Aldephie duduk di geladak utama sembari memeluk kedua lututnya. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau pikirkan. Tiba-tiba, semuanya menjadi kosong melompong. Seolah tujuan utamanya lenyap begitu saja. Sekarang apa yang ia inginkan? Menyusul Agacia dan memulai hidup baru bersama seseorang yang membohongi dirinya? Atau menjemput Anastazja dan membantu seseorang yang menyembunyikan sesuatu darinya?
Aldephie menatap ke atas. Langit biru terbentang luas dalam jangkauan pandangan matanya. Kumpulan awan yang terlihat lembut dan menggoda. Juga kehangatan sinar matahari yang membuatnya berwarna cerah. Semilir angin sempat membuat Aldephie mengantuk untuk sesaat. Bagaimanapun juga, ia sudah lelah menangis. Ia berpikir bahwa menatap dunia luar akan membuat sesaknya berkurang. Ia berharap bisa bernapas lega barang satu detik saja. Namun, melihat langit yang tak terbatas justru membuat dirinya semakin merasa kecil.Terima kasih untuk segala supportnya, teman-teman 🥰 God bless you always ❤
"Pertanyaan pentingnya saat ini adalah apa kau tahu di mana Anastazja berada?" Aldephie dan Cleon membuka rapat darurat kecil untuk mereka berdua. Untuk menyamakan tujuan mereka. "Aku tidak tahu. Sepanjang aku belajar sihir, aku hanya bisa sihir untuk menumbuhkan pohon. Aku menggunakannya sekali untuk menghibur Anastazja dulu sekali." "Ah, maksudmu musim gugur dadakan itu?" Cleon mengangguk kecil. "Kau sendiri bagaimana, Al? Apa kau memiliki cara agar kita menemukan Anastazja? Kupikir kau sudah mampu merapalkan beberapa mantra." "Yah, kau benar, tapi kau juga tahu aku tidak sekuat An, bukan? Ah, tunggu, pertama, kau masih berhutang padaku cerita bagaimana dia bisa kabur dari sel bawah tanah."
Sudah tiga puluh menit lamanya Cesar duduk melamun. Siku kanannya ia jadikan tumpuan untuk kepalanya. Otot-otot kekarnya yang biasanya terlihat bergairah, kini sedikit lesu. "Tuan Cesar," ucap Shi, ajudan sekaligus sekretaris yang selalu membersamainya sejak dia masih remaja masuk ke dalam ruangannya perlahan. "Hm?" Shi, lelaki paruh baya itu berjalan perlahan mendekati Cesar. Shi hanya berbeda tiga tahun dari Vahmir, tetapi tubuhnya yang tegap, juga wajahnya yang babyface membuatnya terlihat jauh di bawah Vahmir meski Shi dilatih sendiri oleh Vahmir saat ia baru saja melamar dan mendapatkan pekerjaan di kediaman. Jika boleh jujur, Shi lebih suka ditempatkan di sisi Cleon daripada Cesar. Namun, tentu saja dia tidak bisa memilih siapa yang harus ia layani. Seiring berj
"Al! Aku punya ide bagaimana kita mencari Anastazja!" Kedatangan Cleon yang tiba-tiba tentu saja mengejutkan Aldephie yang sedang fokus pada buku sampul hijau beludru. Sudah seharian penuh Aldephie mempelajari mantra-mantra yang dituliskan di dalam buku, tetapi hal itu terlalu sulit baginya. Kecuali satu mantra, yaitu mengembalikan jiwa yang sudah pergi. Aldephie melakukan uji coba pada seekor burung yang tanpa sengaja mati karena menabrak tiang skyship. Kabar gembiranya, dia berhasil mengembalikan jiwa burung tersebut sehingga sang burung kembali hidup dan bisa terbang bebas di langit. Betapa bangganya ia bisa melakukan hal tersebut. Ingin sekali ia memberitahu Cleon, tetapi ia kembali mempelajari buku tersebut. Bagaimanapun juga, segala sesuatu yang terjadi memiliki "bayaran", bukan? Dalam kasus ini, tidak tercan
Cesar menuruni tangga yang terbuat dari besi, menuju tempat peluncuran skyship berkecepatan tinggi yang terletak di bagian bawah kediaman mereka. Nantinya, skyship pot pribadi akan muncul di tengah halaman yang lapang. Satu-satunya tempat dengan teknologi canggih yang dimiliki Negeri Selatan. "T-tuan Cesar?" Jenderal pimpinan merasa bingung dengan kehadiran Cesar di sana. Pasalnya ia tahu bahwa Hakim tertinggi tidak berniat untuk menyertakan Cesar dalam misi penting kali ini. Cesar tersenyum miring, lalu menaiki salah satu undakan tempat di mana Hakim tertinggi memberikan wejangan sebelum mereka berangkat bertempur. "SEMUANYA, DENGARKAN AKU!" Suaranya menggema hingga ke seluruh ruangan, membuat semua pekerja berhenti sejenak dari pekerjaan mereka dan berkumpul di dekat podium.
"Selesai!" ucap Anastazja puas memandangi lukisannya. Sebuah lukisan yang menggambarkan tempat penuh kenangan bagi Anastazja. Bedanya, kini potret dirinya dan Helio termasuk di dalamnya. "Baiklah, sekarang sentuhan terakhir," tambahnya bahagia. Sayangnya yang ia temukan hanyalah kaleng cat yang kosong sehingga ia tidak bisa melanjutkan acara melukisnya segera. "Astaga. Aku kehabisan cat putih rupanya. Sepertinya Helio masih menyimpan persediaan di atas." Setelah mendesis kesal, Anastazja segera beranjak dari tempatnya, menepuk apron yang ia gunakan agar bajunya tidak terkena cipratan cat minyak karena pasti akan sangat menyebalkan ketika mencucinya nanti—atau bisa jadi tidak akan hilang sama sekali. Anastazja baru akan tiba sepenuhnya di atas setelah melewati tiga buah
"ARGH! Sial!" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada semakin banyaknya pergerakan yang dilakukan oleh Hakim tertinggi, racun yang bersemayam dalam tambang yang mengikatnya semakin kuat menyebar. Pria tua itu tidak peduli lagi harus bagaimana. Seperti ia tidak peduli bila kewibawaan yang sepanjang napasnya berembus telah mulai ia bangun sedikit demi sedikit runtuh seketika. Sekarang, siapa yang tidak meringis dan bisa bertahan tidak mengeluarkan kata-kata kasar bila tubuhnya terasa sakit dan panas? Mungkin sebuah robot pun akan menjerit agar dirinya dilepaskan dari tali tambang seperti itu! Lelaki itu menyerah. Membiarkan kegagahannya hilang ditelan takdir. Untuk apa mempertahankan kegagahan bila esok ia harus kehilangan sisa kehidupannya begitu saja? Dengan pasrah,
"Sayang." Helio melangkah mendekati Anastazja yang sedang mencuci piring. Memeluk dan mencium bagian belakang leher kekasih hatinya adalah salah satu hal yang menjadi favoritnya sejak mereka resmi menjadi pasangan. Bukan hanya itu, Helio sangat suka dengan reaksi Anastazja yang merasa kegelian. Ia akan mengangkat bahu kirinya dan menempelkannya pada telinga di bagian yang sama. Kemudian, ia juga akan terkikik pelan. "Hentikan! Aku sedang mencuci piring," ujarnya melarang Helio untuk mendekat. Namun, alih-alih menjauh, Helio justru semakin mengeratkan pelukannya. Seraya bersenandung pelan, Helio menumpukan dagunya di bahu Anastazja. Sangat suka dengan kelakuan Helio, Anastazja menyerah dan mencoba menikmati kegiatannya yang menggelikan. "Hei, aku ingin bicara sesuatu p
Helio tersentak. Lamunannya buyar ketika Anastazja menyentuh pipinya. Isakan yang sebelumnya memenuhi wajahnya berkurang. Anastazja kini memandang Helio dengan rasa cemas. "Helio ... kau baik-baik saja?" "Tentu. Tentu saja. Aku baik." "Tapi kau memelukku dengan erat. Kau yakin?" "Ya, aku yakin. Aku hanya sedang menangisi takdir." "Menangisi takdir?" Anggukan Helio menjadi tanda tanya besar. Namun, Helio peka dengan hal itu. Tidak perlulah sang dewi memintanya untuk bercerita, Helio segera membeberkan apa yang pernah Sean katakan padanya. Kini, bukan hanya Helio, tetapi Anastazja juga ikut terharu dan terbawa suasana. Cinta yang k