Happy Reading*****Mendengar suara keras ibunya, Radit mendekat ke ruang tamu. Dia dan keluarga yang lain tengah duduk santai di ruang tengah."Kenapa berteriak seperti itu, Bu? Siapa yang datang?" Radit bergerak menengok pada seseorang yang kini menundukkan kepala. Ketika tahu siapa yang datang, lelaki itu berkata, "Masuk, Pak. Sudah ditunggu di dalam," katanya.Sedikit canggung, Andrian berjalan masuk melewati Aminah yang masih terlihat kesal. Diikuti oleh ketiga anaknya, lelaki itu duduk di ruang tamu."Maaf atas sikap Ibu saya. Beliau tidak tahu jika saya yang mengundang Anda ke sini. Sebentar, saya panggilkan yang lain sekalian membuatkan minuman," kata Radit. Tangannya reflek menarik pergelangan Aminah."Tunggu, Mas," ucap Andrian. Lalu, melirik pada ketiga buah hatinya. Satu per satu anak-anak menyerahkan bingkisan yang sudah dipersiapkan hingga menyisakan satu paper bag yang berada di tangan Febi. "Bisa panggilkan Tari, Mas. Anak-anak saya ingin memberikan kado ini secara lan
Happy Reading*****"Kenapa Ibu harus diam, Pak. Ibu tidak akan membiarkan Tari hidup dengan lelaki sepertinya. Jangan sampai Tari mengalami sakit hati seperti diriku." Entah mengapa, Aminah mulai tersedu."Maaf, Bu. Bukannya saya lancang mencampuri urusan Ibu. Tari nggak akan pernah mengalami seperti yang Ibu rasakan. Saya sudah berjanji pada diri sendiri dan juga almarhum istri untuk nggak mengulang kesalahan yang sama. Mungkin, dulu saya nggak peka hingga menyakiti hati almarhum sedemikian rupa, tapi berkat Tari saya menyadari semua kesalahan itu." Andrian menghela napas panjang dan menatap satu per satu seluruh anggota keluarga sang pujaan."Dahulu, mungkin saya lelaki bejat, tak paham agama tentang syariat poligami yang benar. Suatu ketika putri Bapak dan Ibu telah menyadarkan saya bahwa langkah itu salah. Lalu, saya pun berusaha berubah demi memantaskan diri untuk bersanding dengannya. Seiring waktu, saya menyadari jika semua niat itu salah, karena itulah Allah menjauhkan Tari d
Happy Reading*****Tubuh Andrian seperti dialiri listrik ribuan volt yang siap membunuhnya. Kata 'tidak' yang terlontar dari bibir sang gadis mampu meruntuhkan semua dinding pertahanan dan juga harapannya saat ini. Ketiga buah hatinya bahkan sudah merapat padanya. "Jadi, kamu menolak lamaranku, Tar?" kata Andrian pada akhirnya karena tak sabar menanti jawaban yang tak kunjung dilanjutkan.Ibrahim berdiri, mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang tamu. "Duduklah, Tar. Mungkin kamu perlu bicara dengan Nak Andri. Ayah akan membiarkan kalian berdua." Lelaki itu kemudian menoleh pada Radit. "Temani adikmu, Mas." Lelaki sepuh itu, juga mengajak ketiga buah hati Andrian dan juga menantunya kembali ke ruang tengah. Duduk di sebelah Radit membuat jantung Tari berlompatan. Menatap saudaranya, si gadis mulai membuka suara. "Bukan maksud saya menolak, Pak. Masih ada satu ganjalan yang ingin saya tanyakan yaitu tentang Ibu Lita dan janin yang dikandungnya. Saya tidak ingin ada masalah lagi
Happy Reading*****Malam semakin larut, tetapi mata Andrian sepertinya enggan terpejam. Bayangan wajah sang pujaan yang malu-malu ketika dipakaikan cincin oleh Radit terlihat dengan jelas. Tak kuasa menahan hasrat ketika membayangkan wajah pujaannya, Andrian turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Sepertinya, dia harus mandi supaya suhu tubuhnya menjadi dingin dan pikirannya kembali waras."Sungguh berat siksaan ini, Tar. Andai kamu tahu apa yang aku alami setiap kali membayangkan wajahmu. Ya Allah sungguh aku sangat berdosa. Membayangkan perempuan yang belum halal untukku. Seminggu lagi, hanya seminggu setelah itu aku bisa memilikimu seutuhnya." Tengah malam, Andrian terpaksa mandi. Setelahnya, dia salat dan membaca Al-Qur'an supaya semua pikirannya teralihkan. Bayangan manis sang pujaan bisa teralihkan dan Andrian mulai kembali memejamkan mata. Hal sama pun dialami Tari. Setelah kepergian Andrian, dia belum juga bisa tidur. Kini, gadis itu sedang menatap bintang. Kenangan
Happy Reading*****Mendengar ponselnya berbunyi, Tari meminta Haura untuk mengambilkan tasnya. Gadis itu melihat nama Andria pada layar ponsel. Segera saja dia mengangkat, takut jika ada hal penting yang ingin disampaikan oleh sang calon."Nikahnya besok saja, ya, Sayang. Aku mana tahan nunggu seminggu kalau kamu cantik banget kayak gini," kata Andrian begitu si gadis mengangkat teleponnya.Tari menatap Febi, lalu tersenyum ketika si sulung mengangkat dua jarinya, telunjuk dan tengah. "Nunggu setahun saja kuat, Mas. Masak cuma enam hari saja tidak sanggup." Jawaban itu terpaksa meluncur dari bibir tipis si gadis."Sebenarnya nggak nahan juga setahun itu, Yang. Aku sering mimpi basah karena merindukanmu." Tawa Andrian membahana."Ish, mulai genitnya. Aku matikan, ya, daripada makin ngawur ngomongnya." Kali ini, Tari berbisik lirih saat berkata bahkan Andrian nyaris tak mendengar."Iya. Maaf, Sayang. Aku lepas kontrol. Gini nih kalau kelamaan nungguin kamu." Sebelum sang calon istri m
Happy Reading*****Cepat, Tari melarang Andrian melakukan hal nekat yang dikatakannya tadi. Bukan hal lucu jika sampai malam-malam si lelaki berkunjung ke rumah Radit."Kenapa Mas dilarang ke sana. Kamu mau bukti, kan?""Aku cuma canda aja, Mas. Percaya, kok, kalau Mas sudah berubah. Sekarang tutup telponnya, ya. Cepet mandi biar tidak kedinginan dan kena rematik.""Tapi habis mandi telponan lagi, ya?""Aku tidak bisa janji. Tadi siang capek banget jalan-jalan, tapi kalau Mas masih mau telpon, ya, tidak masalah.""Ya, sudah. Mas, tutup. Assalamualaikum," ucap Andrian mengakhiri percakapan mereka.Tak perlu waktu lama bagi Andrian untuk membersihkan diri. Rasa rindu pada sang pujaan mendorongnya melakukan pekerjaan dengan sat ... set ... sat ... set. Malam ini, lelaki itu ingin tidur dengan nyenyak, jadi sebelum aktivitas tersebut, dia kembali akan menelepon sang pujaan."Lho, Mas. Kok, telpon lagi? Udah malam, harusnya Mas istirahat karena besok masih banyak pekerjaan, kan?" kata sua
Happy Reading*****Kembali dengan wajah ditekuk-tekuk, suasana hati Andrian memburuk. Pertemuan dengan WO yang dia sewa untuk pesta pernikahannya pun kurang bersemangat seperti hari sebelumnya. Semua karena kejujurannya yang menceritakan kejadian kemarin pada sang pujaan."Atur semua dengan baik, Pak. Saya percaya pada WO yang Bapak pimpin. Lagian tamu yang saya undang juga tidak banyak," kata Andrian pada pemilik organizer."Baik, Pak. Kami sudah menyiapkan dengan baik dan persiapan sudah hampir 50%," ucap sang organizer."Bagus, kita langsung ketemu di tempat acara saja karena mulai besok saya nggak bisa datang ke tempat tersebut.""Jadi, saya harus koordinasi dengan siapa, Pak?""Mungkin saudara kandung calon istri saya. Nanti, saya kirim nomor beliau. Tolong berikan yang terbaik dan turuti permintaan calon istri saya.""Baik, Pak. Saya bisa bergerak dari sekarang jika seperti itu.""Silakan." Andrian meninggalkan restoran cepat saji tempat janjian mereka. Dia kembali ke kantor de
Happy Reading*****Selesai salat berjemaah di masjid, Andrian bersiap-siap. Keluarga Ustaz Muhammad diminta menginap di rumahnya karena lelaki itu memang sudah tak memiliki keluarga di kota tersebut. Semua adiknya tinggal di pulau seberang bahkan si bungsu tinggal di negara sebelah sehingga mereka tidak bisa datang pada pernikahan ketiga Andrian.Anak-anak beserta istri sang Ustaz sedang dirias oleh MUA yang disewa terpisah oleh Andrian dari WO yang digunakan. Lelaki itu sudah siap dengan setelan jas serta kopiah. Dia duduk di ruang keluarga bersama Ustaz Muhammad menunggu yang lain untuk berangkat ke rumah Tari."Sudah siap Pak Andri?" tanya sang Ustaz."Insya Allah, sudah. Lahir batin sudah siap, Taz. Rasanya, pernikahan kali ini sangat menegangkan. Semalam hampir nggak tidur mikirin hari ini," jujur Andrian mengakui semua kegundahan hatinya.Sang ustaz tertawa. "Mungkin karena gadis yang Pak Andri nikahi sangat spesial. Makanya, mikirin terus.""Sepertinya begitu, Taz. Entahlah."