Bel tanda masuk menjerit-jerit di seluruh halaman sekolah. Menjadi pengingat bagi siswa yang masih berada di luar kelas untuk segera masuk ke dalam kelas. Semua siswa bersemangat, karena esok adalah karyawisata bersama sekolah di akhir pekan. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Anastazja. Ia melangkah murung. Rasa marah yang tersimpan dalam dirinya kembali terusik.
Sudah bertahun-tahun lamanya sejak polisi Alastor menghancurkan kios milik ibunya. Saat itu, segala rencananya untuk membanggakan keluarganya hancur total. Ditambah, pertengkarannya dengan Aldephie yang terjadi setelahnya. Sejak saat itu, segalanya terasa bertambah runyam. Anastazja makin sulit untuk membuka dirinya pada orang lain, bahkan pada keluarganya sendiri.
"Hei, Tuan Putri. Apa gerangan yang sedang menganggu pikiranmu?" Cleon mengejutkan Anastazja dengan tepukan pundaknya yang lembut.
"Oh, Astaga. Rupanya itu kau? Pantas saja tidak merasa alergi berada di dekatku," ucap Anastazja sedikit sinis pada dirinya sendiri.
"Ada apa? Sepertinya mood-mu kurang baik hari ini?"
Anastazja menatap Cleon kosong. Tidak ada harapan apa pun dalam matanya. Ia bahkan tidak melihat masa depan untuk seorang black blood. Namun, haruskah ia katakan hal seperti itu pada Cleon? Apakah Cleon akan memahaminya? Cleon tidak seperti dirinya. Ia tumbuh dalam lingkungan yang baik. Anastazja membuang muka, berjalan menjauh meninggalkan Cleon di lorong sebelah tangga.
"Hei, Anastazja! Apa yang terjadi? Ada apa?" Rupanya, Cleon tidak menyerah. Ia terus melangkah mengekori Anastazja dari belakang. Anastazja merasa risih dengan sikapnya. Ia memilih untuk mempercepat langkahnya, meninggalkan Cleon di belakangnya jauh.
"Ah, hei! Anas—" belum sempat Cleon menyebut namanya dengan benar, Anastazja berbelok masuk ke dalam toilet perempuan. Tempat di mana Cleon tidak bisa mengikutinya.
Awalnya, Cleon berencana untuk menunggunya di depan pintu toilet, tetapi ia mengurungkan hal tersebut saat para siswa yang lewat memperhatikannya. Antara ingin tertawa dan memandangnya dengan tatapan aneh.
"Ah, sepertinya memang aku harus menunggunya di tempat lain," ucap Cleon pada dirinya sendiri.
"Oh, Cleon. Apa kau akan pergi ke kelas? Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Celine muncul dari dalam toilet, kemudian menggelayut manja di lengan Cleon. Cleon jelas merasa tidak nyaman dengan gadis berambut ungu itu. Ia mencoba melepaskan lengannya beberapa kali dari cengkeraman Celine, tetapi gadis itu selalu mencari kesempatan agar ia bisa menggelayut di lengannya lagi dan lagi.
"Anu, Celine, bisa kau lepaskan aku? Aku merasa berat dan tidak nyaman dengan ini," Cleon memang lembut. Sebisa mungkin, ia tidak ingin mengatakan hal yang menyinggung perasaan orang lain, terutama wanita. Ia selalu menanamkan dalam dirinya untuk mengatakan hal-hal yang baik, karena gadis yang dicintainya sejak ia masuk sekolah umum adalah seorang black blood.
***
Hari itu adalah hari pertama Cleon masuk sekolah umum. Setelah sebelumnya, orang tuanya tidak memperbolehkannya untuk bersekolah di luar. Bukan hanya itu, Cleon bahkan tidak diizinkan untuk bermain di luar rumah. Tempat ia paling jauh bepergian adalah taman belakang rumahnya. Di mana sang ayah memerintahkan seseorang untuk menemaninya bermain.
Awalnya Cleon merasa bersyukur karena setidaknya, ia bisa mengistirahatkan dirinya dari latihan berdansa, upacara penyambutan, mempelajari ilmu politik juga segudang kegiatan lainnya yang katanya harus dimiliki sebagai dasar pengetahuan seorang bangsawan.
Siapa tidak kenal dengan keluarga Cleon? Satu-satunya anggota klan Alastor yang memiliki darah murni dari keturunan langsung Cerberus, makhluk yang dipercaya sebagai nenek moyang sekaligus generasi pertama klan Alastor. Klan yang terkenal akan ketangkasan sekaligus kekejamannya dalam berperang. Namun, itu sudah berlalu lama sekali. Jauh sebelum dunia terpecah belah menjadi lima bagian wilayah.
Tidak ada yang mengetahui secara pasti alasan pembagian wilayah menjadi lima bagian dengan Kota Central sebagai pusat dari segala sumber kehidupan. Tidak pernah tercatat dalam kitab mana pun di Negeri Selatan ini mengenai asal mula pecahnya daratan menjadi lima bagian.
Setelah selesai pembelajarannya, Cleon kecil berpikir untuk berpetualang lebih jauh dari biasanya. Di sanalah ia bertemu sosok Dewi yang seperti ia lihat dalam buku cerita ketika ia masih kecil. Dewi yang cantik juga kuat. Kecerdasannya tidak diragukan lagi meski ia perempuan. Dewi Fotiá, sebagaimana namanya, Dewi Fotiá memiliki rambut bergelombang cantik dengan warna merah menyala. Matanya yang hitam pekat sekelam langit malam. Hidungnya kecil mancung, dengan alis tebal dan bibir tipis mungil. Sekali melihatnya, Cleon tidak mampu mengalihkan pandangannya sama sekali.
Ibarat hutan yang gelap, sosok gadis itulah penerangnya. Begitulah makna keberadaan Anastazja bagi Cleon. Namun, sepertinya Anastazja tidak menyadarinya. Atau mungkin dia memang lupa tentang janji mereka saat masih kecil dulu?
***
Anastazja merapikan kursinya. Ia segera mengambil tas sekolah dan melangkah keluar kelas. Saat itulah tatapannya terpaku pada sosok yang sudah berubah tampan di hadapannya. "Ada apa? Apa kelasmu sudah selesai?" Anastazja memang kurang pintar berbasa-basi. Namun, Cleon tetap senang, karena ia mau berbicara lagi padanya. "Kau tidak menunggu kereta kudamu, Tuan Muda?" tambahnya dengan nada sinis.
"Aku tidak tahu apa kesalahanku, tapi jika itu menyakitimu, maka tolong maafkan aku," pinta Cleon memasang wajah yang melas.
Anastazja menatap Cleon tajam. Namun, siapa yang bisa mengalahkan pesona ketampanan Cleon sekarang? Ia sudah berubah dari bocah cengeng menjadi setampan super idol. Ia menghela napas panjang. Tanda sudah menyerah dengan aksi kesalnya terhadap Cleon.
"Baiklah, aku memaafkanmu."
Anastazja tidak mengerti, kenapa Cleon segembira itu hanya dengan sebuah maaf kecil darinya?
"Lalu, apa yang membuatmu badmood belakangan ini?"
"Aku hanya merasa sedikit kesal."
"Aku mengenalmu dengan baik. Kau bukan orang yang merasa kesal tanpa alasan. Apa Celine mengganggumu lagi seperti waktu itu?"
Anastazja menggeleng. Meski pertanyaan Cleon memang bukan untuk tujuan buruk, tetapi rasa tidak nyaman itu selalu menghantui. Anastazja melangkahkan kakinya menuju pintu gerbang utama. Mungkin memang sebaiknya, dia tidak berdekatan dulu dengan Cleon.
"Kalau begitu, apa ada seseorang yang mengataimu?" Tebakan Cleon tepat. Meski bukan terhitung mengatai secara terang-terangan, Anastazja merasa petugas pemakaman tempo hari telah melecehkan keluarganya. Anastazja menghentikan langkahnya tepat sebelum ia keluar gerbang sekolah. Diikuti Cleon yang terus menerus mengekorinya sejak masih berada di kelasnya tadi. Hingga akhirnya Anastazja menyerah.
"Aku berniat mengunjungi ayah minggu lalu. Aku pergi bersama ibuku juga Aldephie ..."
"Wow, pasti menyenangkan akhirnya kau bisa bertemu lagi dengan ayahmu setelah sekian lama, kan?"
Tidak perlu Anastazja menjawabnya, Cleon mengerti bahwa kepergian ia dan keluarganya mendapat kesulitan besar. Cleon melihat binar kesedihan dari dalam mata Anastazja. Reflek, ia langsung menarik gadis itu masuk ke dalam pelukannya. Bukan hanya Anastazja yang terkejut dengan tindakan barusan, Cleon, sebagai subjek yang melakukannya pun tidak kalah terkejutnya dengan Anastazja.
Beberapa saat, ia sempat linglung dengan apa yang terjadi. Ia tidak mengerti, kenapa Anastazja berada dalam pelukannya? Padahal sebelumnya, Cleon bisa dengan sempurna mengatasi emosinya yang campur aduk ketika bertemu dengan Anastazja. Namun, bagaimana dengan kali ini? Rasanya, bukan hanya hatinya, tapi juga segalanya. Segalanya yang menyakiti Anastazja, telah menyakiti Cleon. Segalanya yang membuatnya bersedih, telah membuat sedih Cleon.
***
"Terima kasih ..." Sebuah pernyataan dengan nada yang sinis, akan tetapi penuh rasa malu di dalamnya. Cleon tersenyum lembut. Telapak tangannya yang besar menepuk puncak tertinggi kepala Anastazja. "Aku akan selalu ada untukmu, Anastazja. Ingatlah itu baik-baik," bisiknya di telinga Anastazja. Tanpa bisa Anastazja hindari, rona merah muncul di kedua pipinya yang berkulit cerah. "K-kereta kudamu sudah menunggu. Pergilah!" Tidak seperti Anastazja yang selalu tersenyum mengantar kepulangan Cleon. Kali ini, gadis itu menunduk, menyembunyikan rona merah yang muncul di wajahnya. Melihat sang Dewi dalam kehidupannya malu-malu membuat Cleon merasa gemas. Cleon bermaksud menggodanya dengan menempelkan keningnya ke kening Anastazja. "Aku pamit, ya. Hati-hatilah selama perjalanan pulang," ucapnya tenang. Tidak peduli bagaimana pandangan orang-orang, ia hanya ingin memastikan pada mereka semua bahwa Anastazja
"Apa maksudmu? Kau gila, ya?" Pertanyaan tanpa aba-aba. Meski Aldephie memancarkan aura keanggunan, tetapi ia tidak sepenuhnya anggun. Begitulah pendapat Anastazja mengenai kakak satu-satunya itu. "Dalam buku ini, terdapat sebuah cerita mengenai asal mula black blood dan bagaimana nasib orang-orang yang memiliki darah black blood." jelas Anastazja panjang lebar. Berbeda dengan Anastazja yang penuh dengan impian, Aldephie memilih untuk tetap realistis dan melihat pada kenyataan. "Hentikan, Anastazja. Aku tahu, kau mengambil buku itu tanpa izin dari mana pun, bukan?" "A-aku hanya meminjamnya. Besok akan kukembalikan ke tempat semula. Apa untuk meminjam saja, aku tidak boleh?" Aldephie menghela napas panjang. Entah mengapa hingga saat ini, Anastazja masih belum juga sadar bahwa black blood berbeda dengan penduduk setempat lainnya. "Ayo, aku ak
Untuk sesaat, suasana tegang menyelimuti kedua kakak beradik itu. Aldephie menatap Anastazja dan buku bersampul hijau beludru secara bergantian. Detak jantungnya seolah ingin mengikat napas yang terus memburunya. Andai Aldephie memiliki penyakit jantung, ia yakin sekali napasnya akan terhenti beberapa saat mendengar ocehan tidak jelas Anastazja.“Haaah ... kau, apalagi buku yang kau baca kali ini, huh? Sebuah cerita fantasi yang mendebarkan? Seperti seorang putri yang jatuh cinta pada pengkhianat negara maksudmu?” Aldephie berkacak pinggang.Tangannya dengan cepat meraih buku yang diacungkan oleh Anastazja, lalu ia mengacungkannya kembali ke hadapan adiknya.“Secret of Five Gods? Kau tahu seberapa norak judulnya, kan? Lihat sampulnya yang ketinggalan zaman. Astaga, Anastazja! Ada apa dengan pikiranmu?”Anastazja kembali merebut buku itu dengan kasar dari tangan kakakn
Apakah keberadaan Dewa benar-benar ada di dunia ini? Sebuah pertanyaan yang terus menerus bergelayut di dalam otak kecil ini. Aku tahu kalau ayah dan ibu tidak akan menyukai gagasanku. Namun, sepertinya ‘dia’ akan menyukainya.Yah, dia memang menyukai segalanya tentang diriku, termasuk keanehan dan keganjilan yang menurut Alastor tidak layak disandang oleh keturunannya. Darah murni katanya? Cerberus memang bajingan lihai ketika berbicara! Apa memang ia hidup hanya untuk berlatih bicara omong kosong?Aku bahkan tahu bahwa ia sangat bodoh! Aku tidak mengerti bagaimana pohon keabadian bisa lebih memilih Cerberus dari pada aku? Bocah bodoh itu bahkan hanya bisa mengayunkan senjata tanpa memikirkan dampak dan risiko jangka panjangnya.***“Tidak, Anastazja! Harus berapa kali kukatakan padamu kalau aku tidak akan menuruti permintaan anehmu! Lebih baik kau memban
“Apa maksudmu? Kau sedang merundungku, ya?” tantang Anastazja kesal.Ia tidak mengerti apa yang membuat kakaknya menjadi seperti orang gila yang meringkuk ketakutan karena diteriaki oleh seorang polisi. Sangat tidak masuk akal ketika dia menuduh dongeng itu sebagai hal yang menakutkan.
Pada satu malam di musim gugur, aku mengingat bagaimana Cerberus mengetuk pintu rumahku dengan sangat kasar. Dengan perlengkapan perang yang masih menempel di badannya, ia datang dan memintaku untuk bergabung bersamanya. Membentuk persatuan dari klan Alastor untuk memboikot dia.Aku mulai mengerti. Mungkin saja Cerberus lelah menjadi bayangannya terus menerus. Sedangkan dia selalu mengandalk
Langkah kakinya terasa berat. Penghujung musim gugur memang sedikit mengerikan bagi Anastazja. Segalanya terasa suram dan menyedihkan saat musim dingin tiba. Anastazja tidak mengerti, kenapa banyak anak-anak yang suka bermain dan bergembira ketika musim dingin tiba? Apa mereka tidak tahu bahwa tumpukan butiran salju jahat itu bisa membekukan mereka?
Hari itu cuaca sangat cerah. Di perkampungan tempat para black blood tinggal, Anastazja kecil sedang membantu Aldephie menganyam rotan. Sebuah pemandangan yang sangat menyenangkan. Meskipun beberapa kali tangan kecilnya terbeset pinggiran rotan yang sedikit tajam, ia tetap berbahagia. Senandung kecilnya s