Wilda bergegas menemui Edgar. Ia harus mencari solusi secepatnya. Ia tidak mau terus menerus di salahkan oleh ayahnya. Siapa tahu, setelah Wilda mengenalkan sang ayah dengan Edgar, sang ayah bisa kembali menerimanya.
Wilda memasuki rumah Edgar tanpa mengucapkan permisi. Seperti yang di lakukan saat ia memasuki kediaman Nathan. Dasar wanita yang tidak memiliki sopan santun sama sekali. Memang sudah menjadi tabiat, mau bagaimana lagi?
Wilda melihat Edgar sedang asyik menyesap rokoknya di taman belakang.
Wilda heran, kenapa pria itu tidak menyadari kedatangannya sama sekali? Edgar terlihat sedang melamunkan sesuatu. Tapi apa? Daripada pemasaran, lebih baik.Wilda bertanya secara langsung.
"Edgar? Kenapa melamun? Kamu tidak menyadari kedatanganku?" Tanya Wilda.
&nbs
Clara kembali ke ruang tengah. Ia bisa melihat Audrey dan Alvin yang menatapnya bingung. Clara pun sama, bingung harus mengatakan apa.. Ia tidak mungkin bisa mengatakan secara gamblang bahwa ia tidak bisa ikut dengan mereka. Ia begitu merasakan bersalah, seharusnya ia bisa membujuk Devan supaya merelakan kepergiannya. Namun, yang ia lakukan hanyalah diam. Sekarang? Ia hanya bisa menyesali tindakannya sendiri. Audrey faham. Dengan kediaman Clara, ia yakin bahwa Clara ingin mengatakan sesuatu yang menurut Clara akan menyakiti hati mereka. Ia menatap Clara yang balik menatapnya sendu. Audrey mengernyitkan alisnya heran saat Clara tak kunjung membuka suara."Kenapa? Apakah Devan baik-baik saja? Aku lihat, dia kesulitan bernafas tadi. Apakah perlu dipanggilkan dokter?" Tanya Audrey."Iya. Tadi dia sempat sesak nafas. Sekarang dia sudah sedikit membaik, dia sudah tertidur d
Nathan terbangun dari tidurnya. Ia bisa melihat Clara dan putranya masih terlelap. Ia segera bangkit dari ranjangnya. Ia tidak boleh terlalu banyak tidur. Ia baru ingat, ada sesuatu yang belum ia kerjakan sama sekali. Tapi, Nathan malas sekali untuk mengerjakannya. Ia harus menghubungi Jovian, sepertinya menyuruh Jovian untuk mengerjakan pekerjaannya merupakan pilihan yang tepat. Daripada tidak di kerjakan sama sekali. Ia akan melakukan revisi setelah Jovian mengerjakannya. Nathan mendudukkan dirinya pada kursi kerja miliknya. Ia hanya duduk, tidak memperdulikan berkas-berkas yang terlihat menumpuk. Jika biasanya ia bersemangat, hari ini ia begitu malas dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya. Ia mengambil sebuah bulpoint di mejanya. Kemudian mencoretkan sebuah tulisan-tulisan kecil yang memenuhi kertas putih yang ada di depannya.
Clara membuka katanya pelan. Ia masih dalam posisi memeluk Devan. Clara segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal. Ia menatap ke sekelilingnya. Setelah itu, ia menepuk dahinya pelan. Kenapa ia bisa seberani ini tidur di kamar Nathan? Ia jadi terlihat seperti tamu yang tidak kurang ajar dan tidak memiliki sopan santun sama sekali. Clara harus segera memintanya maaf. Ia tidak mau jika Nathan berfikiran macam-macam tentangnya. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia mencari keberadaan Nathan. Setelah beberapa lama, akhirnya ia bisa menemukan Nathan yang masih asyik menuliskan sesuatu di ruang kerjanya. Clara heran, kenapa Natal suka sekali bekerja. Ia saja terkadang merasa muak untuk mengurus segala pekerjaan. Sedikit apapun itu."Kak Nathan? Kakak sedang apa?" Tanya Clara basa basi."Saya sedang menuliskan
Tiga bulan telah berlalu. Semuanya berjalan seperti biasanya. Seperti halnya Clara, ia menjalani hari-hari tanpaa halangan apapun. Tidak ada yang mengganggunya sama sekali. Mungkin orang yang mengganggunya telah bosana karena tidak pernah mendapat respon dari Clara. Clara juga semakin populer di kampusnya. Ia terkenal sebagai mahasiswi yang begitu baik, cantik, ramah, dan supel. Banyak laki-laki yang berusaha mendekatinya. Namun, Clara enggan menanggapinya. Hatinya sudah terisi dengan sosok pria dingin bernama Nathan. Ia tidak mau mengkhianati pria itu. Terlalu mengerikan. Lagipula Nathan telah memberikan segalanya untuknya. Lantas apa yang kurang dari dia, sampai ia harus mencari laki-laki lain untuk kembali mengisi hatinya? Clara berjalan menyelusuri lorong kampusnya. Sesekali ia menyapa orang yang tidak sengaja berpapasan dengannya.
Edgar memasuki rumah Wilda dengan tergesa. Ia sudah tidak menyembunyikan hubungannya dengan Wilda. Ayah Wilda merestui hubungan mereka. Hal itu membuat Edgar terpaksa berpura-pura bahwa ia benar-benar mencintai Wilda. Edgar heran, kenapa ayah dan anak sama saja. Sama-sama mudah di bohongi. Padahal, ia hanya sedikit bersandiwara saja. Tetapi mereka percaya begitu saja akan kebohongannya. Edgar memfokuskan matanya saat melihat Wilda sedang berbaring di sofa ruang tengahnya. Edgar heran, setiap kali ia datang ke rumah Wilda, ia selalu menemukan Wilda dalam posisi yang sama. Apakah kegiatannya sehari-hari hanya seperti itu saja? "Hei. Sayang, sedang apa?" Tanya Edgar. Wilda segera beranjak dari tidurnya. Ia kaget saat mengetahui Edgar datang sepagi ini. Tidak biasanya, Edgar datang sepagi ini. "Edgar? Tumben sekali
Nathan memasuki rumahnya dengan tergesa. Perasannya begitu gusar. Ia begitu khawatir akan kondisi Clara. Pasalnya, ia mendapatkan sebuah pesan berisi ancaman untuknya dan Clara. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan wanita yang ia cintai itu. Nathan bisa bernafas lega saat melihat Clara sedang tidur santai bersama Devan di ruang tengah. Ia mengelus dadanya pelan. Berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdetak begitu cepat. Nathan mendudukkan dirinya sendiri dengan nafas yang memburu. Clara mengernyit heran, ada apa dengan Nathan? Kenapa terlihat begitu aneh?"Kak Nathan kenapa? Apa terjadi sesuatu? Kakak terlihat panik sekali." Tanya Clara."Devan, kamu ke kamar dulu ya. Papa mau berbicara sama Mama dulu. Oke?" Ucap Nathan."Oke, Pa. Jangan lama-lama ya." Uc
Clara heran. Kenapa semua mata tertuju padanya? Semua orang terlihat menatapnya tidak suka. Sepertinya ada yang salah darinya. Tapi apa? Seingatnya ia tidak melakukan apapun. Apa ia melakukan kesalahan itu tanpa ia menyadarinya. Clara semakin menundukkan kepalanya saat bisikan-bisikan sinis masuk ke dalam rungunya. Ia benar-benar tidak menyangka jika ini adalah hari terburuk yang pernah ia alami. Selama ini, ia tidak pernah mendapatkan kebencian dari teman-temannya. Ia hanya terkenal sebagai gadis biasa yang tidak gemar melakukan kenakalan."Hei, lihat ada seorang jalang yang masih berkeliaran di kampus kita. Benar-benar tidak memiliki malu. Kalau aku jadi dia, mungkin aku sudah keluar dari kampus ini lebih cepat. Melihat wajahnya saja sudah membuatku muak." Bisik salah satu temannya."Benar. Mungkin dia memiliki wajah yang begitu tebal, sampai-sampai tidak memiliki rasa ma
Rafa masih gusar. Nathan tak kunjung mendatanginya. Kenapa terasa lama sekali? Padahal, baru beberapa menit ia menunggu. Tidak sampai sepuluh menit. Rafa khawatir jika ia kehilangan jejak. Ia berusaha menghubungi kendaraan umum supaya bisa mengejar pelaku. Namun tak bisa, di jam seperti ini tidak ada kendala yang berlalu lalang. Selang beberapa lama, Nathan datang dengan wajah panik. Ia segera membuka kaca mobilnya kemudian menyuruh Rafa untuk masuk. "Bagaimana ini bisa terjadi?" Tanya Nathan. "Ceritanya panjang. Tadi pagi, berita tentang keburukan Clara memyebar begitu saja ke semua penjuru kampus. Saya bahan tidak menyangks jima kejadian itu terjadi begitu cepat. Sku sudah berusaha untuk menghentikan berita itu semampunya, namun berita itu sudah menyebar begitu cepat. Bahkan fotonya sudah tersebar begitu saja. Saya tidak tahu darimana sumber itu berasal
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &