Setelah memasuki kantor, Tristan, Dafina, Stella, dan Maya berjalan menuju lift. Dafina menekan tombol untuk naik ke lantai 14, tempat ruang kerja mereka berada. Saat pintu lift tertutup, suasana menjadi hening, hanya terdengar gemerisik halus dari mesin lift.Tristan memperhatikan Stella diam-diam, tetapi wanita itu membuang muka, tidak mau bertatapan dengannya. Ada keheningan yang kaku di antara mereka, yang tak bisa diabaikan.Ketika pintu lift terbuka di lantai 14, mereka semua keluar dan menuju ruang kerja masing-masing. “Tuan, rapat akan dimulai dalam satu jam,” ujar Dafina mengingatkan Tristan.Tristan mengangguk dan masuk ke dalam ruangannya tanpa berkata apa-apa.“Stella, tolong berikan dokumen surat perjanjian perusahaan ini kepada Tuan Tristan,” titah Dafina, yang sedang sibuk dengan panggilan telepon.Namun, Stella terdiam sejenak, wanita itu ragu-ragu. Ia tidak ingin bertemu langsung dengan Tristan, terutama setelah malam yang sulit dia lewati. Namun, dengan berat hati,
Stella dan Dafina mencari dokumen tersebut dengan penuh ketegangan. Stella mencari dokumen itu di meja Dafina karena dia masih ingat betul terakhir kali dia meletakkan dokumen tersebut di meja Dafina. Dafina bersedekap dada melihat Stella yang mencari dokumen itu di mejanya.“Bagaimana? Dokumennya tidak ada di mejaku, ‘kan? Sudahlah, kamu tidak perlu menyalahkan orang lain atas kesalahanmu sendiri,” ujar Dafina yang terlihat kesal.“Tapi aku masih ingat jelas, aku meletakkannya di meja kamu,” ungkap Stella.“Daripada kamu mencari di mejaku, lebih baik kamu cari di mejamu sendiri!” kata Dafina dengan nada yang tajam.Setelah mendengar perkataan Dafina, Stella pun berlari ke meja kerjanya untuk mencari dokumen tersebut, wanita yang memiliki tubuh langsing itu mulai mencari dari laci hingga tempat penyimpanan lainnya. Bahkan ia sampai mengeluarkan semua barang yang ada di tasnya, tapi tetap saja dokumen tersebut tidak ditemukan.Setelah Stella tak menemukan keberadaan dokumen itu di meja
Tristan memasuki kantornya pada pagi yang cerah. Sepasang kaki jenjangnya melangkah dengan lebar saat ia berjalan menuju ruang kerjanya. Hari ini, ia mengenakan kemeja putih yang rapi dengan jas warna biru tua yang cocok di badannya. Di pergelangan tangannya, terdapat jam tangan mewah merek Rolex yang menambah kesan elegan pada penampilannya.Sesampainya di depan ruang kerjanya, Tristan melihat Dafina yang sibuk bekerja. “Dafina,” seru Tristan.“Iya, Tuan.” Dengan hormat, Dafina berdiri dan memberikan salam. Tristan mengangguk sebagai balasan dan segera menanyakan tentang dokumen yang dicari.“Dafina, apa kamu sudah menemukan dokumen itu?” tanya Tristan dengan nada yang agak tegang.Dafina menggelengkan kepala dengan wajah yang cemas. “Maaf, Tuan, saya belum menemukan dokumen tersebut. Saya masih mencarinya.”Tristan mengangguk singkat, namun ekspresinya menunjukkan sedikit kekecewaan. “Baiklah, segera temukan dan persiapkan beberapa dokumen untuk rapat hari ini.”Setelah memberi inst
Tristan dengan cepat menggendong Stella ala bridal style dan segera membawanya keluar dari gudang menuju ruangannya. Setiap langkahnya dipenuhi dengan kekhawatiran dan kecemasan akan kondisi Stella. Para karyawan yang melihatnya hanya bisa menatap heran, bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Stella.“Tuan!” seru Dafina ketika melihat Tristan menggendong Stella.“Cepat panggil dokter!” perintah Tristan kepada Dafina.Dafina dengan cepat mengangguk. “Baik, Tuan.”“Stella!” Sementara itu, Maya berteriak panik sambil mendekati Tristan dan Stella. “Tuan, apa yang terjadi dengan Stella?” tanyanya dengan suara gemetar.“Dia pingsan. Segera bawa minyak angin ke ruanganku,” titah Tristan kepada Maya.Maya mengangguk. “Baik, Tuan.”Tristan kembali fokus pada tugasnya untuk membawa Stella ke ruangannya. Begitu sampai di sana, dia meletakkan tubuh Stella dengan perlahan di atas sofa.Dengan cepat, Tristan berusaha memeriksa keadaan Stella, memastikan dia tetap bernapas dengan stabil. Hatinya berd
Tristan mencoba menenangkan Stella dari ketakutannya dengan mendekapnya erat dan mengelus lembut rambutnya. Meskipun Stella tidak bisa melihatnya, tapi ia bisa merasakan sentuhan hangat lelaki itu, dan kehadiran Tristan membuatnya merasa lebih aman. “Jangan takut, Stella. Aku di sini bersamamu,” bisik Tristan dengan suara lirih, ia mencoba menenangkan gadis itu. Suara tenang dan penuh kasih dari Tristan mampu meredakan sedikit ketegangan yang dirasakan Stella di tengah ketakutan yang menyelimuti dirinya.Sinar matahari pagi menembus jendela ruangan, menciptakan coretan-coretan cahaya yang menari-nari di lantai. Udara segar dan harum menyejukkan ruangan, memberikan suasana yang tenang meskipun masih tersisa kecemasan dalam hati Stella.Stella memandang keluar jendela, melihat gemerlap cahaya pagi yang menyinari bangunan-bangunan di sekitar kantor mereka. Meskipun alam luar terlihat damai, dalam hatinya masih ada kecemasan akan kejadian di gudang. Dia masih merasakan ketakutan yang mel
“Halo, Pak. Kamu bisa pulang terlebih dulu. Malam ini, aku ingin membawa mobil sendiri.”“Baik, Tuan.”Setelah menghubungi sopir pribadinya, Tristan meletakan kembali ponselnya di atas meja, ia melihat ke arah Stella yang masih tertidur pulas, meski malam sudah semakin larut. Meski begitu, lelaki tampan itu tak tega untuk membangunkannya.Stella menggeliat ketika udara dingin menyentuh wajahnya, dan perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Pandangannya memperhatikan dinding sebentar sebelum menyadari bahwa dia masih berada di kantor. Dengan refleks, ia bangun dari sofa dan duduk tegak, melihat ke arah jendela. Langit sudah gelap, dan melalui jendela, cahaya lampu-lampu kota mulai bersinar.“Kamu sudah bangun?” tanya Tristan dari meja kerja.Stella membalikkan kepala ke arah suara itu. “Sudah malam?” tanyanya kembali.Tristan mengangguk, menutup laptopnya dengan perlahan. “Ya, sudah larut.”Stella menatap jam dinding, jarum
Stella menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, ia begitu berat untuk mengungkapkan apa yang ada di benaknya. “Aku masih teringat saat kita dulu, saat aku menolakmu. Apakah kamu masih marah padaku karena itu?”Tristan yang masih fokus mengemudikan mobil, merasakan kebekuan di setiap sudut ruang hatinya. Dia bisa merasakan ketegangan di sepanjang ruang mobil, bahkan tanpa harus menoleh ke arah Stella. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat yang dia inginkan untuk dilupakan, tetapi masih terukir jelas di dalam ingatannya.“Iya, aku masih marah,” jawab Tristan dengan suara yang terdengar rendah, tetapi penuh dengan ketegasan.Stella merasakan getaran kesedihan melintasi dadanya. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu sejak kejadian itu, tetapi melihat Tristan masih terbawa oleh kemarahan itu membuatnya merasa hancur. Dia berharap Tristan telah melupakan semuanya, tetapi sepertinya luka itu masih ada di dalam hatinya.“Maafkan aku
Tristan sedang fokus berolahraga di ruang gym pribadi di rumahnya. Pagi yang cerah memberinya semangat ekstra untuk menjalani latihan rutinnya. Dengan gerakan yang teratur, ia mengangkat beban besi dengan tangannya yang kuat, mengejar keringatnya dengan setiap repetisi.Tiba-tiba, pintu ruang gym terbuka, memotong konsentrasi Tristan. Evan, sahabat lamanya muncul di ambang pintu dengan senyum cerah di wajahnya.“Tristan, sudah berapa lama kamu nge-gym? Aku sudah menunggumu dari tadi di luar, tapi kamu tidak kunjung keluar,” tanya Evan sambil memperhatikan sahabatnya yang tengah fokus berolahraga.“Aku akan habiskan hari Minggu untuk berolahraga,” jawab Tristan, masih fokus memainkan alat-alat gym-nya.Evan mengernyitkan kening melihat keputusan sahabatnya itu. ”Oh iya, kemarin aku melihat Weni di salah satu minimarket. Apa dia ada di Jakarta?” tanya Evan, mencoba mengalihkan perhatian dari topik olahraga.“Iya, dia sedang ada di Jakarta,” jawab Tristan sambil mengambil botol minum dan
Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana
"Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni
Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe
"Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell
"Sayang, bangun, ini sudah jam 8 pagi. Apa kamu mau tidur terus?" Safira membangunkan anaknya, Stella, yang masih tidur begitu pulas. Ia mengelus rambut Stella dengan lembut, berharap putri kesayangannya itu bangun. Stella menggeliat ketika merasakan tangan hangat ibunya mengelus rambutnya. "Stella masih ngantuk," gumamnya, yang masih enggan untuk bangun. "Ini udah pagi, Sayang. Mama sudah siapin sarapan, kita sarapan bareng, ya." "Hm, Stella nggak laper," jawab Stella dengan suara serak. "Tadi malam kamu juga makannya cuma sedikit. Sekarang harus makan lagi, ya." "Tapi, Ma ...." "Hust, nurut sama mama, ya. Di luar juga ada seseorang yang ingin bertemu dengan kamu." Stella langsung membuka matanya lebar-lebar ketika ibunya berkata ada seseorang di luar. "Siapa, Ma?" "Temui dia, dia bilang sudah kangen sama kamu." "Mm, iya deh, Ma," ujar Stella sambil bangun dari tidurnya. Ia pun menyingkap selimut dan mulai merapikan rambutnya yang masih berantakan. Namun, ketika Stel
"Ya, tiba-tiba ada urusan keluarga yang harus aku selesaikan, dan aku juga mau menemui kamu. Aku nggak bisa tinggal lama di Jakarta," kata Elsa dengan nada menyesal. Stella menghela napas panjang. "Aku mengerti, tapi aku terkejut mendengar itu. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta?" Elsa tertawa kecil. "Tenang, Stella. Aku cuma sebentar di Jogja. Lagi pula, aku ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku sudah kangen sama kamu. Memangnya kamu gak kangen sama aku?" Stella tersenyum lemah. "Hm, ya, aku juga kangen sama kamu." Stella menghela napas lega. "Baiklah. Aku akan menunggumu di sini." "Aku akan segera menemui kamu, Stella. Kita bisa ngobrol banyak hal seperti biasa," ujar Elsa dengan nada meyakinkan. "Baiklah. Jaga diri di perjalanan, ya. Dan segera hubungi aku kalau sudah sampai Jogja," kata Stella dengan suara pelan. "Pasti, Stella. Kamu juga jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku selalu siap buat kamu," balas Elsa. "Terima kasih,
Safira terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Stella, tetapi ia tetap tenang. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Tristan tidak ada di sini sekarang, dan mama khawatir kamu akan sendirian mengurus semuanya." Stella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh orang lain, Ma. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan bayiku." Emir yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Stella, kami hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kami tahu ini berat, tapi coba beri kesempatan." Stella mendesah, ia merasa frustrasi, begitu bingung dengan sikap kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang, aku tidak butuh orang lain. Aku hanya ingin fokus pada kesehatanku dan bayiku." Safira mencoba mendekati Stella dan memegang tangannya. "Sayang, mama mengerti perasaanmu. Tapi setidaknya, temuilah dia. Tidak ada salahnya berteman, 'kan?" Stella menarik tangannya dari genggaman Safira. "Ma, aku sudah punya Tristan. Meski dia tidak ada di sini sekarang, aku yakin dia akan kembali dan bertanggung jawa
Stella baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah meja. Wanita yang masih mengenakan bathrobe itu segera meraih ponselnya yang ada di atas meja. Ia membuka layar ponselnya dan memeriksa pesan serta panggilan yang masuk. Namun, tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari kekasihnya, Tristan. "Apa dia begitu sibuk sampai tak mengabariku?" gumam Stella sambil memandangi ponsel yang ada digenggamannya. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya. Stella pun mencoba untuk menghubungi Tristan, namun ponsel lelaki itu ternyata tidak aktif. Rasa kecewanya semakin bertambah. Akhirnya, Stella memutuskan untuk mencoba menghubungi Dafina, sekretaris Tristan yang ikut pergi ke luar negeri. Ia berharap mendapatkan kabar tentang Tristan dari Dafina. Stella menunggu beberapa saat hingga panggilannya terhubung. "Halo, Dafina?" sapa Stella dengan nada penuh harap. "Halo, Stella. Ada apa?" balas Dafina dari ujung telepon. "Dafina, aku khawatir karena tidak bisa menghubungi Tristan. Ponselnya tid
Stella sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Jakarta, tapi ibunya tetap saja bersikeras. Safira terus melipat baju-baju Stella dan memasukkannya ke dalam koper dengan cepat. "Ma, aku sudah bilang aku gak mau," rengek Stella, suaranya terdengar putus asa ketika melihat ibunya yang tak berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Safira menghela napas panjang dan menatap Stella dengan mata penuh kasih sayang. "Sebentar saja, Stella. Memangnya kamu tidak mau melihat adik-adikmu dan papamu di kampung?" Stella menghela napas panjang, ia merasa terpojok. "Baiklah, tapi aku tidak mau Mama membawa semua baju-bajuku. Aku masih punya banyak urusan di sini." Safira tersenyum sedikit, ia merasa senang karena Stella mulai luluh. "Mama hanya membawa beberapa bajumu saja. Sekarang, bersiaplah. Kamu mandi dulu. Mama takut kita akan ketinggalan kereta." Stella mengangguk dengan enggan. "Hm, baiklah." Stella berjalan gontai menuju kamar mandi, merasa berat hati