"Terima kasih ..."
Sebuah pernyataan dengan nada yang sinis, akan tetapi penuh rasa malu di dalamnya. Cleon tersenyum lembut. Telapak tangannya yang besar menepuk puncak tertinggi kepala Anastazja. "Aku akan selalu ada untukmu, Anastazja. Ingatlah itu baik-baik," bisiknya di telinga Anastazja. Tanpa bisa Anastazja hindari, rona merah muncul di kedua pipinya yang berkulit cerah.
"K-kereta kudamu sudah menunggu. Pergilah!" Tidak seperti Anastazja yang selalu tersenyum mengantar kepulangan Cleon. Kali ini, gadis itu menunduk, menyembunyikan rona merah yang muncul di wajahnya. Melihat sang Dewi dalam kehidupannya malu-malu membuat Cleon merasa gemas. Cleon bermaksud menggodanya dengan menempelkan keningnya ke kening Anastazja.
"Aku pamit, ya. Hati-hatilah selama perjalanan pulang," ucapnya tenang. Tidak peduli bagaimana pandangan orang-orang, ia hanya ingin memastikan pada mereka semua bahwa Anastazja adalah miliknya. Tidak boleh ada yang menyentuh Anastazja selain dirinya. Itulah pesan tersirat yang ingin Cleon berikan pada semua orang yang melihat mereka di depan gerbang sekolah.
Sekolah mereka adalah sekolah terusan terbaik. Mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, semuanya sengaja dibangun dalam satu lingkup wilayah agar memudahkan para siswa ketika mereka naik ke jenjang pendidikan lebih tinggi berikutnya. Pintu gerbang utama terletak di tengah-tengah antara bangunan SMA dengan perguruan tinggi. Karenanya, bukan tidak mungkin orang-orang melihat aksi Cleon.
Mereka saling berbisik dan melirik dengan tatapan aneh. Namun, saat Cleon melemparkan tatapannya menuju orang-orang yang memperhatikannya, mereka langsung mengalihkan pandangan seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Tatapan Cleon memang mematikan, sekali saja ia menandaimu, maka hidupmu akan berada dalam bahaya.
"Kau tidak segera naik kereta kencanamu? Sopirmu sampai turun untuk menunggumu." Suara Anastazja memecah fokus Cleon. Kali ini, semua orang benar-benar mendapatkan bukti konkret bahwa Cleon memang tergila-gila pada Anastazja. Gadis black blood yang membawa kutukan.
Cleon melambaikan tangannya pada Anastazja, tetapi gadis itu enggan membalasnya. Ia hanya tersenyum simpul, kemudian melangkah pergi meninggalkan Cleon yang masih sibuk menatap dirinya menjauh. "Tuan Muda, gadis itu ..."
"Ya, kau benar, Vahmir. Dia adalah black blood," ucap Cleon santai masih terus menatap sosok Anastazja sampai ia tidak terlihat lagi.
"Tidak perlu menatapku begitu. Ayo, jalan. Jika ayah sampai mengetahui kejadian hari ini, maka aku akan memastikan lehermu tidak akan bertahan sampai bulan depan, Vahmir," tantang Cleon dengan tatapan yang seolah ikut menekan Vahmir, supir pribadinya. Tanpa banyak bicara, Vahmir menjalankan mobilnya dengan tenang.
***
Anastazja tidak mengerti, mengapa Cleon bersikap seperti itu padanya? 'Apa rumor itu benar? Bahwa Cleon menyukaiku? Ah, sepertinya tidak. Dia memang teman yang baik, dia selalu ada untukku. Aku harus berterima kasih padanya sesekali.' Anastazja menghentikan langkahnya. Menatap pemandangan di luar jendela dari lorong lantai tiga.
Terhampar sebuah pemandangan yang biasa ia lihat selama bertahun-tahun ia bersekolah di sana. Mulai dari lapangannya, gerbang utamanya, sekumpulan tempat duduk yang biasa ia gunakan untuk menunggu Cleon sepulang dari kelas, sampai beberapa pohon rindang di pinggir-pinggirnya. Tidak banyak pohon di Negeri Selatan ini, karena negeri ini identik dengan negeri bawah. Tempat para iblis berkumpul.
Anastazja tiba-tiba teringat akan lukisannya yang memenangkan perlombaan nasional dulu. Sebuah lukisan sudut kota yang terasa hangat dan ramah. "Di mana aku pernah melihatnya?" lirihnya menatap langit yang menghampar luas di hadapannya.
Angin semilir membelai lembut rambut merah Anastazja. Ia melihat sehelai bibit dandelion yang terbang melewatinya. Bibit itu terus terbang menuju perpustakaan. Bersamaan dengan jatuhnya bibit dandelion yang menabrak pintu perpustakaan, saat itu pula sebuah ide menembus kepala Anastazja.
"Jika kita tidak mengetahui jawabannya, maka kita harus mencari tahu. Benar. Aku akan mencari tahu di perpustakaan," ucapnya pada diri sendiri. Ia pun memulai langkahnya memasuki perpustakaan.
***
Meski ini adalah kali pertama Anastazja menginjakkan kakinya di sini, ia langsung menyukai tempat yang bernama perpustakaan itu. Dulu, ketika ia masih berada di jenjang SD dan SMP, pihak sekolah melarangnya untuk menggunakan fasilitas sekolah dengan alasan takut siswa lain terbebani jika harus berbagi dengan seorang black blood. Namun, entah bagaimana, di SMA, peraturan tersebut tidak berlaku lagi.
Anastazja berjalan mengelilingi rak demi rak. Awalnya, ia tidak mengerti buku apa yang harus dicarinya. Namun, kini ia tertarik pada sebuah buku bersampul hijau beludru yang terletak di bagian paling dalam pojokan rak. Buku itu hampir seluruhnya tertutup debu. Bahkan ketika berusaha mengambilanya, Anastazja harus bertarung dengan jaring-jaring lengket milik laba-laba yang sudah lama melekat di antara buku dengan rak.
Beberapa kali Anastazja terbatuk karena debu yang sangat tebal menerpa wajahnya. Setelah tangannya membersihkan sampul buku dari debu, ia dapat melihat judul buku dengan jelas. "Secret of Five God? Apa maksudnya? Apa ini buku cerita anak? Judul yang sedikit norak," komentarnya dengan tanpa rasa bersalah.
Meskipun ia merasa judulnya norak, ia tetap mencari tempat yang strategis untuk duduk dan membaca buku itu. Tidak apa meski hanya berisi cerita dongeng, setidaknya hal tersebut akan menghibur hatinya yang terluka karena belum bisa menemui sang ayah yang sangat dirindukannya.
***
Anastazja berlari secepat yang ia bisa. Wajahnya sangat sumringah. Ia berniat segera menemui Aldephie dan memberitahunya. Mungkin, dengan mengetahui hal ini, pemikiran Aldephie pun akan berubah. Ia tidak akan lagi terus menerus meletakkan nasibnya di tangan pemerintahan yang otoriter ini.
Dalam bayangan Anastazja, Aldephie akan merasa sangat gembira dengan berita yang dibawanya. Siapa sangka, bahwa rahasia terbesar pemerintahan ternyata berada di dalam buku tua yang tersimpan di antara rak buku perpustakaan sekolah?
"Anastazja? Ada apa kau berlari seperti itu? Kau sudah pulang? Bantu aku." Tidak peduli meski Anastazja terlihat tiba dengan terengah-engah, Aldephie tetap akan memintanya untuk membantu ibu menjajakan dagangannya.
Setelah kejadian saat mereka kecil, kini Agaci membuka kedai makanan untuk para pelancong, musafir atau siapa pun yang membutuhkan makanan siap saji. Namun, kini mereka membuka kedainya di daerah yang berbeda dengan sebelumnya. Agaci percaya, bahwa tempat yang sebelumya mendapatkan petaka adalah tempat terlarang. Karenanya, untuk membuang sial dan memulai hidup barunya, Agaci membuka kedai makanan siap saji yang jauh dari pasar.
"Kau sudah pulang, Nak? Sepertinya hari ini sekolahmu berakhir lebih cepat dari pada biasanya." Senyum Agaci mengembang melihat putri bungsunya pulang dengan bersemangat.
"Urusanku selesai lebih cepat dari pada biasanya," jawab Anastazja sekenanya. Kemudian masuk ke dalam kedai mencari Aldephie.
"Apa?" tanya Aldephie tanpa memalingkan wajahnya pada Anastazja. Anastazja mengeluarkan buku bersampul hijau beludru yang dibawanya kabur dari perpustakaan dan menunjukkannya pada Aldephie.
"Selama ini kita hanya dimanfaatkan oleh pemerintah, Kak. Aku tahu rahasia besar mengenai asal mula black blood."
***
"Apa maksudmu? Kau gila, ya?" Pertanyaan tanpa aba-aba. Meski Aldephie memancarkan aura keanggunan, tetapi ia tidak sepenuhnya anggun. Begitulah pendapat Anastazja mengenai kakak satu-satunya itu. "Dalam buku ini, terdapat sebuah cerita mengenai asal mula black blood dan bagaimana nasib orang-orang yang memiliki darah black blood." jelas Anastazja panjang lebar. Berbeda dengan Anastazja yang penuh dengan impian, Aldephie memilih untuk tetap realistis dan melihat pada kenyataan. "Hentikan, Anastazja. Aku tahu, kau mengambil buku itu tanpa izin dari mana pun, bukan?" "A-aku hanya meminjamnya. Besok akan kukembalikan ke tempat semula. Apa untuk meminjam saja, aku tidak boleh?" Aldephie menghela napas panjang. Entah mengapa hingga saat ini, Anastazja masih belum juga sadar bahwa black blood berbeda dengan penduduk setempat lainnya. "Ayo, aku ak
Untuk sesaat, suasana tegang menyelimuti kedua kakak beradik itu. Aldephie menatap Anastazja dan buku bersampul hijau beludru secara bergantian. Detak jantungnya seolah ingin mengikat napas yang terus memburunya. Andai Aldephie memiliki penyakit jantung, ia yakin sekali napasnya akan terhenti beberapa saat mendengar ocehan tidak jelas Anastazja.“Haaah ... kau, apalagi buku yang kau baca kali ini, huh? Sebuah cerita fantasi yang mendebarkan? Seperti seorang putri yang jatuh cinta pada pengkhianat negara maksudmu?” Aldephie berkacak pinggang.Tangannya dengan cepat meraih buku yang diacungkan oleh Anastazja, lalu ia mengacungkannya kembali ke hadapan adiknya.“Secret of Five Gods? Kau tahu seberapa norak judulnya, kan? Lihat sampulnya yang ketinggalan zaman. Astaga, Anastazja! Ada apa dengan pikiranmu?”Anastazja kembali merebut buku itu dengan kasar dari tangan kakakn
Apakah keberadaan Dewa benar-benar ada di dunia ini? Sebuah pertanyaan yang terus menerus bergelayut di dalam otak kecil ini. Aku tahu kalau ayah dan ibu tidak akan menyukai gagasanku. Namun, sepertinya ‘dia’ akan menyukainya.Yah, dia memang menyukai segalanya tentang diriku, termasuk keanehan dan keganjilan yang menurut Alastor tidak layak disandang oleh keturunannya. Darah murni katanya? Cerberus memang bajingan lihai ketika berbicara! Apa memang ia hidup hanya untuk berlatih bicara omong kosong?Aku bahkan tahu bahwa ia sangat bodoh! Aku tidak mengerti bagaimana pohon keabadian bisa lebih memilih Cerberus dari pada aku? Bocah bodoh itu bahkan hanya bisa mengayunkan senjata tanpa memikirkan dampak dan risiko jangka panjangnya.***“Tidak, Anastazja! Harus berapa kali kukatakan padamu kalau aku tidak akan menuruti permintaan anehmu! Lebih baik kau memban
“Apa maksudmu? Kau sedang merundungku, ya?” tantang Anastazja kesal.Ia tidak mengerti apa yang membuat kakaknya menjadi seperti orang gila yang meringkuk ketakutan karena diteriaki oleh seorang polisi. Sangat tidak masuk akal ketika dia menuduh dongeng itu sebagai hal yang menakutkan.
Pada satu malam di musim gugur, aku mengingat bagaimana Cerberus mengetuk pintu rumahku dengan sangat kasar. Dengan perlengkapan perang yang masih menempel di badannya, ia datang dan memintaku untuk bergabung bersamanya. Membentuk persatuan dari klan Alastor untuk memboikot dia.Aku mulai mengerti. Mungkin saja Cerberus lelah menjadi bayangannya terus menerus. Sedangkan dia selalu mengandalk
Langkah kakinya terasa berat. Penghujung musim gugur memang sedikit mengerikan bagi Anastazja. Segalanya terasa suram dan menyedihkan saat musim dingin tiba. Anastazja tidak mengerti, kenapa banyak anak-anak yang suka bermain dan bergembira ketika musim dingin tiba? Apa mereka tidak tahu bahwa tumpukan butiran salju jahat itu bisa membekukan mereka?
Hari itu cuaca sangat cerah. Di perkampungan tempat para black blood tinggal, Anastazja kecil sedang membantu Aldephie menganyam rotan. Sebuah pemandangan yang sangat menyenangkan. Meskipun beberapa kali tangan kecilnya terbeset pinggiran rotan yang sedikit tajam, ia tetap berbahagia. Senandung kecilnya s
Aku terus mengingat bagaimana Cerberus tertawa kencang seraya mengatakan bahwa aku adalah ‘pekat kebenaran’. Ia selalu mengatakan betapa ia bangga padaku. Ketika aku memberitahukannya bahwa aku tidak suka dengan panggilan yang diberikan itu, tawanya semakin kencang. Betapa menjijikkan ketika aku melihat liurnya yang muncrat dan menempel memenuhi meja. Aku tidak mengerti, apa yang bisa kau banggakan dari panggilan “pekat kebenaran”? Apa karena aku menyukai warna hitam? Hei, kupikir hitam adalah warna yang bagus! Salah besar bila kau menempelkan stigma negatif pada warna hitam. Warna hitam adalah permulaan sekaligus akhir. Warna hitam berdiri sendiri. Karenanya, ketika kau mencampurkannya dengan warna lain, hitam akan mendominasi segalanya. Benar, hitam akan mendominasi segalanya! *** “Jadi, bisa kau ceritakan padaku? Ke mana dan apa yang kau lakukan tadi malam?” Anastazj