Tristan menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul enam pagi. Dia mengambil napas dalam-dalam, membiasakan diri dengan udara segar pagi yang masih dingin. Hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya karena ia akan pergi berangkat kerja bersama kekasihnya, Stella. Tristan segera bersiap-siap dan berangkat menuju kontrakan Stella. Dia sangat bersemangat untuk berangkat bersama dengan Stella dan menghabiskan waktu bersamanya sepanjang hari. Ketika sudah dekat dengan rumah Stella, sang sopir memarkirkan mobil tersebut di depan kontrakan Stella. “Selamat pagi, Sayang,” seru Tristan sambil memberikan senyum termanisnya. Stella menjawab senyum Tristan, tetapi dia terlihat sedikit khawatir ketika Tristan membuka pintu mobil untuknya. Dia melihat sopir mobil yang duduk di kursi depan. “Ish, jangan seperti ini, nanti Pak Rian lihat,” ujar Stella sambil melepaskan tangan Tristan yang ada di pinggangnya. “Tidak apa-apa, Pak Rian mulutnya tidak ember kok,” bisik Tristan di telinga Stel
Stella melangkah menuju ke meja kerja temannya, Maya, dengan flashdisk di tangan. Namun tak sengaja, dia melihat Maya sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya. “May, tolong cetak beberapa dokumen yang ada di dalam flashdisk ini dong,” pinta Stella. “Oh, oke,” jawab Maya sambil mengambil flashdisk dari tangan Stella. “Kalian ngapain kumpul di sini? Bukannya kerja malah ngerumpi,” celetuk Stella. “Eh, kebetulan kamu ada di sini, Stella. Kamu mau dengar gosip hangat di perusahaan kita tidak?” kata Lusi sambil terkekeh. “Gosip hangat? Apa maksudmu?” tanya Stella dengan heran sambil mengangkat satu alisnya. “Memangnya kamu tidak tahu? Tuan Tristan ternyata dulunya pernah ditolak sama perempuan. Sampai Tuan Tristan trauma akan wanita,” terang Lusi, sambil berkata dengan suara merdu. Stella mengerutkan alisnya lagi ketika mendengar perkataan Lusi. Dia tidak tahu mengapa gosip tersebut sampai terdengar di seluruh kantor. “Kalian tahu dari mana?” tanya Stella dengan wajah
Stella duduk di kamarnya, matanya menatap layar ponsel yang sejak tadi hanya menampilkan layar kosong. Ia merasa cemas dan sedih karena tidak ada satu pesan pun dari Tristan, pacarnya. Ia berharap lelaki itu akan menelponnya atau setidaknya mengirimkan pesan. Namun, tidak ada satu pesan pun dari Tristan. Malam ini adalah malam Minggu, Stella sangat berharap Tristan mengajaknya jalan seperti biasa atau setidaknya memberi kabar. Namun, semuanya kosong. Tristan tak memberikan satu pun kabar. Stella semakin merasa cemas dan bingung, seakan-akan ada yang disembunyikan oleh pacarnya. Stella sama sekali tidak tahu siapa yang menelepon pacarnya tadi siang, tetapi ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Terlebih lagi, ketika Tristan pulang dari kantor, ia langsung melangkah pergi tanpa mengantarkan Stella pulang terlebih dulu. Stella semakin curiga dan tidak bisa menenangkan pikirannya. Stella mencoba menghubungi Tristan. Namun, Tristan sama sekali tidak mengangkat panggilannya. “Kenapa
Setelah Elsa memberitahunya tentang Tristan yang sedang bersama wanita lain, hati Stella merasa gundah. Hubungannya yang lama dengan mantan kekasihnya, Ramon, juga kandas karena lelaki itu berselingkuh. Sekarang, apakah Tristan juga melakukan hal yang sama? Stella memutuskan untuk segera pergi keluar mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia mengambil cardigan rajut yang ada di gantungan, lalu bergegas keluar dari kontrakannya untuk mencari taksi. Setelah beberapa menit menunggu di pinggir jalan, akhirnya ada taksi yang berhenti di depannya. Stella membuka pintu taksi dan masuk ke dalamnya. “Ke mana tujuan Anda, Mbak?” tanya sopir taksi. Stella merasa sulit untuk memberi jawaban yang pasti sekarang. “Saya hanya ingin pergi ke supermarket yang ada di dekat taman, Pak,” jawab Stella dengan suara sedikit gemetar. Setelah sopir mengangguk dan memulai mobilnya, Stella mulai menggenggam erat ponselnya, hendak menghubungi Tristan lagi. Beberapa saat kemudian, Tristan akhirnya
Stella baru saja tiba di kantor dengan amarah yang menguasai jiwanya. Wanita yang mengenakan blus putih itu melangkahkan kakinya lebar memasuki ruang kerja Tristan. Hatinya sedikit gundah. Sejak semalam, Stella berusaha menghubungi Tristan, tetapi tidak mendapat respon apa pun dari kekasihnya itu. Stella membuka pintu ruang kerja Tristan dengan tergesa-gesa. Tristan yang sedang fokus bekerja di depan laptopnya, terkejut dengan kedatangan Stella yang tiba-tiba. “Stella, ada apa?” tanya Tristan dengan nada khawatir. “Kenapa kamu tidak mengangkat telepon atau membalas pesanku?” umpat Stella dengan rasa kesal yang masih melekat. “Oh, tadi malam ponselku kehabisan daya, aku belum sempat mengecasnya,” jawab Tristan dengan nada yang lembut. Stella merasa penat dan kesal. Dia merasa bahwa perhatian Tristan padanya semakin berkurang, terlebih lagi, sikap cuek Tristan membuatnya semakin kesal. Dia mulai meragukan hubungannya dengan Tristan. “Kemarin kamu pergi ke mana saja?” tanya Stel
Tok! Tok! Tok! Stella langsung membalikkan tubuhnya membelakangi pintu saat mendengar suara pintu ruang kerja Tristan terbuka. Dia mengusap kasar air matanya yang masih terjatuh, mencoba menutupi keadaan dalam hatinya agar tidak terlihat oleh orang yang baru tiba di ruangan Tristan. “Permisi, Tuan,” kata Dafina sambil masuk ke ruangan Tristan. Namun, tatapannya bingung ketika melihat Stella ada di dalam ruangan itu. Stella berusaha tetap tenang dan menjaga jarak dari Tristan. Dia memalingkan wajahnya dan menatap kosong ke arah langit-langit, mencoba untuk tidak menampilkan perasaannya yang sungguh-sungguh terluka. “Ada apa?” tanya Tristan pada Dafina, yang terlihat sedikit bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Dafina tersenyum dan menjawab, “Saya hanya ingin memberitahu Anda bahwa rapat dengan dewan direksi akan dimulai dalam 15 menit.” Tristan mengangguk. “Baiklah, tolong siapkan beberapa laporan untuk rapat nanti,” kata Tristan kepada Dafina. “Baik, Tuan. Saya akan meny
Malam telah larut, dan jarum pendek jam menunjukkan pukul sebelas. Di dalam kantor yang sepi begitu hening, Tristan masih terperangkap di balik pintu ruang kerjanya yang tertutup. Stella, yang telah lama menanti di luar, mulai diliputi kekhawatiran. Sejak rapat sore tadi, Tristan tak kunjung menampakkan diri. “Pak Mimin, apakah makanan yang saya pesan sudah tiba?” tanya Stella, mencoba menyembunyikan kegelisahannya ketika Pak Mimin mulai menghampirinya dengan membawa beberapa kantong kresek berwarna putih. “Ya, Nona Stella. Ini, makanan Anda,” sahut Pak Mimin, penjaga keamanan kantor, sambil menyerahkan beberapa kantong plastik. “Oh, baik, terima kasih, Pak Mimin,” kata Stella bangkit dari kursinya sambil mengambil kresek tersebut. “Sama-sama Nona Stella,” ujar Pak Mimin yang langsung pergi dari hadapan Stella. Dengan langkah yang berat, Stella mendekati pintu ruang kerja Tristan, tangannya penuh dengan kantong plastik berisi makanan. Begitu pintu terbuka, sosok Stella yang anggu
Stella memandangi pintu ruang kerja Tristan yang terbuka lebar. Ia bergidik melihat kedatangan Evan, yang membawa Almira bersamanya. Stella merasa sulit untuk menahan amarahnya saat melihat Almira berada di kantor. Wanita itu sudah merebut Ramon darinya, dan kini ia bahkan sudah berani muncul di kantor. Stella teringat pertikaiannya dengan Almira beberapa hari lalu, yang bermula dari kesalah pahamannya. Stella mengira Almira merebut Tristan darinya seperti yang dilakukan gadis itu saat mengambil Ramon darinya juga. Namun, Stella tidak menyangka bahwa wanita itu ternyata adalah adik dari kekasihnya, Tristan. Sepasang mata mereka bertubrukan. Seakan ada energi negatif yang tersimpan di antara dua wanita itu. Perasaan benci yang mendalam terus mengikis hati keduanya sejak kejadian itu. Namun, sesaat setelah itu, Stella menyadari bahwa ia harus mengubah sikapnya. Ia tidak bisa terus menyimpan kebencian karena kesalahpahaman yang terjadi. Ada hal yang perlu ia ketahui dari Almira, ali
Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana
"Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni
Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe
"Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell
"Sayang, bangun, ini sudah jam 8 pagi. Apa kamu mau tidur terus?" Safira membangunkan anaknya, Stella, yang masih tidur begitu pulas. Ia mengelus rambut Stella dengan lembut, berharap putri kesayangannya itu bangun. Stella menggeliat ketika merasakan tangan hangat ibunya mengelus rambutnya. "Stella masih ngantuk," gumamnya, yang masih enggan untuk bangun. "Ini udah pagi, Sayang. Mama sudah siapin sarapan, kita sarapan bareng, ya." "Hm, Stella nggak laper," jawab Stella dengan suara serak. "Tadi malam kamu juga makannya cuma sedikit. Sekarang harus makan lagi, ya." "Tapi, Ma ...." "Hust, nurut sama mama, ya. Di luar juga ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu." Stella langsung membuka matanya lebar-lebar ketika ibunya berkata ada seseorang di luar. "Siapa, Ma?" "Temui dia, dia bilang sudah kangen sama kamu." "Mm, iya deh, Ma," ujar Stella sambil bangun dari tidurnya. Ia pun menyingkap selimut dan mulai merapikan rambutnya yang masih berantakan. Namun, ketika Stel
"Ya, tiba-tiba ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan aku juga mau menemui kamu. Aku nggak bisa tinggal lama di Jakarta," kata Elsa dengan nada menyesal. Stella menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi aku terkejut mendengar itu. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?" Elsa tertawa kecil. "Tenang, Stella. Aku cuma sebentar di Jogja. Lagi pula, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sudah kangen sama kamu. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" Stella tersenyum lemah. "Hm, ya, aku juga kangen sama kamu." Stella menghela napas lega. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." "Aku akan segera menemui kamu, Stella. Kita bisa ngobrol banyak hal seperti biasa," ujar Elsa dengan nada meyakinkan. "Baiklah. Jaga diri di perjalanan, ya. Dan segera hubungi aku kalau sudah sampai Jogja," kata Stella dengan suara pelan. "Pasti, Stella. Kamu juga jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku selalu siap buat kamu," balas Elsa. "Terima kasih,
Safira terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Stella, tetapi ia tetap tenang. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Tristan tidak ada di sini sekarang, dan mama khawatir kamu akan sendirian mengurus semuanya." Stella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh orang lain, Ma. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan bayiku." Emir yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Stella, kami hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kami tahu ini berat, tapi coba beri kesempatan." Stella mendesah, ia merasa frustrasi, begitu bingung dengan sikap kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang, aku tidak butuh orang lain. Aku hanya ingin fokus pada kesehatanku dan bayiku." Safira mencoba mendekati Stella dan memegang tangannya. "Sayang, mama mengerti perasaanmu. Tapi setidaknya, temuilah dia. Tidak ada salahnya berteman, 'kan?" Stella menarik tangannya dari genggaman Safira. "Ma, aku sudah punya Tristan. Meski dia tidak ada di sini sekarang, aku yakin dia akan kembali dan bertanggung jawa
Stella baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah meja. Wanita yang masih mengenakan bathrobe itu segera meraih ponselnya yang ada di atas meja. Ia membuka layar ponselnya dan memeriksa pesan serta panggilan yang masuk. Namun, tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari kekasihnya, Tristan. "Apa dia begitu sibuk sampai tak mengabariku?" gumam Stella sambil memandangi ponsel yang ada digenggamannya. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya. Stella pun mencoba untuk menghubungi Tristan, namun ponsel lelaki itu ternyata tidak aktif. Rasa kecewanya semakin bertambah. Akhirnya, Stella memutuskan untuk mencoba menghubungi Dafina, sekretaris Tristan yang ikut pergi ke luar negeri. Ia berharap mendapatkan kabar tentang Tristan dari Dafina. Stella menunggu beberapa saat hingga panggilannya terhubung. "Halo, Dafina?" sapa Stella dengan nada penuh harap. "Halo, Stella. Ada apa?" balas Dafina dari ujung telepon. "Dafina, aku khawatir karena tidak bisa menghubungi Tristan. Ponselnya tid
Stella sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Jakarta, tapi ibunya tetap saja bersikeras. Safira terus melipat baju-baju Stella dan memasukkannya ke dalam koper dengan cepat. "Ma, aku sudah bilang aku gak mau," rengek Stella, suaranya terdengar putus asa ketika melihat ibunya yang tak berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Safira menghela napas panjang dan menatap Stella dengan mata penuh kasih sayang. "Sebentar saja, Stella. Memangnya kamu tidak mau melihat adik-adikmu dan papamu di kampung?" Stella menghela napas panjang, ia merasa terpojok. "Baiklah, tapi aku tidak mau Mama membawa semua baju-bajuku. Aku masih punya banyak urusan di sini." Safira tersenyum sedikit, ia merasa senang karena Stella mulai luluh. "Mama hanya membawa beberapa bajumu saja. Sekarang, bersiaplah. Kamu mandi dulu. Mama takut kita akan ketinggalan kereta." Stella mengangguk dengan enggan. "Hm, baiklah." Stella berjalan gontai menuju kamar mandi, merasa berat hati