Happy Reading*****Tubuh Andrian seperti dialiri listrik ribuan volt yang siap membunuhnya. Kata 'tidak' yang terlontar dari bibir sang gadis mampu meruntuhkan semua dinding pertahanan dan juga harapannya saat ini. Ketiga buah hatinya bahkan sudah merapat padanya. "Jadi, kamu menolak lamaranku, Tar?" kata Andrian pada akhirnya karena tak sabar menanti jawaban yang tak kunjung dilanjutkan.Ibrahim berdiri, mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang tamu. "Duduklah, Tar. Mungkin kamu perlu bicara dengan Nak Andri. Ayah akan membiarkan kalian berdua." Lelaki itu kemudian menoleh pada Radit. "Temani adikmu, Mas." Lelaki sepuh itu, juga mengajak ketiga buah hati Andrian dan juga menantunya kembali ke ruang tengah. Duduk di sebelah Radit membuat jantung Tari berlompatan. Menatap saudaranya, si gadis mulai membuka suara. "Bukan maksud saya menolak, Pak. Masih ada satu ganjalan yang ingin saya tanyakan yaitu tentang Ibu Lita dan janin yang dikandungnya. Saya tidak ingin ada masalah lagi
Happy Reading*****Malam semakin larut, tetapi mata Andrian sepertinya enggan terpejam. Bayangan wajah sang pujaan yang malu-malu ketika dipakaikan cincin oleh Radit terlihat dengan jelas. Tak kuasa menahan hasrat ketika membayangkan wajah pujaannya, Andrian turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Sepertinya, dia harus mandi supaya suhu tubuhnya menjadi dingin dan pikirannya kembali waras."Sungguh berat siksaan ini, Tar. Andai kamu tahu apa yang aku alami setiap kali membayangkan wajahmu. Ya Allah sungguh aku sangat berdosa. Membayangkan perempuan yang belum halal untukku. Seminggu lagi, hanya seminggu setelah itu aku bisa memilikimu seutuhnya." Tengah malam, Andrian terpaksa mandi. Setelahnya, dia salat dan membaca Al-Qur'an supaya semua pikirannya teralihkan. Bayangan manis sang pujaan bisa teralihkan dan Andrian mulai kembali memejamkan mata. Hal sama pun dialami Tari. Setelah kepergian Andrian, dia belum juga bisa tidur. Kini, gadis itu sedang menatap bintang. Kenangan
Happy Reading*****Mendengar ponselnya berbunyi, Tari meminta Haura untuk mengambilkan tasnya. Gadis itu melihat nama Andria pada layar ponsel. Segera saja dia mengangkat, takut jika ada hal penting yang ingin disampaikan oleh sang calon."Nikahnya besok saja, ya, Sayang. Aku mana tahan nunggu seminggu kalau kamu cantik banget kayak gini," kata Andrian begitu si gadis mengangkat teleponnya.Tari menatap Febi, lalu tersenyum ketika si sulung mengangkat dua jarinya, telunjuk dan tengah. "Nunggu setahun saja kuat, Mas. Masak cuma enam hari saja tidak sanggup." Jawaban itu terpaksa meluncur dari bibir tipis si gadis."Sebenarnya nggak nahan juga setahun itu, Yang. Aku sering mimpi basah karena merindukanmu." Tawa Andrian membahana."Ish, mulai genitnya. Aku matikan, ya, daripada makin ngawur ngomongnya." Kali ini, Tari berbisik lirih saat berkata bahkan Andrian nyaris tak mendengar."Iya. Maaf, Sayang. Aku lepas kontrol. Gini nih kalau kelamaan nungguin kamu." Sebelum sang calon istri m
Happy Reading*****Cepat, Tari melarang Andrian melakukan hal nekat yang dikatakannya tadi. Bukan hal lucu jika sampai malam-malam si lelaki berkunjung ke rumah Radit."Kenapa Mas dilarang ke sana. Kamu mau bukti, kan?""Aku cuma canda aja, Mas. Percaya, kok, kalau Mas sudah berubah. Sekarang tutup telponnya, ya. Cepet mandi biar tidak kedinginan dan kena rematik.""Tapi habis mandi telponan lagi, ya?""Aku tidak bisa janji. Tadi siang capek banget jalan-jalan, tapi kalau Mas masih mau telpon, ya, tidak masalah.""Ya, sudah. Mas, tutup. Assalamualaikum," ucap Andrian mengakhiri percakapan mereka.Tak perlu waktu lama bagi Andrian untuk membersihkan diri. Rasa rindu pada sang pujaan mendorongnya melakukan pekerjaan dengan sat ... set ... sat ... set. Malam ini, lelaki itu ingin tidur dengan nyenyak, jadi sebelum aktivitas tersebut, dia kembali akan menelepon sang pujaan."Lho, Mas. Kok, telpon lagi? Udah malam, harusnya Mas istirahat karena besok masih banyak pekerjaan, kan?" kata sua
Happy Reading*****Kembali dengan wajah ditekuk-tekuk, suasana hati Andrian memburuk. Pertemuan dengan WO yang dia sewa untuk pesta pernikahannya pun kurang bersemangat seperti hari sebelumnya. Semua karena kejujurannya yang menceritakan kejadian kemarin pada sang pujaan."Atur semua dengan baik, Pak. Saya percaya pada WO yang Bapak pimpin. Lagian tamu yang saya undang juga tidak banyak," kata Andrian pada pemilik organizer."Baik, Pak. Kami sudah menyiapkan dengan baik dan persiapan sudah hampir 50%," ucap sang organizer."Bagus, kita langsung ketemu di tempat acara saja karena mulai besok saya nggak bisa datang ke tempat tersebut.""Jadi, saya harus koordinasi dengan siapa, Pak?""Mungkin saudara kandung calon istri saya. Nanti, saya kirim nomor beliau. Tolong berikan yang terbaik dan turuti permintaan calon istri saya.""Baik, Pak. Saya bisa bergerak dari sekarang jika seperti itu.""Silakan." Andrian meninggalkan restoran cepat saji tempat janjian mereka. Dia kembali ke kantor de
Happy Reading*****Selesai salat berjemaah di masjid, Andrian bersiap-siap. Keluarga Ustaz Muhammad diminta menginap di rumahnya karena lelaki itu memang sudah tak memiliki keluarga di kota tersebut. Semua adiknya tinggal di pulau seberang bahkan si bungsu tinggal di negara sebelah sehingga mereka tidak bisa datang pada pernikahan ketiga Andrian.Anak-anak beserta istri sang Ustaz sedang dirias oleh MUA yang disewa terpisah oleh Andrian dari WO yang digunakan. Lelaki itu sudah siap dengan setelan jas serta kopiah. Dia duduk di ruang keluarga bersama Ustaz Muhammad menunggu yang lain untuk berangkat ke rumah Tari."Sudah siap Pak Andri?" tanya sang Ustaz."Insya Allah, sudah. Lahir batin sudah siap, Taz. Rasanya, pernikahan kali ini sangat menegangkan. Semalam hampir nggak tidur mikirin hari ini," jujur Andrian mengakui semua kegundahan hatinya.Sang ustaz tertawa. "Mungkin karena gadis yang Pak Andri nikahi sangat spesial. Makanya, mikirin terus.""Sepertinya begitu, Taz. Entahlah."
Happy Reading*****Ingin rasanya Andrian menghilang saat ini juga. Kenapa obrolan yang harusnya cuma untuknya dan sang istri harus didengar oleh ibu mertua. Jadi, tidak bisa menjalankan misi. "Saya nggak modus, Bu. Tari memang terlihat capek. Kasihan kalau sampai siang harus berdiri sampai sore," alibi Andrian."Tidak mungkin sampai sore. Sebelum Zuhur saja sudah habis. Lebay banget kamu."Ibrahim menatap istri dan menantunya bergantian. "Kalian berdua ini, kok, tidak pernah akur," katanya, "kalau Nak Andri mau istirahat duluan saja sana, tapi jangan lama-lama."Lelaki yang baru saja menjadi suami Tari itu memutar bola mata malas. Mana ada istirahat sendiri. Lebih baik di sini menemani sang istri. Tujuan utama istirahat Andrian adalah untuk melepas kerinduan jika sendirian mana bisa. Seketika, wajah gadis yang sudah dihalalkannya tersenyum. Tari seperti mengerti kekecewaan sang suami. "Lagian, Mas itu kenapa tidak sabaran banget.""Rinduku itu sudah seperti puncak Himalaya, Sayang
Happy Reading*****Siang berlalu dan berganti sore. Sudah tidak ada tamu lagi di rumah Radit. Namun, ketiga buah hati Andrian dan juga ponakannya Tari tidak mau beranjak dari kamar pengantin. Mereka memonopoli perempuan yang baru saja menjadi istri Andrian.Sekarang, keempat anak-anak itu malah tidur di ranjang dengan Tari di tengah. Andrian yang duduk di sofa depan tempat tidur menatap malas pada anak-anak tersebut."Kenapa selalu saja ada gangguan saat aku ingin berduaan dengan istriku. Radit sama Haura memangnya nggak nyariin anaknya? Enak sekali mereka berdua. Bukan mereka yang jadi pengantin, tapi malah mereka yang berduaan," gerutu Andrian.Matanya mengawasi anak-anak dengan sangat iri karena mereka bisa tidur dipeluk oleh Tari. Jengkel dengan keadaan di kamarnya, Andrian keluar tanpa pamit pada sang istri. Turun, di ruang keluarga, terlihat Radit dan juga Ibrahim tengah berbincang, entah membahas apa. Andrian pun berniat untuk bergabung daripada suntuk memikirkan malam pertama