“Hei, apa ada sesuatu yang menyenangkan, para gadis? Sepertinya kalian terlihat ceria sekali.” Cleon membawa cangkirnya menuju perapian. Menatap dua orang Putri yang sedang menghangatkan diri bersama di dekat perapian. Mereka pun tergabung dalam satu selimut.
Anastazja dan Aldephie mendongakkan kepalanya, menatap Cleon, lalu saling menatap satu sama lain dan tertawa bersama. Kalau kau tahu karya seni paling indah itu seperti apa, hanya senyuman yang saling terukir di wajah kedua tuan putrinyalah karya seni ciptaan Dewa paling indah. Cleon duduk di sisi lain perapian, memandang dua orang yang kini bisa mengatasi perasaan mereka masing-masing adalah pemandangan paling luar biasa untuk saat ini.
Masih perlu waktu kurang lebih tiga jam perjalanan menggunakan karavan untuk mencapai tempat tujuan mereka. Sudah hampir tiga bela
Halo semuanya, terima kasih atas segala perhatian dan cinta yang sudah kalian berikan untuk Secret of Five Gods ini 😊 Jangan lupa beri like, komen dan ulasannya ya. Sampai bertemu di chapter selanjutnya Salam hangat
Helio tersadar saat titik-titik air menetes di atas pipinya yang mulus secara terus menerus. Merasakan sesuatu yang dingin mengenai wajahnya, dia segera bangun dan menepuk-nepuk wajahnya yang kotor dengan tanah. "A-aku pingsan? Apa yang terjadi?" Matanya menatap sekeliling. Tempat yang seharusnya berada dalam ingatannya terakhir kali adalah sebuah halaman kecil di belakang pondoknya. Halaman yang memiliki air terjun mini dari bebatuan. Namun, kini di mana dirinya berada? Terlalu gelap. Helio tidak
"Berpencar!" Seolah bukan hal baru lagi bagi mereka bertiga berada dalam situasi sulit, salah satunya medan pertempuran. Baik Anastazja dan Aldephie, keduanya segera merespons perintah Cleon dengan cepat dan sigap. Mereka bahkan sudah memperhitungkan segalanya sebelum memulai perjalanan kemah karavan. Meskipun Anastazja memimpin karena ia yang paling memahami medan tujuan mereka, gadis keras kepala itu tetap memberikan komando penuh pada Cleon, selaku satu-satunya insan manusia dengan jenis kelamin berbeda. Cleon memang belum pernah menghadapi medan pertempuran sebelumnya, tetapi duo kakak-adik itu percaya bahwa Cleon mampu mengatasi segalanya dengan tenang. Tidak seperti Aldephie yang mudah panik, ataupun Anastazja yang mudah tersulut emosi. Malam itu dengan percaya diri, Anastazja membuka peta lebar-lebar di ata
Tidak ada tempat yang lebih hening dan pengap dari pada ruangan yang saat ini membuat Helio kebingungan. Ia bahkan tidak bisa menemukan di mana saklar lampu berada! Parahnya, kini ia tersandung "sesuatu" yang sangat mencurigakan.
Marah. Takut. Cemas. Khawatir. Dari semua rasa yang mungkin dirasakan Anastazja ketika melihat Aldephie pingsan, perasaannya sudah mencapai batas maksimal dari apa yang ia bisa tampung, yaitu mati rasa. Kini, ia tidak peduli lagi pada apa pun yang akan Cesar atau Polisi Alastor lakukan padanya. Setelah sekian tahun akhirnya ia dan Aldephie bisa kembali berbaikan dan tertawa bersama. Berbagi selimut dan membicarakan lelucon yang sama. Kenapa? Kenapa harus sekarang? Kenapa rintangan itu harus datang sekarang? Kenapa? Seraya meratapi diri dengan dua tangan tergantung di udara, kepala Anastazja terkulai lemah. Tangisnya sudah tidak bisa keluar lagi. Entah harus berapa lama ia bisa mendapatkan kebebasan dan keadilan itu? Ia hanya ingin segalanya berjalan dengan tenang dan normal. Seperti anak lainnya. Seperti yang semua orang lakukan bersama keluarganya. Mendapatka
"Kau? Menggantikanku? Jangan bercanda! Hahahaha! Kau bahkan hanya bisa berpikir untuk kabur setelah aku dengan baik hati membiarkanmu hidup. Kau kira, kau pantas menggantikanku?" Mati. Hanya itu yang Cleon rasakan. Cleon tidak dapat menemukan perasaan lega atau bangga akan apa yang ia lakukan. Ia hanya merasa ayahnya akan membunuhnya. Wajahnya bukan hanya berubah merah, tetapi berubah hitam! Matanya bahkan berubah sangat menyeramkan. Tatapan yang tajam, sorot yang tidak menunjukkan perasaan apa pun. Cleon akan mati di tangan orang yang mati rasa, yaitu ayahnya sendiri. Takut? Tentu saja. Bukan hanya badan, lutut Cleon bahkan bergetar halus. Ini kali pertama ia melihat ayahnya berubah seperti itu. Sesaat ia ingat, bahwa ayahnya bukan hanya pemimpin tertinggi di Negeri Selatan, tetapi juga tangan kanan sekaligus pen
Alarm pertanda bahaya menjerit meraung-raung. Memenuhi langit malam yang semakin gelap dan dingin. Semua Polisi Alastor sibuk berlarian ke sana kemari. Beberapa warga yang tinggal di dekat Kantor Polisi Alastor pun mulai mengeluhkan alarm yang sudah berbunyi sejak satu menit sebelas detik yang lalu. Namun, sebelum para warga datang untuk melayangkan keluhan, Moa, asisten Hakim tertinggi telah lebih dulu menyuarakan permohonan maaf sekaligus alasan alarm darurat kembali menjerit-jerit. Bukan tanpa alasan memang, pasalnya, ketika ingin mengantarkan makan malam, petugas yang mengantarkan makanan tidak bisa menemukan Anastazja di manapun. Tidak ada indikasi kalau gadis itu merusak pintu jeruji besi. Petugas sudah memasuki sel tahanannya dan mencari-cari celah untuknya melarikan diri. Namun, lagi-lagi nihil masihlah menjadi jawaban setianya. Ia tidak menemukan apa
Tidak peduli seberapa sesak dadanya tertekan, atau napasnya yang hampir saja putus berkali-kali, Anastazja tetap lari. Benar, hanya lari. Tanpa sedikit pun melihat ke belakang. Tanpa terpikirkan untuk berhenti mengambil napas sejenak. Tanpa perlu mengingat bahwa ada Aldephie dan Cleon tertinggal di belakang sama. Ia hanya terus berlari. Menembus gelapnya hutan di malam hari. Beberapa kali ia merasa kakinya terantuk batu atau apa pun yang sepertinya memiliki ujung yang tajam dan runcing. Namun, ia tidak memedulikan sakitnya dan terus berlari. Aku harus kabur! Hanya itu kalimat yang kini memenuhi otaknya. Dia tidak tahu dan tidak mau tahu bagaimana Ramirez bisa tiba di sana. Dia bahkan tidak mau tahu bagaimana nasib Cleon dan Aldephie. Dia hanya merasa harus melarikan diri. Melarikan diri dari segalanya. Apakah ini termasuk pengkhianatan? Apakah ini termasuk ket
"Ah, pagi yang indah," ucap Helio merenggangkan badannya. Sudah lama sinar matahari tidak memandikan tubuhnya. Meskipun beberapa waktu lalu dia harus berhadapan dengan hal-hal menjijikkan, dia berjanji untuk tidak melakukan hal itu lagi. Yah, hidup harus berjalan dengan indah, bukan? Helio menghirup udara dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya yang terasa sesak beberapa saat belakangan. Dia berharap, di masa depan nanti, masih ada waktu untuk kicauan merdu burung-burung, semilir angin hangat yang membelai wajahnya, juga sinar mentari yang menghangatkan tubuhnya. Untuk sesaat, tebersit dalam ingatannya wajah Dewi yang selalu membias, menjadi bayang fantasinya tiap malam. Terlebih, ketika lukisan itu datang. Helio merasa, seolah takdir akan segera mempersatukannya dengan Dewi tanpa nama itu.