"Berpencar!"
Seolah bukan hal baru lagi bagi mereka bertiga berada dalam situasi sulit, salah satunya medan pertempuran. Baik Anastazja dan Aldephie, keduanya segera merespons perintah Cleon dengan cepat dan sigap. Mereka bahkan sudah memperhitungkan segalanya sebelum memulai perjalanan kemah karavan. Meskipun Anastazja memimpin karena ia yang paling memahami medan tujuan mereka, gadis keras kepala itu tetap memberikan komando penuh pada Cleon, selaku satu-satunya insan manusia dengan jenis kelamin berbeda. Cleon memang belum pernah menghadapi medan pertempuran sebelumnya, tetapi duo kakak-adik itu percaya bahwa Cleon mampu mengatasi segalanya dengan tenang. Tidak seperti Aldephie yang mudah panik, ataupun Anastazja yang mudah tersulut emosi. Malam itu dengan percaya diri, Anastazja membuka peta lebar-lebar di ataHalo, semuanya Terima kasih atas dukungan kalian untuk Secret of Five Gods đ„° Ikuti terus perjalanan Anastazja dan kawan-kawannya, setiap hari jam 10 pagi Jangan lupa dukung cerita ini dengan rate dan komen. Saya akan sangat menghargainya, terima kasih đ
Tidak ada tempat yang lebih hening dan pengap dari pada ruangan yang saat ini membuat Helio kebingungan. Ia bahkan tidak bisa menemukan di mana saklar lampu berada! Parahnya, kini ia tersandung "sesuatu" yang sangat mencurigakan.
Marah. Takut. Cemas. Khawatir. Dari semua rasa yang mungkin dirasakan Anastazja ketika melihat Aldephie pingsan, perasaannya sudah mencapai batas maksimal dari apa yang ia bisa tampung, yaitu mati rasa. Kini, ia tidak peduli lagi pada apa pun yang akan Cesar atau Polisi Alastor lakukan padanya. Setelah sekian tahun akhirnya ia dan Aldephie bisa kembali berbaikan dan tertawa bersama. Berbagi selimut dan membicarakan lelucon yang sama. Kenapa? Kenapa harus sekarang? Kenapa rintangan itu harus datang sekarang? Kenapa? Seraya meratapi diri dengan dua tangan tergantung di udara, kepala Anastazja terkulai lemah. Tangisnya sudah tidak bisa keluar lagi. Entah harus berapa lama ia bisa mendapatkan kebebasan dan keadilan itu? Ia hanya ingin segalanya berjalan dengan tenang dan normal. Seperti anak lainnya. Seperti yang semua orang lakukan bersama keluarganya. Mendapatka
"Kau? Menggantikanku? Jangan bercanda! Hahahaha! Kau bahkan hanya bisa berpikir untuk kabur setelah aku dengan baik hati membiarkanmu hidup. Kau kira, kau pantas menggantikanku?" Mati. Hanya itu yang Cleon rasakan. Cleon tidak dapat menemukan perasaan lega atau bangga akan apa yang ia lakukan. Ia hanya merasa ayahnya akan membunuhnya. Wajahnya bukan hanya berubah merah, tetapi berubah hitam! Matanya bahkan berubah sangat menyeramkan. Tatapan yang tajam, sorot yang tidak menunjukkan perasaan apa pun. Cleon akan mati di tangan orang yang mati rasa, yaitu ayahnya sendiri. Takut? Tentu saja. Bukan hanya badan, lutut Cleon bahkan bergetar halus. Ini kali pertama ia melihat ayahnya berubah seperti itu. Sesaat ia ingat, bahwa ayahnya bukan hanya pemimpin tertinggi di Negeri Selatan, tetapi juga tangan kanan sekaligus pen
Alarm pertanda bahaya menjerit meraung-raung. Memenuhi langit malam yang semakin gelap dan dingin. Semua Polisi Alastor sibuk berlarian ke sana kemari. Beberapa warga yang tinggal di dekat Kantor Polisi Alastor pun mulai mengeluhkan alarm yang sudah berbunyi sejak satu menit sebelas detik yang lalu. Namun, sebelum para warga datang untuk melayangkan keluhan, Moa, asisten Hakim tertinggi telah lebih dulu menyuarakan permohonan maaf sekaligus alasan alarm darurat kembali menjerit-jerit. Bukan tanpa alasan memang, pasalnya, ketika ingin mengantarkan makan malam, petugas yang mengantarkan makanan tidak bisa menemukan Anastazja di manapun. Tidak ada indikasi kalau gadis itu merusak pintu jeruji besi. Petugas sudah memasuki sel tahanannya dan mencari-cari celah untuknya melarikan diri. Namun, lagi-lagi nihil masihlah menjadi jawaban setianya. Ia tidak menemukan apa
Tidak peduli seberapa sesak dadanya tertekan, atau napasnya yang hampir saja putus berkali-kali, Anastazja tetap lari. Benar, hanya lari. Tanpa sedikit pun melihat ke belakang. Tanpa terpikirkan untuk berhenti mengambil napas sejenak. Tanpa perlu mengingat bahwa ada Aldephie dan Cleon tertinggal di belakang sama. Ia hanya terus berlari. Menembus gelapnya hutan di malam hari. Beberapa kali ia merasa kakinya terantuk batu atau apa pun yang sepertinya memiliki ujung yang tajam dan runcing. Namun, ia tidak memedulikan sakitnya dan terus berlari. Aku harus kabur! Hanya itu kalimat yang kini memenuhi otaknya. Dia tidak tahu dan tidak mau tahu bagaimana Ramirez bisa tiba di sana. Dia bahkan tidak mau tahu bagaimana nasib Cleon dan Aldephie. Dia hanya merasa harus melarikan diri. Melarikan diri dari segalanya. Apakah ini termasuk pengkhianatan? Apakah ini termasuk ket
"Ah, pagi yang indah," ucap Helio merenggangkan badannya. Sudah lama sinar matahari tidak memandikan tubuhnya. Meskipun beberapa waktu lalu dia harus berhadapan dengan hal-hal menjijikkan, dia berjanji untuk tidak melakukan hal itu lagi. Yah, hidup harus berjalan dengan indah, bukan? Helio menghirup udara dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya yang terasa sesak beberapa saat belakangan. Dia berharap, di masa depan nanti, masih ada waktu untuk kicauan merdu burung-burung, semilir angin hangat yang membelai wajahnya, juga sinar mentari yang menghangatkan tubuhnya. Untuk sesaat, tebersit dalam ingatannya wajah Dewi yang selalu membias, menjadi bayang fantasinya tiap malam. Terlebih, ketika lukisan itu datang. Helio merasa, seolah takdir akan segera mempersatukannya dengan Dewi tanpa nama itu.
Anastazja mencoba membuka kedua kelopak matanya yang terasa berat. Kepalanya terasa sangat pusing dan sakit. Seperti terkena hantaman palu yang keras. Setelah mengerjapkan matanya beberapa kali, mengembalikan kesadarannya, ia memutar bola matanya, melihat sekelilingnya kini berada. "Di ... mana ...?" tanyanya lirih dan serak. Ia ingin sekali mengangkat tubuhnya dan duduk, tetapi rasanya berat sekali. Bisa ia rasakan kulit tangan dan kakinya yang keriput. Juga bajunya yang setengah kering. 'Aku tenggelam ... lagi?' batinnya. Tangannya memijat-mijat keningnya yang terasa pusing. Tiba-tiba saja perutnya terasa mual. Sekuat tenaga, ia memutar badannya agar isi perutnya bisa keluar. Apa yang dilihatnya kini sangatlah menjijikkan. Namun, tubuhnya tidak bisa berbohong jika ia kehilangan hampir seluruh tenaganya. Karena m
"Apa Ayah yakin? Memberikan dia tanggung jawab sebesar itu padanya? Dia bisa saja mencemari nama baik Ayah sebagai Hakim tertinggi nantinya, Ayah!" teriak Cesar sedikit merasa frustasi. Namun, Hakim tertinggi tidak benar-benar mendengarkan teriakan frustasi Cesar dan tetap melanjutkan kegiatannya. Hingga pada satu titik, kemarahan Cesar memuncak. Ia pun berjalan dengan langkah menghentak mendekati ayahnya, lalu menggebrak meja kerjanya. Aksinya sedikit membuahkan hasil karena Hakim tertinggi berhasil menghentikan kegiatan menulisnya. Namun, Cesar tidak sadar bahwa Hakim tertinggi tidak menyembunyikan amarahnya sedikit pun. Bagaimana pun juga, Cesar sudah sangat keterlaluan. Sebagai kepala keluarga kedua, ia tidak seharusnya bersikap seperti itu padanya. Itulah alasan ia lebih mempercayakan segala penin
Shi yang memasuki ruangan, disambut oleh dongakan kepala Aldephie. Dengan wajah berhiaskan senyum puas, Shi berjalan mendekat. Tidak ada reaksi penolakan yang biasanya Aldephie keluarkan. Hanya sebuah tatapan kosong. Matanya seperti seekor ikan yang mati. "Kekasih yang kau cintai itu sudah tidak lagi di sini. Dia hanya menitipkan ini untukmu," ungkap Shi seraya mengeluarkan sepucuk surat dari saku dalam jas hitamnya. Aldephie tidak mengatakan apa pun. Hanya menerima uluran sepucuk surat dan mengambilnya dari tangan Shi. Kepergian Cleon untuk menemani Anastazja cukup memukul habis kekuatan batinnya. Bukankah seharusnya seseorang memberitahu mereka jika Anastazja sudah kembali? Kenapa justru memisahkan mereka semua dan mengirimnya ke tempat yang tidak dikenalinya? Aldephie paham, seharusnya ia merasa lebih tenang kar
Tidak ada seorang pun dari mereka saling berbicara. Mereka bahkan tidak saling menatap satu sama lain. Waktu yang mereka yang telah hilang, kini memang kembali meski tidak seperti semula. Namun, pikiran mereka sudah tidak saling terpaut. Dengan helaan napas panjang, Cleon memandang laut luas sembari menbayangkan wajah Aldephie terakhir kali sebelum semuanya berakhir seperti ini. Aldephie yang baru bangun dan entah sudah diberitakan apa oleh Shi, berlari masih dengan mengenakan piama orang sakit menemui Cleon yang sedang diringkus karena terus menerus memberontak. Ia memasuki ruang interogasi nomor dua dan memeluk Cleon sambil menangis tersedu-sedu. Gadis itu bahkan memintakan maaf untuk adiknya. Sikap Aldephie yang seperti itu, memberitahu Cleon bahwa tidak ada lagi perlawanan yang bisa ia berikan pada Cesar. Kalah. Begitulah bagaimana akhirnya Cleon harus men
Memasuki sebuah ruangan besar yang gelap dan pencahayaan seadanya. Terdapat sebuah meja dengan dua kursi di sisi kanan dan satu kursi di sisi kiri, juga lampu yang menggantung di atasnya. Anastazja mengira pendingin ruangan disetel dengan suhu sekitar delapan belas sampai dua puluh derajat. Terlalu dingin baginya. Apalagi dengan kondisi tubuh yang terus menerus memproduksi keringat dingin. Awalnya, ia ragu-ragu untuk masuk, tetapi salah satu polisi Alastor mendorong punggungnya dengan kasar hingga ia terjerembab mencium lantai yang dingin, lalu menutup pintu dengan cara membantingnya. Kesal mulai menggelayuti wajahnya. Andai dia tidak mengikuti rencana Hakim, dia tidak perlu lagi mendapat perlakuan kasar seperti ini! Namun, apa gunanya dia tetap di sana jika Hakim itu juga di sana? Ah, Hakim tertinggi sudah merusak esensi dari tempat kenangannya bersama Helio.
Bau menyengat, udara pengap, juga hawa yang memuakkan menebar keluar melalui pintu kayu yang berwarna samar. Anastazja melihat ke dalam ruangan dengan perasaan bingung. Kenapa Helio tidak pernah menceritakannya? Hakim tertinggi segera menyalakan korek api gasnya untuk penerangan. Tidak seperti dirinya yang tenang dan seolah tahu apa yang tersimpan di dalam ruangan aneh ini. Anastazja justru merasa mual dan pusing. Sebuah tubuh yang membusuk. Seperti baru, tetapi karena dia berada di pondok dan tidak seorang pun antara dia dan Helio melakukan itu, artinya tubuh itu sudah lama berada di sana! Pembunuhankah? "Kau tahu siapa ini?" Sembari menutup hidung kencang, Anastazja menggeleng lemah. "Kakek buyutku."
Kedua kaki tangannya bergetar hebat. Dia bahkan bisa merasa bulu-bulu halusnya meremang, seolah alarm alaminya tahu bahwa bahaya di hadapannya tidak bisa ditolerir lagi. Di saat yang sama, tenaganya hilang entah ke mana. Lenyap tersapu riuh badai kepanikan diri. Bulir demi bulir keringat dingin mengucur tiada henti. Mati aku! Hanya itu kalimat yang terus berdentum di telinga dan otaknya. Selama lima detik, Anastazja mengusap dada, berharap jantungnya tenang agar napasnya tidak terlalu memburu. Ia tidak ingin terjebak pada lingkaran jawaban atas pertanyaan "bagaimana". Yang ia ketahui sekarang, dirinya sudah tertangkap basah dan tidak bisa lagi melarikan diri. Hatinya merintih, tidak pernah hal seperti ini terjadi kala Helio berada di sisinya. Namun, setelah lelaki yang dicintainya itu pergi, tiba-tiba mimpi buruk kembali datang.
"Cesar ...." Tidak ada keceriaan dalam nada suara Cleon. Tenggorokannya tercekat. Dadanya berdentum-dentum tak karuan. Habis sudah! "Wah, wah, kau tidak ingin memberiku pelukan rindu? Aku bahkan sudah merindukanmu meski kau hanya meninggalkan kediaman selama tiga hari lamanya!" Tawa Cesar menggaung bengis baik di telinga Cleon ataupun Aldephie. Tidak ada doa dan pinta lain selain dijauhkannya Cesar dari mereka. Cleon memang sudah tahu Cesar mencarinya, tapi kenapa? Bukankah Aldephie sudah merapal mantranya? Bukankah seharusnya jejak mereka menghilang? Kedua bola mata Cleon melirik Aldephie yang sedang tegang di tempatnya. Kemudian, kembali menatap Cesar yang sedang tertawa seraya mengacungkan moncong senapannya tepat di d
Apa yang paling mengiris hati selain duka karena kenyataan yang terlalu pahit untuk ditelan? Tentu saja Anastazja akan menjawab paling lantang kenangan dan harapan kosong. Menggambarkan kesedihannya hingga jarum detik terus berputar sampai matahari kembali muncul dan menyinari dunia, gadis itu masih terduduk di sebelah dipan milik kekasih hatinya yang baru saja meninggalkannya semalam. Ia membungkukkan setengah badannya di atas tempat tidur dan separuh tengah ke bawah masih setia mencium lantai kayu yang tidak lagi hangat. Pondok ini memang indah, tetapi tanpa Helio, rasa sepi lebih banyak mencengkeram suasana hatinya. Membuat aura pondok menjadi kelam dan menyedihkan. Entah bagaimana wajahnya saat ini, ia tidak berani menatap cermin. Kacau. Satu kata yang ada dalam pikirannya. Matanya sembab, bahkan mungkin bengkak dan memerah. Seperti baru saja dicium oleh p
Helio tersentak. Lamunannya buyar ketika Anastazja menyentuh pipinya. Isakan yang sebelumnya memenuhi wajahnya berkurang. Anastazja kini memandang Helio dengan rasa cemas. "Helio ... kau baik-baik saja?" "Tentu. Tentu saja. Aku baik." "Tapi kau memelukku dengan erat. Kau yakin?" "Ya, aku yakin. Aku hanya sedang menangisi takdir." "Menangisi takdir?" Anggukan Helio menjadi tanda tanya besar. Namun, Helio peka dengan hal itu. Tidak perlulah sang dewi memintanya untuk bercerita, Helio segera membeberkan apa yang pernah Sean katakan padanya. Kini, bukan hanya Helio, tetapi Anastazja juga ikut terharu dan terbawa suasana. Cinta yang k
"Sayang." Helio melangkah mendekati Anastazja yang sedang mencuci piring. Memeluk dan mencium bagian belakang leher kekasih hatinya adalah salah satu hal yang menjadi favoritnya sejak mereka resmi menjadi pasangan. Bukan hanya itu, Helio sangat suka dengan reaksi Anastazja yang merasa kegelian. Ia akan mengangkat bahu kirinya dan menempelkannya pada telinga di bagian yang sama. Kemudian, ia juga akan terkikik pelan. "Hentikan! Aku sedang mencuci piring," ujarnya melarang Helio untuk mendekat. Namun, alih-alih menjauh, Helio justru semakin mengeratkan pelukannya. Seraya bersenandung pelan, Helio menumpukan dagunya di bahu Anastazja. Sangat suka dengan kelakuan Helio, Anastazja menyerah dan mencoba menikmati kegiatannya yang menggelikan. "Hei, aku ingin bicara sesuatu p