"ARGH! Sial!"
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada semakin banyaknya pergerakan yang dilakukan oleh Hakim tertinggi, racun yang bersemayam dalam tambang yang mengikatnya semakin kuat menyebar. Pria tua itu tidak peduli lagi harus bagaimana. Seperti ia tidak peduli bila kewibawaan yang sepanjang napasnya berembus telah mulai ia bangun sedikit demi sedikit runtuh seketika. Sekarang, siapa yang tidak meringis dan bisa bertahan tidak mengeluarkan kata-kata kasar bila tubuhnya terasa sakit dan panas? Mungkin sebuah robot pun akan menjerit agar dirinya dilepaskan dari tali tambang seperti itu! Lelaki itu menyerah. Membiarkan kegagahannya hilang ditelan takdir. Untuk apa mempertahankan kegagahan bila esok ia harus kehilangan sisa kehidupannya begitu saja? Dengan pasrah,Halo-halo, teman-teman semua. Tiga hari ini bakalan update lebih cepet dari waktu biasanya, ya 😊 Nggak akan pernah bosan untuk bilang makasih buat teman-teman semua yang sudah mendukung. Terima kasih banyak semuanya. Semoga semuanya sehat selalu 😊
"Sayang." Helio melangkah mendekati Anastazja yang sedang mencuci piring. Memeluk dan mencium bagian belakang leher kekasih hatinya adalah salah satu hal yang menjadi favoritnya sejak mereka resmi menjadi pasangan. Bukan hanya itu, Helio sangat suka dengan reaksi Anastazja yang merasa kegelian. Ia akan mengangkat bahu kirinya dan menempelkannya pada telinga di bagian yang sama. Kemudian, ia juga akan terkikik pelan. "Hentikan! Aku sedang mencuci piring," ujarnya melarang Helio untuk mendekat. Namun, alih-alih menjauh, Helio justru semakin mengeratkan pelukannya. Seraya bersenandung pelan, Helio menumpukan dagunya di bahu Anastazja. Sangat suka dengan kelakuan Helio, Anastazja menyerah dan mencoba menikmati kegiatannya yang menggelikan. "Hei, aku ingin bicara sesuatu p
Helio tersentak. Lamunannya buyar ketika Anastazja menyentuh pipinya. Isakan yang sebelumnya memenuhi wajahnya berkurang. Anastazja kini memandang Helio dengan rasa cemas. "Helio ... kau baik-baik saja?" "Tentu. Tentu saja. Aku baik." "Tapi kau memelukku dengan erat. Kau yakin?" "Ya, aku yakin. Aku hanya sedang menangisi takdir." "Menangisi takdir?" Anggukan Helio menjadi tanda tanya besar. Namun, Helio peka dengan hal itu. Tidak perlulah sang dewi memintanya untuk bercerita, Helio segera membeberkan apa yang pernah Sean katakan padanya. Kini, bukan hanya Helio, tetapi Anastazja juga ikut terharu dan terbawa suasana. Cinta yang k
Apa yang paling mengiris hati selain duka karena kenyataan yang terlalu pahit untuk ditelan? Tentu saja Anastazja akan menjawab paling lantang kenangan dan harapan kosong. Menggambarkan kesedihannya hingga jarum detik terus berputar sampai matahari kembali muncul dan menyinari dunia, gadis itu masih terduduk di sebelah dipan milik kekasih hatinya yang baru saja meninggalkannya semalam. Ia membungkukkan setengah badannya di atas tempat tidur dan separuh tengah ke bawah masih setia mencium lantai kayu yang tidak lagi hangat. Pondok ini memang indah, tetapi tanpa Helio, rasa sepi lebih banyak mencengkeram suasana hatinya. Membuat aura pondok menjadi kelam dan menyedihkan. Entah bagaimana wajahnya saat ini, ia tidak berani menatap cermin. Kacau. Satu kata yang ada dalam pikirannya. Matanya sembab, bahkan mungkin bengkak dan memerah. Seperti baru saja dicium oleh p
"Cesar ...." Tidak ada keceriaan dalam nada suara Cleon. Tenggorokannya tercekat. Dadanya berdentum-dentum tak karuan. Habis sudah! "Wah, wah, kau tidak ingin memberiku pelukan rindu? Aku bahkan sudah merindukanmu meski kau hanya meninggalkan kediaman selama tiga hari lamanya!" Tawa Cesar menggaung bengis baik di telinga Cleon ataupun Aldephie. Tidak ada doa dan pinta lain selain dijauhkannya Cesar dari mereka. Cleon memang sudah tahu Cesar mencarinya, tapi kenapa? Bukankah Aldephie sudah merapal mantranya? Bukankah seharusnya jejak mereka menghilang? Kedua bola mata Cleon melirik Aldephie yang sedang tegang di tempatnya. Kemudian, kembali menatap Cesar yang sedang tertawa seraya mengacungkan moncong senapannya tepat di d
Kedua kaki tangannya bergetar hebat. Dia bahkan bisa merasa bulu-bulu halusnya meremang, seolah alarm alaminya tahu bahwa bahaya di hadapannya tidak bisa ditolerir lagi. Di saat yang sama, tenaganya hilang entah ke mana. Lenyap tersapu riuh badai kepanikan diri. Bulir demi bulir keringat dingin mengucur tiada henti. Mati aku! Hanya itu kalimat yang terus berdentum di telinga dan otaknya. Selama lima detik, Anastazja mengusap dada, berharap jantungnya tenang agar napasnya tidak terlalu memburu. Ia tidak ingin terjebak pada lingkaran jawaban atas pertanyaan "bagaimana". Yang ia ketahui sekarang, dirinya sudah tertangkap basah dan tidak bisa lagi melarikan diri. Hatinya merintih, tidak pernah hal seperti ini terjadi kala Helio berada di sisinya. Namun, setelah lelaki yang dicintainya itu pergi, tiba-tiba mimpi buruk kembali datang.
Bau menyengat, udara pengap, juga hawa yang memuakkan menebar keluar melalui pintu kayu yang berwarna samar. Anastazja melihat ke dalam ruangan dengan perasaan bingung. Kenapa Helio tidak pernah menceritakannya? Hakim tertinggi segera menyalakan korek api gasnya untuk penerangan. Tidak seperti dirinya yang tenang dan seolah tahu apa yang tersimpan di dalam ruangan aneh ini. Anastazja justru merasa mual dan pusing. Sebuah tubuh yang membusuk. Seperti baru, tetapi karena dia berada di pondok dan tidak seorang pun antara dia dan Helio melakukan itu, artinya tubuh itu sudah lama berada di sana! Pembunuhankah? "Kau tahu siapa ini?" Sembari menutup hidung kencang, Anastazja menggeleng lemah. "Kakek buyutku."
Memasuki sebuah ruangan besar yang gelap dan pencahayaan seadanya. Terdapat sebuah meja dengan dua kursi di sisi kanan dan satu kursi di sisi kiri, juga lampu yang menggantung di atasnya. Anastazja mengira pendingin ruangan disetel dengan suhu sekitar delapan belas sampai dua puluh derajat. Terlalu dingin baginya. Apalagi dengan kondisi tubuh yang terus menerus memproduksi keringat dingin. Awalnya, ia ragu-ragu untuk masuk, tetapi salah satu polisi Alastor mendorong punggungnya dengan kasar hingga ia terjerembab mencium lantai yang dingin, lalu menutup pintu dengan cara membantingnya. Kesal mulai menggelayuti wajahnya. Andai dia tidak mengikuti rencana Hakim, dia tidak perlu lagi mendapat perlakuan kasar seperti ini! Namun, apa gunanya dia tetap di sana jika Hakim itu juga di sana? Ah, Hakim tertinggi sudah merusak esensi dari tempat kenangannya bersama Helio.
Tidak ada seorang pun dari mereka saling berbicara. Mereka bahkan tidak saling menatap satu sama lain. Waktu yang mereka yang telah hilang, kini memang kembali meski tidak seperti semula. Namun, pikiran mereka sudah tidak saling terpaut. Dengan helaan napas panjang, Cleon memandang laut luas sembari menbayangkan wajah Aldephie terakhir kali sebelum semuanya berakhir seperti ini. Aldephie yang baru bangun dan entah sudah diberitakan apa oleh Shi, berlari masih dengan mengenakan piama orang sakit menemui Cleon yang sedang diringkus karena terus menerus memberontak. Ia memasuki ruang interogasi nomor dua dan memeluk Cleon sambil menangis tersedu-sedu. Gadis itu bahkan memintakan maaf untuk adiknya. Sikap Aldephie yang seperti itu, memberitahu Cleon bahwa tidak ada lagi perlawanan yang bisa ia berikan pada Cesar. Kalah. Begitulah bagaimana akhirnya Cleon harus men