Clara membuka katanya pelan. Ia masih dalam posisi memeluk Devan. Clara segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal. Ia menatap ke sekelilingnya. Setelah itu, ia menepuk dahinya pelan. Kenapa ia bisa seberani ini tidur di kamar Nathan? Ia jadi terlihat seperti tamu yang tidak kurang ajar dan tidak memiliki sopan santun sama sekali. Clara harus segera memintanya maaf. Ia tidak mau jika Nathan berfikiran macam-macam tentangnya.
Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia mencari keberadaan Nathan. Setelah beberapa lama, akhirnya ia bisa menemukan Nathan yang masih asyik menuliskan sesuatu di ruang kerjanya. Clara heran, kenapa Natal suka sekali bekerja. Ia saja terkadang merasa muak untuk mengurus segala pekerjaan. Sedikit apapun itu.
"Kak Nathan? Kakak sedang apa?" Tanya Clara basa basi.
"Saya sedang menuliskan
Tiga bulan telah berlalu. Semuanya berjalan seperti biasanya. Seperti halnya Clara, ia menjalani hari-hari tanpaa halangan apapun. Tidak ada yang mengganggunya sama sekali. Mungkin orang yang mengganggunya telah bosana karena tidak pernah mendapat respon dari Clara. Clara juga semakin populer di kampusnya. Ia terkenal sebagai mahasiswi yang begitu baik, cantik, ramah, dan supel. Banyak laki-laki yang berusaha mendekatinya. Namun, Clara enggan menanggapinya. Hatinya sudah terisi dengan sosok pria dingin bernama Nathan. Ia tidak mau mengkhianati pria itu. Terlalu mengerikan. Lagipula Nathan telah memberikan segalanya untuknya. Lantas apa yang kurang dari dia, sampai ia harus mencari laki-laki lain untuk kembali mengisi hatinya? Clara berjalan menyelusuri lorong kampusnya. Sesekali ia menyapa orang yang tidak sengaja berpapasan dengannya.
Edgar memasuki rumah Wilda dengan tergesa. Ia sudah tidak menyembunyikan hubungannya dengan Wilda. Ayah Wilda merestui hubungan mereka. Hal itu membuat Edgar terpaksa berpura-pura bahwa ia benar-benar mencintai Wilda. Edgar heran, kenapa ayah dan anak sama saja. Sama-sama mudah di bohongi. Padahal, ia hanya sedikit bersandiwara saja. Tetapi mereka percaya begitu saja akan kebohongannya. Edgar memfokuskan matanya saat melihat Wilda sedang berbaring di sofa ruang tengahnya. Edgar heran, setiap kali ia datang ke rumah Wilda, ia selalu menemukan Wilda dalam posisi yang sama. Apakah kegiatannya sehari-hari hanya seperti itu saja? "Hei. Sayang, sedang apa?" Tanya Edgar. Wilda segera beranjak dari tidurnya. Ia kaget saat mengetahui Edgar datang sepagi ini. Tidak biasanya, Edgar datang sepagi ini. "Edgar? Tumben sekali
Nathan memasuki rumahnya dengan tergesa. Perasannya begitu gusar. Ia begitu khawatir akan kondisi Clara. Pasalnya, ia mendapatkan sebuah pesan berisi ancaman untuknya dan Clara. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan wanita yang ia cintai itu. Nathan bisa bernafas lega saat melihat Clara sedang tidur santai bersama Devan di ruang tengah. Ia mengelus dadanya pelan. Berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdetak begitu cepat. Nathan mendudukkan dirinya sendiri dengan nafas yang memburu. Clara mengernyit heran, ada apa dengan Nathan? Kenapa terlihat begitu aneh?"Kak Nathan kenapa? Apa terjadi sesuatu? Kakak terlihat panik sekali." Tanya Clara."Devan, kamu ke kamar dulu ya. Papa mau berbicara sama Mama dulu. Oke?" Ucap Nathan."Oke, Pa. Jangan lama-lama ya." Uc
Clara heran. Kenapa semua mata tertuju padanya? Semua orang terlihat menatapnya tidak suka. Sepertinya ada yang salah darinya. Tapi apa? Seingatnya ia tidak melakukan apapun. Apa ia melakukan kesalahan itu tanpa ia menyadarinya. Clara semakin menundukkan kepalanya saat bisikan-bisikan sinis masuk ke dalam rungunya. Ia benar-benar tidak menyangka jika ini adalah hari terburuk yang pernah ia alami. Selama ini, ia tidak pernah mendapatkan kebencian dari teman-temannya. Ia hanya terkenal sebagai gadis biasa yang tidak gemar melakukan kenakalan."Hei, lihat ada seorang jalang yang masih berkeliaran di kampus kita. Benar-benar tidak memiliki malu. Kalau aku jadi dia, mungkin aku sudah keluar dari kampus ini lebih cepat. Melihat wajahnya saja sudah membuatku muak." Bisik salah satu temannya."Benar. Mungkin dia memiliki wajah yang begitu tebal, sampai-sampai tidak memiliki rasa ma
Rafa masih gusar. Nathan tak kunjung mendatanginya. Kenapa terasa lama sekali? Padahal, baru beberapa menit ia menunggu. Tidak sampai sepuluh menit. Rafa khawatir jika ia kehilangan jejak. Ia berusaha menghubungi kendaraan umum supaya bisa mengejar pelaku. Namun tak bisa, di jam seperti ini tidak ada kendala yang berlalu lalang. Selang beberapa lama, Nathan datang dengan wajah panik. Ia segera membuka kaca mobilnya kemudian menyuruh Rafa untuk masuk. "Bagaimana ini bisa terjadi?" Tanya Nathan. "Ceritanya panjang. Tadi pagi, berita tentang keburukan Clara memyebar begitu saja ke semua penjuru kampus. Saya bahan tidak menyangks jima kejadian itu terjadi begitu cepat. Sku sudah berusaha untuk menghentikan berita itu semampunya, namun berita itu sudah menyebar begitu cepat. Bahkan fotonya sudah tersebar begitu saja. Saya tidak tahu darimana sumber itu berasal
Clara berusaha melepaskan tangannya yang di ikat. Ia mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan siapa-siapa. Tempat ini gelap dan kotor, seperti tidak ada seorang pum yang pernah menginjakkan kaki di tempat ini. Ia tidak menemukan seorangpun yang ada di tempat ini. Clara takut jika ada orang yang akan menyakitinya. Ia menyesal karena bertindak terlalu cepat. Seharusnya ia mengingat apa yang di katakan oleh Nathan bahwa ia tidak boleh keluar sendirian. Sekarang, ia hanya bisa menyesalinya. Tiba-tiba saja pintu terbuka. Terlihat seorang pria dan wanita memasuki ruangan ini. Clara nampak cemas, ia takut jika orang itu akan membawanya ke jurang kematian. Ia ingin berteriak namun mulutnya di tutup oleh lakban besar. Hal itu membuatnya tidak bisa membuka suara sedikitpun."Bagaimana kabarmu cantik? Aku lihat kamu semakin cantik hari ini. Aku tidak menyangka jika Nathan bisa memilik
Clara gusar. Nathan tak kunjung datang untuk menyelamatkannya. Ia lapar sekali, ia membutuhkan makanan untuk mengganjal perutnya. Sudah satu hari penuh ia sendirian di ruangan pengap ini. Pernafasannya mulai terasa sesak akibat debu dan gelap. Clara terus merapalkan do'a supaya ia baik-baik saja. Ia berusaha menetralkan pernafasannya yang terasa sesak. Ia tidak sanggup menahan rasa sesak ini. Kenapa tidak satupun orang yang menyelamatkannya? Apa ia di bawa ke tempat terpencil sampai Nathan begitu lama untuk menyelamatkannya? Sekali lagi, Clara menyesali dirinya yang bertindak gegabah. Ia menatap celah jendela yang sedikit terbuka. Suasana di luar sudah tampak gelap. Ternyata sudah malam. Clara semakin ketakutan, ia takut jika ada makhluk tak kasat mata datang menghampirinya begitu saja. Clara menggeleng pelan, ia tidak mempercayai hal seperti itu.&
Clara mulai membuka matanya pelan. Ia berusaha menetralkan pandangannya yang masih buram. Ia mengamati segala hal yang ada di sekelilingnya. Semuanya nampak berwarna putih. Apakah ia sudah berada di surga? Namun, ia masih merasakan rasa sakit di kepalanya. Ia juga merasakan sesuatu yang membebani lengannya. Clara tersenyum saat mendapati Nathan telah menjaganya. Pemikirannya tentang surga ternyata salah besar. Ia masih hidup di dunia ini. Ia masih bisa melihat sosok Nathan dengan jelas. Ia membelai rambut Nathan dengan lembut membuat sang empu melenguh pelan. Nathan mulai membuka matanya pelan. Ia bisa melihat Clara yang tersenyum lembut kepadanya. Clara tersenyum begitu cantik hingga Nathan terpaku sejenak. Nathan mengucek matanya pelan. Ia mencoba menyadarkan dirinya sendiri yang masih setengah tertidur."Kamu sudah sadar? Maafkan aku karena telat datan
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &