Setelah beberapa menit mengendarai mobil hitamnya, Tristan memutuskan untuk menepikan kendaraannya di pinggir jalan yang berdekatan dengan pasar malam. Stella memandang dengan antusias ke arah pasar malam yang begitu ramai. Sorot matanya berbinar melihat permainan-permainan yang menjulang tinggi ke atas langit.Mereka berdua keluar dari mobil dengan penuh semangat. Langkah-langkah mereka terhenti sejenak ketika aroma makanan khas pasar malam menyambut mereka, menggoda lidah dan penciuman mereka. Tristan melihat senyum cerah di wajah Stella, membuatnya merasa senang.“Kamu suka?” tanya Tristan sambil tersenyum melihat kegembiraan Stella.Stella mengangguk cepat. “Iya, aku suka sekali! Pasar malam ini begitu hidup dan bersemangat.”Tristan tersenyum puas melihat antusiasme Stella. “Ayo kita jelajahi pasar malam ini.”Mereka berdua berjalan menyusuri deretan kios-kios yang berjejer di sepanjang jalan. Suasana pasar malam begitu riuh dengan suara jualan, tawa riang anak-anak, dan lampu-la
Stella memandang bunga mawar yang terhampar di tangannya dengan tatapan terkesima. “Tristan, ternyata selama ini aku salah menilaimu,” ucapnya dengan suara penuh kekaguman.“Salah kenapa?” tanya Tristan, lelaki itu sepertinya ingin tahu apa yang ada di pikirkan Stella.“Aku kira kamu sudah tidak romantis lagi seperti dulu, tapi ternyata, kamu masih romantis,” jelas Stella sambil tersenyum.“Jadi … jangan meremehkan aku lagi,” ucap Tristan sambil tersenyum bangga atas pujian Stella.Stella kemudian menunjukkan keheranannya. “Oh ya, kamu membeli bunga ini dari mana? Perasaan tadi kamu tidak membawa bunga,” tanyanya.Tristan menjelaskan, “Di depan sana ada yang jual, tapi satuan.”“Maksudnya?” tanya Stella, memandang bunga-bunga tersebut yang tampaknya lebih dari satu.“Aku membeli semua bunganya dan menyuruh penjual itu untuk merangkainya jadi satu,” terang Tristan dengan bangga.Stella tertegun. “Hm, sungguh merepotkan,” gumamnya sambil menggeleng pelan.Namun, di balik rasa kekaguman
Tristan mencoba menyalakan mesin mobilnya lagi, tetapi mesin mobil tetap tidak mau menyala. “Aku akan keluar dan melihat apa yang terjadi.”Stella memegang tangan Tristan dengan cemas. “Tapi jalannya sepi, Tristan. Lebih baik kita tidak meninggalkan mobil di sini.”Tristan menepis tangan Stella dengan lembut. “Tenang saja, aku akan segera kembali. Aku hanya akan melihat apa yang terjadi.”Dengan hati-hati, Tristan keluar dari mobil dan membuka penutup depan untuk memeriksa mesin. Setelah beberapa saat, dia kembali dengan ekspresi kecewa. “Tampaknya ada masalah dengan mesin. Aku tidak bisa memperbaikinya sendiri di sini.”Stella menggigit bibirnya, mencoba menahan kegelisahannya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”Tristan merenung sejenak sebelum menemukan solusi. “Aku akan mencoba menelepon layanan bantuan jalan. Mereka seharusnya bisa membantu kita.”Tristan mulai merogoh ponselnya dari saku jaketnya, tapi ternyata tidak ada sinyal.“Kenapa?” tanya Stella, wajahnya terlihat khaw
“Tristan, kamu di mana?” desak Stella dengan suara gemetar, tetapi tidak ada jawaban dari Tristan. Kegelapan yang tiba-tiba menimpa mereka membuat pandangan Stella semakin terbatas. Panik mulai merayap di dalam dirinya, menyusup ke setiap serat tubuhnya. Kegelapan ini memicu rasa takut yang mendalam, membuatnya merasa terkurung dalam ruang sempit. Stella merasakan denyut panik di dadanya saat kilatan kenangan akan pengalaman traumatis sebelumnya yang terulang kembali. Dia teringat bagaimana ia pernah terperangkap dalam gelap, terkunci dalam gudang yang sunyi dan menyeramkan. Pikiran itu melonjak kembali, membawa sensasi tekanan yang tak tertahankan. “Tristan, tolong!” seru Stella lagi, suaranya penuh kecemasan, tetapi masih tak ada jawaban. Dia meraba-raba di sekelilingnya, mencari tangan Tristan atau setidaknya sesuatu yang bisa memberinya pegangan. Namun, hanya hampa yang dia temui, menambah ketakutan dan kecemasannya. “Tristan, di mana kamu?!” teriak Stella dengan suara gemeta
Tangan Stella meraba dada bidang Tristan, dan matanya terbuka perlahan ketika ia merasakan sentuhan hangat yang menyelimutinya. Matanya terbelalak ketika menyadari bahwa dada yang menjadi bantalannya adalah milik Tristan. Perlahan, dia menoleh ke arah lelaki yang berada di sampingnya.Tristan tersenyum saat melihat Stella bangun dari tidurnya. Senyumnya membawa kehangatan di antara mereka, meskipun Stella masih terlihat sedikit kaget.“T-Tristan,” gumam Stella lirih, wajahnya terlihat bingung atas apa yang terjadi padanya.“Morning,” ucap Tristan dengan lembut, sambil mencium pipi Stella dengan penuh kasih sayang.Stella masih mencoba mencerna situasi. “A-Apa yang sudah kita lakukan?” tanya Stella, kebingungannya semakin terlihat jelas saat ia menyadari bahwa tubuh mereka hanya terbungkus oleh selimut putih.Tristan tersenyum dan mengelus rambut Stella dengan lembut. “Apakah kamu lupa?”“Mm, kamu sudah bangun sejak kapan?” tanya Stella, mencoba mengalihkan topik.“Satu jam yang lalu,”
Di teras rumah yang sunyi, Bi Ani menatap suaminya dengan tatapan cemas saat ia melihatnya sudah bersiap-siap untuk pergi. “Apa kalian akan langsung pergi tanpa makan siang terlebih dulu?” tanyanya.Paman Dul, Dafina, dan Tristan yang sudah siap untuk meninggalkan rumah dan segera menuju ke rumah sakit. “Kami langsung pergi saja, Bibi,” ujar Tristan dengan tegas.Bi Ani mengangguk. “Baiklah, kalian hati-hati di jalan.”Dafina yang sejak tadi merasa ada yang kurang, bertanya tentang keberadaan Stella. “Apa Stella tidak ikut, Tuan?” tanyanya pada Tristan.Tristan menjawab, “Tidak, hanya kita saja yang pergi.”“Ya sudah kalau begitu, kita berangkat sekarang.” kata Paman Dul yang sudah mempersiapkan diri.Mereka segera menuju rumah sakit untuk menyelidiki penyebab kematian massal sapi di peternakan.Saat mereka sampai di rumah sakit, mereka semua segera menemui dokter. “Dok, ada apa sebenarnya dengan jumlah sapi yang semakin berkurang setiap harinya di peternakan kami?” tanya Paman Dul.S
Dafina mengambil botol air dari cup holder di mobil, membuka tutupnya, dan menyerahkannya kepada Tristan dengan ramah. “Tuan, apa Anda mau minum?” tawar Dafina kepada Tristan yang tengah sibuk dengan tabletnya. Tristan mengangguk dengan senyum. “Boleh,” jawabnya sopan. Dia kemudian mengambil botol air tersebut dari tangan Dafina, tanpa sengaja menyentuh tangan wanita itu. Saat Tristan menyentuh tangannya, Dafina merasa hatinya berbunga-bunga. Dia secara tidak sengaja mengira bahwa Tristan melakukan sentuhan itu dengan sengaja, dan dia merasa tersanjung oleh perhatian lelaki itu. Sementara itu, Stella yang sedang sibuk membaca koran di kursi depan hanya menggerutu kesal ketika mendengar tingkah Dafina yang begitu perhatian kepada kekasihnya. Meskipun mereka sudah berpacaran, Stella selalu menegaskan kepada Tristan untuk tidak memberitahu kepada siapa pun bahwa mereka berpacaran. Dia tidak ingin orang-orang memiliki pemikiran buruk terhadapnya karena hubungannya dengan CEO di perus
Elsa duduk di tengah-tengah Tristan dan Stella, wajahnya tampak bingung dan marah sekaligus. Dia merasa seperti selalu memergoki keduanya dalam situasi yang mencurigakan.“Dengar, jelaskan apa yang aku lihat tadi?!” ancam Elsa sambil menatap tajam ke arah Tristan dan Stella.Stella menelan ludahnya sebelum berkata, “Tadi, kami hanya .….”“Hanya berciuman, begitu?” potong Elsa. “Dengar, Stella, aku sangat kaget ketika pertama kalinya melihat Tristan tiba-tiba ada di kamar kontrakanmu beberapa bulan yang lalu. Dan sekarang, aku melihat kalian berciuman. Jangan bilang kalian hanya melakukan itu sebagai rekan kerja. Aku tidak mau kau berbohong padaku,” sergah Elsa.Stella menghembuskan napasnya gusar ketika Elsa terus mendesaknya. “Baiklah, aku akan jujur. Sebenarnya ... aku dan Tristan sudah berpacaran.” Akhirnya, Stella mengungkapkan status hubungannya dengan Tristan.Elsa terdiam mendengar penjelasan Stella. “Apa?! Kalian berdua berpacaran?” ujarnya dengan nada yang tidak percaya.Stel
Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana
"Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni
Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe
"Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell
"Sayang, bangun, ini sudah jam 8 pagi. Apa kamu mau tidur terus?" Safira membangunkan anaknya, Stella, yang masih tidur begitu pulas. Ia mengelus rambut Stella dengan lembut, berharap putri kesayangannya itu bangun. Stella menggeliat ketika merasakan tangan hangat ibunya mengelus rambutnya. "Stella masih ngantuk," gumamnya, yang masih enggan untuk bangun. "Ini udah pagi, Sayang. Mama sudah siapin sarapan, kita sarapan bareng, ya." "Hm, Stella nggak laper," jawab Stella dengan suara serak. "Tadi malam kamu juga makannya cuma sedikit. Sekarang harus makan lagi, ya." "Tapi, Ma ...." "Hust, nurut sama mama, ya. Di luar juga ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu." Stella langsung membuka matanya lebar-lebar ketika ibunya berkata ada seseorang di luar. "Siapa, Ma?" "Temui dia, dia bilang sudah kangen sama kamu." "Mm, iya deh, Ma," ujar Stella sambil bangun dari tidurnya. Ia pun menyingkap selimut dan mulai merapikan rambutnya yang masih berantakan. Namun, ketika Stel
"Ya, tiba-tiba ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan aku juga mau menemui kamu. Aku nggak bisa tinggal lama di Jakarta," kata Elsa dengan nada menyesal. Stella menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi aku terkejut mendengar itu. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?" Elsa tertawa kecil. "Tenang, Stella. Aku cuma sebentar di Jogja. Lagi pula, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sudah kangen sama kamu. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" Stella tersenyum lemah. "Hm, ya, aku juga kangen sama kamu." Stella menghela napas lega. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." "Aku akan segera menemui kamu, Stella. Kita bisa ngobrol banyak hal seperti biasa," ujar Elsa dengan nada meyakinkan. "Baiklah. Jaga diri di perjalanan, ya. Dan segera hubungi aku kalau sudah sampai Jogja," kata Stella dengan suara pelan. "Pasti, Stella. Kamu juga jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku selalu siap buat kamu," balas Elsa. "Terima kasih,
Safira terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Stella, tetapi ia tetap tenang. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Tristan tidak ada di sini sekarang, dan mama khawatir kamu akan sendirian mengurus semuanya." Stella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh orang lain, Ma. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan bayiku." Emir yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Stella, kami hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kami tahu ini berat, tapi coba beri kesempatan." Stella mendesah, ia merasa frustrasi, begitu bingung dengan sikap kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang, aku tidak butuh orang lain. Aku hanya ingin fokus pada kesehatanku dan bayiku." Safira mencoba mendekati Stella dan memegang tangannya. "Sayang, mama mengerti perasaanmu. Tapi setidaknya, temuilah dia. Tidak ada salahnya berteman, 'kan?" Stella menarik tangannya dari genggaman Safira. "Ma, aku sudah punya Tristan. Meski dia tidak ada di sini sekarang, aku yakin dia akan kembali dan bertanggung jawa
Stella baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah meja. Wanita yang masih mengenakan bathrobe itu segera meraih ponselnya yang ada di atas meja. Ia membuka layar ponselnya dan memeriksa pesan serta panggilan yang masuk. Namun, tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari kekasihnya, Tristan. "Apa dia begitu sibuk sampai tak mengabariku?" gumam Stella sambil memandangi ponsel yang ada digenggamannya. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya. Stella pun mencoba untuk menghubungi Tristan, namun ponsel lelaki itu ternyata tidak aktif. Rasa kecewanya semakin bertambah. Akhirnya, Stella memutuskan untuk mencoba menghubungi Dafina, sekretaris Tristan yang ikut pergi ke luar negeri. Ia berharap mendapatkan kabar tentang Tristan dari Dafina. Stella menunggu beberapa saat hingga panggilannya terhubung. "Halo, Dafina?" sapa Stella dengan nada penuh harap. "Halo, Stella. Ada apa?" balas Dafina dari ujung telepon. "Dafina, aku khawatir karena tidak bisa menghubungi Tristan. Ponselnya tid
Stella sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Jakarta, tapi ibunya tetap saja bersikeras. Safira terus melipat baju-baju Stella dan memasukkannya ke dalam koper dengan cepat. "Ma, aku sudah bilang aku gak mau," rengek Stella, suaranya terdengar putus asa ketika melihat ibunya yang tak berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Safira menghela napas panjang dan menatap Stella dengan mata penuh kasih sayang. "Sebentar saja, Stella. Memangnya kamu tidak mau melihat adik-adikmu dan papamu di kampung?" Stella menghela napas panjang, ia merasa terpojok. "Baiklah, tapi aku tidak mau Mama membawa semua baju-bajuku. Aku masih punya banyak urusan di sini." Safira tersenyum sedikit, ia merasa senang karena Stella mulai luluh. "Mama hanya membawa beberapa bajumu saja. Sekarang, bersiaplah. Kamu mandi dulu. Mama takut kita akan ketinggalan kereta." Stella mengangguk dengan enggan. "Hm, baiklah." Stella berjalan gontai menuju kamar mandi, merasa berat hati