"Jadi, sepertinya ada yang harus kita bicarakan dengan serius." Cleon memandangi pintu lemarinya yang terbuka sedikit demi sedikit.
Pelayan yang sebelumnya memaksa masuk, keluar dengan mata sembab dari sana. Setelah ia menutup pintu lemari, ia kembali menghadap Cleon dan Vahmir, lalu membuka maskernya perlahan. "A—sialan! Apa yang kau lakukan di sini?" Bukan hanya Cleon, Vahmir pun terkejut melihat wajah gadis yang ternyata itu adalah Aldephie. "Dengar kawan-kawan, a-aku tidak bisa pergi meninggalkan kalian begitu saja ...." "Ough! Sial! Al, kau tahu apa yang kau lakukan?" Cleon menepuk keningnya. Rencana yang seharuanya berjalan lancar, kini semua kembali dimulai dari awal. Meski begitu, Cleon tTerima kasih untuk dukungannya 🥰
"Kau akan keluar hari ini?" tanya Anastazja melihat Helio sibuk dengan perlengkapannya memancing. "Ya, aku sedikit bosan dengan daun-daunan hijau atau apa pun itu. Aku mulai merindukan ikan bakar, kau tahu itu kan?" ucapnya riang. Sambil memasukkan beberapa kail memeriksa umpan-umpan yang akan digunakannya nanti, Helio bersenandung bahagia. Membuat Anastazja juga turut merasakan kebahagiaannya tersebut. "Kalau begitu kau harus semangat! Aku akan membersihkan pondok kita setelah kegiatan kita seminggu kemarin ... mungkin kalau ada waktu aku akan menyusulmu nanti," ucapnya sambil memperhatikan sekeliling pondok yang mulai berantakan. Memang seminggu yang lalu hanya mereka gunakan untuk bersantai, saling mengenal, dan berjalan-jalan di daerah sekitar. Mer
"Terima kasih atas makan malam yang sangat lezat, An," ucap Helio membereskan mangkuk dan piring yang ia gunakan. Sementara Anastazja hanya terdiam sambil mengaduk-aduk supnya dengan sendok di tangannya. Seolah dunia menjauh dari matanya, dari pikirannya. Entah apa yang kini berkuasa hingga merajalela di dalam sana. Anastazja bagai tubuh tanpa nyawa, kecuali pergelangan tangannya yang masih sibuk. "Halo ...." Helio melambai-lambaikan kedua telapak tangannya di depan wajah Anastazja. Namun, lagi-lagi gadis itu hanya menghela napas panjang. Seolah Helio transparan. 'Mungkin ada hal yang sedang dipikirkannya,' batin Helio mengangkut piring dan mangkuknya. Helio tahu ini sudah menjadi perjanjian mereka, tetapi menyuruh gadis yang baru dikenalnya beberapa hari untuk mencucikan piring bekas makannya? Hell, nope! Tidak a
Helio terjatuh dari atas tempat tidur dengan bunyi debum yang sangat keras. Setelah ia bisa membuka mata dengan sempurna, ia bisa melihat sosok itu berdiri tegak di depannya sambil membawa tebah berbahan rotan yang digunakan olehnya untuk mendorong Helio hingga jatuh. "Argh! Apa yang kau lakukan?" Helio mengelus bagian belakang kepalanya yang di tempeleng dengan pelan oleh Sean. "Aku yang bertanya padamu, bocah tengik! Kenapa kau belum bangun, hah?" Sean berbicara dengan mata yang membola besar. Seolah bola mata itu ingin keluar. "Aku kan tidur larut semalam. Kau terlalu banyak memberiku pekerjaan rumah!" Sean segera menyabetkan rotan itu ke lantai. Sebuah peringatan tanda bahaya bila Helio masih bersantai-santai. Itu sebabnya dia kabur keluar kamar. Tawanya meledak m
"Sudah kubilang bocah itu pasti senang," ucap Ramirez melompat masuk melalui jendela ruang kerja Sean. Sean tidak menggubris Ramirez dan masih setia menatap pintu yang tertutup rapat di hadapannya. "Ohooo ... rupanya master Sean Alastor sangat terharu sampai-sampai tidak bisa mengatakan sepatah kata pun bukaaan? Iya kaaann?" Ramirez menempelkan telunjuknya ke lengan Sean. Membuat dorongan kecil hingga tubuh Sean bergoyang-goyang. Sean yang merasa kesal segera menyingkir dari dekat Ramirez. "Ck! Jangan berpikiran bodoh! Sepertinya hidup terlalu lama membuat kinerja otakmu menurun drastis!" umpat Sean kesal. Mendengar umpatan Sean, Ramirez tidak lagi mengganggu Sean. Pria itu berjalan dan menjatuhkan dirinya di sofa panjang. Matanya seolah menatap jauh p
"Boleh aku duduk di sini?" Gadis itu datang. Dengan rambut merah gelap dan mata hitam pekatnya, gadis itu telah memperdaya Helio kecil sejak perjumpaan pertama mereka. Helio menatap wajah gadis yang samar karena sinar matahari yang menyorot tepat ke arah matanya. Meski ia mengerjap ratusan kali, ia tetap tidak bisa melihat wajah itu. Ia hanya mengangguk, lalu kembali menatap pelabuhan yang mulai ramai tanpa berniat merubah posisinya sedikit pun. Helio bisa merasakan gadis itu sedang melakukan sesuatu. "Apa yang kau lakukan?" "Hm ... hidup." "Hidup?" Gadis itu mengangguk. "Aku ingin hidup." "Bukankah kau
"Kali ini, aku amat sangat memohon kerja samamu untuk tidak menghancurkan rencana kita lagi, Al," ucap Cleon satu sore dengan ekpresi wajah kecut. Aldephie mengangguk dan menunduk. Penyesalankah yang kini menggerayangi hatinya? Entahlah, dia sendiri tidak mampu menerjemahkan kondisi perasannya yang aneh dan naik-turun begitu saja. Sudah hampir sebulan sejak rencana pelarian pertama mereka yang menghasilkan bonyok di wajah Cleon berakhir gagal. Hingga saat ini, berkat bantuan Cleon, Aldephie tetap berhasil menyamar sebagai Helen—pelayan yang bajunya sempat dicuri dulu—dengan memberikan Helen cuti selama satu bulan untuk kembali ke rumah orang tuanya yang kebetulan sedang sakit dan memberinya uang lebih untuk membayar pengobatan orang tuanya. Agar tidak dicurigai, Aldephie menggunakan lensa k
"Karena aku tidak suka kesempurnaan." Helio melongo mendengar ucapan Anastazja. Beberapa menit yang lalu, ia dan Anastazja sepakat untuk menceritakan mengenai diri mereka masing-masing. Sayangnya, mereka terlalu bingung dan tidak mengerti bagaimana memulai sebuah pengakuan itu sendiri. Hingga akhirnya tercetuslah dengan melalui media truth or dare. Giliran pertama adalah Helio yang memilih dare ketika pertanyaan yang diajukan lebih memilih memancing atau bersepeda. Helio tidak bisa memilih salah satu karena memang ia suka dengan kegiatan alam. Ia akhirnya memilih dare dan bercerita mengenai hal menyeramkan apa yang ia alami selama ia tinggal di pondok. Helio bercerita mengenai sebuah ruangan aneh yang berada di balik batu air terjun mini belakang pondok. Anastazja awalnya mengira Helio hanya menakut-na
Aldephie segera mendorong meja saji dorongnya memasuki kamar Cleon. Setelah memastikan pintu tertutup dengan rapat, ia membuka cadarnya, lalu mengambil sesuatu dari dalam kantong apronnya. Cleon menerima pemberian Aldephie. Sebuah barang kecil yang digunakan untuk merekam suara. Beberapa hari yang lalu, Cleon meminta Aldephie untuk menyelinap ke ruang kerja Cesar dan menempelkan alat berbentuk bulat menyerupai logam magnet itu di salah satu barang apa pun yang ada di sana. "Kau melakukan tugasmu dengan baik, Al," puji Cleon sambil mengacungkan jempolnya. Mendengar perkataan Cleon, Aldephie seolah terbang, membumbung menembus awan. Bagaimana tidak? Ini Cleon. Benar! Cleon yang memujinya! Pria paling sempurna dalam hidup Aldephie yang suram dan menyedihkan. Saat itu, baginya tidak masalah dia harus melaj
Shi yang memasuki ruangan, disambut oleh dongakan kepala Aldephie. Dengan wajah berhiaskan senyum puas, Shi berjalan mendekat. Tidak ada reaksi penolakan yang biasanya Aldephie keluarkan. Hanya sebuah tatapan kosong. Matanya seperti seekor ikan yang mati. "Kekasih yang kau cintai itu sudah tidak lagi di sini. Dia hanya menitipkan ini untukmu," ungkap Shi seraya mengeluarkan sepucuk surat dari saku dalam jas hitamnya. Aldephie tidak mengatakan apa pun. Hanya menerima uluran sepucuk surat dan mengambilnya dari tangan Shi. Kepergian Cleon untuk menemani Anastazja cukup memukul habis kekuatan batinnya. Bukankah seharusnya seseorang memberitahu mereka jika Anastazja sudah kembali? Kenapa justru memisahkan mereka semua dan mengirimnya ke tempat yang tidak dikenalinya? Aldephie paham, seharusnya ia merasa lebih tenang kar
Tidak ada seorang pun dari mereka saling berbicara. Mereka bahkan tidak saling menatap satu sama lain. Waktu yang mereka yang telah hilang, kini memang kembali meski tidak seperti semula. Namun, pikiran mereka sudah tidak saling terpaut. Dengan helaan napas panjang, Cleon memandang laut luas sembari menbayangkan wajah Aldephie terakhir kali sebelum semuanya berakhir seperti ini. Aldephie yang baru bangun dan entah sudah diberitakan apa oleh Shi, berlari masih dengan mengenakan piama orang sakit menemui Cleon yang sedang diringkus karena terus menerus memberontak. Ia memasuki ruang interogasi nomor dua dan memeluk Cleon sambil menangis tersedu-sedu. Gadis itu bahkan memintakan maaf untuk adiknya. Sikap Aldephie yang seperti itu, memberitahu Cleon bahwa tidak ada lagi perlawanan yang bisa ia berikan pada Cesar. Kalah. Begitulah bagaimana akhirnya Cleon harus men
Memasuki sebuah ruangan besar yang gelap dan pencahayaan seadanya. Terdapat sebuah meja dengan dua kursi di sisi kanan dan satu kursi di sisi kiri, juga lampu yang menggantung di atasnya. Anastazja mengira pendingin ruangan disetel dengan suhu sekitar delapan belas sampai dua puluh derajat. Terlalu dingin baginya. Apalagi dengan kondisi tubuh yang terus menerus memproduksi keringat dingin. Awalnya, ia ragu-ragu untuk masuk, tetapi salah satu polisi Alastor mendorong punggungnya dengan kasar hingga ia terjerembab mencium lantai yang dingin, lalu menutup pintu dengan cara membantingnya. Kesal mulai menggelayuti wajahnya. Andai dia tidak mengikuti rencana Hakim, dia tidak perlu lagi mendapat perlakuan kasar seperti ini! Namun, apa gunanya dia tetap di sana jika Hakim itu juga di sana? Ah, Hakim tertinggi sudah merusak esensi dari tempat kenangannya bersama Helio.
Bau menyengat, udara pengap, juga hawa yang memuakkan menebar keluar melalui pintu kayu yang berwarna samar. Anastazja melihat ke dalam ruangan dengan perasaan bingung. Kenapa Helio tidak pernah menceritakannya? Hakim tertinggi segera menyalakan korek api gasnya untuk penerangan. Tidak seperti dirinya yang tenang dan seolah tahu apa yang tersimpan di dalam ruangan aneh ini. Anastazja justru merasa mual dan pusing. Sebuah tubuh yang membusuk. Seperti baru, tetapi karena dia berada di pondok dan tidak seorang pun antara dia dan Helio melakukan itu, artinya tubuh itu sudah lama berada di sana! Pembunuhankah? "Kau tahu siapa ini?" Sembari menutup hidung kencang, Anastazja menggeleng lemah. "Kakek buyutku."
Kedua kaki tangannya bergetar hebat. Dia bahkan bisa merasa bulu-bulu halusnya meremang, seolah alarm alaminya tahu bahwa bahaya di hadapannya tidak bisa ditolerir lagi. Di saat yang sama, tenaganya hilang entah ke mana. Lenyap tersapu riuh badai kepanikan diri. Bulir demi bulir keringat dingin mengucur tiada henti. Mati aku! Hanya itu kalimat yang terus berdentum di telinga dan otaknya. Selama lima detik, Anastazja mengusap dada, berharap jantungnya tenang agar napasnya tidak terlalu memburu. Ia tidak ingin terjebak pada lingkaran jawaban atas pertanyaan "bagaimana". Yang ia ketahui sekarang, dirinya sudah tertangkap basah dan tidak bisa lagi melarikan diri. Hatinya merintih, tidak pernah hal seperti ini terjadi kala Helio berada di sisinya. Namun, setelah lelaki yang dicintainya itu pergi, tiba-tiba mimpi buruk kembali datang.
"Cesar ...." Tidak ada keceriaan dalam nada suara Cleon. Tenggorokannya tercekat. Dadanya berdentum-dentum tak karuan. Habis sudah! "Wah, wah, kau tidak ingin memberiku pelukan rindu? Aku bahkan sudah merindukanmu meski kau hanya meninggalkan kediaman selama tiga hari lamanya!" Tawa Cesar menggaung bengis baik di telinga Cleon ataupun Aldephie. Tidak ada doa dan pinta lain selain dijauhkannya Cesar dari mereka. Cleon memang sudah tahu Cesar mencarinya, tapi kenapa? Bukankah Aldephie sudah merapal mantranya? Bukankah seharusnya jejak mereka menghilang? Kedua bola mata Cleon melirik Aldephie yang sedang tegang di tempatnya. Kemudian, kembali menatap Cesar yang sedang tertawa seraya mengacungkan moncong senapannya tepat di d
Apa yang paling mengiris hati selain duka karena kenyataan yang terlalu pahit untuk ditelan? Tentu saja Anastazja akan menjawab paling lantang kenangan dan harapan kosong. Menggambarkan kesedihannya hingga jarum detik terus berputar sampai matahari kembali muncul dan menyinari dunia, gadis itu masih terduduk di sebelah dipan milik kekasih hatinya yang baru saja meninggalkannya semalam. Ia membungkukkan setengah badannya di atas tempat tidur dan separuh tengah ke bawah masih setia mencium lantai kayu yang tidak lagi hangat. Pondok ini memang indah, tetapi tanpa Helio, rasa sepi lebih banyak mencengkeram suasana hatinya. Membuat aura pondok menjadi kelam dan menyedihkan. Entah bagaimana wajahnya saat ini, ia tidak berani menatap cermin. Kacau. Satu kata yang ada dalam pikirannya. Matanya sembab, bahkan mungkin bengkak dan memerah. Seperti baru saja dicium oleh p
Helio tersentak. Lamunannya buyar ketika Anastazja menyentuh pipinya. Isakan yang sebelumnya memenuhi wajahnya berkurang. Anastazja kini memandang Helio dengan rasa cemas. "Helio ... kau baik-baik saja?" "Tentu. Tentu saja. Aku baik." "Tapi kau memelukku dengan erat. Kau yakin?" "Ya, aku yakin. Aku hanya sedang menangisi takdir." "Menangisi takdir?" Anggukan Helio menjadi tanda tanya besar. Namun, Helio peka dengan hal itu. Tidak perlulah sang dewi memintanya untuk bercerita, Helio segera membeberkan apa yang pernah Sean katakan padanya. Kini, bukan hanya Helio, tetapi Anastazja juga ikut terharu dan terbawa suasana. Cinta yang k
"Sayang." Helio melangkah mendekati Anastazja yang sedang mencuci piring. Memeluk dan mencium bagian belakang leher kekasih hatinya adalah salah satu hal yang menjadi favoritnya sejak mereka resmi menjadi pasangan. Bukan hanya itu, Helio sangat suka dengan reaksi Anastazja yang merasa kegelian. Ia akan mengangkat bahu kirinya dan menempelkannya pada telinga di bagian yang sama. Kemudian, ia juga akan terkikik pelan. "Hentikan! Aku sedang mencuci piring," ujarnya melarang Helio untuk mendekat. Namun, alih-alih menjauh, Helio justru semakin mengeratkan pelukannya. Seraya bersenandung pelan, Helio menumpukan dagunya di bahu Anastazja. Sangat suka dengan kelakuan Helio, Anastazja menyerah dan mencoba menikmati kegiatannya yang menggelikan. "Hei, aku ingin bicara sesuatu p