itu. “Di antara kalian, apa ada yang tahu sesuatu tentang Ruby?” tanya Orion. “Kalian satu divisi dengan Ruby saya rasa mungkin ada sesuatu yang bisa kalian bagi tentang dia.” Dua orang itu saling menatap sebelum salah satu dari mereka menjawab. “Jujur saja selama kami bekerja bersama dengan Ruby selama ini, nggak pernah sekalipun dia bercerita tentang kehidupan pribadinya, Pak.” Orion sudah menduga jawaban itu yang diberikan. Namun, dia memilih untuk tidak berbicara lebih dulu. “Ruby itu ti
Seorang lelaki berbadan kekar berdiri di depan Ruby dengan wajah garangnya. Ruby tidak tahu kenapa ada lelaki asing itu di rumah orang tuanya, tetapi tiba-tiba saja dia mengingat ucapan ayahnya saat itu. Jika Ruby ingin ke mana-mana, maka ada seorang bodyguard yang akan menemaninya. Apa jangan-jangan ….“Namanya Brama.” Ayah Ruby tiba-tiba bersuara. “Dia yang akan menemani kamu ke mana pun kamu pergi. Kamu bisa jalan-jalan ke mana pun kamu mau dan Brama yang akan membayar semuanya. Papa sudah memberikan kartu debitmu kepadanya.” Ruby tahu kenapa ayahnya melakukan itu karena memang kartu debit yang diberikan kepadanya bahkan tidak diterima. “Aku nggak mau ke mana-mana.” Ruby berlalu dari hadapan sang ayah untuk pergi ke ruang makan. Ruby tidak berlama-lama mogok makan. Bagaimanapun dia tidak ingin mati secara mengenaskan hanya karena kelaparan. “Aku butuh HP-ku, Pa.” Ruby duduk di kursi makan. Menerima roti yang baru saja dibuatkan oleh ibunya. “Daniel bilang kalau kamu sudah dibel
“Semua urusan di kantormu sudah Abang selesaikan. Kamu per hari ini sudah nggak tercatat lagi sebagai karyawan Infinity.” Daniel baru saja pulang dari rumah sakit ketika melihat adiknya tengah melamun di halaman samping rumah dengan sebuah buku di tangannya. Lelaki itu meletakkan barang belanjaan di atas meja sebelum duduk di kursi berseberangan dengan kursi yang diduduki oleh Ruby. “Ini Abang belikan HP dan tablet baru buat kamu. Nomornya sudah ada dan kamu tinggal pakai.” Ruby melirik tanpa minat seolah dia tak membutuhkan itu. Untuk apa barang-barang mewah itu? Toh dia sebenarnya membutuhkan itu untuk bekerja. Sekarang semuanya sudah berakhir dan sudah tidak menyisakan apa pun lagi di dalam hidupnya. “Non Ruby, dipanggil untuk ke ruangan Bapak.” Belum satu terjawab, dia sudah diminta menghadap sang ayah. Betapa kakunya hidupnya sekarang. Ini adalah hal yang paling tidak disenangi ketika dia berada di rumahnya. Segalanya terasa begitu berat untuknya. Ruby beranjak untuk menemui